TERBARU

Politik dan Kebudayaan Etnik : Multikulturalisme Versi Australia

Written By Irhash A. Shamad on 23 Maret 2009 | 10.16

Kedatangan bangsa kulit putih di benua Australia telah membawa implikasi-implikasi terhadap tatanan tradisional etnik pemukim asli, sebagaimana telah dikemukakan pada tulisan terdahulu. Akan tetapi eksploitasi terhadap sumber kekayaan alam yang berlangsung kemudian telah memunculkan perubahan-perubahan besar dalam berbagai lapangan kehidupan.

Dengan dibukanya ladang-ladang emas di daerah-daerah pertambangan seperti di Victoria, New South Wales dan Australia Barat, telah meningkatkan taraf perekonomian masyarakat. Seiring dengan meningkatnya pendapatan perkapita penduduk, kemampuan daya beli masyarakat tentunya bertambah yang berakibat terhadap peningkatan import ke wilayah ini. Ini berarti bertambah pula income negara dari sektor impor itu. Peningkatan-peningkatan income negara telah memberi peluang untuk dibangunnya secara efektif sarana-sarana perekonomian seperti transportasi, sarana pendidikan, jalan-jalan dsb. Jalan kereta api dari Melbourne ke William Town dibangun pada tahun 1854, setahun setelah itu dibangun pula jalan kereta api yang menghubungkan wilayah pedalaman Sydney. Efektifitas pembangunan sarana transportasi ini sekaligus juga membawa dampak terhadap intensifnya eksploitasi sumber daya alam lainnya terutama pertanian.

Dampak penemuan emas ini ternyata juga berpengaruh pada peningkatan imigran yang datang ke Australia, seperti dari Cina, Asia, Jepang dll. Dengan demikian pertumbuhan penduduk semakin meningkat pesat. Imigrasi tidak hanya berdampak terhadap pertambahan jumlah penduduk, akan tetapi juga semakin beragamnya ras dan budaya yang terdapat di Australia. Akibat dari ini semua adalah timbulnya perpecahan dikalangan masyarakat, terutama antar ras, seperti pengalaman-pengalaman di beberapa tambang Victoria pada tahun 1957. Pada tahun itu jumlah orang Cina di sini mencapai 23.623. Jumlah ini sangat mengkhawatirkan orang-orang Eropa. Kekhawatiran ini lah yang menyebabkan parlemen Victoria dan New South Wales akhirnya mengesahkan undang-undang untuk membatasi masuknya orang-orang Cina (cf. Manning Clark,1981,Chpt.7).

Dengan semakin heterogennya masyarakat yang disertai meningkatnya mobilitas sosial dan taraf pendidikan mereka, pada akhirnya menimbulkan implikasi-implikasi terhadap munculnya kesadaran politik warga negara. Warga imigran makin menyadari hak-hak politiknya. Mereka enggan membayar pajak tanpa melalui persetujuan dari perwakilannya di Parlemen. Hal ini pada akhirnya mempengaruhi kebijaksanaan dan konstitusi pemerintahan Australia, seperti pengangkatan anggota upper house dari orang-orang kaya, pemilik tanah dan orang-orang yang berpendidikan. Sementara itu para pemilik tanah dan golongan konservatif menuntut agar konstitusi mencerminkan kepentingan-kepentingan besar dalam masyarakat. Tuntutan inipun akhirnya disetujui parlemen.

Berkaitan dengan hal yang dikemukakan itu, terjadi pula beberapa pemberontakan seperti Ballarat dengan Eureka Stockade. Meskipun pemberontakan ini mengalami kegagalan, namun pemerintahan Inggris akhirnya membentuk sebuah parlemen di Victoria atas dasar pemungutan suara. Pembentukan parlemen ini mendorong koloni-koloni lainnya untuk berusaha memisahkan diri dari pemerintahan pusat. Ini menjadi persoalan-persoalan yang tidak mudah dalam mewujudkan sebuah republik yang bersatu.

Pandangan Geoffrey Dutton mengenai "Republik Australia" dapat ditangkap melalui artikelnya yang dimuat dalam buku yang diedit oleh Arnold cs. sebagai berikut : setidaknya apa yang menggejala dalam kehidupan masyarakat Australia saat ini adalah ketidaksenangan terhadap pemerintahan Inggris. Ia menegaskan bahwa tidak semua orang menganggap bahwa Inggris adalah “rumah”, suatu bukti bahwa Inggris tidak lagi dapat menawarkan kekuatan militer bagi Australia demikianpun kekuatan ekonomi, moral dan budaya. Kewibawaan Ratu Inggris mulai pudar dikalangan rakyat Australia. Menurutnya sikap kolonial hanya diperlihatkan oleh manifestasi kebudayaan lama dan absurd. Dari apa yang kita tangkap dalam tulisan Dutton ini ialah sikap mendukung terhadap keharusan Australia menjadi sebuah republik, namun begitu komplitnya masalah Australia, ia meragukan akan terwujudnya Republik Australia.

Munculnya Gagasan Multikulturalisme
Multikulturalisme, kemudian menjadi gagasan yang muncul untuk mengatasi heterogenitas etnis yang terdiri dari berbagai etnis dengan latar belakang budaya yang berbeda. Upaya untuk penyatuan pola budaya ini semula sudah dirintis melalui gagasan assimilasi dan integrasi dalam rangka mencegah perpecahan antar etnis di Australia. Akan tetapi kemudian gagasan ini mendapat tantangan dari berbagai fihak terutama pihak politisi sayap kanan. Gagasan multikulturalisme yang kemudian diperkenalkan, dalam konteks yang sesungguhnya adalah legitimasi hak atas berkembangnya berbagai kultur di Australia secara sama. Namun dalam prakteknya gagasan multikulturalisme ini hanya menekankan aspek kultural semata tanpa dibarengi dengan pandangan yang sama terhadap kesempatan kerja. Sehingga, gagasan ini, oleh sementara pihak hanya dianggap sebagai upaya radikal untuk mempromosikan kepentingan etnis tertentu saja.

Pada akhir tahun 1940an, ketika Australia membuka pintunya terhadap para imigran-imigran non British dan mengizinkan mereka tinggal dan menetap, beberapa persyaratan ditetapkan untuk mengasimilasikan mereka agar menjadi warga Australia yang sesungguhnya dan dapat melupakan kebudayaan asli mereka. Ketika imigran-imigran pertama yang berasal dari Itali dan Greek pada akhir tahun 1940 masuk ke Australia, mereka mengalami diskriminasi rasial dari orang-orang Inggris dan Irlandia. Para imigran ini mencoba untuk menguasai bahasa Inggeris serta meniru pola hidup orang Australia. Ini dianggap suatu cara asimilasi yang kemudian sangat bermanfaat ketika kebijakan White Australia dijalankan, namun tidak demikian halnya dengan asimilasi untuk imigran dari Asia dan Afrika karena perbedaan fisik mereka dengan orang Australia sangat menonjol .

Setelah Perang Dunia Kedua, karena pertimbangan-pertimbangan pertahanan Australia, maka kebijaksanaan White Australia ditinjau kembali. Hubungan-hubungan negara di Asia Tenggara dan samudra Pasifik berubah secara drastis dengan mundurnya angkatan laut Inggris dari sana dan munculnya negara-negara yang mungkin akan membahayakan sistem perdagangan Australia sendiri. Banyak negara yang kemudian memprotes kebijaksanaan White Australia yang berdasarkan konsep white rasism itu. Australia akhirnya tidak dapat mengabaikan protes-protes itu (Yarwood, A.T. & M.J. Knowling 1982:286-7). Ketika terjadi perdebatan dalam dalam parlemen Australia tentang masalah dibuka atau tidaknya pintu bagi para imigran kulit berwarna, terdapat oposisi-oposisi yang keras. Oposisi muncul dari anggota parlemen yang menolak kehadiran bangsa kulit berwarna, karena menganggap terlalu sulitnya penyesuaian imigran yang berasal dari latar belakang sosial yang berbeda dalam kondisi Australia.

Pada tahun 1966 pemerintah Australia mengubah kebijaksanaan imigrasi yang memungkinkan orang-orang non-Eropa dapat memperoleh izin untuk tetap tinggal di Australia, namun ketika pada tahun 1970an masuk para imigran dari Asia, ternyata mereka tidak disambut dengan hangat oleh masyarakat Australia, karena, disamping perbedaan fisik yang sangat menonjol, juga latar balakang budaya dan pola hidup yang sangat berbeda. Kenyataan inilah yang menunjukkan bahwa kebijaksanaan asimilasi pada dasarnya tidak bermanfaat banyak bagi para imigran Asia dan Afrika hitam.

Ketika Gough Withlam terpilih sebagai perdana menteri Australia pada tahun 1972, ia mencoba untuk menghapuskan konsep asimilasi berdasarkan white Australia untuk kedamaian dan kesejahteraan negara dan atas nama kebenaran. Untuk upaya ini ia mengangkat Al Grassby sebagai Menteri Imigrasi dan kepala Komisi Hubungan Masyarakat. Withlam menyediakan pendidikan bahasa Inggris untuk para imigran dalam rangka membantu mereka dalam pergaulan sehari-hari. Melalui pemerintahan Withlam konsep multikulturalisme diperkenalkan sebagai tindakan konstruktif untuk pencapaian identitas baru masyarakat Australia.

Pada tahun 1978 Galbally Report menyarankan prinsip-prinsip dasar kebijaksanaan multikulturalisme yang sampai saat ini masih diperpegangi. Pertama, ditekankan agar kesempatan yang sama harus diberikan kepada semua orang untuk merealisasikan potensinya. Kedua, setiap orang harus dapat menjaga kebudayaan mereka tanpa mengalami prasangka apapun. Ketiga, kursus-kursus dan pelayanan-pelayanan khusus harus dipersiapkan untuk para imigran sambil kebutuhan jangka pendek mereka diberikan. Keempat, Semua program yang dibentuk untuk para imigran harus dengan konsultasi para imigran tersebut.

Selama empat tahun pertama pemerintahan Hawke (1983-1987) konsep multikulturalisme tidak berjalan baik. Namun pada tahun 1987, Hawke mendirikan Office of Multicultural Affair (OMA) dan berada di bawah Departemen Perdana Menteri. Melalui Badan ini dikembangkan konsep-konsep multikulturalisme secara lebih mendalam dan menekankan batasan-batasan konsep itu serta ide Australia sebagai suatu unsur unifikasi. Dengan begitu imigran-imigran diharapkan memberikan loyalitasnya terhadap Australia. Bahkan OMA, melalui agenda nasionalnya menjelaskan dan mempertajam defenisi multikulturalisme sebagai suatu istilah yang menggambarkan diversitas budaya dan etnik dalam Australia Baru (Londom,1992:93).

Tiga acuan yang dirumuskan Hawke dalam membatasi konsep multikulturalisme, yaitu : pertama, semua orang boleh mengekspressikan warisan kebudayaan nenek moyang mereka, asalkan tidak bertentangan dengan hukum yang ada. Kedua, semua masyarakat Australia berhak atas keadilan sosial tanpa melihat warna kulit, bahasa, agama serta keturunan, dan ketiga, effesiensi ekonomi yang mengandung keperluan untuk meneruskan dan mengembangkan serta menggunakan semua potensi-potensi komunitas baru Australia.
Dalam halaman pertama National Agenda, terlihat jelas interpretasi Hawke tentang kesatuan Australia dengan konsep multikulturalismenya, yaitu : pertama, “multicultural policies are based on the permise that all Australians future first and foremost”, kedua, “multicultural policies require all Australians to accept the basic structures and principles of Australian society – the constitution and the rule of law, tolerance and equality, parliamentary democracy, freedom of speech and religion”.(etc.), dan ketiga, multicultural policies impose obligation as well as confering rights : the right to express one’s own culture and beliefs involves and reciprocal responsibility to accept the right of others to express their view and values” (Matin,Jean,1981:145).

Beberapa Implikasi Multikulturalisme
Sebagaimana telah dikemukakan, munculnya gagasan multikulturalisme di Australia didorong oleh berbagai motivasi, salah satunya yang terpenting adalah karena terus mengalirnya para imigran dari negara-negara tetangga Asia, namun kebijaksanaan ini memunculkan reaksi-reaksi dari kalangan Anglo-Australian yang ingin mempertahankan bentuk masyarakat yang homogen. Menurut mereka, dengan diterapkannya kebijaksanaan ini, berarti terancamnya hegemoni unsur-unsur kebudayaan Anglo di Australia. Yang lebih ekstrim lagi adalah pandangan mereka bahwa multikulturalisme telah menghancurkan kebudayaan nasional. Keluhan-keluhan seperti ini secara tidak langsung telah mendorong munculnya perasan dislokasi, bahkan menumbuhkan gejolak rasisme, terutama di kalangan orang-orang Anglo Australia yang merasa kehilangan hegemoni identitas dan kebudayaan.

Di kalangan imigran juga muncul berbagai reaksi atas kebijakan multikulturalisme karena dalam prakteknya multikulturalisme menekankan pada etnisitas. Banyak kalangan yang menganggap bahwa multikulturalisme sebagai semboyan kosong yang justru bersifat rasisme struktural terutama terlihat dari prilaku ekonomi dan pasar tenaga kerja.
Kenyataan kontradiktif pelaksanaan kebijakan multikulturalisme juga terlihat dari kelompok masyarakat asli “Aborigin”. Pengalaman- pengalaman pahit yang dialami oleh penduduk asli ini semenjak mereka kehilangan tanah-tanah mereka seperti white Australian policy, assimilasi, hingga multikulturalisme, menjadikan mereka kehilangan kepercayaan terhadap negara dan pemerintahan Australia sendiri. Mereka merasa bahwa berbagai kebijakan yang diterapkan tidak lain hanyalah upaya kontrol sosial terhadap kebudayaan mereka. Posisi Aborigin pada akhirnya merupakan dilema tersendiri dalam kebijakan multikulturalisme. Oleh karena itu di tingkat birokrasi dibentuk Aboriginal Reconsiliation Council yang bekerja sama dengan The National Multicultural Advisory Council. Di sini, penekanan diberikan kepada ‘cultural diversity’ dari pada multikulturalisme, dengan harapan hal ini akan lebih mudah diterima. Namun yang paling dirasakan dalam penerapannya ialah tidak adanya upaya anti rasisme yang serius, terutama dalam mengatasi diskriminasi rasial yang berlaku dalam segala tingkatan masyarakat.

Apa yang dapat kita catatkan dari semua implikasi kebijakan multikulturalisme Australia ini adalah instabilitas politik dalam negeri akibat konflik-konflik sosial yang menyangkut masalah etnisitas dalam setiap aspek kehidupan masyarakat. Kenyataan ini sedikit banyak akan sangat mempengaruhi kebijakan politik dan pertahanan Australia sendiri pada masa-masa berikutnya.

© Irhash A. Shamad.


Politik dan Kebudayaan Etnik : Pengalaman Suku Aborigin Australia

Written By Irhash A. Shamad on 20 Maret 2009 | 11.56

Etnik Aborigin, pemukim benua Australia, pada sekitar abad-abad kedatangan bangsa kulit putih (abad ke 18), diperkirakan berjumlah 300.000 orang. Mereka mendiami pantai-pantai utara dan timur serta lembah sungai Murray dan sebahagian kecil lainnya berada di Tasmania (Kitley, 1994;362). Tidak ada penjelasan yang lebih pasti tentang kapan pertama kali orang-orang Aborigin mulai menempati benua ini, namun yang dapat dipastikan adalah bahwa mereka, sejauh yang dapat diketahui, merupakan pendatang paling awal di Australia yang datang dari belahan utara benua ini.

Etnik Aborigin yang hidup di Australia ini mengembangkan kebudayaan sendiri berdasarkan kondisi lingkungan alam di mana mereka hidup. Mereka hidup dengan cara berburu dan mengumpulkan makanan (food gathering) dan ini sudah dipertahankan semenjak beribu-ribu tahun sebelum kedatangan bangsa kulit putih. Mereka tidak mengenal pertanian, karena, disamping faktor lingkungan alam yang kurang mendukung untuk diolah menjadi lahan pertanian, juga disebabkan oleh tidak adanya bibit tanaman untuk pertanian. Kenyataan ini ternyata dapat mereka pertahankan dalam waktu yang lama, karena cara ini mereka anggap paling effesien dalam memanfaatkan alam sebagai sumber kehidupan.

Orang Aborigin menganggap diri mereka adalah bahagian dari alam dan semua benda-benda alam seperti binatang dan tumbuh-tumbuhan, menurut mereka, mempunyai sifat yang sama dengan manusia. Oleh karenanya dalam tradisi Aborigin sangat dipentingkan menjaga keharmonisan alam. Dalam mengumpulkan bahan makanan dan berburu mereka selalu menjaga keseimbangan alam serta mampu memelihara sumber kehidupan. Sehingga dengan demikian persediaan sumber itu selalu terjamin.

Menurut tradisi orang-orang Aborigin, tanah adalah merupakan bahagian yang sangat penting dalam kehidupan mereka. Tanah adalah suatu yang bersifat sakral, pemilikan atas tanah adalah mutlak untuk menjaga keharmonisan jagad raya. Sebelum kedatangan orang Eropa, hampir semua daratan Australia telah dipatok menjadi wilayah-wilayah suci setiap suku Aborigin. Wilayah dan batas-batasnya (border) mereka ingat dengan baik melalui balada-balada, karena mereka memang tidak melakukan pencatatan tertulis untuk itu. Di wilayah-wilayah itulah mereka melakukan segala kegiatan mulai dari berburu, mengumpul bahan makanan dan melaksanakan upacara-upacara keagamaan. Setiap border biasanya didiami oleh satu suku Aborigin yang masing masing memiliki spesifikasi budaya dan bahasa yang berbeda-beda.

Orang-orang Aborigin memiliki sistem kepercayaan "dream time". Mereka percaya kepada arwah nenek moyang dan percaya kepada kekuatan-kekuatan magic yang dimiliki oleh alam terutama binatang. Disamping itu mereka juga dikenal sebagai pembuat obat yang diolah dari sumber-sumber alam. Hidup orang-orang Aborigin dikenal sebagai serba upacara. Hal itu mereka anggap penting dalam setiap pelaksanaan pekerjaan seperti perkawinan, kematian, kelahiran dan sebagainya. Peranan orang tua sangat menentukan dalam sistem kehidupan orang-orang Aborigin. Dewan Orang Tua (Council of Elders) berperan terutama dalam menentukan perang antar suku, upacara kelahiran, sunatan (inisiasi), keuntungan, pembagian makanan dan upacara kematian.

Nuansa sakral sangat dominan terlihat dalam kesenian Aborigin. Hal ini dibuktikan dengan ragam kesenian visual yang dihasilkan seperti lukisan, cukilan, goresan dan kerajinan menjalin serat (Kitley, 1994;391). Kebanyakan ekspressi kesenian itu dihubungkan dengan arwah para leluhur mereka. Cukilan pada batu dan kayu merupakan peninggalan kesenian dekoratif tertua seperti yang terdapat di kepulauan Melville dan Bathrust yang digunakan untuk dekorasi-dekorasi makam. Orang-orang Aborigin juga sangat dikenal dengan lukisan mereka. Yang paling spesifik dari lukisan itu adalah media lukis yang digunakan yaitu zat pewarna yang alamiah. Pewarna ini mereka olah sendiri dengan menggunakan bahan-bahan murni dari alam (terutama tumbuh-tumbuhan).

Kontak Dengan Budaya Luar

Perkenalan pertama orang Aborigin dengan dunia luar bukanlah dengan orang kulit putih akan tetapi dengan orang Indonesia. Menurut Dr. Ian Crawford, kurator antropologi dan arkeologi Museum Australia Barat, orang Indonesia itu adalah para nelayan dan pelaut musiman dari Makasar yang mencari tripang di pantai utara Australia, diperkirakan mereka telah mengenal Australia semenjak abad ke 16 (Kitley,1994,380). Semanjak itu orang-orang Aborigin mulai mengenal dan bahkan menyerap unsur-unsur budaya luar. Hal ini seperti yang terlihat dalam beberapa bentuk tradisi budaya seperti seni, musik, keagamaan juga dalam hal perpakaian.
Kontak awal orang-orang Indonesia dengan orang-orang Aborigin ini berawal dari kegiatan pencarian Tripang yang dilakukan oleh pelaut-pelaut Makasar (Bugis).

Tripang adalah merupakan sejenis ikan laut yang berbentuk mentimun yang sangat laku dijual kepada saudagar-saudagar Cina. Karena pencarian Tripang inilah orang-orang Bugis mampu mengharungi lautan hingga mencapai pantai bahagian utara benua Australia dengan terlebih dahulu singgah di pulau-pulau kecil di ujung Timor (Kitley,1994;413).

Kisah pencarian Tripang ini kemudian berlanjut menjadi kontak budaya antara penduduk Aborigin dengan pendatang-pendatang Bugis. Kontak ini berlangsung wajar meskipun kadang-kadang terjadi konflik, namun hubungan-hubungan yang lebih intim tidak jarang juga terjadi di antara mereka. Salah seorang sejarawan Australia, Peter G. Spillet pernah mencatat tidak kurang dari 250 suku kata Bugis Makasar dan Melayu masuk ke dalam perbendaharaan kata orang-orang Aborigin (Kitley,1994;414). Bahkan di beberapa daerah di bahagian utara Australia terdapat nama-nama Makasar, seperti Kayu Jawa (sebutan untuk Kimberley), Teluk Mangko (teluk North West), Teluk Mangngelai (teluk Grays), Kampung Bapa Paso ( Father Nail di pulau Woodah). Kunjungan-kunjungan nelayan-nelayan Bugis ini biasanya hanya di wilayah-wilayah pantai dan menetap untuk beberapa waktu. Persinggahan ini berlangsung sejak lama, hingga pada tahun 1907 dimana pemerintahan Australia melarang masuknya nelayan-nelayan asing ke Australia.

Kedatangan Bangsa Kulit Putih
Kedatangan pertama bangsa kulit putih ke Australia pertama kali dirintis oleh William Jansen dari Belanda. Ia dengan ekspedisi Duyfken mendarat di Cape York pada tahun 1605. Lebih kurang sepuluh tahun kemudian menyusul Dirk Hartock yang mendarat di pantai barat Australia. Abel Tasman mengunjungi Tasmania dan Selandia Baru pada tahun 1642. Sedangkan pelaut Belanda terakhir yang mencapai Australia adalah Willem de Vlamingh. Ia mendarat di Perth pada tahun 1696.

Pelaut Inggris yang pertama kali mengunjungi Australia adalah William Dampier. Ia mendarat di pantai barat Australia pada tahun 1688. James Cook, salah seorang perwira Angkatan Laut Inggris, yang secara resmi diperintahkan oleh pemerintahan Inggris untuk menemukan "Terra Australis Incognita" suatu daratan luas yang membentang di dekat kutub selatan. Pada tahun 1769 ia dapat mencapai New Zealand. Dari sinilah pada tahun berikutnya ia melanjutkan perjalanan ke benua Australia. Ia mendarat di pantai timur Australia pada tahun 1770, suatu pantai yang sebelumnya tidak pernah dikunjungi oleh pelaut-pelaut Inggris. Daerah pertama yang dikunjungi itu kira-kira terletak antara New South Wales dan Victoria sekarang. Daerah ini pada mulanya dinamakan dengan Stingray Harbour, tetapi kemudian dirobah namanya menjadi Botany Bay (Siboro,1990;24). Orang Inggris yang pertama kali yang memberi nama benua baru ini dengan Australia adalah Matthew Flinders, dia pulalah yang pertama kali berhasil mengelilingi benua Australia pada tahun 1798 dan membuat peta Australia untuk pertama kalinya (Sabari, 1991;71).

Kedatangan orang-orang Eropa ke benua Australia pada awalnya tidak didasari oleh pengetahuan yang memadai tentang kehidupan masyarakat yang menghuni benua ini. Mereka mengenal benua ini sebagai "Terra Australis Incognita" atau daratan selatan yang belum dikenal. Kenyataan ini menjadikan mereka merasa "asing" sewaktu menemukan penghuni benua ini ; merasa asing ketika melihat pola kehidupan masyarakat di wilayah ini, dan malah menganggap penduduk asli itu sebagai tidak berbudaya, kotor dan jorok. Sikap yang diperlihatkan oleh pendatang-pendatang 'putih' ini telah meninggalkan kesan awal yang tidak simpati bagi penduduk setempat, mereka antipati dan malah sakit hati dengan kedatangan bangsa kulit putih ini. Sehingga tidak jarang diantara kedua suku bangsa ini terjadi konflik-konflik yang tidak habis-habisnya.

Pada saat Inggris mulai menjadikan Australia sebagai wilayah pembuangan para tahanan mereka, maka dibukalah daerah-daerah koloni baru di benua ini. Yang pertama dijadikan sebagai koloni tahanan (penal colony) adalah New South Wales. Di daerah ini dibentuk masyarakat baru yang terdiri dari mayoritas para tahanan dan bekas tahanan di bawah pimpinan seorang gubernur Inggris pertama di sini yaitu Arthur Philip. Ia menggerakkan pembangunan koloni baru itu dan dengan memakai tenaga kerja para tahanan, dibukalah pemukiman-pemukiman baru, jalan-jalan, lahan-lahan pertanian serta fasilitas-fasilitas umum lainnya.

Keadaan serta suasana pembukaan wilayah pemukiman baru ini telah mengganggu tatanan kehidupan masyarakat asli (Aborigin). Border-border wilayah suku-suku mereka yang selama ini dijaga dengan baik menjadi berantakan. Apalagi pula wilayah-wilayah itu kemudian dikuasai pemilikannya oleh para pendatang secara paksa tanpa mempertimbangkan keberadaan pemilik awalnya. Seiring dengan pertambahan penduduk dan bertambahnya jumlah para tahanan Inggeris yang dibuang ke wilayah ini, maka makin luas pula wilayah-wilayah yang harus dibuka. Ini berarti juga semakin berkurangnya wilayah-wilayah suku Aborigin. Mereka semakin terdesak ke wilayah pedalaman.

Kehilangan 'tanah suku' bagi orang Aborigin adalah hal yang paling menyakitkan, karena -seperti sudah dikemukakan- tanah bagi mereka adalah pusat kehidupan dan bahkan hubungan mereka dengan wilayah pemukiman lebih dari sekadar tempat tinggal, namun bersifat spritual (Strelein (ed.),1998;6). Karena itu kedatangan orang-orang Eropa serta sikap-sikap mereka dalam penguasaan wilayah, telah mengobrak-abrik kehidupan orang-orang Aborigin yang selama ribuan tahun telah berjalan dengan harmonis, daerah perburuan dan sumber makanan mereka juga semakin sempit dan mereka kehilangan bahagian yang sakral dari kehidupan mereka. Kenyataan inilah yang untuk masa-masa selanjutnya menjadi sumber konflik yang berkepanjangan antara penduduk asli dengan pendatang-pendatang Eropa, bahkan hingga saat ini.

Benturan Tradisi
Hadirnya orang-orang kulit putih di benua Australia tidak saja telah mengacaukan border-border suku Aborigin, tetapi juga telah memporakporandakan sistem budaya serta tradisi-tradisi masyarakat pribumi ini. Dalam kehidupan orang Aborigin, antara pemilikan tanah dengan tradisi budaya dan kepercayaan sangat terkait erat. Oleh karena itu bilamana salah satunya terganggu berarti akan sangat berpengaruh terhadap yang lainnya. Kehadiran bangsa kulit putih di wilayah ini, yang meskipun dengan peradaban yang maju, namun sama sekali tidak membawa dampak yang baik bagi peradaban masyarakat setempat, setidaknya hal itu menurut pandangan Aborigin sendiri. Ini sangat mungkin disebabkan oleh perbedaan-perbedaan pandangan antara kedua suku bangsa yang sangat jauh bertolak belakang dalam melihat alam serta kehidupan itu sendiri.

Perbedaan pandangan ini telah menjadi sumber ketegangan-ketegangan antara kedua belah pihak yang pada dasarnya menyulut konflik-konflik yang tak terselesaikan. Akar dari semua itu adalah benturan-benturan tradisi yang berseberangan serta prilaku-prilaku yang kurang akomodatif dari pendatang terhadap keberadaan tradisi masyarakat yang telah mapan di wilayah ini. Benturan yang dimaksudkan adalah sikap-sikap budaya yang kontradiktif antara kedua suku bangsa ini, seperti dalam memandang 'tanah'. Orang-orang Aborigin cendrung melihat dan memperlakukan tanah sebagai bahagian dari kehidupan mereka dan malah dianggap sakral. Tanah harus dijaga kelestarian dan keberlangsungan produktifitasnya dengan tidak merusaknya. Sementara pandangan Eropa terhadap tanah sebagai suatu unit produksi bagi kehidupan mereka yang harus dimanfaatkan semaksimal mungkin tanpa mempersoalkan keseimbangan ekologinya. Benturan ini juga terlihat dari sistem pemilikan. Dalam masyarakat Aborigin secara tradisional berlaku sistem pemilikan bersama (common ownership) terhadap tanah dan hasil produksinya seperti hasil buruan dan makanan. Sedangkan sistem pemilikan dalam masyarakat Eropa, seperti yang juga dianut oleh pendatang putih ini adalah pemilikan perorangan (individual ownership).

Benturan-benturan tradisi yang kontradiktif ini lebih dilengkapi lagi dengan perbedaan rasial antara kedua suku bangsa serta perasaan superioritas barat yang dimiliki oleh orang-orang Eropa yang memandang kehidupan timur sebagai kehidupan yang terkebelakang, seperti kesan awal yang mereka dapatkan pada saat pertama kali datang ke wilayah ini. Kenyataan-kenyataan itu telah menciptakan jurang yang dalam pada proses assimilasi kedua budaya tersebut. Malah dalam perkembangannya telah melahirkan konflik-konflik yang panjang dan sukar untuk dapat disatukan dalam kehidupan bersama yang harmonis.

Diskriminasi Rasial
Semenjak kedatangan orang-orang Eropa ke wilayah Australia hingga saat terbentuknya koloni-koloni tahanan sampai pada terbentuknya pemukiman-pemukiman baru orang-orang Eropa, yang dialami oleh orang-orang Aborigin tidak lebih hanyalah penggerogotan hak-hak mereka. Sumber alamnya dikeruk, namun kehidupan mereka makin terisolir ke wilayah pedalaman atau didesak untuk hidup dalam koloni yang berkembang tetapi dengan perlakuan-perlakuan yang diskriminatif.

Jumlah penduduk negara Australia pada waktu-waktu terakhir ini sebanyak lebih kurang 21 juta jiwa. Diantara jumlah itu hanya 460.000 orang penduduk asli (Aborigin). Jumlah itu hanya mengalami kenaikan sekitar 50 porsen dari jumlah Aborigin pada saat kedatangan orang-orang Eropa. Ini artinya merupakan gambaran yang buruk bagi pertumbuhan suatu populasi, hal ini sekaligus juga memperlihatkan betapa pola kehidupan bersama dalam masyarakat Australia terdapat ketidak seimbangan hak antara orang-orang kulit putih dengan penduduk asli, terutama dalam perlakuan-perlakuan, sikap-sikap dan sebagainya yang ditunjukkan oleh pemerintahan. Kalaupun kesempatan pekerjaan diberikan kepada mereka, itupun terbatas pada lapangan pekerjaan rendahan dengan upah yang sangat rendah pula.

Pengalaman-pengalaman yang panjang dengan keadaan yang disebutkan, telah membisikkan rasa ketidakadilan ke telinga mereka. Kenyataan itu pulalah yang menyebabkan komunikasi antara orang-orang Aborigin dengan orang-orang Eropa menjadi sangat terganggu, baik dalam penyelenggaraan pemerintahan maupun dalam kehidupan sehari-hari, meskipun Kantor Urusan Penjajahan di London telah menginstruksikan agar hak-hak orang Aborigin harus dijaga sesuai dengan hak-hak yang didapat oleh orang-orang Inggeris (Kitley,1994;353). Hal itu ternyata tidak mempengaruhi hubungan kedua belah pihak. Kehidupan Aborigin semakin jauh terpisah dengan kehidupan orang-orang Eropa modern. Reaksi-reaksi yang mereka lakukan terhadap orang Eropa semakin memperlihatkan rasa ketidak adilan yang mereka terima. Mereka melakukan perang-perang gerilya dan membunuhi hewan-hewan peliharaan musuh.

Apa yang digambarkan diatas belumlah seberapa dibandingkan dengan nasib yang mereka terima pada saat mereka diusir, dibunuh dan dipreteli hak-hak hidupnya. Setidaknya sampai tahun 1967, kehidupan suku-suku Aborigin makin terisolir dari kehidupan masyarakat Eropa di wilayah ini, bahkan keberadaan mereka tidak dianggap sebagai warga negara Australia dan tidak masuk dalam konstitusi. Kemudian atas desakan orang-orang Aborigin dan sebahagian orang Eropa yang sadar, maka diadakanlah referandum untuk mengubah konstitusi yang menyangkut hak-hak Aborigin. Akhir tahun itu dibentuklah Kantor Urusan Aborigin untuk merumuskan hal hal yang selayaknya dilakukan pemerintah untuk memperbaiki keadaan. Namun upaya itu tidak memperlihatkan hasil yang menggembirakan. Reaksi menolak upaya ini justru muncul dari pemerintahan wilayah Queensland, di mana orang-orang Aborigin lebih banyak hidup dengan perlakuan-perlakuan yang tidak wajar. Pemerintahan wilayah ini ingin mempertahankan kekuasaan kolonialnya yang rasial. Bahkan di negara bahagian ini pernah muncul gagasan diskriminatif etnis terhadap Aborigin untuk mengisolasi mereka ke salah satu wilayah di pantai barat laut Australia. Sehingga dengan demikian lebih mudah mengendalikan dan menjalankan kebijaksanaan terhadap mereka. Sementara itu kaum peranakan Aborigin yang hidup ditengah-tengah bangsa kulit putih harus disterilkan (Kitley,1994;394), sehingga dengan demikian populasi mereka di tengah-tengah masyarakat kulit putih dapat dihambat.

Penuntutan hak-hak Aborigin mulai dilancarkan kepada pemerintahan Australia secara resmi pada tahun 1971, pada saat orang-orang Aborigin mendirikan tenda di depan gedung Parlemen Nasional Australia sebagai Kedutaan Besar mereka. Inti dari tuntutan itu pada dasarnya ialah pengakuan atas penderitaan masa lalu mereka atas perlakuan orang-orang kulit putih. Hak-hak mereka atas tanah yang telah diobrak abrik dan dipreteli serta kehidupan suku-suku Aborigin yang dalam prakteknya selalu didiskriminasi. Oleh karenanya yang sangat diidamkan oleh orang-orang Aborigin pada dasarnya bukanlah persamaan hak dengan orang-orang Eropa dalam hal kesempatan kerja dan perolehan pendapatan dari hasil produksi semata, akan tetapi pengembalian hak atas tanah mereka, sehingga keberlanjutan tradisi Aborigin dapat tetap terpelihara. Namun hingga saat ini apa yang diimpikan itu masih jauh dari harapan. Sehingga kehidupan Aborigin di wilayah mereka seperti tersisih. (baca lanjutannya klik di sini)

© Irhash A. Shamad


Maklumat

Maklumat
 
Support : Pandani Web Design
Copyright © 2009-2014. Irhash's Cluster - All Rights Reserved
Template Created by Maskolis
Proudly powered by Blogger