TERBARU

"Hadza Min Fadhli Rabby" : Pengalaman Haji Atas Undangan Raja Saudi Arabia (Bagian 6)

Written By Irhash A. Shamad on 26 Agustus 2016 | 19.30

Selesai pelaksanaan ibadah haji, semua jama’ah haji undangan kerajaan direncanakan akan diberangkatkan ke Madinah Al-Munawwarah pagi besok (Selasa 07/10). Malam ini, semua barang-barang jamaah dikemas untuk persiapan check out dari Hotel Makarim Ummul Quro. Diinformasikan bahwa sebelum shubuh semua bagasi sudah dikumpulkan di lobby hotel,  karena itu saya dan beberapa temanpun malam ini berkemas-kemas. Acara berkemas ini baru selesai hingga lewat tengah malam, karena sebelumnya kami lebih memilih istirahat sesudah shalat Maghrib. Selesai berkemas saya sendiri tidak lagi bisa tidur hingga shubuh, meskipun kali ini saya merasa agak sedikit lelah secara fisik, akan tetapi sulit untuk diistirahat-tidurkan. Jujur, malam ini kelelahan saya bercampurbaur dengan perasaan sedih karena besok sudah harus meninggalkan Mekkah, begitu singkat rasanya kesempatan bagi saya untuk dapat menghirup udara kota kelahiran Rasulullah ini dengan segala keberkahannya, waktu dan kesempatan yang entah kapan dapat kembali bisa saya rasakan.

Mengingat banyaknya jumlah armada bus yang akan mengangkut jama’ah ke Madinah,  membuat panitia sedikit kewalahan dalam mengatur seat setiap jama’ah. Meskipun pada awalnya nomor bus dan nomor  seat telah diatur sedemikian rupa, bahkan sejak waktu keberangkatan ke ‘Arafah, namun kali ini tidak mungkin untuk diberlakukan lagi, sehingga kelompok “caravan bus” inipun disesuaikan dengan negara masing-masing. Setidaknya hampir tiga puluh bus harus parkir  berjajar secara bergantian di depan hotel Makarim Ummul Qura saat menjelang keberangkatan ini. Keadaan inipun membuat petugas bagasi bekerja sedikit lebih ekstra. Itupun belum termasuk persiapan konsumsi dan snack bagi para jama’ah untuk selama di perjalanan. Keadaan yang digambarkan telah menyebabkan jadwal keberangkatan berubah dari rencana semula.


Jama’ah baru bisa diberangkatkan sekitar jam 09.30 pagi menuju Madinah. Perjalanan darat yang begitu panjang dari Makkah ke Madinah telah memberi kesan tersendiri bagi setiap jamaah, terutama bagi saya sendiri. Pertama tentu sarana jalan yang begitu mulus dan lebar telah membuat perjalanan sangat menyenangkan, demikianpun pemandangan kiri kanan jalan yang berupa bukit-bukit batu telah menawarkan pesona yang tak biasa dalam pemandangan kami. Jejeran kendaraan bus tamu kerajaan yang panjang merayap ditengah jalanan mulus diantara bukit-bukit batu sembari diterpa teriknya panas matahari itu, sukar sekali untuk dilupakan.

Bagi saya yang baru pertama kali menjelajahi kawasan padang pasir Hejaz ini, telah membangkitkan naluri kesejarahan yang begitu mendalam. Ketika yang lain hanyut dalam nuansa lanskap yang ‘indah’ itu, saya justru terhanyut membayangkan ketika Rasulullah dan para shahabat melakukan hijrah 14 abad yang lalu ; ketika dimana belum ada jalan mulus seperti yang saya lihat hari ini. Terbayang sulitnya perjalanan Baginda Rasul menelusuri padang pasir dan relung-relung bukit-bukit batu panas beratus-ratus kilometer hingga sampai ke Yatsrib (Madinah). Sungguh suatu perjuangan yang teramat berat untuk sebuah perubahan (hijrah), perjuangan untuk tetap survive dalam sebuah keyakinan (Islam), dan keteguhan hati dalam suatu komitmen untuk mengubah peradaban umat manusia sebagai amanah kerasulannya. Beratnya tantangan Rasulullah yang ‘hadir’ saat menyaksikan pemandangan topografi wilayah ini adalah bagaimana sulitnya medan serta jauhnya jarak tempuh yang dilakukan oleh rombongan Beliau waktu itu, yang tentu saja sangat mustahil untuk kita lakukan pada saat ini, meskipun pikiran ‘gila’ untuk sekali waktu (nanti) dapat melakukan napak-tilas perjalanan hijrah Rasul ini terbersit juga di hati saya yang entah kapan itu bisa saya wujudkan.

Kedua, pelayanan prima yang mengesankan dari para panitia setempat sungguh kami rasakan sangat luar biasa. Untuk satu bus jama’ah, setidaknya ada tiga orang panitia yang menamani perjalanan kami. Sikap yang ramah dan tulus lebih kami rasakan dalam kebersamaan kali ini. Panitia yang notabene pada waktu persiapan keberangkatan sudah begitu sibuk mengurusi segalanya, pengaturan seat, bagasi dan sebagainya, namun dalam perjalanan ini masih terlihat tegar untuk memanjakan para jama’ah dengan berbagai pelayanan. 

Saya memiliki kesan tersendiri pula sepanjang perjalanan ini. Saya yang semula membayangkan petugas/panitia yang melayani ini adalah mereka yang berpakaian layaknya kurir, atau paling tidak sama dengan security sebagaimana waktu di hotel, namun ternyata adalah pemuda-pemuda tampan berpakaian gamis putih lengkap dengan serban merah dan egal  layaknya pejabat-pejabat Arab Saudi. Waktu di hotel saya sedikit menaruh hormat pada mereka, karena saya memandang mereka seperti syekh-syekh yang alim di negara saya, dan memang betul sebagian besar mereka ternyata sangat memahami kaidah-kaidah agama dengan sangat baik, ahli tafsir dan bahkan ada yang qari’, untuk itu saya berasa agak sungkan ketika berurusan dengan ‘beliau-beliau’ itu. Namun ketika perjalanan darat dari Makkah ke Madinah ini, hal itu kemudian mencair dan membuat saya sangat haru ; mereka dengan setia memenuhi segala keperluan jama’ah dan betul-betul ikhlash melayani, sekecil apapun keperluan itu. Selama di perjalanan merekalah yang langsung membagikan snack, buah serta minuman di setiap jarak waktu tertentu. Mendekati separo perjalanan, pada waktu mereka menawarkan pilihan snack pada jama’ah, saya sempat bertanya kepada salah seorang, apakah keripik ketela yang tadi masih ada?, (karena snack itu sangat saya sukai diantara cemilan yang tersedia lainnya). Beliau menjawab, wah sayangnya yang itu sudah tidak ada lagi!, tapi bila antum menginginkannya, insyaAllah nanti akan saya belikan, lalu saya cepat-cepat menjawab, la,…la ba`sa, …ya sudah, kalau begitu tidak usah saja, tidak apa-apa!, kira-kira begitu jawaban saya dengan bahasa Arab yang terbata-bata. Beberapa menit setelah itu, bus kamipun berhenti di sebuah tempat peristirahatan di tengah padang pasir, dimana terdapat sekelompok bangunan dengan beberapa toko, masjid (saya lupa nama masjidnya), dan beberapa fasilitas lain seperti tempat pengisian premium dan juga terminal truk. Kami melakukan shalat Zhuhur di masjid ini sembari berehat seperlunya. Saat kembali ke bus untuk melanjutkan perjalanan, dan saat ransum makan siang akan dibagikan, tiba-tiba panitia yang sebelum pemberhentian sempat dialog dengan saya tadi lalu mendekati saya dan memberikan sebungkus besar keripik ketela yang tadi saya tanyakan, saya kaget, subhanAllah!, ternyata dia tetap memenuhi permintaan saya itu, meski sebelumnya saya sudah menolaknya.…. Saya sungguh sangat terkesan, dan benar-benar sungkan sekali pada waktu ini, saya sangat terharu dengan gaya pelayanan seperti ini, saya hanya bisa berucap alhamdulillah dan sangat berterimakasih kepada panitia yang baik hati ini, rupanya ia sengaja membelikan keripik ketela untuk saya sewaktu di pemberhentian tadi. Di sinilah, bayangan tentang ‘orang Arab kaya dan sedikit angkuh’ sebagaimana sebelumnya ada di benakku, benar-benar menjadi luntur pada waktu ini…. Subhanallah!


Memasuki kota Madinatul Munawwarah menjelang Ashar, bus kami memutar seperti mengelilingi kota Madinah.  Entah karena sopir yang keliru mengambil jalan atau memang disengaja memberi kesempatan kepada jama’ah untuk melihat-lihat kota secara keseluruhan, yang pasti, kami para jama’ah sangat terpuaskan dengan keadaan ini. Dari kejauhan sudah terlihat Masjid An-Nabawi terbentang luas dengan megahnya seakan mengucapkan selamat datang kepada kami. Di kota inilah pemerintahan Islam pertama didirikan dengan segala suka-duka yang  dialami oleh Rasulullah di zamannya. Di kota ini, … ya kota yang tentunya belum seluas dan seindah yang kami saksikan sekarang….subhanAllah walhamduliLlah. ......(bersambung) 

© Irhash A. Shamad

Maklumat

Maklumat
 
Support : Pandani Web Design
Copyright © 2009-2014. Irhash's Cluster - All Rights Reserved
Template Created by Maskolis
Proudly powered by Blogger