Home » , » Islam dalam Sistem Politik Kerajaan Minangkabau

Islam dalam Sistem Politik Kerajaan Minangkabau

Written By Irhash A. Shamad on 02 Februari 2009 | 23.00

Dalam “Naskah Ulakan”, sebagaimana dikutip oleh Syafnir Abu Nain, dikemukakan tentang upaya Syekh Burhanuddin dan Orang nan Sebelas Ulakan pergi berunding ke pusat kerajaan Pagaruyung untuk mendapatkan legitimasi bagi kalangan ulama untuk mengajarkan Islam di seluruh wilayah Minangkabau. Perundingan, yang dikenal dengan “Sumpah Satie Bukik Marapalam” ini, menjadi monumental, ketika hal itu dianggap sebagai awal perpaduan antara Islam dan adat Minangkabau dan melahirkan konsensus Adat basandi Syara’ Syara’ basandi Adat. Kenyataan ini perlu dilihat secara lebih teliti, mengingat bahwa pada waktu kedatangan rombongan Syekh Burhanuddin ke Pagaruyung itu, sebenarnya Islam sudah bersepadu dengan adat Minangkabau, bahkan sudah menjadi bagian dari struktur kekuasaan kerajaan Pagarruyung sendiri, yaitu dengan adanya struktur yang disebut Basa Ampek Balai, sebagaimana diungkapkan dalam Naskah Ulakan sendiri :

...Berkat kekuasaan Allah SWT akhirnya didapatlah keputusan untuk pergi ke Pariangan Padang Panjang terus ke Sungai Tarab menemui Basa Ampek Balai dan langsung menghadap Daulat Yang Dipertuan Pagaruyung, karena walaupun Orang nan Sebelas ini sudah faham namun tiada jua artinya jika dibawah saja yang jernih sedangkan di atas masih keruh... (dikutip dari Syafnir Abu Nain, 1991, “Sumpah Satie di Bukit Marapalam : Perpaduan Adat dengan Syarak”, makalah, Padang : Fakultas Sastra Universitas Andalas).

Struktur Basa Ampek Balai di Minangkabau adalah dewan menteri yang berada di bawah Yang Dipertuan Raja Alam Pagaruyung. Dewan ini terdiri dari : Bandaro Titah di Sungai Tarab sebagai Perdana Menteri, Tuan Kadi di Padang Gantiang yang membidangi urusan keagamaan, Indomo di Saruaso dalam urusan keuangan, dan Makhudum di Sumanik yang mengurusi soal pertahanan dan daerah rantau (Mansoer, : 64-65 ; Parlindungan, 523-25). Jadi, bila keterangan dalam Naskah Ulakan itu adalah benar, maka seyogianya dapat disimpulkan bahwa pada waktu Syekh Burhanuddin bersama Urang nan Sebelas Ulakan datang ke Pagaruyung, Islam sudah masuk ke dalam struktur kekuasaan Pagaruyung. Kesimpulan ini didasarkan atas sebutan struktur dewan menteri yang disebut dengan Tuan Kadi (Arab = Qadhi) sebagai struktur yudikatif yang satu-satunya ada dalam terminologi agama Islam.

A.A. Navis cendrung berpendapat bahwa struktur Basa Ampek Balai telah ada dalam masyarakat tradisional Minangkabau pra-Islam. Menurutnya struktur Tuan Kadi di Padang Gantiang tidak termasuk di dalamnya, akan tetapi yang ada hanyalah Tuan gadang di Batipuh (A.A. Navis, 1984:17). Akan tetapi Hamka (1967) dalam bukunya Ayahku mengatakan bahwa struktur Tuan Gadang di Batipuh tidak termasuk Basa Ampek Balai, tetapi kedudukannya disamakan dengan Basa Ampek Balai, karena hanya sebagai Panglima Besar peperangan (Hamka,1967: 20). Dalam kaitan ini penulis cendrung menggunakan pendapat yang kedua, karena disamping A.A. Navis tidak menyebutkan sumber dan hanya perkiraan semata, pendapat kedua lebih cocok seperti apa yang termuat dalam beberapa tambo Minangkabau.

Dalam naskah MuballighulIslam (ditulis oleh Imam Maulana Abdul Manaf,tt. Selanjutnya disebut : MI)juga dikemukakan tentang upaya pengislaman pembesar kerajaan Pagaruyung yang dilakukan oleh Syekh Burhanuddin, seorang ulama Arab yang bermukim dan mengembangkan Islam di Kuntu Kampar Minangkabau Timur (disebut : Syekh Burhanuddin Kuntu), sebagaimana yang dikemukakan terdahulu. Ia datang mengunjungi kerajaan Pagaruyung dalam rangka meluaskan da’wah Islam dan mengajak raja bersama keluarga kerajaan untuk masuk Islam. Peristiwa ini terjadi beberapa abad sebelum kedatangan rombongan Syekh Burhanuddin Ulakan ke Pagaruyung.

Setelah sepuluh tahun beliau tinggal di Kuntu yaitu setelah agama Islam kuat di situ, maka dalam tahun 610 Hijrah berangkatlah Syekh Burhanuddin dengan beberapa orang murid beliau menuju Pagarruyung Minangkabau juga menjadi pusat kekuatan agama Hindu dan Budha. Kedatangan beliau beserta rombongan diterima dengan ramah tamah oleh Raja Pagarruyung beserta pembesar-pembesar kerajaan. Setelah beberapa hari menjadi tamu kerajaan, maka Syekh Burhanuddin menyampaikan tujuan dan maksud dari kedatangan beliau itu yaitu hendak mengajak Raja Pagarruyung beserta pembesar-pembesar kerajaan untuk memeluk agama Islam. Mendengar keterangan dari Syekh Burhanuddin dengan perkataan yang halus maka tertariklah hati Raja kepada ajakan Syekh Burhanuddin itu, lalu diterimalah oleh Raja beserta pembesar-pembesar kerajaan ajakan beliau itu, maka memeluk agama Islamlah Raja Pagarruyung dan Besar Empat Balai beserta pembesar-pembesar kerajaan. Tidak beberapa hari kemudian setelah menyampaikan maksudnya kembalilah Syekh Burhanuddin ke Kuntu beserta rombongannya (Naskah MI, tt : 98)

Bila apa yang dikemukakan dalam naskah yang disebutkan terakhir ini dapat dianggap bernilai historis, maka diketahui bahwa struktur Basa Ampek Balai sebenarnya juga sudah terdapat dalam struktur kerajaan Pagaruyung sebelum kedatangan Syekh Burhanuddin Kuntu (pada tahun 610 H/1214 M.) itu. Akan tetapi, kesimpulan ini tentu masih bersifat fakta hipotesis, karena boleh jadi penyalin dan penyadur naskah Muballighul Islam (MI) pada bagian ini tidak terlalu mempersoalkan tentang pihak pembesar kerajaan yang ditemui, tetapi lebih dipengaruhi oleh cerita kunjungan Syekh Burhanuddin Ulakan sebagai yang menjadi perhatian paling banyak dan utama pada naskah ini.

Apa yang dapat disimpulkan dari kedua sumber ini, paling tidak, fakta bahwa konversi kalangan bangsawan Minangkabau terhadap Islam telah berlangsung sebelum Syekh Burhanuddin Ulakan. Ini diperkuat dengan apa yang dikemukakan oleh Christine Dobbin bahwa pada waktu terjadi perang saudara di Minangkabau setelah wafatnya Aditiawarman, keluarga Raja pindah ke daerah-daerah di antara Buo dan Sumpur Kudus. Keluarga raja menetap di berbagai tempat di lembah-lembah Sinamar dan Sumpur, juga di daerah yang dulu disebut dengan Pagarruyung (dekat Kumanis di mana sungai Sinamar biasa dilayari perahu dagang ke Inderagiri). Pada waktu tinggal di sinilah keluarga raja berhubungan dengan pedagang muslim dan Sumpur Kudus dianggap paling awal memeluk agama Islam, karena adanya sungai Kampar dan Inderagiri yang ramai untuk perdagangan dalam masa kejayaan kesultanan Malaka(Dobbin, 1992:74). Peristiwa ini diperkirakan terjadi pada akhir abad ke 14, dan berarti beberapa abad sebelum kedatangan Syekh Burhanuddin Ulakan sebagai telah disebutkan terdahulu.

Struktur pemerintahan Kerajaan Pagaruyung di masa Adityawarman sangat sulit diketahui secara lengkap karena kurangnya sumber-sumber yang dapat ditemukan, kecuali itu peninggalan-peninggalan berupa prasasti yang ditemukan di beberapa daerah pedalaman. Akan tetapi prasasti-prasasti tersebut tidak banyak mengungkapkan tentang struktur pemerintahan yang diberlaku-kan. Dari penafsiran yang telah dilakukan oleh para paleograph, prasasti yang dianggap peninggalan Adityawarman itu pada umumnya menerangkan tentang kegiatan-kegiatan ritual keagamaan semata dan itupun masih mengandung banyak teka-teki. Namun demikian, stuktur kekuasaan kerajaan Minangkabau barulah sedikit agak lebih jelas setelah munculnya tambo-tambo. Tambo-tambo tersebut pada dasarnya adalah penyalinan dan penyalinan kembali tradisi-tradisi lisan Minangkabau yang dilakukan setelah Islam masuk dan memperkenalkan budaya tulis menulis. Dalam tambo Pagaruyung misalnya, terdapat silsilah raja-raja Pagaruyung mulai dari Adityawarman, Ananggawarman, Sultan Bakilap Alam, Sultan Parsambahan, Sultan Alif, Sultan Muning I, Sultan Patah (Sultan Muning II), Sultan Muning III, Sultan Sembahyang dan seterusnya (Pemda Padang, 1970 : 34)

Bila apa yang dikemukakan oleh Tambo Pagaruyung ini dapat diterima, maka dapat dipastikan bahwa setidaknya corak Islam telah mewarnai struktur kekuasaan di Pagaruyung sejak raja ke-3 yaitu Sultan Bakilap Alam. Asumsi ini didasari oleh gelar Sultan yang sudah digunakan untuk mengawali nama raja. Masa kekuasaan Adityawarman sebagai raja pertama dimulai pada tahun 1339 sampai 1376, tentulah raja yang menggantikannya (Ananggawarman) mulai berkuasa pada 1376. Berapa lama Ananggawarman men-duduki singgasana kerajaan, tidak ada keterangan yang pasti. Namun, dari urutan itu dapat diperkirakan bahwa raja penggantinya (Sultan Bakilap Alam) itu, naik tahta pada paruh pertama abad ke-15.

Dalam hirarki kerajaan Pagaruyung, terdapat pula suatu struktur yangmembawahi Basa Ampek Balai, yaitu Rajo Tigo Selo (Raja Tiga Tahta). Struktur ini terdiri dari : Pertama : Rajo Alam sebagai Yang Dipertuan Minangkabau yang berkedudukan di Pagaruyung. Ia memegang struktur tertinggi. Kedua, Rajo Adat sebagai pemegang kekuasaan di bidang adat yang berkedudukan di Buo, dan ketiga Rajo Ibadat sebagai pemegang kekuasaan dalam bidang agama dan berkedudukan di Sumpur Kudus (Taufik Abdullah dalam : Claire Holt (ed.), 1972 :198). Tentang Struktur kekuasaan ini tidak banyak bukti tertulis yang dapat diperpegangi, sehingga sulit menentukan dengan pasti kapan terbentuknya struktur Rajo Tigo Selo, demikian juga Basa Ampek Balai itu. Beberapa analisa menyebutkan bahwa kedua struktur itu dibentuk secara bersamaan. Sebagaimana diceritakan dalam tambo-tambo, bahwa penobatan dan pelantikan Rajo Tigo Selo dan Basa Ampek Balai dilaksanakan sejalan dengan pengangkatan dan pengiriman Sultan nan Delapan ke rantau Minangkabau, yaitu : Aceh, Palembang, Tambusai, Rao, Sungai Pagu, Bandar Sepuluh, Siak Sri Indrapura, dan Rembau Sri Menanti. Pelantikan dan pengiriman ini dilakukan oleh Rajo Alam yaitu Sultan Bakilap Alam. Bila pemberitaan ini dapat diterima, maka diperkirakan bahwa pembentukan struktur itu dalam sistem kekuasaan Pagaruyung diperkirakan setelah tahun 1409 (Martamin dkk., 1978: 42).

Dengan demikian, bila dihubungkan dengan apa yang kita kemukakan terdahulu tentang Sultan Bakilap Alam, maka dapat diperkirakan bahwa di masa pemerintahan Sultan Bakilap Alam, Islam telah mewarnai struktur kekuasaan di Minangkabau. Sumpur Kudus sebagai tempat kedudukan Rajo Ibadat adalah logis, karena daerah inilah yang diperkirakan paling awal berhubungan dengan pedagang-pedagang muslim, sebagai telah diuraikan terdahulu. Mungkin bukan sebagai sebuah kebetulan pula, bahwa munculnya kesadaran berdemokrasi di kalangan rakyat Minangkabau setelah terjadinya pertempuran Padang Sibusuk 1409, yang ditandai dengan berakhirnya sistem kekuasaan yang sentralistis di Minangkabau, adalah bagian yang tidak terpisahkan dengan masuknya unsur-unsur baru itu, yaitu Islam. Pernyataan terakhir ini baru berupa asumsi awal dan mungkin memerlukan penelitian tersendiri untuk mengetahui lebih jauh tentang keterkaitan itu.

Perubahan sistem kekuasaan kerajaan Pagaruyung dari sentralistis menjadi demokratis pada awal abad ke 15, telah menjadikan nagari-nagari yang ada di wilayah inti (luhak yang tiga) memiliki otonomi yang penuh dan tidak terkait secara struktural dengan pusat kekuasaan. Mereka bebas menentukan diri sendiri di bawah kepemimpinan penghulu-penghulu mereka sesuai dengan kelarasan yang mereka anut. Hubungan nagari-nagari dengan pusat kerajaan lebih hanya bersifat kultural, kecuali itu pada aspek-aspek yang menyangkut sengketa nagari yang diteruskan penyelesaiannya kepada Basa Ampek Balai pada aspek yang menjadi kewenangannya. Di nagari-nagari terbentuk pemerintahan otonom di bawah penghulu-penghulu suku yang dipilih secara primus interpares dengan di dampingi oleh manti (urusan pemerintahan umum), dubalang (urusan keamanan), dan malin (urusan keagamaan).

© Irhash A. Shamad


Sumber : Irhash A. Shamad, 2007, Islam dan Praksis Kultural Masyarakat Minangkabau, Jakarta : PT. Tintamas Indonesia, Bagian II


Share this article :

+ comments + 5 comments

Anonim
5 Februari 2009 pukul 21.27

Kesadaran berdemokrasi muncul di Minangkabau setelah peristiwa Padang Sibusuk. Juga di antaranya disebabkan kemunculan unsur-unsur baru, yaitu Islam.

Tesis yang menarik.

Pertanyaannya, menjadi pilihan politik yang dominan-kah sistem demokrasi dalam dunia islam secara luas ketika itu, di awal abad ke-15 itu? Jika di pusat Islam sendiri, sistem politik yang menjadi mainstream adalah monarki absolute, dapatkah daerah-daerah pinggiran seperti Nusantara dikatakan menjadi berdemokrasi karena mendapat pengaruh Islam--yang di pusat kekuasaan poltiknya tak begitu "suka" demokrasi?

Atau, pertanyaan lain, tidak dikenalkah kalau begitu sistem demokrasi dalam sistem politik Minangkabau sebelum peristiwa Sibusuk, atau sebelum Islam masuk ke Minangkabau?

Siapa yang tahu kondisi sistem politik Minangkabau sebelum Adityawarman datang ke daerah itu dan mengangkat diri menjadi raja... Sistem monarki absolute-kah atau telah memiliki kesadaran berdemokrasi?

Sejak kapan nagari-nagari terbentuk dan bertindak secara otonom tanpa bertanggung-jawab pada raja alam? Betulkah Adityawarman yang mempopulerkan istilah "Raja Alam". Tidakkah istilah itu telah ada ketika atau dilekatkan pada diri kakek-buyut Adityawarman saat Minangkabau masih merupakan kerajaan Malayu yang berada di bawah otoritas Sriwijaya.

weheheh, terlalu banyak pertanyaan Pak.

Numpang lewatttt....

Salam

8 Februari 2009 pukul 01.29

@Deddy Arsya :
Terima kasih atas komentarnya, …. soal pengaruh Islam terhadap munculnya gagasan demokrasi di Minangkabau sebagai yang diasumsikan itu, sesungguhnya didasarkan pada interpretasi terhadap beberapa fakta kesejarahan semata,… belum merupakan tesis lo !…, kalo tesis itu kan sudah kesimpulan namanya. Disini, kita agaknya sepakat untuk mempertanyakan hal itu. Fakta yang diinterpretasi itu begini, ….pertama : benih demokrasi bersumber dari adanya prinsip egaliter, suatu prinsip yang telah diajarkan dalam doktrin Islam sejak awal. Islam mengajarkan bahwa yang membedakan manusia itu adalah tingkat ketaqwaannya, karena itu, dalam Islam tidak dikenal adanya penjenjangan sosial (kasta). Kedua : Para pedagang Arab yang lalu lalang di perairan Nusantara bukanlah para bangsawan, tetapi pedagang dari rakyat kebanyakan atau umat Islam yang telah mengenal Islam secara murni, tanpa bias politik. Ketiga : kenyataan sosial Minangkabau dan di hampir semua wilayah pesisir yang dikunjungi adalah masyarakat Hindu atau Budha yang menerapkan perinsip kasta. Alasan ini pulalah yang menyebabkan kenapa ajaran Islam lebih dapat diterima oleh rakyat jelata, sehingga proses konversinya berlangsung damai. Jadi asumsi ini dikemukakan karena, kebetulan gerakan otonomi nagari di Minangkabau muncul setelah Islam dikenal oleh rakyat di nagari-nagari.
Menyangkut soal bahwa di pusat Islam yang lebih dominan monarchi absolute, belum dapat menjadi alasan bahwa perkembangan ajaran Islam di luarnya harus mengacu ke pusat Islam itu sendiri, terutama dalam soal implementasi ajaran itu terhadap sistem politik yang harus dijalankan. Hal itu sangat bergantung kepada latar budaya masyarakat di mana Islam itu diperkenalkan. Beberapa fakta sejarah juga menunjukkan bahwa pengenalan Islam melalui jalur bangsawan, biasanya melahirkan kekuasaan yang monarchis, sementara pengenalan melalui jalur rakyat biasa akan mendorong sistem politik yang demokratis…. yang ini juga masih bersifat asumsi.
Adityawarman berasal dari keluarga kerajaan Majapahit yang datang ke Sumatera pada tahun 1340 (sebelum ia menjadi raja Minangkabau tujuh tahun berikutnya 1347) dalam rangka penguasaan daerah-daerah pengekspor emas, terutama ke wilayah-wilayah pembayar upeti ke kerajaan Majapahit. Kekuasaan Majapahit dan kerajaan-kerajaan di Jawa pada umumya adalah kerajaan dengan sistem monarchi, dapatkah kita menduga bahwa Adityawarman sudah mengenal demokrasi? agaknya mustahil ya… Sementara itu situasi Minangkabau sebelum Adityawarman, memang agak gelap, karena tidak banyak bukti-bukti sejarah yang dapat memberi petunjuk, apalagi untuk mengetahui sistem politik yang dijalankan. Yang pasti, Adityawarman telah memperkenalkan agama Budha sekte Bhairawa di kerajaannya Minangkabau, sementara dikalangan penduduk umumnya menganut Hindu…ya … yang dengan system kasta itu ! atau mungkin sebagian telah menganut Islam, terutama penduduk yang hidup di wilayah jalur dagang sungai inderagiri yang mengalir menuju ke selat Malaka.
Setelah peristiwa Padang Sibusuk 1409, nagari-nagari Minangkabau diperkirakan tidak lagi terkait secara struktural dengan sistem politik kerajaan, keterkaitan itu hanya bersifat kultural semata, namun bila terjadi sengketa antara nagari-nagari, maka penyelesaian akhirnya tetap pada pusat kekuasaan Pagaruyung.
Wallahu a’lamu bishshawab.
Maaf, jika jawaban-jawaban yang diberikan belum memuaskan, karena pengungkapan sejarah Minangkabau -hingga saat ini- diakui masih banyak yang diliputi misteri, karena kurangnya sumber, mudah-mudahan diskusi ini dapat memancing penelitian-penelitian lebih lanjut.

Anonim
2 Maret 2009 pukul 01.38

Salam Pak

Semoga bapak dan keluarga sehat dan selalu dalam lindungan Allah SWT...

Pertanyaan saya kali ini:

Jika kemunculan unsur-unsur Islam di Minangkabau, mendorong (untuk tidak mengatakan mneciptakan) kesadaran berdemokrasi dalam masyarakat Minangkabau, pertanyaannya, seberapa efektif unsur-unsur Islam tersebut membuat asumsi itu menjadi mungkin. Pertanyaan ini saya ajukan karena, hal yang sama tidak terjadi di pulau Jawa. Meskipun para Wali (yang diasumsikan beberapa sejarawan itu keturuan China) telah menyebarkan Islam secara luas, sifat sentralistik-feodal masyarakat Jawa pra-Islam tetap berlanjut. Hal itu bisa dilihat pada negara-negara Islam di Jawa dari Demak sampai ke Mataram Islam, tetap memegang teguh sistem feofalis-sentralistik zaman sebelumnya.

Adakah kemungkinan lain, bahwa logal-genius, orang Minangkabau sendiri(sebelum Islam) lah yang mengantarkan mereka pada kesadaran berdemokrasi, tidak melulu pengaruh dari kekuatan luar seperti Islam...?

Persoalan berikutnya, mengenai peristiwa Padang Sibusuk yang juga turut membantu masyarakat Minangkabau (yang sebelumnya tidak memiliki kesadaran berdemokrasi, karena merupakan penganut Hindu-Budha) menuju kesadaran berdemokrasi. Seberapa berpengaruhnya peristiwa itu sehingga mampu merubah struktur masyarakat Minangkabau?

Pertanyaan lain pula: jika dikatakan, orang Minang sebelum Islam tidak begitu memiliki kesadaran berdemokrasi, karena merupakan penganut Hindu-Budha yang memiliki sistem kasta-kasta yang tak memungkinkan bagi terlaksannya kesadaran demokrasi. maka, seberapa besar kemungkinan kalau masyarakat Minangkabau benar-benar penganut agama HIndu-Budha secara luas. Tidakkah agama Budha Mahayana hanya dianut oleh orang-orang dari kelas tertentu saja, dalam hal ini kaum bangsawan. Lalu bagaimana peran Cenayang (orang-orang tertentu, pilihan, yang dianggap mampu menghubungkan dunia-orang-hidup dengan dunia-orang-mati; pemimpin spritual dinamis-animisme) dalam masyarakat Minangkabau pra Islam? Kalau tidak salah, Dobbin pernah menyinggung tentang peran Cenayang-cenayang dalam masyarakat Minangkabau bersamaan dengan masa yang dikatakan sebagai masa Hindu-Budha di Minangkabau. Cenayang ini, tentu bukan penganut Hindu maupun Budha, berpengaruh besar sebagai pemimpin spritual dalam struktur kekuasan di Minangkabau, di samping peran penghulu.

heheheh....

jadi ke mana-mana Pak...
Mudah-mudahan bapak tidak bosan...
Terimakasih sudah mau berdiskusi...

Salam

12 Maret 2009 pukul 19.25

@ Deddy Arsya
Ada perbedaan mendasar basis kultural antara masyarakat Minangkabau dengan masyarakat Jawa yang bersumber dari perbedaan letak geografis keduanya. Masyarakat Minang, seperti juga masyarakat Melayu sumatera dan semenanjung Malaya, adalah masyarakat kosmopolit dan terbuka bagi dunia luar, karena terletak di lintas perdagangan dunia. Masyarakat di sini, semenjak lama, lebih membuka diri terhadap unsur-unsur luar dan lebih cepat beradaptasi terhadap perubahan dibanding dengan masyarakat Jawa. Kondisi ini dianggap sebagai sebab kenapa masyarakat Minangkabau lebih mudah menerima Islam dan unsur-unsur budayanya dan lalu membuang unsur-unsur lama, bila unsur-unsur baru itu dinilai lebih baik dari yang lama. Namun ini tidak lalu berarti bahwa Islam berkembang secara radikal dengan menyingkirkan unsur kebudayaan setempat. Hal ini terbukti dari terdapatnya unsur-unsur kebudayaan-kebudayaan pra Islam yang masih tetap diakomodasi oleh Islam di wilayah ini pada masa-masa sesudahnya. Apa yang dikemukakan sangat berbeda dengan masyarakat Jawa yang lebih tertutup dan sejak lama jauh dari pengaruh lalu lintas perdagangan (peradaban) asing. Masyarakat disini dapat mengakomodasi unsur-unsur baru, namun sulit untuk membuang yang lama. Inilah sebabnya kenapa peralihan-peralihan dari Hindu ke Budha atau kemudian ke Islam melahirkan sinkretisme. Perbedaan basis kultural inilah yang juga kemudian menjadi alasan kenapa gagasan-gagasan pembaharuan lebih dapat berkembang subur di Sumatera (Minangkabau) dibanding di Jawa sendiri.
Apa yang dikemukakan, bila dihubungkan dengan munculnya kesadaran berdemokrasi di Minangkabau, dapat dikatakan bahwa causal factor kesadaran berdemokrasi itu bersumber dari Islam, namun kondisi ini diuntungkan oleh basis budaya masyarakatnya yang terbuka, sedangkan di Jawa adalah sebaliknya. Dengan demikian, sulit untuk disimpulkan sebaliknya, yaitu bahwa seandainya Islam tidak masuk, kesadaran berdemokrasi tetap akan muncul dari local genius masyarakat Minangkabau pada waktu itu. Wallahu a’lamu bishshawab.
Terima kasih dan maaf atas keterlambatan respon terhadap komen yang dikirim.

Anonim
12 Maret 2009 pukul 23.33

hehehe...

thank you pak

saya cari dulu tandingan komen bapak yang terakhir ini

Posting Komentar

Maklumat

Maklumat
 
Support : Pandani Web Design
Copyright © 2009-2014. Irhash's Cluster - All Rights Reserved
Template Created by Maskolis
Proudly powered by Blogger