Home » , , » Elit Politik Lokal dan Kerusakan Sistem Internal Di Daerah ; Sumatera Barat di Masa Orde Baru

Elit Politik Lokal dan Kerusakan Sistem Internal Di Daerah ; Sumatera Barat di Masa Orde Baru

Written By Irhash A. Shamad on 23 Februari 2009 | 12.22

Pendahuluan
Diberlakukannya Undang-Undang No.5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa (UUPD) merupakan upaya penyeragaman sistem pemerintahan di masa Orde Baru, namun pelaksanaannya lebih dirasakan sebagai upaya detradisionalisasi di tingkat lokal. Di Sumatera Barat, pemberlakuannya telah menimbulkan berbagai ekses negatif karena sangat kontroversi dengan tradisi lokal. Program ini, secara mendasar dan drastis, telah merombak tatanan sosial tradisional yang telah mapan dan berakar cukup lama. Hak-Hak prerogatif dari kepemimpinan adat dalam struktur kepemimpinan nagari yang selama ini berakar dalam tradisi kultural masyarakat, menjadi termarjinalkan dengan dijalankannya sistem pemerintahan formal secara efektif sampai ke tingkat bawah. Marjinalisasi ini pada dasarnya telah meruntuhkan penyangga kelestarian budaya lokal, sekaligus berakibat pula terhadap rusaknya berbagai sistem internal di daerah. Karenanya program ini lebih terlihat sebagai intervensi politik pusat terhadap daerah ketimbang keinginan-keinginan untuk memacu pembangunan masyarakat di wilayah pedesaan.

Intervensi politik sebagai dikemukakan itu telah memperlihatkan kecendrungan negatif dari model hegemoni pemerintahan pusat atas daerah dan sekaligus telah memperlemah resistensi kebudayaan lokal sendiri. Ironinya adalah program ini justru dijalankan melalui tangan-tangan pemimpin regional sendiri yang tanpa ada kemampuan –dan mungkin kemauan-- untuk melindungi identitas, kepentingan dan kemandirian etnis mereka sendiri. Sehingga sistem kepemimpinan ideal dan demokratis yang semenjak lama telah diterapkan pada sistem kepemimpinan nagari dengan pola bottom-up, akhirnya menjadi rusak akibat dileburnya nagari menjadi desa-desa dengan sistem kepemimpinan yang berorientasi top-down. Perubahan struktural ini pada gilirannya telah membawa implikasi terhadap berbagai aspek dari sistem sosial di daerah ini. Hal yang dianggap dilematis di sini ialah kerusakan sistem internal disebabkan oleh perubahan prilaku politik kepemimpinan daerah, sementara perubahan prilaku itu sendiri sebenarnya juga adalah akibat dari telah melemahnya sistem internal itu sendiri. Keadaan ini terlihat sebagai "lingkaran setan" yang saling merupakan sebab dan akibat.

Dari kenyataan-kenyataan yang dialami Sumatera Barat sebagai bagian dari sistem pemerintahan nasional serta beberapa permasalahan kultural yang dihadapinya, dapat diasumsikan bahwa kerusakan sistem internal dan nilai-nilai sosial masyarakat di daerah ini setidaknya sangat ditentukan oleh dua hal, pertama : model hegemoni sistem politik pusat yang terlalu kuat terhadap daerah, sehingga tidak tersedia “ruang gerak” bagi kreatifitas lokal untuk menjaga kemandirian etnik mereka. Kedua : faktor komitmen elit kepemimpinan daerah sendiri dalam menyatukan peran fungsionalnya sebagai wakil pemerintahan pusat di daerah, dengan peran moralnya sebagai bahagian dari sistem internal daerah sendiri.

Menyangkut perubahan kultural dari sistem internal di Sumatera Barat seperti yang digambarkan itu, sejumlah pertanyaan dapat dimunculkan, diantaranya : bagaimana hubungan Pusat dan Daerah selama pemerintahan Orde Baru, model hegemoni yang dijalankan, serta kaitannya dengan proses kerusakan sistem dan nilai tradisional di daerah ini ? ; sebegitu jauh, apakah model hegemoni itu memang tidak menyediakan ruang bagi kreatifitas lokal untuk mengembangkan dan mempertahankan tradisi kulturalnya sendiri ? ; apakah perubahan sistem internal dan nilai-nilai sosial di Sumatera Barat dapat dilihat sebagai akibat dari hegemoni politik pusat semata atau adakah faktor-faktor internal yang juga ikut berperan? ; sejauhmanakah resistensi sosial terhadap perubahan-perubahan struktural yang terjadi ? ; dan apakah bentuk upaya yang dilakukan oleh elit kepemimpinan daerah dalam mengantisipasi kebijaksanaaan politik pusat, khususnya terhadap kebijaksanaan yang dianggap kontroversi dengan latar belakang sosial-kultural daerah ini ?

Pembahasan di seputar masalah elit sosial dan perubahan otoritas kepemimpinan tradisional di Sumatera Barat telah menjadi bahasan para ahli dalam beberapa dekade terakhir. Keberlanjutan otoritas kepemimpinan tradisional serta semangat demokrasi yang menjiwai sistem kepemimpinan itu, dasar ekonomis dari nagari dan kepemimpinannya, serta keterbukaan adat dalam menyerap perubahan-perubahan, telah memungkinkan sistem otoritas tradisional ini bertahan dan menyesuaikan diri dengan tuntutan birokrasi modern (Imran Manan, 1984 dan 1995). Latar belakang realitas sosial pasca PRRI yang "luluh lantak" secara politis dan ekonomis, telah mendorong elit politik di daerah, untuk memberi prioritas lebih pada 'pengembalian harga diri' dengan menempatkan faktor pertumbuhan ekonomi sebagai sasaran utama program yang dijalankan (Mestika Zed, 1998). Prilaku politik yang ditunjukkan oleh elit politik daerah di masa awal Orde Baru adalah merupakan bagian dari kepentingan regional mereka untuk terlepas dari tekanan politik pemerintah pusat (Ikhlasul Amal, 1982). Prilaku politik mana sekaligus merupakan gambaran dari pudarnya karakteristik intelektual Minangkabau yang menjadi ciri dinamika sosial kultural pada waktu-waktu sebelumnya. Perubahan ini disebabkan oleh kuatnya jaringan sentralisasi kekuasaan dan proses birokrasi yang kental dari rezim Orde Baru (Taufik Abdullah, dalam : Mestika Zed,1992 ; Ikhlasul Amal, 1992).

Pembahasan tentang kerusakan-kerusakan sistem internal di Sumatera Barat pasca UUPD 1979, setidaknya dapat dihubungkan dengan kesimpulan-kesimpulan tersebut. Namun untuk menentukan causal factor dari kerusakan itu sendiri, hemat penulis, penekanan terhadap faktor kekuatan eksternal (pemerintah pusat) saja, dirasakan tidak memadai, tanpa melihat faktor peran moral elit politik lokal sendiri, terutama bagaimana mereka menjalankan peranan sebagai perpanjangan tangan pemerintahan pusat di daerah, sementara mereka sekaligus adalah bagian dari sistem internal daerah sendiri. Karena itu, di sini penulis akan melihat faktor-faktor internal lokal itu sebagai salah satu faktor yang tak kurang pentingnya dalam perubahan-perubahan yang terjadi. Elit politik lokal, dilihat dari perspektif lokal adalah 'agency' yang juga memiliki kekuatan perubahan, terutama pada sisi ekspresi moral mereka dalam menampilkan prilaku politik dan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dikeluarkannya, terutama yang terkait dengan terpinggirkannya sistem kepemimpinan tradisional Nagari di Sumatera Barat.

Nagari sebagai Interest Sosial Masyarakat Minangkabau

Dalam struktur masyarakat tradisional di Minangkabau, nagari merupakan kesatuan sosial kultural yang holistik dengan berbagai perangkat tatanan sosial budaya. Selain itu ia juga merupakan kesatuan sosial genalogis dan territorial yang otonom, baik secara ekonomis, politis, maupun kultural. Secara genealogis, setiap nagari di Minangkabau terdiri dari kesatuan-kesatuan sosial seperti : samande (seibu) sebagai kesatuan sosial yang terkecil, kemudian saparuik (senenek), dan sasuku atau sekaum sebagai kesatuan genealogis tertinggi. Yang disebut terakhir ini merupakan kesatuan-kesatuan yang menjadi persyaratan utama terbentuknya sebuah nagari, dimana setiap nagari, sekurang-kurangnya terdiri dari empat suku.

Untuk menjaga kelangsungan jaminan ekonomi anak nagari, maka setiap kesatuan sosial nagari dilengkapi dengan hak properti atas tanah secara bertingkat, yaitu antara lain: ditingkat nagari disebut dengan hak ulayat nagari, ditingkat suku dengan hak ulayat suku, dan ditingkat kaum disebut dengan hak ulayat kaum. Hak ulayat ini merupakan kekayaan kolektif masing-masing tingkat yang dijaga menurut ketentuan adat. Kemandirian suatu nagari juga ditentukan oleh terpenuhinya beberapa persyaratan yang ditentukan seperti adanya: balai (balairung adat), musajik (mesjid), tapian (tempat pemandian), labuah (jalan raya), dan galanggang (gelanggang).

Hirarki kepemimpinan sosial masyarakat suatu nagari di Minangkabau juga dibentuk secara bertingkat berdasarkan aspek genealogis (suku) itu. Nagari sebagai organisasi politik tertinggi, kepemimpinannya dipegang seorang penghulu yang dipilih secara primus interpares di antara penghulu-penghulu suku yang ada.

Nagari, selain sebagai kesatuan genealogis, juga merupakan suatu kesatuan masyarakat hukum teritorial. Ia membawahi kampung-kampung sebagai unit teritorialnya, yang adalah juga merupakan unit genealogis. Setiap kampung dalam nagari dipimpin oleh seorang Tuo Kampuang, yang adakalanya juga sekaligus sebagai penghulu pada sukunya. Tuo Kampuang dan penghulu-penghulu suku yang ada duduk bersama dalam pemerintahan nagari dan secara bersama pula membicarakan serta memutuskan berbagai persoalan anak nagari, terutama yang menyangkut ketertiban, keamanan dan kesejahteraan mereka. Lembaga penghulu ini disebut dengan Kerapatan Adat Nagari .

Efektifitas dari mekanisme kepemimpinan nagari yang demokratis dan dasar sosiologis, ekonomis dan politis seperti yang dikemukakan itu, menjadikan otoritas tradisional ini tetap dipertahankan sebagai identitas kultural masyarakat di daerah ini. Resistensi sosial akan menguat, manakala muncul tantangan luar yang berupaya untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan fungsi sistem kepemimpinan nagari itu . Dalam kaitan ini, faktor birokrasi politik supra nagari (pemerintah daerah)--terutama setelah diperkenalkannya sistem birokrasi modern— sangat menentukan bagi keberadaan otoritas tradisional ini, karena berbagai kepentingan sistem politik supra nagari itu sangat mungkin akan berseberangan dengan realitas kultural tradisional masyarakatnya.

Elit Politik Lokal dan Eksistensi Nagari di Masa Orde Baru

a. Pemulihan Internal dan Pengukuhan Sistem Nagari

Sumatera Barat di awal Orde Baru dipimpin oleh salah seorang putra daerah, Harun Zain. Ia adalah seorang ekonom sipil yang tidak memiliki basis sosial di daerah ini, sementara kondisi daerah yang "terpuruk" akibat PRRI sangat memerlukan penanganan yang tepat. Namun demikian, program-program yang ia jalankan dalam rangka pemulihan kondisi sosial dan politik masyarakat di daerah ini ternyata berhasil menciptakan kerangka-kerangka fondasi-fondasi yang diperlukan sebagai landasan pembangunan ekonomi selanjutnya.

Faktor keberhasilan itu, selain ditentukan oleh strategi dan pendekatan yang baik terhadap masyarakat, juga sangat diuntungkan oleh adanya hubungan simbiosis antara daerah dan pemerintah pusat di awal pemerintahan rezim ini ; daerah membutuhkan bantuan dana pembangunan dari pemerintah pusat, sementara pusat sendiri memerlukan dukungan suara rakyat di daerah untuk mendapatkan legitimasi atas kekuasaannya. Karena itu, untuk upaya pemulihan kondisi perekonomian yang ia programkan, yang diperlukan hanya membangun appeal politik ke pusat kekuasaan, antara lain dengan cara meyakinkan rakyat di daerah ini untuk memberi dukungan kepada kekuatan politik Orde Baru sembari membenahi kehidupan ekonomi mereka. Harun Zain dinilai berhasil membangun kepercayaan pemerintah pusat yang ditandai dengan keberhasilannya menggaet dana pembangunan untuk pembangunan prasarana-prasarana yang sangat diperlukan sebagai fondasi pembangunan perekonomian selanjutnya . Sebagai imbalannya daerah inipun telah menyumbang suara terbanyak untuk Golongan Karya pada Pemilu 1971.

Beberapa program pemulihan internal telah dilakukan di masa awal kepemimpinannya ini. Pada tahun 1966 didirikan Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM). Meskipun organisasi ini pada pembentukan awalnya ditujukan untuk membersihkan kalangan ninik-mamak dan penghulu adat dari unsur partai komunis, namun tak kurang, masyarakat berharap bahwa lembaga ini akan dapat membangkitkan kembali identitas kultural mereka yang telah terabaikan semenjak Orde Lama. Kegairahan masyarakat mulai bangkit kembali. Beberapa kali seminar tentang adat dan budaya daerahpun mulai kembali diselenggarakan, setelah lebih dari sepuluh tahun sebelumnya terhenti .

Pada tahun 1968, untuk mengantisipasi kekosongan peraturan perundang-undangan tentang pemerintahan terbawah, pemerintah daerah mengeluarkan Keputusan tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari (SK.No.015/GSB/1968). Dengan keputusan ini, sistem pemerintahan nagari kembali dikukuhkan sebagai upaya penyelamatan sistem internal dari intervensi kekuatan eksternal seperti yang terjadi di daerah-daerah lain.
Meskipun terdapat sejumlah perbedaan dari sistem pemerintahan Nagari dengan sistem pemerintahan Nagari tradisional, namun tindakan penyelamatan yang dilakukan oleh pemerintah daerah Sumatera Barat pada waktu ini, setidaknya telah memberikan kembali hak-hak politik rakyat nagari serta hak untuk mengatur dan menyelenggarakan pemerintahan nagari. Pemerintahan Nagari ditegaskan kembali dalam rumusan S.K. itu sebagai berikut :
"Pemerintah Nagari adalah penguasa Nagari jang memimpin rakjat Nagari dengan membuat dan melaksanakan peraturan dan keputusan-keputusan Nagari, menjelenggarakan segala peraturan perundangan dari Pemerintah tingkat atasan serta usaha-usaha lainnja jang ditudjukan untuk mewudjudkan masjarakat adil dan makmur berdasarkan Pantja Sila.

Pada tahun 1974 Pemerintah Daerah kembali mengeluarkan Keputusan tentang Pokok-Pokok Pemerintahan nagari dalam Propinsi Daerah Tk.I Sumatera Barat. SK yang terakhir ini tidak banyak perbedaan dengan SK sebelumnya, namun posisi Kerapatan Nagari malah semakin diperkuat. Alat perlengkapan nagari sebagai pemerintahan nagari yang semula terdiri dari tiga unsur, yaitu : Wali Nagari, Dewan Perwakilan Rakyat Nagari dan Kerapatan Nagari, kini menjadi dua unsur, yaitu : Wali Nagari dan Kerapatan Nagari yang dinyatakan secara tegas bersama-sama merupakan Pemerintahan Nagari . Pengaturan ini semakin memperkuat posisi Kerapatan Nagari sebagai lembaga legislatif yang tidak lagi diketuai oleh Wali Nagari.

Upaya pemulihan internal seperti disebutkan terlihat lebih berorientasi sebagai "pengobat luka lama" ketimbang menawarkan resistensi kultural masyarakat di daerah. Ini dapat dilihat dari gagasan mendirikan LKAAM sebagai organisasi komunitas, yang sebenarnya lebih pada pertimbangan kepentingan pemerintah dari pada kepentingan komunitas itu sendiri. Berbagai seminar yang diselenggarakan, ternyata juga tidak banyak menghasilkan formula-formula bagi solusi kultural di daerah ini, karena wacana-wacana yang dikembangkan dalam seminar itu tidak terlalu menukik ke persoalan-persoalan esensial yang seharusnya menjadi interest utama pada komunitas. Demikian juga dengan pengukuhan sistem nagari yang semula dirasakan oleh masyarakat sebagai kembalinya hak-hak budaya dan politik rakyat yang sebelumnya terabaikan, namun kemudian mulai mendapat ganjalan oleh berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pusat.

Kemenangan kekuatan politik pemerintahan Orde Baru di Pemilu pertama 1971 secara nasional telah mempengaruhi kebijakan-kebijakan politik selanjutnya, terutama sekali terhadap penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Pada priode kedua kepemimpinan Harun Zain, beberapa kecendrungan intervensi pemerintahan Pusat terhadap daerah mulai pula memperlihatkan bentuknya. Ini ditandai dengan dikeluarkannya beberapa edaran Mendagri tentang pemekaran/pemecahan dan penyatuan desa, yaitu antara lain: No. Pem.2/3/35 tanggal 8 September 1976, No. Pem.2/1/14 tanggal 31 Januari 1977 dan penegasan terhadap surat-surat edaran itu No. Pem.2/2/29 tanggal 12 April 1977. Pemerintah daerah --yang sebenarnya sudah menyadari apa tujuan pemekaran desa tersebut--, berupaya untuk meyakinkan rakyat bahwa pemekaran desa itu tujuannya adalah sekadar untuk mendapatkan bantuan pemerintah pusat. Sedangkan unit pemerintahan terendah tetap berada pada Nagari .

b. Ambivalensi Pemerintah Daerah dan Leburnya Struktur Nagari

Program pembangunan ekonomi yang dirintis sejak masa Harun Zain telah memapankan struktur perekonomian masyarakat. Akan tetapi membaiknya struktur perkonomian masyarakat Sumatera Barat di masa kepemimpinan Azwar Anas yang menggantikannya, tidak mengurangi ketergantungan daerah pada pemerintahan pusat. Malah otoritas kekuasaan pusat pada waktu ini mulai menggerogoti hak-hak sosial komunitas di daerah, antara lain dengan diberlakukannya UU No.5 Tahun 1979.

Undang-Undang ini dikeluarkan sebagai upaya penyeragaman sistem pemerintahan sampai ke tingkat terbawah (pedesaan) di seluruh Indonesia. Akan tetapi di Sumatera Barat undang-undang ini tidak serta merta dapat diberlakukan, karena berbagai kendala sosiologis, diantaranya adalah kuatnya ketergantungan masyarakat terhadap kepemimpinan nagari. Pemerintah daerah sendiri (sepertinya) dibenturkan pada dua pilihan sulit, yaitu antara mempertahankan nagari dengan konsekuensi berkurangnya bantuan pusat dengan pemecahan nagari atau menjadikan Jorong (yang semula adalah wilayah administratif dari nagari) menjadi desa-desa.

Pilihan terakhir ini sebenarnya tidak diatur dalam UU.No.5 tahun 1979 yang mengharuskan nagari dipecah menjadi desa. Namun, karena sejak semula pemerintah daerah telah "berkecendrungan" pada pilihan kedua yang lebih menguntungkan secara ekonomis , maka diupayakan untuk mengulur waktu pemberlakuan UU tersebut dengan alasan ketidaksiapan masyarakat di daerah sembari melakukan upaya sosialisasi UUPD tersebut pada masyarakat.

Persoalan kerusakan sistem internal di Sumatera Barat yang terjadi di masa Orde Baru ini, pada dasarnya bukanlah semata-mata karena diberlakukannya Undang-Undang No.5 Tahun 1979, akan tetapi lebih disebabkan oleh kebijaksanaan yang diambil oleh pemerintah daerah dalam menetapkan Jorong sebagai unit pemerintahan terendah. Karena dengan kebijaksanaan itu, nagari sebagai kesatuan politik territorial-genalogis, menjadi terpinggirkan. Pada hal dalam Undang-Undang itu tidak dinyatakan secara tegas bahwa nagari sebagai unit pemerintahan terendah --seperti yang berlaku sebelumnya-- harus dipecah menjadi Desa-Desa sebagai yang dimaksud oleh UU tersebut. Bahkan dalam konsideran UU tersebut secara jelas memberi pertimbangan dengan "mengindahkan keragaman keadaan Desa dan ketentuan adat istiadat yang masih berlaku".

Yang dimaksud dengan desa dalam undang-undang ini "adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri" . Jadi, dengan penetapan Jorong sebagai Desa berarti beralihnya otoritas politik kepemimpinan nagari kepada Kepala Desa. Sedangkan Jorong --pada waktu sebelumnya-- adalah bahagian dari nagari dan tidak mempunyai otoritas pemerintahan, kecuali hanya sebagai pelaksana administrasi di tingkat bawah. Dengan demikian benturan kultural yang terjadi sebenarnya lebih banyak disebabkan oleh perubahan struktural itu. Meskipun implementasi UU tersebut dalam prakteknya kemudian juga mendatangkan berbagai implikasi kultural terhadap prilaku sosial di daerah.

Pada dasarnya keinginan pemerintah daerah untuk menetapkan jorong sebagai desa sudah terlihat sejak sebelum diberlakukannya undang-undang tersebut. Pada akhir tahun 1977, pemerintah pusat mengirimkan rancangan UU ini ke daerah. Untuk menanggapi semua butir yang terdapat dalam rancangan UU tersebut, pemerintah daerah segera mengadakan diskusi dengan unsur-unsur kepemimpinan sosial serta tokoh-tokoh intelektual di daerah . Diskusi ini bertujuan untuk mendapatkan masukan dari masyarakat, dan akan menjadi pertimbangan oleh gubernur dalam rapat kerja dengan Mendagri di Jakarta. Akan tetapi apa yang menjadi saran mayoritas peserta diskusi ini yang tetap ingin mempertahankan pemerintahan nagari, sama sekali tidak tercantum secara eksplisit dalam tanggapan Gubernur tersebut.

Pada tahun 1981, pemerintah daerah malah mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda No.7 tahun 1981) tentang Pembentukan, Pemecahan, Penyatuan dan Penghapusan Desa Dalam Propinsi Daerah Tk. I Sumatera Barat. Melalui Perda ini sebenarnya pemerintah daerah mulai mengakomodasi keinginan pemerintah pusat untuk menyeragamkan pola pemerintahan desa. Keputusan pemecahan desa yang dilakukan ini tetap mempedomani jumlah jorong yang ada, meskipun sebenarnya dengan dasar keputusan gubernur ini, pemerintah pusat kemudian akan menetapkan jorong di daerah ini menjadi setingkat desa. Kebijaksanaan ini telah membuka jalan bagi diberlakukannya secara penuh Undang-Undang tentang Pemerintahan Desa (UU No.5/1979) di Sumatera Barat. Melalui Surat Keputusan Gubernur No. 162/GSB/1983 dinyatakan secara resmi berlakunya UU No.5/1979 di daerah ini dengan menetapkan Jorong menjadi setingkat Desa.

Sejak saat ini mulailah terlihat berbagai anomie ditengah-tengah kehidupan masyarakat desa ; suatu kondisi yang sebenarnya bertolak belakang dengan tujuan dikeluarkannya undang-undang tersebut. Hal ini disebabkan oleh benturan-benturan kultural yang terjadi akibat sistem pemerintahan nagari, sebagai identitas kultural yang sekaligus menjadi penyangga keutuhan kultural itu, menjadi disfungsional, karena otoritas pemerintahan terendah dibawah kecamatan yang selama ini berada pada nagari, dialihkan kepada Jorong yang ditetapkan setingkat Desa.

c. Ke Arah Kepentingan Komunitas

Dalam priode kepemimpinan Gubernur berikutnya (Hasan Basri Durin) muncul kesadaran akan kepentingan kelompok komunitas. Kesadaran ini kelihatannya lebih dipengaruhi oleh terkendalanya berbagai program pembangunan ketimbang berkurangnya otoritas pusat di daerah. Sikap apatis masyarakat terhadap pelaksanaan dan pemeliharaan hasil pembangunan itu sendiri serta munculnya berbagai konflik internal telah mendorong pemerintah daerah mencari solusi-solusi baru dalam format lama. Salah satu upaya yang dilakukan pada masa kepemimpinan Hasan Basri Durin ini adalah mengakomodasi berbagai tuntutan kultural masyarakat di daerah seperti penataan kembali desa-desa ke dalam nagari, meskipun sebenarnya lebih dimotivasi oleh tidak terpenuhinya persyaratan desa-desa baru.

Menyadari beberapa dampak negatif dari akibat dipecahnya nagari menjadi desa-desa di Sumatera Barat yang telah mengakibatkan banyak desa yang rapuh dan sulit dibangun, maka pemerintah daerah pada tahun 1988 menjalankan program penataan kembali desa-desa tersebut. Penataan kembali (regrouping) desa-desa ini ditujukan antara lain untuk terciptanya desa-desa yang (a) punya pendapatan sendiri. (b) paling kurang penduduknya 2500 jiwa dengan 500 kepala keluarga, (c) luasnya memadai dan teratur, (d) dengan partisipasi masyarakat yang tinggi, (e) dengan pelayanan pemerintah yang baik, dan (f) dengan aparat pemerintahan yang andal sebagainya. Untuk itu pemerintah daerah melalui Instruksi Gubernur No.11/IST/GSB//1988 menyelenggarakan program penataan ini secara bertahap, hingga akhirnya dengan penataan ulang ini jumlah desa di Sumatera Barat yang semula lebih dari 3000 desa berkurang menjadi 1.753 desa. Dari jumlah itu 72 diantaranya sudah kembali ke dalam wilayah Nagari, seperti waktu sebelumnya sesuai dengan usulan yang diajukan oleh masyarakat desa yang bersangkutan kepada pemerintah daerah.

Beberapa program lainnya yang dilaksanakan Hasan Basri Durin yang sedikit akomodatif terhadap tuntutan kultural masyarakat antara lain menghidupkan kembali nilai-nilai kultural masyarakat dalam nuansa kehidupan tradisional, seperti program Manunggal Sakato dan Musyawarah Pembangunan Nagari sebagai aplikasi prinsip kegotong royongan dan musyawarah yang terdapat dalam nilai tradisional kehidupan bernagari di masa lalu.

Sebenarnya ada perbedaan mendasar pola penerapan yang dilakukan oleh pemerintah ini dengan apa yang berlaku dalam kehidupan bernagari di masa lalu. Prinsip gotong royong dalam masyarakat tradisional lebih berorientasi partisipasi, sedangkan dalam pelaksanaan Manunggal Sakato justru lebih cendrung bersifat mobilisasi. Namun pelaksanaan strategi Manunggal Sakato ini telah membawa pengaruh positif terhadap kelancaran pelaksanaan pembangunan di wilayah pedesaan. Hal ini dilihat dari tingkat partisipasi yang diberikan oleh masyarakat yang setiap tahun terus meningkat. Selama Pelita V masyarakat desa berhasil membangun 50.000 proyek. Hingga tahun keempat Pelita V tersebut, proyek yang dibangun dengan Manunggal Sakato tercatat 43.732 buah. Nilai dari proyek-proyek itu jauh melebihi jumlah dana Bandes yang diterima. Pada tahun 1989/1990 seluruh desa memperoleh dana Bantuan Desa (Bandes) sebanyak Rp.3,544 miliar, sedangkan hasil yang dicapai bernilai Rp.18,21 miliar. Dari angka ini, maka swadaya masyarakat bernilai Rp.14,58 miliar. Tahun berikutnya dengan nilai dana Bandes sebesar Rp.4,78 miliar, berhasil dikerjakan proyek senilai Rp,23,6 miliar.

Dari gambaran di atas agaknya dapat disimpulkan bahwa pendekatan kultural yang dilaksanakan lebih efektif menggerakkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan sehingga berhasil menggenjot laju pertumbuhan ekonomi seperti yang diharapkan, namun karena dalam prakteknya masih dibungkus dengan budaya formalisme Orde Baru, ternyata tidak makin memperkuat resistensi kultural masyarakat untuk mendapatkan kembali hak-hak kultural mereka sendiri. Namun apa yang dilakukan oleh pemerintah daerah saat ini, setidaknya telah sedikit menggeser kembali pola kebijakan pemerintah daerah dari kepentingan kelompok dominan ke kesadaran kepentingan kelompok subordinasi (komunitas).

Hegemoni Politik Pusat dan Perubahan Prilaku Elit Daerah

Dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah idealnya terdapat dua tuntutan yang harus dipenuhi, yaitu kewajiban melaksanakan tugas-tugas sebagai pelaksana pemerintahan negara di daerah dan pemenuhan aspirasi masyarakat daerah sendiri. Setidaknya itulah yang diinginkan oleh masyarakat bangsa ini pada waktu "bersepakat" untuk mendirikan sebuah negara bangsa. Ketika salah satu tuntutan itu menguat dan bila tuntutan itu berada pada posisi yang berseberangan dengan tuntutan yang lainnya, maka ketika itu pula, pemerintah daerah berada pada "medan ketegangan".
Kecendrungan-kecendrungan melemahnya resistensi sosial internal di Sumatera Barat dapat dihubungkan dengan keadaan ini. Pemerintah daerah cendrung menggeser loyalitasnya lebih pada kepentingan pemerintah pusat daripada kepentingan daerah, loyalitas mana bahkan melebihi tuntutan pusat itu sendiri.

Beberapa kondisi teknis dan kondisi politis telah mempengaruhi prilaku politik elit daerah itu dalam menjalankan kebijaksanaan pemerintah pusat di daerah, terutama kebijaksanaan yang berseberangan dengan kepentingan rakyat di daerah. Bahkan elit politik daerah tidak menyediakan peluang bagi terbentuknya kepemimpinan komunitas yang mandiri dan aspiratif bagi kepentingan komunitas mereka. Di antara kondisi-kondisi itu antara lain :

Pertama, pengalaman masa lalu daerah ini yang mencoba menunjukkan radikalisme yang berseberangan dengan kebijaksanaan pemerintahan pusat dengan segala konsekuensinya telah "mengajarkan" kepada elit daerah ini untuk senantiasa bersikap hati-hati. Keadaan ini telah berimplikasi terhadap prilaku politik kalangan elit daerah, baik yang berada di pusat kekuasaan maupun di daerah sendiri. Di antara implikasi itu adalah timbulnya "keengganan" untuk unjuk pemikiran yang berbau kedaerahan, memperjuangkan kepentingan daerah, meskipun itu menyangkut kesejahteraan rakyat dan rasa keadilan .

Kedua, salah satu faktor terpenting dari "keterbelengguan" elit daerah dalam memberikan perlindungan bagi kepentingan kelompok komunitas di daerah ini ialah masalah kekurangan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan ketergantungan terhadap pasokan dana dari pemerintah pusat. Pada Pelita I, II dan III, dana pembangunan proyek-proyek sektoral yang disalurkan melalui APBN berjumlah sekitar 75 % dari jumlah dana pembangunan keseluruhan. Dana proyek Inpres berkisar sekitar 15 %, sedangkan dana pembangunan daerah yang berasal dari APBD kenyataannya berkisar antara 10 -12,5 % saja. Dari kenyataan ini jelas memperlihatkan kemampuan dana pembangunan yang pelaksanaannya menjadi wewenang daerah, relatif sangat sedikit sekali dibanding dengan dana pembangunan yang menjadi wewenang pemerintah pusat.

Ketiga, problema ketegangan internal yang terlihat pada elit kepemimpinan di daerah ialah berbenturnya berbagai kepentingan daerah dengan kepentingan pusat kekuasaan dalam program pembangunan daerah sendiri. Dualisme kebijaksanaan pembangunan di daerah adalah sumber dari ketegangan itu. Adanya instansi vertikal dengan "misi" pemerintahan pusat dan kepala daerah sebagai penampung aspirasi rakyat di daerah --kalaupun dapat disebut demikian-, sering tidak koordinatif dalam praktek penanganan pembangunan di daerah, sementara peraturan dan perundangan yang dibuat masih mengandung banyak kelemahan.

Keempat, tradisi birokrasi Orde Baru adalah implementasi dari budaya politik yang dikembangkan dari salah satu etnis dominan di negara ini oleh kelompok penguasa. Latar belakang budaya etnis Jawa yang patrimonialistis dan sentralistis telah terefleksi pada setiap aspek penyelenggaraan pemerintahan, terutama dalam hubungan atasan dan bawahan yang bersifat patron-client. Budaya patrimonialisme tradisional seperti itu telah mewarnai sistem birokrasi pemerintahan Orde Baru secara berjenjang menurut hirarkhi jajaran pemerintahan dari pusat sampai ke daerah. Hal ini telah mempengaruhi kecendrungan psikologis kalangan aparat birokrasi pemerintahan dalam berbagai mekanisme penyelenggaraan pemerintahan.

Keadaan seperti ini juga sangat mempengaruhi prilaku politik pemerintahan di daerah. Sehingga tidaklah terlalu mengherankan bila semua kebijaksanaan yang akan dijalankan di daerah menjadi sangat tergantung dari pusat. Pertimbangan-pertimbangan yang diberikan dalam setiap kebijaksanaan pemerintah pusat di daerah akan selalu lebih berorientasi "menyenangkan" pemerintah pusat (patron) daripada pertimbangan internal daerah sendiri. Pola resiprositasnya justru terlihat pada keinginan-keinginan untuk memperoleh imbalan-imbalan yang mungkin bersifat ekonomis atau mobilitas-mobilitas vertikal yang sering mewarnai dalam setiap aspek hubungan itu sendiri.

Salah satu lembaga sosial yang harusnya menempati posisi kepentingan komunitas etnis di daerah ini adalah Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM). Organisasi ini (idealnya) merupakan wadah perantara kepentingan komunitas adat dengan pemerintah daerah, meskipun, pada dasarnya, struktur Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau --sebagai organisasi yang mewadahi ninik mamak dan pemuka adat antar nagari-- sebenarnya tidak terdapat dalam struktur tradisional masyarakat di daerah ini.

Prakarsa untuk mewadahi ninik mamak dan penghulu adat dalam organisasi LKAAM oleh kalangan militer di awal Orde Baru, lebih didorong oleh keinginan untuk membersihkan para penghulu adat yang terlibat dengan kegiatan Partai Komunis. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila kemudian organisasi ninik mamak ini sangat dekat dengan pemerintah dan kalangan ABRI. Bahkan aparat birokrasi masuk dalam jajaran kepengurusannya, Ketua LKAAM sendiri, pada saat awal berdirinya, dipegang oleh Baharuddin Dt Rangkayo Basa yang adalah juga Kepala Jawatan Penerangan Sumatera Barat. Sedangkan Kapten Saafroeddin Bahar (perwira Kodam) yang sekaligus Ketua DPD Golongan Karya juga duduk dalam sekretariat LKAAM sendiri dan pada beberapa periode berikutnya, kepemimpinan lembaga ini selalu menempatkan unsur Muspida sebagai Payung Panji (lebih kurang sama dengan Pelindung). Dengan demikian organisasi ini lebih banyak berperan sebagai perpanjangan tangan pemerintah ketimbang melindungi kepentingan komunitasnya.

Sebagai penyangga kepentingan pemerintah, organisasi ini telah memperlihatkan peran aktifnya dalam mensosialisasikan kekuatan politik Orde Baru dalam mencari dukungan masyarakat, terutama setiap masa menjelang Pemilu. Di samping itu lembaga ini menjadi alat yang efektif dalam mensukseskan segala program pembangunan. Antara tahun 1979 sampai 1983, lembaga ini secara aktif berperan dalam mensosialisasikan UUPD 1979 dalam rangka persiapan bagi diberlakukannya UU tersebut, meski hal itu --pada akhirnya-- mempunyai konsekuensi terkorbankannya fungsi kepemimpinan tradisional yang ada dalam komunitas mereka sendiri.

Perubahan-Perubahan Sistem Internal

Apa yang terjadi di Sumatera Barat pasca pemberlakuan UUPD 1979 adalah perubahan-perubahan yang signifikan pada struktur kepemimpinan sosial di tingkat bawah sebagai telah disinggung pada bahasan terdahulu. Perubahan ini telah menimbulkan implikasi terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat terutama di wilayah pedesaan, karena, konsepsi tentang nagari sebagai yang dianut oleh masyarakat sangat berbeda dengan desa sebagai struktur kepemimpinan yang diperkenalkan oleh undang-undang tersebut.

Robert K. Merton mengemukakan bagaimana sejumlah struktur sosial memberi tekanan yang jelas pada orang-orang tertentu yang ada dalam masyarakat sehingga mereka lebih menunjukkan kelakuan yang non konformis. Ia mengemukakan bahwa kelakuan non konformitas atau anomie dapat disebabkan oleh perubahan perangkat kelembagaan yang ada, yaitu apabila sarana kelembagaan yang ada tidak lagi sejalan dengan tujuan kultural masyarakat pendukungnya. Perubahan struktur nagari menjadi desa-desa dengan berbagai perubahan pola kepemimpinan yang ada di dalamnya, telah berimplikasi terhadap munculnya sikap anomie di kalangan masyarakat terutama di wilayah pedesaan di Sumatera Barat, seperti hilangnya nilai-nilai kegotong royongan, sikap apatis terhadap pembangunan dan berkurangnya solidaritas sosial serta tanggung jawab kolektif terhadap pemeliharaan hasil-hasil pembangunan dan sebagainya. Inilah yang diakui telah menjadi kendala kultural dalam pelaksanaan pembangunan pedesaan pasca UUPD 1979 sebagaimana dikemukakan oleh Hasan Basri Durin dalam Seminar AIPI tahun 1996:
….Salah satu masalah yang sering dirasakan adalah sulitnya membangun dan memelihara jaringan-jaringan irigasi, yang merupakan sarana vital bagi perekonomian masyarakat desa yang sebagian besar masih agraris. Irigasi-irigasi tradisional yang ada di Sumatera Barat pada umumnya dibangun berdasarkan kesatuan wilayah nagari dan partisipasi masyarakat melalui gotong -royong. Tetapi dengan pecahnya kesatuan nagari jaringan irigasi tersebut menjadi sulit diurus, karena tidak mungkin Pemerintahan Desa menggerakkan partisipasi masyarakat nagari untuk bergotong royong. Sebabnya antara lain tidak semua desa memiliki kepentingan dan kebutuhan terhadap jaringan irigasi yang sudah ada .

Penyebab munculnya sikap apatis masyarakat terhadap pembangunan ini adalah karena kurang efektifnya lembaga-lembaga formal sosial yang ada, sebagaimana telah disinyalir oleh suatu Seminar yang diadakan di Padang pada tahun 1989 , yang berkesimpulan antara lain :
1. karena lembaga-lembaga formal dan informal lebih berperan sebagai pelaksana program pembangunan yang ditetapkan dari atas.
2. adat sebagai unsur utama yang berfungsi mengatur dan menjadi orientasi prilaku masyarakat terpisah dari administrasi pemerintahan.
3. struktur kekuasaan yang berkembang terkonsentrasi di tangan Kepala Desa,
4. karena itu proses pengambilan keputusan dalam lembaga desa menjadi tidak demokratis,
5. Lembaga Kerapatan Adat Nagari (KAN) dalam kenyataannya menjadi lembaga tanpa wewenang, sehingga fungsionaris adat (baik anggota KAN atau tidak) secara berangsur-angsur kehilangan fungsinya di tengah masyarakat.

Selain itu, akibat dari tidak efektif dan tidak efesiennya lembaga-lembaga formal dan informal itu, menyebabkan banyak masalah yang timbul di tengah masyarakat pedesaan tidak dapat diselesaikan secara tuntas, sehingga sering menjadi sumber konflik dan perpecahan dalam kesatuan masyarakat desa atau kaum.

Persoalannya lebih komplit lagi bila dihubungkan dengan adanya upaya negara untuk menggerogoti tanah-tanah ulayat di daerah ini. Sebagai mana telah dikemukakan bahwa dalam tradisi masyarakat Minangkabau, tanah ulayat, selain memiliki fungsi yang sangat penting sebagai asset komunal, ia juga berfungsi sebagai identitas kultural suatu nagari dan suku, sekaligus merupakan basis ketahanan ekonomi anggota komunitasnya.

Di masa Orde Baru dikeluarkan UU No.5 Tahun 1967 tentang Undang-Undang Pokok Kehutanan. Dalam undang-undang ini eksistensi dan keberadaan hak ulayat Nagari atas hutan semakin tidak jelas. Malah menurut sementara pengamat mengatakan bahwa UU No.5 Tahun 1967 ini sama versinya dengan domeinverklaring di zaman Belanda dulu yang sebenarnya sudah dibatalkan dengan UU No.5 tahun 1960 . Pada pasal 2 UU No.5 Tahun 1967 dipakai istilah hutan negara untuk semua hutan yang tidak bermilik. Ini mencakup pula hutan-hutan adat yang dikuasai oleh masyarakat adat. Pasal 17 UU No.5 Tahun 1967 itu diatur sebagai berikut :
Pelaksanaan hak-hak masyarakat hukum serta hak-hak perseorangan untuk memanfaatkan dari hutan, baik langsung maupun tidak langsung yang didasarkan atas suatu peraturan hukum sepanjang peraturan masih ada tidak boleh mengganggu tercapainya tujuan yang dimaksud dalam undang-undang ini.

Kemudian pada tahun 1971 dikeluarkan pula Peraturan Pemerintah No.12 Tahun 1971 Tentang HPH dan Hak Pemungutan Hasil Hutan. Dalam pasal 6 PP ini disebutkan bahwa hak masyarakat adat untuk memungut hasil hutan perlu ditertibkan sehingga tidak mengganggu pelaksanaan penguasaan hutan (ayat 1), dan demi keselamatan umum dalam areal hutan yang sedang dikerjakan dalam rangka pengusahaan hutan tersebut, melaksanakan hak-hak rakyat memungut hasil hutan dibekukan (ayat 3).

Tanah ulayat di Minangkabau merupakan hak kolektif yang tidak boleh diperjualbelikan, kecuali itu boleh digadaikan dengan persyaratan yang ketat. Namun sejak pemerintah Orde Baru mengeluarkan PP No. No 24 Tahun 1997 yang mengharuskan semua tanah di Indonesia harus didaftarkan, tak terkecuali tanah ulayat (pasal 19), maka terjadi individualisasi kepemilikan tanah ulayat. Dengan demikian tanah ulayat yang seharusnya menjadi hak kolektif dan tidak dapat diperjualbelikan, dengan mudah dapat dijadikan angunan, dikontrakkan dan dijual seperti layaknya hak-hak individual lainnya. Seiring dengan tuntutan pembangunan serta maraknya kegiatan perekonomian oleh pengusaha-pengusaha besar telah mendorong pula terjadinya pelepasan hak atas tanah ulayat. Banyak tanah-tanah ulayat yang akhirnya menjadi areal perkebunan besar yang tak dapat dinikmati oleh masyarakat setempat, seperti yang terjadi di Kabupaten Pasaman atau dijadikan proyek pembangunan pemerintah dengan hanya penyelesaian ganti rugi, tanpa mengindahkan aturan-aturan adat yang berlaku .

Menyangkut persoalan tanah ulayat sebagai yang dikemukakan, telah memunculkan berbagai persoalan-persoalan sosial yang tidak sederhana. Beberapa konflik antar suku dan desa telah terjadi sebagai akibat pemecahan nagari menjadi desa-desa. Pemecahan desa-desa itu sudah barang tentu tidak mengikuti pola teritorial pemilikan tanah ulayat suku atau kaum, karena pemecahan itu hanya didasarkan atas luas daerah dan jumlah penduduk semata, tanpa mempertimbangkan properti-properti suku yang ada. Kasus perkelahian antar desa yang terjadi di beberapa daerah tingkat II pasca UUPD lebih banyak diwarnai oleh persoalan tanah ulayat suku ini .

Kesimpulan

Dari apa yang diuraikan dapat disimpulkan sebagai berikut :Pertama, Hegemoni politik pemerintah pusat terhadap daerah telah mempengaruhi pola prilaku politik elit daerah dalam memberikan perlindungan bagi kepentingan komunitas di daerah. Perubahan prilaku politik elit lokal dalam mengimplementasikan kebijaksanaan pemerintah pusat telah menyebabkan rusaknya tatanan sosial tradisional nagari yang menjadi interest utama masyarakat di daerah ini. Hal inilah yang pada gilirannya telah menimbulkan ekses negatif terhadap berbagai aspek dari sistem internal daerah sendiri.

Kedua, Tarik menarik kepentingan telah terjadi dalam masa kepemimpinan tiga orang Gubernur di daerah ini dengan intensitas yang berbeda. Harun Zain, dalam kondisi simbiosis, telah menjalankan peran fungsional dan peran moralnya dengan seimbang, namun pemulihan internal yang telah dijalankan tidak berhasil membangkitkan kesadaran akan kepentingan kelompok komunitas. Kuatnya dominasi kepentingan kelompok dominan (pemerintah pusat) pada masa Azwar Anas, telah menggeser elit daerah ke kesadaran kelompok dominan (pemerintah pusat). Kerusakan sistem internal pada waktu ini pada dasarnya lebih disebabkan oleh semakin melemahnya kesadaran akan kepentingan kelompok komunitas pada elit politik daerah sendiri. Kesadaran akan kepentingan kelompok komunitas ini justru terlihat menguat dalam kepemimpinan Hasan Basri Durin. Pola-pola pendekatan tradisional yang dijalankannya ternyata berhasil mengairahkan masyarakat dalam pembangunan. Namun, karena dominasi kelompok dominan tidak memperlihatkan trend yang makin menurun, maka kesadaran terhadap kepentingan komunitas masih bersifat semu dan identitas kultural masyarakat yang ditunjukkan hanya sebatas formalismenya Orde Baru.

© Irhash A. Shamad.




Share this article :

+ comments + 6 comments

Anonim
19 April 2009 pukul 21.12

Salam!

"Pada tahun 1966 didirikan Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM). Organisasi ini pada pembentukan awalnya ditujukan untuk membersihkan kalangan ninik-mamak dan penghulu adat dari unsur partai komunis."

Saya bertanya lagi Pak,

apa benar statement yang mengatakan kalau perseteruan Padri vs Adat bangkit kembali pada masa orde lama di Sumatera Barat, atau lebih tepatnya, ketika PRRI meletus sampai pembersihan orang-orang yang terlibat PKI setleah tahun 65'? Atau dengan kata lain, apakah benar PRRI itu, di samping perseteruan Pusat dan Daerh, juga merupakan perseteruan antara kelompok Anti Komunis yang tentu saja dimotori oleh kaum Ulaman dan pendukung Komunis yang (konon) kebanyakan terdiri dari para penghulu dan ninik mamak, yang kualitas keberagamaan mereka rendah?

Isu apa sih Pak yang dihembuskan PKI sehingga banyak penghulu dan ninik mamak yang terpikat?
kalau hanya isu-isu sekitar kesejahteraan yang merata, dan sejenisnya, saya ragu, para penghulu dan ninik mamak itu terpikat. Mungkinkan kiranya, PKI mengehembus-hembuskan kembali dendam lama para penghulu atas kaum ulama seabad yang lewat?

Trimakasih Bapak sudah bersedia menjawab pertanyaan-pertanyaan saya. Trimakasih juga jika Bapak mau memberitahu saya buku-buku atau tulisan yang telah pernah ditulis tentang PRRI, peta gerakan ulama, maupun gerakan komunis di Sumatera Barat setelah kemerdekaan.

Trimakasih Pak, sekali lagi Trimakasih

Deddy Arsya

14 Mei 2009 pukul 00.45

wa'alaikumussalam
Deddy, maaf karena komen anda ini terlambat dibalas, bahkan mungkin sangat terlambat, karena beberapa waktu terakhir ini saya hampir tidak memiliki waktu yang cukup untuk nongkrong di depan komputer.
Mungkin terlalu jauh anggapan yang mengatakan bahwa perbedaan pandangan politik antara kaum agama dan golongan adat di masa orde lama diartikan sebagai hidupnya kembali nuansa perseteruan antara Paderi dan kaum adat yang terjadi awal abad ke 19, karena, terdapat perbedaan yang cukup besar kondisi yang melatar belakangi keduanyanya. Konflik adat dan agama awal abad ke 19 dimotivasi oleh upaya pemurnian praktek keagamaan masyarakat yang menyimpang dari ajaran agama yang sebenarnya, sedangkan perseteruan (bila boleh disebut demikian) yang terjadi pada masa orde lama hanya perbedaan pandangan tentang affiliasi politik semata, hal itupun tidak dapat digeneralisir bahwa kaum adat adalah komunis, karena tidak semua penghulu dan ninik mamak yang terjebak ke dalam ideologi tersebut. Sejauh ini saya belum dapat meyakini tentang isu Paderi yang digunakan oleh komunis untuk mempengaruhi kaum adat pada waktu itu, hanya saja mungkin "jarum" ideologi itu terlalu sulit untuk dapat mempengaruhi kaum ulama, sedangkan terhadap kalangan adat (secara individual)adalah sebaliknya, (sekali lagi tidak dapat digeneralisir).
Untuk referensi tentang PRRI dan Komunisme di SB, saya sarankan anda membaca RZ Leirissa, PRRI Permesta, strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis, dan Mestika Zed, dkk. Sumatera Barat di Panggung Sejarah 1945-1995
Terima atas komen anda, saya senang, bila keterlambatan ini tidak mengurangi motivasi anda untuk memberikan komen selanjutnya.
Wassalam.

Anonim
26 Mei 2009 pukul 19.30

salam Pak

Elit-elit daerah Sumatera Barat semasa orde baru mencoba 'bermanis-manis' dengan penguasa di pusat untuk mendapatkan prioritas lebih bagi pembangunan di daerahnya. Bagaimana menurut bapak prilaku politik Gamawan Fauzi sekarang, apakah turut melanjutkan prilaku politik pendahulunya, dengan ikut dalam deklarasi pencalonan SBY misalnya? Apakah kecendrungan untuk bermanis-manis dengan pusat itu masih terlihat dan terasa di masa sekarang dalam tataran pejabat daerah, misalnya usaha orang minang memberikan gelar datuk pada pejabat-pejabat pusat; atau pemberian gelar doktor honorous causa misalnya?

apakah ngototnya orang minang mengusulkan gelar pahlawan bagi beberapa tokoh minang, pemberian gelar adat, minang telenta, tour the singkarak, itu mengindikasikan kalau orang minang berusaha memunculkan Keminangkabauan yang selama ini, setidak-tidaknya selama orde baru, yang tenggelam? Menurut Bapak, dengan banyaknya orang minang di pusat yang menjadi 'komentator' politik, menunjukkan kacendrungan seperti apa?

trimakasih pak

deddy arsya

26 Mei 2009 pukul 23.37

Wa'alaikum salam,
Mungkin sukar di pungkiri, bahwa warisan budaya politik orba saat ini masih saja tersisa,terutama di kalangan elit politik kita. Sikap idealisme Minang seperti yang telah ditunjukkan oleh elit politik masa lalu, agaknya memang telah terkikis habis, meski sekarang sudah orde reformasi. Terlihat peralihan orientasi ideologi generasi kini dari 'nilai kebenaran' ke orientasi jabatan, uang, dsb. Tunggangan partai juga sepertinya terlihat hanya sebatas orientasi itu. Namun yang jelas prilaku seperti itu bukan implementasi dari pepatah adat "sakali aie gadang, sakali tapian barubah" tapi implementasi dari pameo "asa tanduak lai kamakan, bialah kaniang nak baluluak".
Adanya upaya untuk mengedepankan interest keminangkabauan sekarang, sepertinya belum mencerminkan kemauan kalangan elit kita untuk benar-benar ingin menghidupkan kembali nilai-nilai yang telah terkikis, tetapi lebih pada keuntungan ekonomis semata (mudahan-mudahan analisis ini salah).
Banyaknya komentator politik asal Minang di tingkat pusat saat ini menunjukkan bahwa hingga sekarang, ternyata potensi SDM Minang dalam soal "retorika" masih terbilang baik, namun disayangkan sebagian besar kurang berorientasi kampung halaman, dan hanya "melarut" dalam ketokohan nasional semata.
Maaf ya, jawaban saya kali ini hanya bersumber dari orientasi nilai semata. Agaknya ini hanya mungkin untuk direnungkan lebih dalam lagi ya?.
Terima kasih.

Anonim
2 Juni 2009 pukul 12.26

Salam Pak,

menurut bapak, apa yang harus diprioritaskan untuk pembangunan Sumatera Barat hari ini dan di masa yang akan datang?

Orde baru telah (paling tidak) membantu mengikis nilai-nilai keminangkabauan, baik dalam aspek politik, seperti peralihan sistem nagari ke desa, maupun aspek lainnya, sekarang daerah-daerah di SUMBAR sudah dikembalikan ke sistem nagari. Kalau masa orde baru peran mamak digantikan oleh peran ayah, kini sudah ada usaha untuk meng-eksiskan kembali mamak dalam keluarga maupun kaum Minangkabau misalnya dengan adanya kerapatan penghulu di tiap nagari. Kalau selama orde baru, Sumatera Barat tidak lagi banyak melahirkan elit-elit terdidik maupun ulama, sekarang upaya ke arah itu sudah dilakukan misalnya dengan program kembali ke surau di mana surau di masa lalu merupakan pencetak kaum ulama.

tapi waktu tentu saja berubah. Berbagai model yang dulu berhasil di masalalu tentu tidak semuanya cocok diterapkan di masa sekarang. Bagaimana menurut bapak model-model yang dapat diterapkan di Minangkabau sekarang, model-model yang tidak menghilangkan kekhususan kebudayaan Minangkabau sendiri tentu saja. dalam artian lain, melahirkan elti-elti terdidik yang mempunyai kerangka berpikir Minang, corak yang khas dan identitas pemikiran yang unik, dan tidak, seperti yang bapak katakan, elit-elit yang hanya "melarut" dalam ketokohan nasional semata.

deddy arsya

2 Juni 2009 pukul 23.50

Wa'alaikumussalam
Masa lalu, jelaslah miliknya masa lalu, kita hari ini tak mungkin untuk mengulanginya, tapi agaknya kita perlu bercermin ke masa lalu untuk menangkap nilai-nilai yang diwariskan masa lalu itu untuk menata hari ini.
Pertanyaan anda adalah representasi dari kegalauan pemikiran, yang sebenarnya juga ada di kepala kalangan elit(cendikiawan) kita hari ini. Menurut saya, "mengembalikan" Minangkabau masa lalu agaknya tidak cukup dengan memunculkan kembali kelembagaan masa lalu yang pernah ada, spt dengan membentuk struktur 'Nagari' dan menghidupkan kembali "Surau" (dalam pengertian fisik) dengan segala kebijakan-kebijakan struktural yang mengharuskannya, karena, struktur-struktur sosial yang terbentuk pada masa lalu itu, pada dasarnya merupakan praksis kultural masyarakat yang bersumber dari nilai-nilai yang dianut dan diorientasikan untuk mengadaptasi perkembangan sosial yang ada. Jadi, adalah sangat naif bila solusi kultural terhadap "kehilangan Minangkabau" justru dengan membentuk struktur masa lalu, bukan dengan menyemai kembali nilai-nilai itu sendiri. Kalau dulu struktur sosial itu ada karena fungsinya, tapi sekarang (ada kecendrungan) bahwa struktur dibentuk untuk berfungsi, ya.. menurut saya, akan kurang efektiflah! begitu.
Persoalannya sekarang adalah, kita harus mulai dari mana untuk menyemai bibit itu? dan siapa yang akan memulai?. Ya, salah satu jawabanya (mungkin) adalah Rumah Tangga sebagai struktur sosial terkecil yang masih konstan hingga hari ini, meskipun itu bukan lagi dalam bentuk extended family seperti yang dulu-dulu. Peran mamak (dulu) boleh saja digantikan oleh bapak (kini), namun nilai yang disemai kan bisa saja sama, atau mungkin perlu ada kurikulum muatan lokal khusus (keminangkabauan),paling tidak, untuk pendidikan dasar mulai dari PAUD, TK, hingga SD.
Tapi, ya...mungkin wacana ini perlu dikembangkan lebih jauh lagi.
Terimakasih, pertanyaan anda sudah cukup menggugah inspirasi.

Posting Komentar

Maklumat

Maklumat
 
Support : Pandani Web Design
Copyright © 2009-2014. Irhash's Cluster - All Rights Reserved
Template Created by Maskolis
Proudly powered by Blogger