Home » , , » Perspektif Historis dan Konvergensi Teoritis dalam Kajian Kemanusiaan dan Kemasyarakatan

Perspektif Historis dan Konvergensi Teoritis dalam Kajian Kemanusiaan dan Kemasyarakatan

Written By Irhash A. Shamad on 18 April 2014 | 15.03

Semua kegiatan ilmu pengetahuan pada intinya adalah mencari kepastian jawaban dari berbagai pertanyaan analitis tentang penyebab sesuatu fenomena, baik fenomena fisik (alam) maupun fenomena non-fisik (kemanusiaan). Kebenaran jawaban analitis itu, selain ditentukan oleh kesesuaian jawaban yang diberikan dengan aktualitas yang sebenarnya, juga oleh seberapa akurat pengamatan terhadap fenomena itu dilakukan. Hal itu, antara lain, akan sangat bergantung dari sisi pandang (perspektif) yang digunakan untuk mengamati fenomena itu. Apa yang disebut terakhir ini, lebih banyak menentukan hasil akhir penyelidikan tentang obyek fenomena non-fisik (kemanusiaan), karena obyek seperti ini memiliki dimensi yang beragam serta memerlukan penyebaban-penyebaban yang beragam pula. Dengan demikian, kebenaran jawaban yang dihasilkan akan sangat ditentukan oleh dimensi apa dan dari sisi mana obyek itu diamati.
Prinsip Historikalitas pada Obyek Manusia
Untuk mengerti perubahan yang terjadi dalam fenomena kehidupan manusia dari sisi non-fisik, terutama dalam konteks kehidupan sosialnya, memerlukan penganalisisan terhadap aspek-aspek yang terkait dengan keberadaan manusia sebagai individu yang unik sifatnya, baik sebagai bagian dari sistem besar kehidupan yang terdapat di alam, maupun kehidupan yang merupakan suatu kuntinum dari kenyataan-kenyataan yang terus bergerak dari waktu ke waktu.
Manusia, sebagai diasumsikan oleh para filosof, pada dasarnya tidak berada dalam waktu, akan tetapi secara ontologis manusia "mewaktu", artinya, kesadaran ke"kini"annya adalah merupakan bagian dari suatu struktur yang mensejarah (historikal). Menurut Husserl, pengalaman manusia berretensi (menggenggam) masa lalu dan berpretensi (menjangkau) masa datang (cf. W. Poespoprodjo,1987: 27). Masa kini mengandaikan masa lalu dan masa datang. Ini menjelaskan bahwa pengalaman manusia tidaklah statis, akan tetapi merupakan dialogi (perjumpaan) yang terus menerus antara masa lalu dan masa datang dalam suatu wadah yang disebut "masa kini". Oleh karenanya, upaya untuk mengerti manusia, prilaku-prilaku serta tindakan-tindakan aktualnya hari ini, tidak serta merta dapat "ditangkap" dalam konteks kekiniannya. Demikianpun untuk mencari penyebaban prilaku dan tindakan-tindakan, baik individual maupun sosial, lebih memerlukan penganalisisan terhadap berbagai dimensi realitas masa lalu yang diduga. Diantara dimensi-dimensi itu adalah :
1. Dimensi Struktur dan Proses
Banyaknya dimensi yang diperlukan dalam mengamati fenomena manusia telah menyebabkan munculnya pemikiran-pemikiran dalam rangka penciptaan pola dan model yang valid untuk mengerti berbagai dimensi perubahan yang terjadi di dalamnya. Para sosiolog pada awalnya berusaha menerapkan kaidah-kaidah teoritis ilmu alam untuk mengerti fenomena yang terjadi pada masyarakat manusia. Fenomena masyarakat yang dijadikan domain utama dalam kajian sosiologi itu, meski terbentuk dari struktur individu-individu, namun keberadaan individu disini dianggap tidak berperan apa-apa dalam perubahan sosial. Ia hanya tunduk pada kekuatan-kekuatan struktur diluarnya, seperti ekonomi, politik dan sebagainya. Realitas perubahan dalam struktur sosial itu dipahami sebagai hasil pergerakan mekanis struktur sosial itu sendiri, dengan kata lain perubahan suatu struktur akan sangat bergantung dari perubahan pada struktur yang lain (determinis). Pendekatan ini disebut dengan pendekatan sinkronik, yaitu pengamatan antar lapis struktur (comparative cross sectional).
Adanya prinsip-prinsip historikalitas pada pengalaman manusia seperti yang telah dikemukakan terdahulu, menjadikan persoalan kehidupan manusia tidak cukup memadai untuk dimengerti hanya lewat pendekatan struktur semata, apalagi untuk mengerti perubahan-perubahan. Dalam kaitan ini, kenyataan historikalitas manusia memerlukan tempat tersendiri dalam menganalisis penyebaban fenomena sosial. Inilah yang disebut dengan perspektif historis. Perspektif ini menekankan pada analisis prosesual dengan menggunakan pendekatan diakronik artinya penyebaban fenomena diarahkan pada analisis antar waktu (comparative longitudinal).
Perspektif historis, sebagai yang disebutkan terakhir, dalam perkembangannya telah melengkapi pemahaman para ilmuan tentang perubahan yang terjadi dalam fenomena manusia. Sebaliknya, sejarah tidak pula dapat mengabaikan penganalisisan tentang struktur-struktur sosial dalam melihat realitas masyarakat masa lalu. Berikut ini akan dikemukakan tentang beberapa dimensi analitis terhadap kajian kemanusiaan dan kemasyarakatan
2. Dimensi obyektiv-mekanistis dan subyektiv-anti mekanistis
Perkembangan kajian ilmiah tentang masyarakat kemudian memunculkan pula dua kutub yang berbeda dalam menganalisis tentang tindakan (action) dan tatanan (order) sosial, yaitu : Kutub pertama, yang mendasarkan analisisnya pada konsep tindakan yang mekanistis. Dengan konsep ini, fenomena sosial dianalogikan sebagai mesin yang bergerak dengan prinsip aksi-reaksi, dimana, intensitas reaksi sangat ditentukan oleh intensitas aksi, dan reaksi yang ditimbulkan oleh suatu aksi akan bersifat otomatis, obyektiv, dan dapat diprediksikan.Prinsip aksi-reaksi yang diterapkan pada individu memunculkan ilmu psikologi.
Sementara itu, masyarakat dianggap merupakan suatu entitas tersendiri yang mirip dengan obyek benda alam. Bila benda alam terdiri dari struktur-struktur yang berupa senyawa-senyawa kimiawi yang membentuknya, maka entitas masyarakat juga terdiri dari struktur-struktur yang berperan dalam mengintegrasikan individu-individu di dalamnya. Struktur-struktur itu juga bergerak secara mekanistis. Tatanan yang berkaitan dengan tindakan yang mekanistis itu memiliki daya paksa yang kuat dan bersifat mengharuskan (coercive) terhadap individu. Sehingga individu tidak dapat menentukan prilakunya dalam masyarakat, tetapi ditentukan oleh struktur-struktur sosialnya. Pandangan ini berasal dari historisme-materialismenya Karl Marx (Marxisme).
Marx menganggap bahwa sumber terjadinya perkembangan dan perubahan disebabkan oleh faktor-faktor obyektif dari kepentingan rasional berupa tatanan politis dan ekonomis, bukan disebabkan oleh faktor-faktor subyektif. Faktor-faktor obyektif yang disebutkan pertama dirumuskannya sebagai base yang dibedakan dengan super-structure (faktor subyektif), yakni gejala-gejala budaya, ritual keagamaan, gagasan, seni, intelektual dan sebagainya. Menurutnya, superstructure ditentukan oleh base, karenanya, untuk menjelaskan gejala-gejala budaya itu harus dengan memeriksa elemen materialnya atau struktur-struktur itu sendiri.
Kutub kedua bertumpu pada konsep anti mekanistis yang mendasarkan pada pendekatan subyektif terhadap tindakan dan tatanan. Pendekatan ini menganggap bahwa terjadinya suatu tindakan dimotivasi oleh apa yang ada dalam diri seseorang, yang dapat berupa perasaan, persepsi, maupun kepekaan. Tatanan yang sesuai dengan tindakan seperti itu adalah tatanan yang bersifat ideasional, yaitu tatanan yang tersusun dari berbagai hal yang terdapat dalam fikiran manusia dan bersifat subyektiv. Pandangan ini diwakili oleh Hegel. Ia mengemukakan bahwa perkembangan historis dipicu oleh rasa frustrasi yang muncul akibat adanya keterbatasan yang dimiliki oleh setiap priode. Oleh karenanya, setiap priode harus diuraikan berdasarkan geist atau "semangat zaman" nya. Geist merupakan konsep klasik dalam bahasa Jerman yang sekarang dikenal dengan istilah culture.
3. Dimensi Holis dan Individualis
Telaahan tentang masyarakat dan perubahan sosial, setidaknya sampai akhir tahun tujuh puluhan, secara garis besar, prinsip-prinsip metodologisnya telah terbelah kepada apa yang disebut individualisme dan holisme (Lloyd,1993: 44-47). Kedua prinsip ini terutama berhubungan dengan masalah asumsi filosofis dalam menempatkan perspektif terhadap dimensi penyebaban (kausasi) perubahan dan transformasi sosial. Individualisme berusaha menjelaskan proses dan fenomena-fenomena sosial, prilaku dan kesadaran mengenai tindakan dan motivasi individu yang dikonsepsikan sebagai suatu entitas dari fenomena makroskopic dengan menghubungkan kausasi dan keberadaannya pada komponen-komponen mikroskopicnya.

Individualisme secara ontologis menganggap bahwa peristiwa individual, tindakan dan kepercayaan mereka adalah nyata, sedangkan masyarakat dianggap merupakan agregat individu dan hanya bersifat instrumental. Secara metodologis, individualisme berusaha membangun suatu analisa sosial dengan mempelajari individu dan motivasi-motivasi mereka bertindak. Sedangkan holisme menganggap bahwa masyarakat sebagai suatu entitas yang tertutup dan merupakan sistem supraindividual dengan kekuatan pengaturan sendiri. Dengan demikian metodologi holisme mengkonsepsikan masyarakat dan mempelajari keseluruhannya sebagai suatu totalitas --di mana struktur-struktur ada di dalamnya--, dengan mencari mekanisme ketergantungan internal dan makna dasar evolusi struktural.
Konvergensi Teoritis Sosial dan Budaya
Perkembangan kontemporer dari pemikiran tentang masyarakat telah memperlihatkan titik temu yang "menggairahkan" dengan memadukan berbagai perspektif dalam melihat dimensi-dimensi kehidupan sosial serta penyebaban-penyebaban perubahan yang terjadi di dalamnya. Bagian ini akan mengemukakan beberapa pemikiran kontemporer yang memperlihatkan kecendrungan konvergensi (titik temu) teoritis itu, khususnya tentang perspektif budaya dalam analisis sosial (cf. Jeffrey C. & Richard Schaht (ed.). Part I), yaitu :
1. Fungsionalisme
Analisis fungsional berkonsentrasi pada usaha "institusionalisasi" kebudayaan, yaitu bagaimana kebudayaan menjadi bagian dari struktur nyata sistem sosial. Analisis ini lebih memfokuskan diri pada nilai (values), bukan pada sistem simbol semata. Institusionalisasi atau pelembagaan nilai berarti bahwa suatu standar nilai telah menjadi ciri hakiki dari setiap peran individu. Bila seseorang, suatu kelompok, atau komunitas melenceng dari nilai yang telah dilembagakan itu, maka ia akan mendapatkan sanksi, sebaliknya, bila mengikuti akan mendapatkan ganjaran (reward).
Dengan konsentrasi pada sanksi dan ganjaran, masalah proses internal dari sistem budaya tidak menjadi interest utama, akan tetapi yang lebih diutamakan adalah bagaimana suatu pola dilembagakan. Kekuatan dari pendekatan fungsionalisme adalah kemampuannya untuk menjalin analisis dengan penekanan budaya (analisis kultural) dengan analisis tentang tindakan sosial (analisis struktural).
Robert Merton, salah seorang penganut pendekatan ini berhasil mengidentifikasi seperangkat elemen budaya yang menunjukkan dengan sangat jelas pengaruh dari struktur normatif tersebut terhadap tindakan dan organisasi sosial. Demikian juga Lipset, telah menunjukkan pula bagaimana pola nilai berkorelasi dengan berbagai macam prilaku institusional berbeda, ia membuat variabel normatif ini menjadi lebih tepat dan dapat dipercaya. Namun, walaupun Lipset telah secara hati-hati menempatkan nilai pada titik yang tepat dalam struktur sosial, namun ia terjebak dalam konstelasi nilai itu sendiri, karena melakukan generalisasi dari prilaku kelompok yang aktual, bukan dengan menafsirkan dinamika internal dari perkembangan budaya.
2. Semiotika
Semiotika dan strukturalisme merupakan alternatif pendekatan semiotik yang menitikberatkan perhatian pada sistem budaya itu sendiri, bukan pada identifikasi simbol-simbol yang diinstitusionalisasi dalam sistem sosial. Mereka menekankan adanya integritas internal dari suatu organisasi simbolis dan berpendapat bahwa organisasi tersebut harus dipelajari tanpa mengacu pada proses atau tahapan lain.
Barthes, salah seorang penganut pendekatan semiotik, menjelaskan pemikirannya dengan menganalogikan olah raga gulat sebagai teks. Menurut Barthes, gulat harus dilihat sebagai teks. Artinya, gulat tidak benar-benar merupakan tindakan yang termotivasi, tetapi suatu yang scripted atau tersusun dalam skenario seperti sebuah drama yang dipentaskan. Olah raga gulat tidak mengacu pada suatu situasi darurat, tetapi mengacu pada makna yang telah lama diterima, yang berupa pola yang harus dipelajari oleh pegulat. Oleh karenanya, gulat harus dianggap bukan sebagai suatu peristiwa tetapi sebagai sebuah pentas yang mengandung sistem makna yang sangat terstruktur.
Sahlin adalah penganut pendekatan semiotika lainnya mengemukakan bahwa analisis sosial dapat dilakukan melalui abstraksi prilaku konkrit menjadi prilaku budaya. Jika abstraksi budaya dapat dicapai, elemen sosial menjadi berkorelasi dalam suatu sistem simbolis. Elemen sosial tersebut kemudian dilihat sebagai elemen dalam sebuah teks yang terbuka, bukan sebagai gambaran dalam sistem sosial.
3. Dramaturgi
Dramaturgi adalah pendekatan yang memberi tempat khusus bagi peran individu. Penganut pendekatan ini, salah satunya adalah Goffman. Dia mengakui bahwa dalam interaksi sosial, individu-individu secara konstan dibanjiri oleh rangsangan dari luar sebagai tambahan dari rangsangan yang telah terkandung dalam kerangka budaya. Aktor individu harus memiliki kemampuan yang baik dalam menyaring rangsangan agar tidak terjerumus ke dalam tindakan di luar kerangka budaya yang telah ada. Seperti dalam drama, baik pelaku ataupun penonton sering menghadapi arahan panggung dan sekaligus unsur ekstratekstualnya.
Salah seorang penganut pendekatan dramaturgi adalah Clifford Geertz. Melalui penelitiannya tentang kegiatan adu ayam di Bali, misalnya, Geertz menerapkan perspektif dramaturgis ke dalam proses aktual dari penciptaan bentuk kebudayaan yang relatif independen. Dia menguraikan makna sebagai sesuatu yang ditentukan. Makna suatu tindakan tidak hanya mengacu pada kaidah disekitar tindakan itu, tetapi juga mengacu pada fenomena lain.
Adu ayam, pada kenyataannya dapat dianggap sebagai suatu hal yang membosankan dan sepele, dan dapat juga dianggap sebagai suatu yang penuh makna, menarik, dan dramatis. Uang taruhan adalah alat yang menjadikan adu ayam sebagai peristiwa penuh makna, karena uang taruhan itu menentukan status petaruhnya dalam masyarakat. Akhirnya, Geertz melihat bahwa yang penting dalam budaya sabung ayam di Bali adalah besarnya peranan para pelaku dalam membentuk struktur, misalnya dengan memperbesar jumlah taruhan demi harga diri.
4. Weberianisme
Kaum Weberian membuat konsepsi kebudayaan sebagai sistem simbolis. Sistem ini diciptakan dari dalam diri manusia yang merupakan reaksi terhadap keperluan metafisis. Ide religius dari konsep teologis tetap menjadi aspek paling penting dari teori mereka. Salah seorang penganut pendekatan itu ialah Michael Walzer. Puritanisme, menurut Walzer, menumbuhkan etos kerja tinggi melalui konsep aktivisme. Paham ini juga mengukuhkan peran lembaga keagamaan sebagai forum sekular untuk mendobrak kemapanan ekonomi. Dimotivasi oleh kepatuhan mereka terhadap suatu disiplin yang lebih kritis, kaum puritan Inggeris menjadi revolusioner dalam melancarkan transformasi sosial. Dengan demikian, Walzer menganggap bahwa komitmen modern terhadap revolusi lahir karena reinterpretasi subyektiv dan adanya perluasan makna, dan bukan karena tanggapan mekanistik terhadap keharusan obyektiv.
Karena keinginannya mengenali logika internal dari sistem simbol, analisis Weberian dianggap lebih bersifat semiotis bila dibandingkan dengan pendekatan dramaturgis dan fungsionalis ; pada saat yang bersamaan, pendekatannya terhadap kebudayaan lebih bersifat historis dan sosial.
5. Durkheimisme
Seperti pendekatan Weberian, pendekatan Durkheimian terhadap kebudayaan juga menjadikan agama sebagai komponen sentral yang memungkinkan mereka menekankan kompleksitas internal dan otonomi sistem simbolik, dan pada saat yang bersamaan menekankan pentingnya acuan sosial. Akan tetapi, pendekatan ini tidak terlalu terfokus pada pemahaman historis tentang proses kebudayaan, namun lebih kepada struktur dan proses dari sistem penuh makna yang dianggap universal tanpa memperhitungkan masalah historisnya. Dari segi itu, pendekatan Durkheimian dianggap lebih bersifat semiotis dan strukturalis.
Salah seorang penganut pendekatan Durkheimisme, Mary Douglas, beranggapan bahwa secara agamis, sistem budaya dapat dilihat sebagai kerangka oposisi suci (sacred) dan tercemari (profane). Mediasi dari keduanya adalah ritual, sebab dalam ritual terdapat interaksi emosional yang mengarah pada simbol yang sakral.
6. Marxisme
Pendekatan ini mengalami banyak modifikasi dari bentuk awalnya terutama untuk menghindari kesan mekanistis dari teorinya. Pendekatan kontemporer Marxis terhadap kebudayaan, memunculkan pandangan yang lebih reduksionis tentang hubungan antara kehidupan ekonomi dan budaya. Penganut pendekatan ini antara lain E.P. Thompson dan Paul Willis.
Dalam usahanya menjelaskan pertumbuhan kesadaran dan militansi kelas dari kaum pekerja di Inggeris, Thompson lebih memfokuskan perhatiannya pada penciptaan komunitas daripada perubahan ekonomi. Dalam rangka menjadikan kelas pekerja Inggris evolusioner, pengetahuan tentang kondisi dan minat mereka tidak cukup. Yang lebih penting adalah pertumbuhan dari budaya kelas pekerja yang independen. Menurut Thompson, kebudayaan menjadi lebih dari sekedar variabel analitis, akan tetapi menjadi keharusan historis dan politis.
7. Pasca Strukturalisme
Pendekatan ini muncul pada era 1960-an, baik dari dalam kubu Marxisme maupun strukturalisme. Berbeda dengan semiotika dan strukturalisme yang lebih idealis, mereka menerapkan pendekatan fungsionalisme yang menekankan adanya kaitan sosial antara simbolisme dengan kekuasaan dan kelas sosial. Mereka beranggapan bahwa struktur sosial, seperti otoritas kelas dan politis, tidak dapat diinterpretasi sebagai akting yang "melawan" kebudayaan, karena pemahaman semacam itu mengimplikasikan bahwa sistem sosial tidak dapat dipenetrasi oleh makna.
Foucault salah seorang penganut pascastrukturalisme menelaah masalah perilaku seksual dan mengaitkannya dengan transisi dari suatu periode awal modernisasi yang masyarakatnya lebih represif --di mana penyelewengan seksual diancam dengan hukuman-- ke priode yang lebih modern dan lebih menerapkan paedagogis dan terapis. Ia menganggap bahwa perkembangan yang lebih modern itu tidak harus diartikan sebagai suatu pengurangan kontrol sosial terhadap perilaku seksual, namun suatu aturan seksual yang dilihat sebagai kekuasaan budaya (cultural power) yang mendisiplinkan seksualitas.
Menurut Alexander, berbagai perkembangan terbaru kajian kebudayaan mempunyai satu titik temu, yaitu sama-sama menekankan sifat otonom kebudayaan dari pengaruh struktur sosial. Karena kebudayaan adalah sistem yang sarat makna, maka makna dari suatu sistem ideologi atau kepercayaan tidak dapat dilihat dari perilaku sosial ; makna itu harus dipelajari sebagai pola yang ada di dalam ideologi atau kepercayaan itu sendiri. Ia menyimpulkan bahwa kita tidak dapat memahami kebudayaan tanpa mengacu pada makna subyektif, dan kita tidak dapat memahaminya tanpa mengacu pada kendala struktur sosial. Kebudayaan dan masyarakat adalah masalah yang kompleks. Keduanya tidak dapat dipelajari dengan hanya satu kerangka pemikiran kelompok tertentu.
© Irhash A. Shamad
dipulikasikan juga di www.irhash.webs.com on April 19,2009 at 11:58 AM
Share this article :

Posting Komentar

Maklumat

Maklumat
 
Support : Pandani Web Design
Copyright © 2009-2014. Irhash's Cluster - All Rights Reserved
Template Created by Maskolis
Proudly powered by Blogger