TERBARU

Buku : Boekittinggi Tempo Doeloe

Written By Irhash A. Shamad on 27 Januari 2009 | 00.48

"Bukittinggi Koto Rang Agam"
Tinjauan atas buku : “Boekittinggi Tempo Doeloe” Karya : Zulqayyim, Pen. Andalas University Press, Padang 2006

Pertama sekali saya ingin memberikan apresiasi terhadap buku yang ditulis oleh sdr. Zulqayyim ini, atas pilihannya untuk memaparkan fenomena sejarah sebuah kota pedalaman Minangkabau di masa lalu. Kota yang kita ketahui banyak memainkan peranan semenjak masa kolonial Belanda, masa Jepang, bahkan setelah Indonesia merdeka. Proses perkembangan Pakan Kurai yang kemudian menjadi kota Bukittinggi, oleh penulis, dideskripsikan dengan narasi yang sangat menarik untuk dibaca. Ketika saya menyimak paragraf-paragraf yang dibangun oleh penulis pada halaman demi halaman, saya tidak menyadari bahwa saya sudah sampai pada paragraph-paragraf akhir narasi historisnya, bahkan karena “sangat menikmati” saya lupa bahwa saya harus memberikan ulasan terhadap buku ini. Ini tentu merupakan salah satu indikasi keberhasilan sebuah pengungkapan sejarah, di mana penulis, mampu mengajak pembaca untuk “masuk” dan menikmati “wisata” masa lalu.

Setelah menyadari sejenak atas keharusan memberikan telaahan terhadap buku ini, saya kembali membaca beberapa item yang sebenarnya sudah dilalui.Saya memulainya dari pokok pikiran yang tertuang pada bentangan bab-babnya dan kaitan bagian dengan keseluruhan karangan. Ketika itulah terasa bahwa ada satu pertanyaan yang mengganggu saya, yaitu apa yang sebenarnya ingin dijelaskan dari pemaparan sejarah kota Bukittinggi ini?. Setidaknya ada tiga tendensi pokok yang menurut saya ingin dikemukakan penulis pada buku ini, pertama : proses terbentuknya kota dalam aspek topografis, morfologis, dan demografisnya, kedua, tentang peran Bukittinggi dalam berbagai perkembangan sejarah secara makro, dan ketiga aspek perubahan-perubahan sosial dan budaya yang terjadi sebagai implikasi perubahan pranata sosial tradisional nagari menjadi kehidupan perkotaan.

Dalam penulisan sejarah, pembatasan kronologis dan geografis sangat penting untuk kedalaman analisis, namun pembatasan tematis tentu lebih penting lagi, karena selain untuk kedalaman analisis juga sangat menentukan perspektif yang akan digunakan. Seringkali luasnya aspek tematis suatu penulisan menuntut banyaknya variabel yang dimunculkan dalam pembahasan. Hal ini pada gilirannya menyebabkan mainstream tulisan cendrung kehilangan arah. Kecendrungan ini juga terlihat dari buku ini. Empat bab selain bab pendahuluan dan epilog, masing-masing mewakili satu variable dan semuanya masing-masing berdiri sendiri-sendiri, paling tidak, pada bab empat dan lima. Bila proses terbentuknya kota Bukittinggi, masih dapat dipahami dalam kaitannya dengan latar sosial budaya dan ekonomi, maka variable pendidikan dan peran kota ini dalam pergerakan nasional menjadi kehilangan konteks.

Tanpa bermaksud memberikan koreksian atas buku ini, pada kesempatan sharing ini saya hanya akan menawarkan sebuah alternatif perspektif yang mungkin perlu dipertimbangkan dalam melakukan analisis terhadap kota Bukittinggi, yaitu perspektif analisis dalam kerangka budaya masyarakatnya (emic approach). Pendekatan ini, paling tidak, dapat melengkapi penjelasan strukturalisme historis yang telah dikemukakan pada buku ini.

Penulis buku ini telah mengawali deskripsi sejarah terbentuknya kota Bukittinggi dengan mengemukakan latar belakang sosial dan budaya. Saya semula berharap bahwa pada bab ini terdapat gambaran tentang bagaimana kehidupan masyarakat dan budaya di nagari Kurai sebelum menjadi “kota” Bukittinggi. Bila struktur sosial masyarakat Kurai telah dikemukakan dengan baik, maka tidak demikian halnya dengan latar budaya masyarakatnya. Apa yang disebutkan terakhir ini, menurut saya, cukup penting. Proses menjadi kota, setidaknya untuk kasus Bukittinggi, perlu diberangkatkan dari penelusuran aspek budaya itu, karena Bukittinggi, selain menjadi bagian dari sebuah budaya besar Minangkabau, wilayah ini juga dikenal oleh masyarakat Minang sendiri sebagai Koto Rang Agam.

Sebutan Koto, tidak dapat sekedar dipahami sebagai tahapan perkembangan proses terbentuknya nagari baru, namun secara kultural, Koto Rang Agam lebih menggambarkan konsep “ruang budaya” dimana transaksi budaya berbagai komunitas nagari-nagari berlangsung di dalamnya. Sebutan ini juga sekaligus merupakan simbol bagi pemersatuan Agam dan Bukit-tinggi. Antara kedua wilayah ini tidak begitu saja dapat “dipisahkan”, karena kuatnya kesalingtergantungan keduanya dalam berbagai aspek, terutama ekonomi. Penetapan Bukittinggi sebagai sebuah ¬gemeente oleh Belanda tahun 1918 dan kemudian pada tahun 1930 dianggap merupakan sebuah pengingkaran budaya (Sayangnya dalam buku ini penulis tidak melengkapi gambaran bagaimana taktik Belanda atas reaksi masyarakat Kurai yang memprotes kebijakan Belanda atas tanah mereka pada tahun 1906. Belanda memperhadapkan penghulu Kurai dengan masyarakat Agam Tuo, suatu taktik pemecah belah untuk keuntungan Belanda). Karena itu pula, keluarnya PP No. 84 tahun 1999 yang tidak lebih dan tidak kurang sama konyolnya dengan keputusan Belanda menjadikan gemeente, telah mengundang pro dan kontra berkepanjangan seputar masalah pemekaran kota Bukittinggi baru-baru ini.

Adat Minangkabau telah mengatur secara ketat tentang wilayah-wilayah kultural secara bertingkat yang sekaligus menunjukkan pembagian properti dan kewenangan, di mana otoritas tertinggi ada pada nagari. Selain itu, otoritas nagari yang otonom (adat salingka nagari) juga mengatur tentang tatacara masuknya unsur-unsur luar ke dalam suatu wilayah nagari secara adat. Dari aspek inilah yang agaknya perlu penelusuran tentang proses perkembangan nagari Kurai menjadi Koto Rang Agam. Dalam struktur kepemimpinan adat di Bukittinggi tempo dulu, ada sebutan Penghulu Dagang di luar kepemimpinan penghulu pucuk di nagari Kurai. Penghulu dagang mempunyai otoritas tersendiri di lingkungan para pendatang. Mereka layaknya penghulu-penghulu suku yang memiliki kewenangan dan properti tersendiri. Terdapatnya apa yang disebut dengan Surau-Surau Dagang seperti Surau Dagang Balingka (yang kini menjadi Masjid Raya), Surau Banuhampu di Aur Tajungkang dan lainnya, tentu ada kaitannya dengan struktur kepemimpinan ini. (lihat : Taufik Abdullah dan S. Budhisantoso, 1983 : 29)

Perspektif struktural yang digunakan oleh penulis dalam melihat perkembangan kota Bukittinggi ternyata dalam beberapa hal telah memberikan prakonsepsi kepada penulis untuk memposisikan Bukittinggi sebagai kota dalam perspektif kolonial, sehingga pada saat menjelaskan tentang bagai-mana kepemilikan kota Bukittinggi tidak semakin mempersempit jurang pertikaian antara masyarakat Kurai dengan Agam. Menurut saya, penjelasan kultural terhadap permasalahan yang menyangkut status Bukittinggi bagi orang Agam sangat mungkin dapat menjadi solusi bagi masalah pemekaran kota Bukittinggi yang hingga saat ini masih saja menghangat.

Menyangkut variabel ekonomi, Lewis Mombard pernah menyebutkan bahwa ekonomi membawa masuk unsur-unsur modernisasi yang sangat berperan melahirkan kota (Lewis Mombard, 1950 : 120-121). Modernisasi ditunjukkan oleh struktur kehidupan yang makin kompleks, baik secara fisik maupun pranata-pranatanya. Kompleksitas ini melahirkan difirensiasi lapangan kerja. Menurut Mombard difirensiasi dan spesialisasi menjadi faktor penting meningkatkan mobilitas sosial perkotaan. Selain faktor ekonomi, terbentuknya kota juga ditentukan oleh faktor politik, sebagaimana kita lihat dengan munculnya kota-kota sebagai pusat pemerintahan jajahan. Namun terkait hal ini, penulis tidak menyimpulkan hubungan yang jelas antara mobilitas sosial vertikal di Bukittinggi dengan variable pendidikan yang dijalankan oleh pemerintah Belanda, meskipun bahasan tentang pendidikan kolonial di Bukittinggi sudah menempati bab tersendiri pada buku ini.

Dalam kaitannya dengan mobilitas sosial vertikal sebagai gejala perkotaan akibat difirensiasi dan spesialisasi lapangan kerja, secara umum memperlihatkan bahwa ternyata pendidikan tidak menjadi faktor akselerasi yang signifikan di masa kolonial. Menurut Sartono Kartodirdjo, mobilitas vertikal berjalan relatif lambat akibat dualisme persekolahan yang didasarkan atas diskriminasi rasial serta realitas penjajahan itu sendiri (Sartono Kartodirdjo, 1999 : 75-76). Itu artinya bahwa meningkatnya lulusan sekolah tidak selalu berbanding lurus dengan terjadinya mobilitas vertikal. Suatu implikasi kultural lainnya yang perlu dipertimbangkan di sini sebagai akibat munculnya sekolah-sekolah Belanda itu adalah terbentuknya suatu strata sosial baru dari kalangan pribumi yang makin memisah dari akar tradisi mereka.

Semenjak sebelum kedatangan Belanda, selain strata bangsawan dari kalangan adat, jaringan pendidikan tradisional telah pula menempati peran ideologis dalam perubahan sosial. Elit sosial dari kalangan agama yang muncul dari sistem pendidikan tradisional ini telah menempati strata tersendiri dalam masyarakat di nagari-nagari sekitar Bukittinggi dan pengaruhnya bahkan melintasi batas-batas nagari mereka sendiri. Analisis terhadap kota Bukittinggi, tentu memerlukan penjelasan yang memadai dari ketiga strata yang disebutkan itu, bila dikaitkan dengan acuan kultural Bukittinggi sebagai Koto Rang Agam, apalagi dalam menemukan hubungan antara beberapa variabel yang ditawarkan pada buku ini.

Terakhir, fakta-fakta tentang Bukittinggi tempo dulu yang disajikan oleh penulis pada buku ini telah memperkaya wawasan kita tentang sejarah kota pedalaman (inland city), suatu unit kesejarahan yang selama ini belum banyak disentuh. Sementara apa yang dapat saya kemukakan pada kesempatan ini, saya harap ada manfaatnya.

Kepustakaan :
Depdikbud RI., (1997), Sejarah Pendidikan Daerah Sumatera Barat, Jakarta : Depdikbud RI.
Lewis Mombard (1950), The City ini History, New York : Harcourt, Brace, and World Inc.
Mansoer, M.D., dkk., 1970, Sejarah Minangkabau, Jakarata : Bhratara
Mestika Zed dkk. (1992), Perubahan Sosial di Minangkabau, Implikasi Kelembagaan dalam Pembangunan Sumatera Barat, Padang : Pusat Studi Pembangunan dan Perubahan Sosial Budaya Universitas Andalas.
Mestika Zed, 2002, “Politik Identitas, Respon-Respon Orang Minangkabau terhadap Perubahan Sejarah” (makalah Temu Budaya), BKSNT Padang
Sartono Kartodirdjo (1999), Pengantar Sejarah Indonesia Baru, Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme, Jakarta : Gramedia,
Taufik Abdullah dan S. Budhisantoso,1983, Sejarah Sosial Daerah Sumatera Barat, Jakarta : Depdikbud, hal. 58-61

© Irhash A. Shamad
Makalah, disampaikan dalam acara Bedah Buku 50 Tahun Universitas Andalas, di Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang, 12 Maret 2007.



,

Buku : The New Cultural History

Written By Irhash A. Shamad on 21 Januari 2009 | 23.50

Tinjauan atas buku : Lynn Hunt (ed.) (1989), The New Cultural History, Berkeley-Los Angeles-London : University of California Press.
Pengantar :
The New Cultural History karya Lynn Hunt ini mendapatkan bentuk awalnya pada konferensi “French History : Texts and Culture” yang diadakan di Universitas California pada tanggal 11 April 1987 pada saat kunjungan Roger Chartier selama sebulan di Berkeley. Buku ini merupakan sebuah bunga rampai yang ditulis oleh delapan orang penulis dan membicarakan delapan topik utama. Sebagaimana lazimnya sebuah buku bunga rampai, buku inipun menyajikan setiap sub bahasan yang merupakan satu pokok pikiran tersendiri yang terpisah dari sub bahasan lainnya.

Buku ini dibagi dalam dua bagian. Bagian pertama berisi empat tulisan masing-masing dari Patricia O’rien, Suxanne Desan, Aletta Biersack, dan Lloyd S. Kramer. Setiap topik bagian ini membahas tentang karya dan pemikiran dari tokoh-tokoh sejarah dan budaya seperti Michael Foucault, E. P. Thompson dan Natalie Davis, Geertz, serta Hayden White dan Dominick La Capra. Pada prinsipnya, keempat tulisan pada bagian pertama ini memberikan kritik dan apresiasi terhadap model yang telah ditawarkan pada sejarah budaya.

Bagian kedua menjelaskan tentang pendekatan baru (dalam sejarah budaya) yang ditulis oleh empat orang penulis, yaitu Mary Ryan, Roger Chartier, Thomas W. Laqueur, Randolph Starn. Pada bagian ini dibicarakan beberapa contoh pendekatan baru sejarah budaya. Karenanya buku ini selain membahas tentang pemikiran pada ahli, juga berbagai pendekatan yang kiranya dapat dipakai untuk keperluan studi sejarah budaya.

Model-model Sejarah Budaya :
Dalam sejarah, peralihan ke sejarah sosial dipercepat oleh pengaruh dua paradigma penjelasan, yaitu di satu pihak oleh Marxisme dan aliran Annales di lain pihak. Meskipun Marxisme hampir usang pada tahun 1950-an dan 1960-an, namun sebuah aliran baru muncul dalam suatu bentuk penjelasan yang mendorong para sejarawan menaruh perhatian pada sejarah sosial. Pada akhir tahun 1950-an suatu kelompok muda sejarawan penganut Maxis mulai mempublikasikan buku dan artikel-artikel mengenai “sejarah dari bawah”. Dengan diilhami oleh pemikiran ini, para sejarawan di tahun 1960-an dan 1970an beralih dari sejarah tradisional yang melulu membicarakan sejarah mengenai para pemimpin politik dan institusi politik, ke sejarah mengenai struktur sosial dan kehidupan sehari-hari seperti : para pelayan, wanita, kelompok-kelompok etnik, dan semacamnya.

Pada saat yang bersamaan berkembang pula pengaruh aliran Annales yang didirikan oleh Marc Bloch dan Lucien Febvre sejak tahun 1929. Seperti dikatakan oleh Traian Stoianovich bahwa aliran Annales menekankan pada pendekatan serial, fungsional, dan struktural, untuk memahami masyarakat sebagai organisma yang menyeluruh dan terintegrasi. Paradigma Annales menyelidiki tentang bagaimana sistem dari fungsi-fungsi sosial atau bagaimana keseluruhan dari fungsi-fungsi itu berkolaborasi dalam kurun waktu tertentu secara multi dimensi, yaitu : dimensi temporal, spasial, individual, sosial, ekonomi, budaya, dan sebagainya. Braudel, tokoh aliran Annales sesudah Perang Dunia II dalam disertasinya mengenai Laut Tengah pada masa Philip II, mengetengahkan tiga tingkatan analisa yang dihubungkan dengan tiga unit masa yang berbeda, yaitu : structure yang merupakan kurun waktu yang cukup panjang, dan umumnya didominasi oleh lingkungan geografi ; conjucture atau masa menengah yang diorientasikan pada kehidupan sosial ; serta event (peristiwa) dimana didalamnya termasuk juga tentang politik dan semua hal yang berhubungan dengan individu.

Le Roy Ladurie dan Pierre Goubert mencoba membangun model alternatif mengenai sejarah total kawasan yang difokuskan bukan hanya pada kawasan ekonomi saja, tapi justru pada kawasan Perancis secara keseluruhan. Dalam kajian mereka, sejarah ekonomi dan sosial Foucaults serta pengalamannya sebagai sejarawan budaya memberi alasan secara meyakinkan bahwa kajian budaya dari Foucault melalui prisma teknik kekuasaan, ditempatkan secara strategis dalam wacana ilmiah. Michael Foucault pertama kali mempublikasikan karyanya pada tahun 1961, yaitu Histoire de la Folie mengenai sejarah tentang “kesewenang-wenangan” abad ke-16 hingga abad ke-18 yang benar-benar berada di luar paradigma sejarah sosial baru. Bentuk penulisan Foucault sudah jarang diakui sebagai model alternatif bagi penulisan sejarah budaya, suatu model yang merupakan wujud suatu kritik fundamental terhadap analisis para pengikut Marx dan Annales.

Menurut Patricia, karya kontroversial Foucault merupakan sebuah pendekatan alternatif dalam sejarah budaya baru. Foucault mempersoalkan berbagai prinsip lengkap dan utuh dalam semua bidang sejarah sosial ; dan bahwa masyarakat itu sendiri adalah realitas yang dapat dikaji. Patricia menekankan bahwa meski Foucault adalah seorang sejarawan yang mengkaji tentang sistem pemikiran, namun ia harus dibedakan dengan para sejarawan mentalitas, yang lebih memfokuskan perhatian pada masyarakat, keluarga dan individu. Dalam kajiannya mengenai peradaban barat, Foucault menempatkan prinsip-prinsip organisasi kekuasaan sebagai inti. Kebudayaan dikaji melalui “teknologi” kekuasaan, dan bukan melalui kelas, kemajuan, dan bukan pula melalui dorongan semangat manusia. Menurut Foucault, kekuasaan tidak dapat dipahami melalui kajian mengenai konflik, pergolakan, dan perlawanan. Kekuasaan tidaklah ditandai oleh kelas (borjuis) atau pemegang peran (elit). Bagi Foucault, kekuasaan adalah strategi kebijakan untuk memfungsikan (persetujuan, manuver, taktik, dan tekhnik). Foucault tidak memperlihatkan evolusi atau perulangan. Ia menyebut metodenya dengan “genealogical” yang diartikannya sebagai sesuatu yang kelabu, cermat, dan menggunakan bahan-bahan dokumen dengan sabar dan hati-hati.

Tulisan kedua dari bagian pertama buku ini ditulis oleh Suzanne Desan yang mempersoalkan mengenai keramaian, masyarakat dan ritual karya E.P.Thompson dan Natalie Davis. Fokus perhatian Thompson dan Natalie Davis terutama pada makna, motivasi, dan arti dari legitimasi aksi kekerasan kolektif. Pandangan mereka ini demikian berpengaruh terhadap pandangan sejarawan untuk mendefenisikan kembali jawaban pertanyaan mengenai “keramaian” yang dipersoalkan oleh para sejarawan.

Dalam karyanya yang berjudul Society and Culture in Early Modern France, Natalie Davis memperlihatkan adanya relevansi berbagai konsep dari Max Gluckman dkk. dengan konsep-konsep ahli antropologi Perancis Arnold van Gennep. Pendekatannya juga dapat melengkapi pendekatan sejarah di Perancis melalui pengunaan simbol-simbol antropologi dan melalui penekanan berbagai peranan yang menentukan dari kebudayaan dibanding misalnya dengan faktor-faktor klimatologi, geografi, atau sosial ekonomi.

Thompson mentransformasikan kajian mengenai revolusi industri dan dihidupkannya kembali debat mengenai metodologi Marx. Dalam bukunya The Making of The English Working Class, Thompson menentang perdebatan tradisional mengenai standar hidup kelas pekerja di Inggris pada abad ke-19. Dalam penggunaan istilah kelas Thompson menyangkali berbagai pandangan klasik Marx bahwa defenisi kelas harus disesuaikan dengan posisi di dalam struktur ekonomi atau keterhubungan pada makna produksi. Malahan Thompson memandang kelas sebagai suatu kategori kesejarahan, yang melukiskan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari dalam suatu aktivitas yang membentuk proses. Menurut Thompson kita tidak memahami kelas kecuali kalau kita melihatnya sebagai suatu formasi sosial dan budaya. Thompson juga menegaskan bahwa jika kelas dipakai sebagai sebuah kategori heuristik, maka hal itu tidak dapat dipisahkan dari gagasan mengenai perjuangan kelas.

Thompson sedikit lebih ambivalen sikapnya terhadap antropologi. Karya yang pertama tidaklah dipengaruhi secara langsung oleh antropologi. Ketika Thompson mengalihkan perhatiannya kepada kebiasaan adat istiadat masyarakat abad ke-15, ia melihat adanya potensi pertumbuhan bagi antropologi. Bagi Thompson dorongan hati yang bersifat antropologis adalah sentuhan utama, bukan dalam bangunan modal, akan tetapi dalam wilayah permasalahan baru, yang kelihatan permasalahan lama di dalam pola baru, dalam tekanan atas norma-norma atau sistem-sistem nilai dan atas ritus-ritus, dalam perhatian kepada fungsi-fungsi ekspresif dari bentuk huru-hara dan kerusuhan, dan atas ekspresi simbol kekuasaan, kontrol dan hegemoni.

Sebagai reaksi terhadap interpretasi mengenai tekanan ekonomi atau kekuatan psikologi, Thompson dan Natalie menurut Suzanne Desan, mengajukan dua pertanyaan pokok. Pertama mengapa keramaian yang sebenarnya merupakan pelanggaran dan aktivisme kekerasan merupakan sesuatu yang bermakna dan sah adanya? . Kedua bagaimana masyarakat memainkan peranan yang krusial di dalam mendefenisikan motivasi, tujuan dan tindakan dari kerusuhan. Kedua pertanyaan itu menghubungkan dua konsep yaitu, masyarakat dan legitimasi.

Bertolak dari pandangan Thompson dan Natalie tersebut Suzanne Desan menyimpulkan bahwa sejarawan budaya mesti mengembangkan gagasan yang berbeda mengenai masyarakat dan ritual, yang lebih sensitif pada cara di mana perbedaan kelompok termasuk perempuan, menggunakan upacara keagamaan dan masyarakat untuk membantu perkembangan posisinya yang terpisah. Kekerasan, dalam pandangannya, dapat mentransformasikan dan mendefenisikan kembali masyarakat sebagaimana hal tersebut pernah didefenisikan dan dikonsolidasikan.

Dalam beberapa tahun belakangan ini yang tampak paling menonjol diantara ahli antropologi dalam pekerjaan kesejarahan dan kebudayaan adalah Clifford Geertz. Koleksinya mengenai beberapa esei yang berjudul The Interpretation of Culture telah dipuji oleh para peneliti sejarah dalam berbagai setting kronologi dan geografi. Robert Darnton dalam bukunya The Great Cat Messacre and Other Episodes in France Cultural History jelas menggunakan strategi interpretasi Geertz. Sejarah budaya menurutnya adalah sejarah dalam bagian etnografi. Bentuk antropologi dari sejarah bermula dari dasar pikiran bahwa ekspresi individu sebagai budaya. Dengan kata lain dipersoalkan validitas dari sebuah penyelidikan agar bermakna dalam bentuk interpretasi Geertz. Sebab hal itu cendrung tidak menonjolkan perbedaan di dalam bagian atau penggunaan bentuk-bentuk budaya. Dalam hubungan ini Aletta Biersack menekankan bahwa ukuran Marshal Sahlins hendaknya bermanfaat bagi penyelidikan di masa datang dalam sejarah budaya, diberinya pemikiran kembali mengenai struktur dan event atau struktur dan sejarah dalam terma-terma yang bersifat dialektik yang menyegarkan kembali di antara keduanya.

Pada bagian akhir tulisannya Aletta mencatat adanya pengaruh Geertz dalam tekstualisasi bergerak dalam antropologi dan memperlihatkan bagaimana keterhubungan para ahli antropologi tumbuh dan bertemu dengan para sejarawan budaya.
Tulisan Lloyd S. Kramer juga memperlihatkan berbagai variasi pengaruh sastra pada hasil karya. Tulisan mengenai White dan LaCapra sendiri menunjukkan perbedaan yang sangat berarti didalam penekanan White, dirinya dipersamakan dengan Foucault dan Frye, sedangkan LaCapra dipersamakan dengan Bakhtin dan Derrida.

White dan LaCapra mempersoalkan batas yang memisahkan sejarah dengan sastra dan filsafat untuk menentang apa yang mereka sebut trend-trend dominan dalam historiografi, dan difokuskan kepada peranan yang menentukan dari bahasa dalam deskripsi dan konsepsi kita mengenai realitas kesejarahan. Antara kepercayaan yang menaruh perhatian besar pada perspektif kritik sastra dapat membuat sejarawan lebih inovatif dan lebih sadar mengenai asumsi-asumsi dan penekanan-penekanan mereka.
White dan LaCapra ingin mendekatkan kembali teks dan konteks masa lampau. Tetapi LaCapra cenderung berada dibawah White dalam penekanannya atas persaingan yang menentang unit-unit masa lampau yang tampak dan tatanan yang tampak dari narasi kesejarahan yang melukiskannya. Sementara analisis White mengenai fiksi dan dan struktur filosofi dalam narasi kesejarahan seringkali mendorong koherensi karakteristik struktural mereka, sedangkan LaCapra sering memberi batas pada tendensi-tendensi konflik dalam teks atau konteks yang menentang semua usaha penulisan kesejarahan.

LaCapra, demikian pula White menekankan bahwa sejarawan tak dapat mengalahkan penggunaan struktur naratif untuk mendefenisikan pengetahuan kesejarahan dan memisahkan sejarah dari bentuk-bentuk penulisan yang lain. Tetapi ia juga seperti halnya White memberi alasan bahwa kategori-kategori-kategori itu tidak seharusnya diambil bagi kategori itu sendiri.

Usaha untuk memikirkan kembali disiplin sejarah membawa White dan LaCapra bangkit menentang apa yang mereka terima untuk dijadikan bentuk-bentuk dominan dari pengertian kesejarahan yang bersifat kontemporer yang oleh White dilukiskan sebagai ironi, dan oleh LaCapra sebagai sejarah sosial. White menyangkali bahwa sejarawan modern diikat di dalam sebuah perspektif ironi. Perspektif ini mengembangkan sikep skeptis terhadap jalan di mana aktor-aktor sejarah menggunakan bahasa untuk melukiskan realitas melalui penekanan jurang antara kata dan sesuatu.

Walaupun LaCapra mendukung perhatian White dalam menentang trend historiografi yang dominan, ia mempunyai kecendrungan yang lebih besar pada sejarah sosial daripada ironi. LaCapra dengan mudah mengakui pentingnya sejarah sosial sebagai metode untuk memahami masa lampau, namun ia mengeluh bahwa sejarawan sosial sudah tidak menghargai metode kesejarahan yang lain dan sudah sering lebih menyederhanakan berbagai realitas kompleks dari pengalaman kesejarahan. Kecendrungan terhadap reduksionisme telah beranjak dari sejarah sosial ke sejarah intelektual di dalam studi mentalitas dan sejarah sosial dari ide.

Menurut LaCapra sebagian besar sejarawan membangun sebuah dikotomi hirarkhis antara teks dan konteks yang menekankan abstraksi sebagian teks-teks dan realitas esensial dari konteks sosial. Fungsi teks dalam dikotomi ini sebagai dokumen yang menyatakan atau merefleksikan koherensi dan kesatuan kesejarahan secara relatif ; tempat, waktu , atau budaya. Akan tetapi hasrat untuk membaca teks dalam hal ini mengurangi kompleksitas mereka dan juga tak jelas seluk beluk konteks itu sendiri. Menurut LaCapra konteks itu sendiri adalah bagian dari teks, namun tidak boleh disebut sebagai stereotipe atau deskripsi ideologi., tetapi kritisisme mengenai interpretasi dan informasi. Karena itu LaCapra menganjurkan sejarawan untuk membaca teks dengan sensitifitas pada proses sastra dari intertekstual daripada dengan dugaan yang bersifat reflektif.

White dan LaCapra melukiskan bahwa sekarang ini sedang terjadi pemisahan bentuk-bentuk narasi dari kreasi sastra dengan penulisan sejarah. LaCapra juga ingin menghubungkan konsepsi historiografi dari realitas dengan wilayah makna kesusasteraan. Ia menekankan pentingnya peranan makna simbolik di dalam semua aspek dari proses kesejarahan. Penekanan pada simbol ini menjadi pegangan sebagian kritikus untuk menuduh bahwa LaCapra telah membawa realitas keluar dari konteks sejarah, atau dengan kata lain LaCapra telah membawa sejarah ke wilayah realitas yang sangat luas.

Pendekatan Baru :

1. Dalam tulisan Mary Ryan “The American Parade : Representation of Nineteenth Century Social Order” memberikan perbedaaan tema di dalam gambaran yang sangat tajam. Pawai membuat perasaan masyarakat yang plural demokrasi di kota-kota di Amerika justru melalui pengekspressian yang sangat jelas mengenai batas sosial dan pembagian jender. Dalam hubungan ini Ryan memperlihatkan bagaimana kritik pengertian kesejarahan dari ritus dapat diadakan melalui pertunjukan, bagaimana pawai berubah fungsi dalam setiap waktu ; di mana dalam tahun 1820-an, 1830-an, 1840-an, pawai berbeda fungsi dalam setiap kurun waktu itu. Ryan juga memberi batas peranan jender dalam konstruksi itu menyangkut identitas kewarganegaraan, dan ia juga mengingatkan kita bahwa jender adalah salah satu dari batas yang paling kritis dari difirensiasi budaya dan masyarakat.

Studi mengenai sejarah wanita dalam tahun 1960an dan 1970an dan tahun-tahun belakangan ini menekankan pada perbedaan jender yang memainkan peranan penting I dalam pengembangan dari metode sejarah budaya secara umum. Di Amerika Serikat utamanya, Kajian sejarah wanita dan jender sudah lebih mendekati sejarah budaya baru. Matalie Davis misalnya menyandarkan diri pada perbedaaan antara laki-laki dan perempuan untuk menjelaskan pekerjaan pada masa awal kebudayaan modern. Karya Caroll Smith Rosenberg juga merupakan contoh dari sejarah wanita atau jender dapat memajukan sejarah budaya sebagai suatu bentuk penyelidikan dan penulisan. Tulisan-tulisannya yang dimuat dalam “Discorderly Conduct” misalnya, ia mencoba melahirkan bentuk-bentuk analisis antropologi dan sastra yang jauh lebih luas dari karya Marx Douglas atau Roland Barthes. Di sini, jender sebagai system representasi budaya pada tataran sosial. Sastra dan linguistic terutama berada dalam satu sudut pandang.

2. Tulisan Roger Chartier merupakan contoh penemuan mengenai trend menuju sastra. Dalam tulisan Chartier ditemukan suatu pengantar yang sangat baik untuk memahami buku “The Cultural Uses of Print in Early Modern France”. Dalam tulisan itu Chartier mengulangi pernyataan bahwa kebudayaan tidak melampaui ataupun di atas hubungan sosial dan ekonomi, juga tidak dapat ditempatkan di sisi keduanya.

3. Tulisan Laqueur yang brjudul ”Bodies, Detail, and Humanitarian Narative” menunjukkan potensialnya teknik kesusasteraan yang baru dalam sejarah budaya untuk memperkaya topik-topik sejarah sosial tradisional. Ia menekankan bahwa humanitarianisme bergantung pada bagian perkembangan konstelasi bentuk-bentuk naratif yang menciptakan suatu pengertian mengenai ketelitian dan simpati melalui detail narasi. Dengan menfokuskan pada teknik-teknik narasi dan laporan otopsi Laqueur tidak bermaksud untuk menghindari pertanyaan tradisional mengenai kelas dan kekuasaan dan tidak juga untuk mengembalikan humanitarianisme dari domain sejarah sosial.

4. Tulisan Randolph Starn yang berjudul “Seeing Culture in a Room for a Renaissance Prince” membawa kita ke masa lampau, namun kita berhadapan dengan pertanyaan baru mengenai teknik-teknik sejarah budaya. Walaupun tulisan Starn memperlihatkan pengaruh teori sastra dalam analisisnya mengenai lukisan-lukisan dinding abad ke 15 di Montegna, akan tetapi ia juga mengantarkan kita ke dalam domain yang terlihat sebagai laaan yang terbaca. Dengan cara pandang ini Starn tidak hanya mampu memperlihatkan seni dokumentasi kesejarahan bagi sejarah budaya, akan tetap juga terma-terma mengenai seni perdebatan kesejarahan itu sendiri. Ia menyejarahkan proses melihat dengan menunjukkan bahwa bentuk-bentuk event mempunyai kontent kesejarahan.

© Irhash A. Shamad.


Dinamika Sufisme Pedalaman ; Sintesis Awal Pembaharuan Islam di Minangkabau

Written By Irhash A. Shamad on 15 Januari 2009 | 01.24

Perkembangan agama Islam di Minangkabau abad ke 17 -19 sangat diwarnai oleh aktifitas beberapa ordo Sufi. Diantaranya yang dominan adalah Syathariyah dan Naqsyabandiyah. Tarikat Syathariyah telah menyebar melalui surau-surau yang didirikan oleh murid-murid Syekh Burhanuddin. Di samping Ulakan sendiri, sentra-sentra tarikat ini kemudian muncul di beberapa wilayah pedalaman Minangkabau. Diantaranya yang utama adalah Kapeh-Kapeh, Pamansiangan, Koto Tuo Cangking, Koto Tuo Empat Koto dan lain-lain (Sanusi Lathief, 1988). Perkembangan tarikat Syatariyah di wilayah pedalaman Minangkabau ini menarik untuk dicermati, karena peran yang dimainkannya dalam melahirkan gagasan-gagasan yang melampaui batas-batas implementasi ajaran sufistik itu sendiri ; suatu perkembangan yang sangat berbeda dengan daerah pesisir barat, dari mana tarikat ini pada awalnya dikembangkan. Para tokoh sufi pedalaman lebih banyak melibatkan diri dengan kehidupan ekonomi masyarakatnya. Keterlibatan mereka inilah yang telah memberi warna tersendiri bagi perkembangan Islam di Minangkabau, bahkan dari sinilah juga, kemudian dalam perkembangannya, telah melahirkan ide-ide pemurnian dan pembaharuan.

Perkembangan ini memunculkan asumsi bahwa perkembangan Syathariyah di wilayah pedalaman Minangkabau ternyata melahirkan sintesis-sintesis baru keislaman. Sintesis baru itu sangat mungkin merupakan akibat pertemuan Syathariah dengan tradisi keislaman --yang sebenarnya-- telah menjadi basis kultural masyarakat di daerah ini, antara lain pertemuannya dengan tarikat Naqsyabandiyah, karena tarikat yang disebut terakhir ini juga telah memperoleh pijakan yang kuat di beberapa daerah pedalaman Minangkabau, bahkan mungkin lebih awal di banding Syathariyah sendiri .

Perkembangan Islam melalui kegiatan sentra-sentra tarikat ini, telah meninggalkan jejaknya melalui naskah-naskah dengan topik-topik yang meliputi hampir semua aspek keislaman. Salah satu kenyataan yang dapat terlihat dari perkembangan sentra-sentra tarikat, baik Syathariyah, maupun Naqsyabandiyah di Minangkabau, ialah praktek pengamalan tashauf dengan menekankan pentingnya syari’ah (Azra, 1995;288) dan tidak terdapat indikasi bahwa ajaran tarikat di wilayah ini mengarah pada pantheisme sebagaimana yang terdapat di Aceh pada abad ke 17. Oleh karena itu pemikiran keagamaan yang ditinggalkan oleh kedua aliran tashauf ini tidak hanya berisikan ajaran tashauf semata, akan tetapi meliputi hampir semua cabang ilmu-ilmu keislaman, bahkan upaya pencarian solusi kemasyarakatan dan urusan dunia lainnya memperoleh tempat dalam kajian-kajian mereka, seperti yang dikembangkan oleh Jalaluddin murid Tuanku nan Tuo di wilayah Agam (cf. Dobbin, 1992; 151-152).

Keluasan cakupan implementasi ajaran tashauf di Minangkabau sebagai dikemukakan, memang menarik untuk dikaji, karena kemampuan para tokoh tashauf dalam mentranformasikan inti ajaran tashauf terhadap persoalan-persoalan kemasyarakatan, sehingga keberadaannya sangat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat termasuk kehidupan ekonomi, terutama di wilayah agraris pedalaman Minangkabau. Meskipun perkembangan Islam di sini, dalam perjalanannya, di warnai oleh berbagai konflik keagamaan seperti yang terlihat dalam beberapa episode kesejarahan dalam abad ke 19 dan 20, namun hal ini sering dipandang sebagai suatu keniscayaan sejarah yang dapat dipahami pada akar kultural masyarakat Minangkabau sendiri. Dari sisi konflik keagamaan yang terjadi itu, baik antara Syathariyah dan Naqsyabandiyah, maupun antara Naqsyabandiyah dengan golongan pembaharu, telah melahirkan polemik pemikiran keagamaan yang tertuang dalam berbagai naskah keagamaan yang tidak bisa diabaikan dalam melihat berbagai aspek kehidupan keagamaan di daerah ini.

Islam di Minangkabau sebelum masuknya Aliran Tashauf
Sebagaimana telah diuraikan terdahulu bahwa aliran tashauf dalam bentuk tarikat paling awal masuk ke Minangkabau adalah pada paruh pertama abad ke 17, yaitu tarikat Naqsyabandiyah kemudian menyusul tarikat Syatariyah pada paruh kedua abad ke 17. Tarikat yang disebut terakhir dibawa oleh Syekh Burhanuddin ke Ulakan, pesisir barat Sumatera Barat, tepatnya pada tahun 1070 H./1659 M. Pada waktu ini, sebenarnya, Islam sudah dikenal secara umum di Minangkabau dan sudah menjadi anutan masyarakat, meski praktek pengamalan ajaran Islam tidak merata di seluruh nagari dan masih saja terdapat praktek-praktek adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Dari beberapa fakta yang ditemukan, diketahui bahwa setidaknya pada awal abad ke-13 Islam sudah masuk di Minangkabau timur yang dibawa oleh pedagang-pedagang Arab yang lalu lalang di sekitar selat Malaka dan menyusuri sungai-sungai di dataran pesisir timur Sumatera. Salah seorang muballigh Islam yang berperan dalam proses konversi Islam tahap awal ini adalah Syekh Burhanuddin Kuntu. Diperkirakan dari wilayah timur inilah Islam pertama kali diperkenalkan ke wilayah pusat Minangkabau .
Bagaimana perkembangan Islam di Minangkabau pada abad-abad sesudah abad ke-13, tidak banyak bukti-bukti tertulis primer yang dapat digunakan, selain dari beberapa sumber sekunder yang mengemukakan beberapa fakta yang dapat dijadikan dasar untuk melihat gambaran perkembangan Islam pada akhir abad ke-13, terutama di wilayah jalur perdagangan . Meskipun tidak ditemukan penjelasan yang lebih rinci tentang kegiatan islamisasi sejak waktu ini hingga masuknya aliran sufi pada abad ke-17, namun diketahui beberapa bentuk kegiatan penyebaran Islam yang dilakukan oleh mubaligh Minangkabau ke luar wilayah Minangkabau sendiri, sebagaimana yang dilakukan oleh Rajo Bagindo, seorang bangsawan Minangkabau yang menyebarkan Islam ke Midanao dan Sulu, Pilipina selatan , dan Syekh Ahmad yang mengembangkan Islam di Negeri Sembilan pada tahun 1467 . Baru pada awal abad ke-17 (1605) diketahui pula tentang tiga orang penyebar Islam di Sulawesi Selatan yang dikenal dengan Abdul Makmur Chatib Tunggal (Datuk Ribandang), Khatib Sulaiman (Datuk Patimang), dan Khatib Bungsu (Datuk Ri Tiro) .

Persebaran Aliran Sufi di Minangkabau
Setidaknya ada tiga aliran tashauf yang berkembang di Minangkabau, yaitu Syathariyah, Naqsyabandiyah dan Samaniyah. Diantara ketiga aliran ini maka aliran Syathariyah adalah yang paling mudah ditelusuri sejarahnya di Minangkabau. Dalam banyak sumber disebutkan bahwa thariqat ini pertama kali dibawa ke Minangkabau oleh Syekh Burhanuddin Ulakan Pariaman pada tahun 1659 setelah ia mempelajarinya dari Syekh Abdur Rauf Singkil, murid Syekh Ahmad al-Qusyasyi di Madinah. Surau Syekh Burhanuddin di Ulakan banyak dikunjungi oleh murid-murid yang datang dari berbagai daerah di Minangkabau untuk belajar, dan setelah menamatkan pelajaran, mereka kembali ke daerahnya masing-masing untuk meneruskan pengajaran yang diberikan Syekh Burhanuddin. Salah seorang murid Syekh Burhanuddin yang paling dikenal dalam pengembangan ajaran Syathariah di wilayah pedalaman Minangkabau ialah Tuanku Nan Tuo di Mansiang dan kemudian dilanjutkan oleh anaknya Tuanku Mansiang.

Tarikat Naqsyabandiah, diperkirakan sudah lebih dulu masuk ke Minangkabau dibanding dengan Syathariyah, namun jaringan pengembangannya tidak banyak diberitakan. BJO Schrieke (1973) menyebut tentang Syekh Ismail Simabur sebagai syekh Naqsyabandiyah pertama di Minangkabau. Menurutnya, Syekh Ismail menyebarkan tarikat ini kira-kira pertengahan abad ke 19. Schrieke juga menerangkan tentang beberapa nama ulama yang melanjutkan penyebaran tarikat ini, diantaranya Syekh Jalaluddin Faqih Shagir, Cangking (w. 1870) dan Syekh Abdul Wahab Kumpulan (w.1915). Akan tetapi berbeda dengan Schrieke, Christine Dobbin (1992) mengemukakan bahwa tarikat Naqsyabandiyah masuk ke Minangkabau pada paruh pertama abad 17 yang dibawa oleh seorang cendikiawan dari Pasai Sumatera timur laut, dan tinggal beberapa waktu di Agam dan 50 Kota.

Sependapat dengan Dobbin, Azyumardi Azra (1995) dengan merujuk Ph. S. Van Ronkel, juga mengemukakan bahwa yang membawa tarikat ini adalah Jamaluddin, seorang Minangkabau yang belajar di Pasai sebelum ia melanjutkan ke Bayt Al-Faqih, Aden, Haramayn, Mesir dan India, kemudian pulang ke Minangkabau pada paruh pertama abad ke-17 M. dan aktif menyebarkan tarikat Naqsyabandiyah di kampung halamannya ini . Selanjutnya disebutkan juga bahwa Jamaluddin adalah penulis teks fiqh Naqsyabandiyah yang berjudul Lubab Al-Hidayah yang didasarkan atas ajaran Ahmad Ibn ‘Alan Al-Shiddiqi Al-Naqsyabandi. Dari dua sumber terakhir, diperkirakan bahwa tokoh pembawa tarikat Naqsyabandiyah adalah Jamaluddin, meskipun Dobbin tidak secara eksplisit mengemukakan nama itu, bahkan menduga bahwa tokoh ini berasal dari Aceh. Berdasarkan kedua sumber ini dapat disimpulkan bahwa Tarikat Naqsyabandiyah telah berkembang dengan baik di wilayah pedalaman Minangkabau sebelum ajaran tarikat Syathariyah masuk ke wilayah ini. Hingga akhir abad ke-18 tarikat Naqsyabandiyah memperoleh tempat yang subur di wilayah pedalaman Minangkabau, karena beberapa ajarannya yang dapat diterapkan oleh masyarakat awam, apalagi guru-guru tarikat yang membaur dengan kegiatan sehari-hari masyarakat. Dobbin menjelaskan bahwa banyak guru-guru tarikat ini yang menjalani kehidupan sebagai petani biasa. Suatu perbedaan yang sangat besar dengan tradisi guru-guru Syatariyah di wilayah pesisir. Pusat-pusat tarikat Naqsyabandiyah pada akhir abad ke-18 di wilayah pedalaman terletak di desa-desa pertanian yang subur, seperti Taram di Lima Puluh Kota, Cangking di Agam, dan Talawi di Tanah Datar.

Sedangkan tarikat Samaniyyah tidak didapatkan data yang lebih pasti tentang kedatangannya di Sumatera Barat, namun dari beberapa keterangan dari masyarakat Pasaman, tarikat ini dibawa oleh Syekh Muhammad Said Padang Bubus yang sebelumnya belajar tarikat ini di Sumatera utara. Kemudian diketahui bahwa pada akhir abad ke 19 di desa Kumango Batu Sangkar berdiri suatu perguruan tarikat Samaniyyah yang dipimpin oleh Syekh Abdurrahman al-Khalidy (w.1931). Ia mempelajari tarikat ini dari Syekh Muhammad Amin Ridhwan, murid Syekh Muhammad Samman Al-Qadiry di Madinah. Diantara murid-murid tarikat ini di Minangkabau adalah : Syekh Muda Abdul Qadim Balubus 50 Kota dan Syekh Ahmad Barulak, Tanah Datar .

Sufisme dan Aktifitas Sosial dan Ekonomi
Di wilayah pedalaman Minangkabau sekitar tahun 1784, tepatnya Koto Tuo sebuah desa kecil di wilayah Agam, hidup seorang ulama yang sangat disegani karena keluasan ilmu agama yang dimilikinya. Dia adalah Tuanku Nan Tuo (1723-1830). Ia mengajarkan berbagai bidang ilmu agama, mulai dari fiqh, tafsir, hadits, mantiq, ma’ani, ilmu alat (nahu dan saraf), dan lain-lain, di sebuah surau yang didirikannya di Koto Tuo Ampek Angkek Canduang. Banyak murid-murid yang datang untuk belajar ke surau Tuanku Nan Tuo ini, sehingga ilmunya menyebar ke berbagai nagari yang ada di luhak Agam dan Lima Puluh Kota.

Selain kedalaman penguasaan ilmu, ia juga dikenal sebagai seorang yang zuhud dan senang berzikir. Karena itu, oleh Steijn Parve digambarkan sebagai seorang yang disamping mengajarkan ilmu hakikat yaitu ilmu tauhid, sering tenggelam dalam renungan menuju Tuhan, seakan-akan melepaskan diri dari hiruk pikuk duniawi . Kesaksian Jalaluddin Faqih Shaghir (salah seorang murid Tuanku Nan Tuo) yang ia tulis sendiri dalam naskah yang berjudul Hikayat Syekh Jalaluddin (selanjutnya disebut : naskah HSJ), hampir dapat memastikan bahwa apa yang dikemukakan oleh Steijn Parve itu agak berlebihan. Naskah HSJ menjelaskan tentang Tuanku Nan Tuo sebagai berikut : “.... maka terlebih sangatlah masyhur Tuanku Nan Tuo, ulama yang pengasih lagi penyayang, tempat pernaungan segala anak dagang, ikutan segala sidang imam Syari’ah Ahlussunnah dan Ahlul Jama’ah... dst” Dalam naskah HSJ lebih banyak diceritakan tentang aktifitas dakwah yang dijalankan oleh Tuanku Nan Tuo di samping kegiatan pengajiannya di surau, juga turun langsung ke desa-desa di luar Koto Tuo, ketimbang dia sebagai seorang ahli zikir yang tidak mempedulikan hal-hal duniawi yang terjadi diseputar dirinya. Bahkan disebutkan bahwa Tuanku Nan Tuo juga menekuni aktifitas perdagangan sebagai layaknya masyarakat kebanyakan.

Pertumbuhan perdagangan produksi pertanian yang cepat pada akhir abad ke 18 di wilayah pedalaman, agaknya telah mendorong Tuanku nan Tuo dan murid-muridnya melibatkan diri dalam soal-soal perdagangan, terutama menyangkut pendalaman materi ajaran yang berhubungan dengan hukum Islam yang mengatur pelaksanaan perdagangan. Beberapa kondisi telah menuntut Tuanku nan Tuo untuk mengambil jalan ini, diantaranya adalah karena pesatnya permintaan komoditi kopi, sementara tidak diiringi dengan adanya aturan-aturan yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam menjalin kerjasama perdagangan. Kondisi seperti ini lebih diperparah lagi oleh munculnya berbagai bentuk kejahatan di kalangan masyarakat, seperti perampasan barang dagangan. Pasar-pasar yang sudah aktif untuk kegiatan transaksi perdagangan, sering diwarnai dengan kegiatan judi, sabung ayam, dan bahkan tidak terkecuali penjualan candu dan tuak. Di samping itu berbagai sengketa dagang juga tidak terelakkan. Banyak para pedagang mengalami kesulitan apabila bersengketa dengan pedagang dari desa tetangga, terutama menyangkut hutang piutang. Para penghulu di desa-desa pasar biasanya menyelesaikan persengketaan berdasarkan hukum adat.

Keputusan yang dihasilkan oleh kerapatan adat sering tidak menyelasaikan masalah, karena kurang mengikat kedua belah pihak yang bersengketa dan karena ketentuan adat yang sangat terbuka untuk ditafsirkan secara berbeda-beda. Dalam kaitan ini, posisi surau adalah sangat strategis untuk menyelesaikan sengketa-sengketa antar nagari, karena surau lebih merupakan lembaga “supra nagari” yang mampu menembus batas-batas wilayah hukum adat yang diberlakukan di masing-masing nagari itu sendiri.

Dalam keadaan masyarakat seperti ini, keberadaan surau, terutama di wilayah pedalaman, semakin diperlukan untuk mengatasi berbagai persoalan yang timbul di kalangan masyarakat, terutama para pedagang dan petani produsen, apalagi beberapa surau telah ikut mengambil peran dalam kegiatan perdagangan dan penghasil komoditi dagang ini. Ajaran Islam menyediakan beberapa aturan yang jelas menyangkut perdagangan dan cara-cara menyelesaikan masalah ini secara rasional. Syari’at Islam mengajarkan bagaimana seseorang dapat meningkatkan keuntungan perdagangan secara halal, namun tetap memperhatikan hak-hak perseorangan dalam hubungannya dengan harta kekayaan. Meluasnya masalah yang ditemui oleh masyarakat dalam hal perdagangan, mengimplikasikan perlunya pengaturan yang lebih rasional dalam hal sistem perdagangan yang dijalankan, sementara itu, surau dianggap lebih dapat memberikan tawaran solusi atas masalah-masalah itu melalui kaidah-kaidah agama yang jelas dan rasional.

Sebagai daerah penghasil utama komoditi kopi, Agam sekaligus juga menjadi pusat pengajaran Fiqh (hukum Islam). Beberapa surau melakukan pendalaman fiqh terutama pada aspek perdagangan. Keadaan ini lebih dipicu oleh banyaknya persoalan-persoalan kemasyarakatan dan perdagangan yang dimintai penyelesaiannya secara syar’i di surau-surau yang ada. Kedekatan masyarakat dengan surau-surau ini pada gilirannya telah memberi jalan bagi hukum Islam di wilayah ini, sehingga dapat berdampingan dengan adat masyarakat setempat.

Tingkat kemakmuran masyarakat akibat kegiatan perdagangan telah pula menarik jumlah lebih banyak murid-murid untuk mendalami pengetahuan agama di surau-surau yang ada. Untuk mengimbangi keadaan ini, beberapa suraupun melibatkan diri dengan kegiatan perdagangan dan bahkan tidak jarang suatu surau ikut menghasilkan komoditi pertanian yang mereka usahakan dengan murid-muridnya di sekitar surau itu. Pada akhir abad ke 18 surau-surau di Agam dan Lima Puluh Kota telah mengambil keuntungan dari perubahan perdagangan ini. Murid-murid surau diwajibkan memperkenalkan pembaharuan norma-norma kehidupan yang berdasarkan hukum Islam kepada masyarakat, terutama yang menyangkut dengan masalah perdagangan. Oleh karena itu semenjak 1784, hukum Islam menjadi suatu bidang kajian yang penting pada beberapa surau di Ampek Angkek, sebagaimana diungkapkan dalam naskah HSJ : “....maka sebab itu banyaklah orang berhimpun-himpun kepada tempat itu mengambil ilmu menghafazkan kitab fiqh itu, karena ilmu yang terlebih dikasihi pada masa itu ialah ilmu fiqh...dst” .

Sejak saat itu surau-surau menyesuaikan diri dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Gerakan kembali ke syari’at menjadi prioritas utama untuk disosialisasikan ke tengah-tengah masyarakat. Tuanku nan Tuo dan murid-murid surau Koto Tuo telah mengambil peran dalam menyerukan perubahan sikap dan membimbing masyarakat dalam kehidupan sebagai muslim yang baik . Ia mengirim murid-muridnya berdakwah di desa-desa sekitarnya. Semua usaha yang dijalankan oleh Tuanku nan Tuo dan murid-muridnya ini, nampak cukup berhasil, sehingga menjelang tahun 1790 daerah Ampek Angkek di luhak Agam mengalami kemajuan yang pesat dalam lapangan ini, terutama dalam menertibkan prilaku ekonomi masyarakat, sehingga ia dikenal sebagai pelindung para pedagang.

Dari uraian di atas jelaslah bahwa setidaknya pada akhir abad ke-18, agama Islam memainkan peranan yang sangat besar dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Peran mana, pada dasarnya sulit dipahami sebagai sebuah gerakan sufisme yang, lazimnya, hanya larut dalam renungan mencari Tuhan dan menghindarkan diri dari persoalan-persoalan duniawi. Apa yang dikemukakan itu, terutama lebih terlihat di wilayah pedalaman Minangkabau, daripada aktifitas sufi di wilayah pesisir barat. Hal ini mungkin dapat diasumsikan menjadi rangka sebuah perspektif, di mana, wilayah ini --beberapa waktu kemudian-- memunculkan berbagai gagasan pembaharuan keagamaan dan kemasyarakatan. Salah satu alasan yang dapat ditunjukkan untuk itu adalah dinamika dan dialektika agama dan kemasyarakatan yang mampu dibangun oleh tokoh-tokoh agama pada waktu ini.

Namun demikian sebelum kita sampai pada kesimpulan itu, agaknya perlu dilihat faktor-faktor apa yang telah membentuk kondisi dialektis dan dinamis seperti itu, apakah dapat dihubungkan dengan ajaran tashauf yang berkembang secara umum di wilayah ini ?, ataukah merupakan sebuah keadaan yang dibentuk oleh faktor-faktor eksternal yang mencirikan lingkungan lokalitas di mana ajaran itu dikembangkan hingga melahirkan diamika yang spesifik?. Hal ini akan menjadi bahasan pada sub berikutnya.

Dinamika Sufisme di Pedalaman : Ke Arah Pembaharuan Awal
Perkembangan yang menarik dari kaum sufi Minangkabau adalah pada saat munculnya suatu fenomena baru pada perkembangannya di akhir abad ke-18, terutama di wilayah pedalaman Minangkabau. Perkembangan ini ditandai dengan munculnya bibit-bibit pembaharuan tahap awal dalam bentuk gerakan kembali ke syari’at yang dicanangkan oleh Tuanku Nan Tuo Koto Tuo Ampek Angkek bersama murid-muridnya yang berbasis di surau Koto Tuo sendiri. Salah seorang muridnya yang setia adalah Jalaluddin Faqih Shaghir yang riwayatnya digunakan dalam tulisan ini. Untuk melihat perkembangan secara lebih jelas, agaknya perlu diketahui siapa sebenarnya Tuanku Nan Tuo, demikian juga latar belakang pengetahuan dan pemahaman keagamaan yang dimilikinya.

Tuanku Nan Tuo di Koto Tuo pernah belajar dengan salah seorang murid Syekh Burhanuddin Ulakan yang bernama Tuanku Nan Tuo di Mansiang. Kedalaman ilmu yang dimilikinya di berbagai bidang ilmu juga didapatkan dari beberapa Tuanku di luhak Agam, Lima Puluh Kota, dan Tanah Datar. Ia dikenal dengan kealiman dan penguasaannya terhadap ilmu-ilmu syari’at dan ilmu hakikat. Dalam naskah HSJ tidak dijelaskan dengan pasti bahwa Tuanku Nan Tuo adalah pelanjut ajaran Syathariyah sebagaimana dianggap oleh beberapa penulis , akan tetapi bahwa salah seorang gurunya adalah Tuanku Nan Tuo di Mansiang yang pernah belajar dengan Syekh Burhanudin Ulakan .

Naskah HSJ juga mengemukakan bahwa disamping ia pernah belajar dengan Tuanku Nan Tuo di Mansiang, ia juga mempelajari bermacam-macam ilmu dengan beberapa Tuanku-Tuanku yang lain seperti Tuanku di Kamang yang ahli ilmu alat, Tuanku Sumanik (hadits, tafsir dan ilmu faraidh), Tuanku Koto Gadang (ilmu mantiq dan ma’ani) dan Tuanku Paninjauan. Dijelaskan pula bahwa ilmu mantiq dan ma’ani yang diajarkan oleh Tuanku Nan Kecil Koto Gadang berasal dari Tuanku Tampang di Rao yang mempelajarinya dari Mekkah dan Madinah, sedangkan ilmu hadits, tafsir dan ilmu faraidh dibawa oleh Tuanku Sumanik dari negeri Aceh. Jalaluddin mengemukakan : “..maka berhimpunlah ilmu mantiq dan ma’ani, hadits dan tafsir dan beberapa kitab yang besar-besar dan sekalian yang menghasilkan ilmu syari’at dan hakikat kepada Syekh kita Tuanku Nan Tuo dalam negeri Koto Tuo semuanya….” .

Dengan demikian diketahui bahwa di antara guru-guru Tuanku Nan Tuo Koto Tuo Ampek Angkek, sebagaimana disebutkan itu, hanya satu orang yang mempunyai pertalian dengan pengembangan tarikat Syathariyah, yaitu Tuanku Nan Tuo di Mansiang, selebihnya adalah guru-guru yang mengajarkan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan syari’at. Tidak didapatkan keterangan apakah guru-guru itu juga mengajarkan tarikat atau tidak. Kalaupun mereka juga mengajarkan tarikat, maka dipastikan bahwa itu bukanlah tarikat Syathariyah, karena nama-nama Tuanku itu tidak pernah disebut dalam mata rantai pengembangan tarikat Syathariyah di pedalaman Minangkabau. Dengan dasar analisis ini, penulis memiliki dugaan yang kuat bahwa Tuanku Nan Tuo pernah belajar tarikat Syatariyah dari Tuanku Nan Tuo di Mansiang, namun ia tidak benar-benar mengambil peran dalam pengembangannya, dan nampaknya ia lebih cendrung mengajarkan ilmu-ilmu syari’at ketimbang mengajarkan tarikat. Tentang ilmu hakikat yang juga dikuasainya sebagaimana diceritakan oleh muridnya Jalaluddin di dalam naskah HSJ, hanya dapat memastikan bahwa Tuanku Nan Tuo Koto Tuo Ampek Angkek ini adalah seorang penganut sufisme dan tidak didapatkan satupun keterangan tentang pengembangan tarikat Syathariyyah di surau Tuanku Nan Tuo dan di kalangan murid-muridnya.

Dalam beberapa sumber diketahui bahwa pada akhir abad ke-18, setidaknya terdapat dua aliran Tashauf di Minangkabau yang sangat berpengaruh, yaitu aliran Ulakan dan aliran Cangking Ampek Angkek. Cangking adalah sebuah desa di nagari Candung Koto Laweh, Ampek Angkek, di mana Jalaluddin, murid utama Tuanku Nan Tuo membuka surau dan mengembangkan ilmu-ilmu agama dalam rangka meluaskan misi pengajaran Tuanku Nan Tuo sendiri. Kedua aliran ini terlibat dalam pertentangan karena perbedaan pemahaman dalam soal-soal yang menyangkut syari’ah dan implementasi ajaran tarikat itu sendiri. Meskipun untuk beberapa sumber primer, tidak dikemukakan secara eksplisit , namun beberapa sumber sekunder menyebutkan bahwa pertentangan ini sebenarnya adalah pertentangan antara penganut Syathariyah yang dikembangkan di Ulakan dengan tarikat Naqsyabandiyah yang dikembangkan oleh Jalaluddin di Cangking Ampek Angkek .

Persoalan yang diperdebatkan tentulah persoalan yang menyangkut perbedaan paham antara kedua aliran ini, terutama tentang martabat yang tujuh sebagai ajaran tujuh tahap pancaran dari Yang Ada, sebagai yang dianut oleh pengikut Syathariyah yang oleh pengikut Jalaluddin dianggap sebagai bid’ah. Pertentangan ini kemudian merembet ke persoalan ‘ubudiyah seperti penentuan awal puasa, arah kiblat dan sebagainya .

Selain itu, ajaran inti kedua aliran tarikat itu sama-sama didasarkan pada wajibul wujud (kewajiban ‘Ada’), dan hanya berbeda dalam memandang yang ‘Ada’ itu. Perbedaan pandangan itulah yang kemudian menyebabkan aliran-aliran tarikat mengembangkan cara masing-masing dalam pencapaian (muraqabah) terhadap ‘Ada’ itu, yang antara lain dengan cara melakukan latihan rohani dengan berzikir hingga mencapai tingkat fana’. Untuk mencapai taraf ini, kedua aliran melakukan cara (tarikat) dan penerapan yang berbeda. Aliran tarikat Syathariyyah yang dikembangkan di Ulakan memandang bahwa seluruh isi alam ini pada hakekatnya tidaklah ada, yang pasti ada hanyalah Allah Ta’ala. Ini disebut dengan wihdatul wujud (kesatuan Adat).

Upaya pencapaian seorang hamba dalam mendekatkan diri kepada yang Ada itu dengan melakukan zikir sambil memejamkan mata dan menentukan jumlah sebutan nama Allah dengan buah tasbih . Sementara itu dalam pandangan Naqsyabandiyah eksistensi alam ini adalah kesaksian atas adanya Allah Ta’ala atau disebut dengan wihdatus syuhud (kesatuan kesaksian) . Penganut tarikat ini diajarkan mendekatkan diri kepada Allah dengan cara melakukan suluk (bersunyi diri) selama beberapa hari yang diisi dengan latihan-latihan rohani dan zikir qalbi (berzikir dalam hati).

Menurut Hamka (1967), pertentangan kedua paham ini sebenarnya lebih disebabkan oleh perbedaan dalam implementasi ajaran Islam terhadap tatanan kehidupan masyarakat yang secara historis berbeda latar belakang kultural dan politik serta perbedaan faktor ekternal yang mempengaruhi. Posisi Ulakan sebagai daerah rantau pesisir Minangkabau, dianggap oleh kalangan ulama pedalaman sebagai masih sangat kuat dipengaruhi oleh Aceh. Sementara Ulama di pedalaman (Agam dan sekitarnya) dikatakan sangat dipengaruhi oleh adat Minangkabau. Islam di wilayah pedalaman Minangkabau menurut mereka belum dapat diperbaiki oleh kalangan ulama .

Suatu hal yang dapat dicatatkan dari perkembangan ajaran tarikat di Sumatera Barat hingga akhir abad ke-18 ialah, bahwa hampir semua ulama-ulama di sini adalah penganut tarikat. Meskipun untuk beberapa kasus, sulit mengidentifkasi aliran apa yang dianut oleh ulama-ulama itu, karena pada umumnya, ulama-ulama Minangkabau --terutama di pedalaman-- tidak langsung terjun membuka pengajian tarikat dan memimpin kegiatan pembimbingan tarikat bagi para penganut tarikat di wilayahnya.

Ulama-ulama pedalaman lebih banyak menyibukkan diri dengan pengajaran yang berkaitan dengan ajaran syar’iyyah dan penerapannya dalam beberapa aspek kehidupan masyarakat . Aktifitas Tuanku Nan Tuo, salah seorang ulama yang sangat dikenal di wilayah Agam pada dekade ini misalnya, tidak satupun sumber menyebutkan bahwa ia juga seorang khalifah (pembimbing kegiatan ritual) tarikat tertentu . Bahkan sangat mungkin, inilah yang menyebabkan kenapa Tuanku Nan Tuo tidak pernah disebut dengan gelar Syekh . Ia lebih dikenal sebagai seorang yang ‘alim dan memiliki pengetahuan yang tinggi dalam berbagai disiplin keilmuan Islam, terutama fiqh. Di samping sebagai ulama yang mempunyai murid-murid yang banyak, ia sering mengunjungi daerah-daerah tertentu di sekitar Agam dan Lima Puluh Kota untuk menjalankan misi syari’ahnya. Selain itu, Tuanku Nan Tuo, juga dikenal sebagai seorang pedagang yang ulet , ia memperoleh cukup kekayaan dari aktifitas perdagangan itu. Hampir semua ulama di desa-desa pertanian di wilayah pedalaman, memiliki professi ganda seperti halnya Tuanku Nan Tuo itu. Mereka, disamping mengajarkan agama, juga larut dalam segala aktifitas ekonomi masyarakatnya, seperti perdagangan, pertanian dan sebagainya.
Dari fakta yang dikemukakan itu, agaknya menjadi jelas, bahwa pengembangan tarikat Syathariyyah di wilayah pedalaman mendapat “pengalaman baru” dibanding perkembangannya di wilayah pesisir. Pengalaman itu, tentunya, tidak dapat dilihat hanya karena adanya perbedaan geografis, akan tetapi juga oleh pengayaan substansi ajaran akibat pertemuannya dengan latar belakang pengalaman spritual masyarakat pedalaman sendiri yang berbeda dengan ajaran tarikat Syathariyah. Berdasarkan kronologis masuknya aliran tarikat, sebagaimana telah diuraikan terdahulu, maka di wilayah ini sangat mungkin aliran tarikat Naqsyabandiyah telah berkembang lebih dahulu dan penyebarannya sudah merata, terutama di Agam dan Lima Puluh Kota. Tidak mustahil, bahwa pertemuan Syathariyah dengan Naqsyabadiyahlah yang melahirkan suatu sintesis baru dalam lapangan sufisme, sehingga implementasi ajaran sufisme itu lebih responsif terhadap persoalan masyarakat di pedalaman ini. Oleh karenanya, beberapa sumber sering dibingungkan apakah Tuanku Nan Tuo penganut Syathariyah atau Naqsyabandiyah, demikian juga dengan muridnya Jalaluddin di surau Cangking Ampek Angkek . Meskipun tidak dijumpai sumber-sumber yang dapat memberi penjelasan tentang kepada siapa Tuanku Nan Tuo belajar tarikat Naqsyabadiyah, namun dengan fakta yang disebutkan terdahulu, agaknya apa yang diasumsikan oleh Azymardi Azra adalah benar, bahwa pembaharuan agama yang dijalankan oleh Tuanku Nan Tuo dan murid-muridnya pada akhir abad ke-18 adalah representasi dari kombinasi ajaran-ajaran tarikat yang berkembang di wilayah ini pada waktu itu, dan karena itu pula ia mendapat tantangan tidak hanya dari kaum adat, tetapi bahkan juga dari pengikut aliran tashauf sendiri .

Selain itu, pertemuan “sufisme” dengan latar belakang kultural masyarakat pedalaman yang lebih “dekat” dengan pusat adat itu sendiri, tentu juga telah ikut membentuk nuansa yang berbeda terhadap dinamika sufisme itu sendiri. Pengalaman Tuanku Nan Tuo dan murid-muridnya dalam memasyarakatkan Syari’at, telah menempatkan ulama di sini pada posisi yang berhadapan dengan “gengsi” golongan elit tradisional adat secara frontal. Ketidak sabaran sebagian muridnya yang agresiflah yang kemudian merubah paradigma pembaruan Tuanku Nan Tuo yang “bijak” menjadi paradigma yang lebih radikal, bahkan keluar dari prototipe gerakan sufisme sendiri.

Kesimpulan :
a. Perkembangan aliran tarikat Syathariyah dari pesisir barat ke wilayah pedalaman Minangkabau telah melahirkan suatu sintesis baru akibat pertemuannya dengan aliran tarikat Naqsyabandiah yang telah lebih dahulu mendasari budaya masyarakat setempat. Sintesis ini dapat dilihat pada akhir abad ke-18, di mana surau-surau di wilayah Agam memainkan peranan dalam melahirkan gagasan-gagasan kemasyarakatan yang berdasarkan syar’iyyah.
b. Latar belakang kultural masyarakat di wilayah pedalaman yang lebih dekat dengan pusat adat Minangkabau telah menempatkan golongan agama berseberangan dengan golongan adat. Ini pada gilirannya telah melahirkan dinamika tersendiri yang memperkaya substansi ajaran sufistik pedalaman dan sekaligus menjadi fenomena kesejarahan yang dialektis dan berimplikasi pada gagasan-gagasan awal pembaharuan Islam di Minangkabau.

© Irhash A. Shamad
Makalah, disampaikan pada Seminar “Multaqa Tsaqafy”, Jabatan Pengajian Arab dan Tamadun Islam, Fakulti Pengajian Islam (FPI), University Kebangsaan Malaysia (UKM). Bangi, Malaysia 25 Oktober 2007.

Islam dan Perang Belasting di Minangkabau 1908

Written By Irhash A. Shamad on 01 Januari 2009 | 13.41

Kondisi sosial dibawah kebijakan pemerintahan Belanda pasca Perang Paderi telah menyelaraskan pertikaian kaum adat dan kaum agama. Kebijakan Belanda menjalankan peraturan “Tanam Paksa” (Cultuurstelsel) terhadap rakyat Minangkabau untuk tujuan menutupi ketekoran finasial akibat Perang Paderi, mendapat perhatian serius dari kalangan masyarakat Minangkabau pada waktu ini. Penentangan terhadap aturan baru itu agaknya telah meluputkan perhatian kalangan agama dalam menentang sistem adat yang berlaku sebagai yang pernah dicanangkan oleh guru mereka Syekh Ahmad Khatib. Kondisi masyarakat dibawah pemerintahan jajahan lebih memerlukan perhatian bersama ketimbang mengedepankan pertikaian. Pada akhir abad ke-19, akibat penentangan yang luas dari masyarakat, sistem Tanam Paksa secara berangsung-angsur dihapuskan oleh Belanda di berbagai daerah di Indonesia, dan di Minangkabau sendiri baru dihapuskan pada tahun 1908.

Penghapusan koffiestelsel di Minangkabau bukanlah akhir dari penindasan Belanda terhadap rakyat. Pada awal Maret 1908 di Minangkabau sebagai gantinya diberlakukan pula Peraturan Pajak yang dikenakan tidak hanya terhadap mata pencaharian (kekayaan) rakyat, akan tetapi juga terhadap harta pusaka . Hal ini tentu sangat menyakitkan rakyat, apalagi pula hal ini sangat bertentangan dengan janji-janji pemerintah sebagai yang tertuang dalam Plakat Panjang yang diumumkan tahun 1833. Peraturan Pajak yang akan dijalankan itu disebut dengan Belasting op de bedrijfsen andere inkomsten (Pajak atas penghasilan perusahaan atau penghasilan-penghasilan lainnya). Peraturan baru ini tidak hanya menyinggung kaum adat bahkan juga kalangan kalangan ulama. Golongan yang disebutkan terkhir ini, dalam berbagai peraturan pemerintah sebelumnya, --tidak hanya di Minangkabau--, dibebaskan dari segala bentuk pajak. Alasannya pada waktu itu adalah kelompok ulama dan para guru-guru agama tidak memiliki penghasilan tetap, tetapi hanya bergantung dari sumbangan masyarakat (Rusli Amran,1988 :91). Pada waktu ini yang dibebaskan dari pajak justru adalah para pegawai negeri dan para kepala yang diangkat oleh pemerintah.

Aksi penentangan rakyat terhadap peraturan pajak di Minangkabau hingga munculnya perlawanan terbuka di berbagai daerah seperti Perang Kamang dan Perang Manggopoh, tidak dapat dilepaskan dari peran koalisi kaum adat dan kaum agama. Setahun sebelum terjadinya perang Kamang, misalnya, penerbit majalah Islam Al-Imam menerbitkan sebuah buku yang berisikan butir-butir Plakat Panjang (Rusli Amran,1988; 80). Buku ini dikirimkan ke Minangkabau untuk diedarkan. Semenjak itu di wilayah ini beredar sele-baran dan poster-poster yang dipasang di tempat-tempat umum untuk menggugah kembali kesadaran rakyat akan perlakuan pemerintah yang mengingkari janji-janji yang pernah ditandatanganinya. Penentangan rakyat mengemuka pada saat pemerin-tah mengumumkan peraturan ini untuk pertama kalinya. L.C. Westenenck selaku wakil pemerintahan Belanda mengumumkan peraturan ini dalam sebuah rapat dengan para Kepala Laras Agam. Pada waktu ini hampir semua Laras menolak pemberlakuan peraturan ini dengan berbagai alasan yang masuk akal. Penolakan rakyat yang diwakili oleh Kepala Laras masing masing itu semakin membangkitkan semangat rakyat di beberapa daerah untuk menentang diberlakukannya peraturan pajak ini.

Puncak penentangan rakyat terhadap peraturan pajak adalah pada saat rakyat Kamang dan Manggopoh melakukan aksi perlawanan terbuka terhadap Belanda pada bulan Juni 1908. Perlawanan rakyat Kamang dikenal dengan “Perang Kamang”. Daerah yang dulunya menjadi basis gerakan Paderi pada awal abad ke-19 ini adalah wilayah agraris dengan kehidupan beragama yang kental. Pemberlakuan peraturan pajak dirasakan sangat memberatkan rakyat di daerah ini. Karena itu, pada bulan Juni 1908, mereka mengadakan aksi penolakan besar-besaran terhadap peraturan pajak. Rakyat Kamang berdemonstrasi di depan Kantor Luhak Agam di Bukittinggi. Aksi ini diakhiri dengan perun-dingan wakil rakyat Kamang yaitu Datuk Machudum, Datuk Sidi Gadang dan Datuk Kondo. Namun hasil perundingan ini gagal karena kuatnya komitmen wakil rakyat ini. Hal yang lebih menyakitkan rakyat pada waktu ini ialah kecurangan Belanda dengan menahan wakil mereka yang diutus untuk berunding. Inilah yang memicu meletusnya Perang Kamang pada tanggal 15 Juni 1908. Sementara itu di Manggopoh (Agam bagian barat) sehari setelah kegagalan Perang Kamang, meletus pula perlawanan dari rakyat Manggopoh menentang pemungutan pajak oleh Belanda. Dengan dipimpin oleh Siti Manggopoh dan suaminya Hasik Bagindo Magek disertai 14 orang anggotanya menyerang benteng Belanda, dan dengan kekuatan personil yang kecil tapi dengan modal semangat dan tekad yang besar, mereka berhasil menewaskan 55 orang tentara Belanda.

Kebencian rakyat yang telah memuncak terhadap Belanda dengan peraturan pajak yang memberatkan ini semakin dibakar dengan legitimasi yang diberikan kaum ulama dengan menyerukan perjuangan terhadap kafir adalah bagian dari jihad fi sabilillah. Di Kamang, misalnya, Haji Abdul Manan, tokoh yang kemudian dikenal sebagai penggerak Perang Kamang, menghembuskan semangat perlawanan rakyat. Haji Abdul Manan bersa-ma-sama ulama Kamang lainnya berusaha membangkitkan motivasi keagamaan untuk melawan kaum kafir. Mati dalam memerangi kafir adalah mati syahid. Hampir semua surau-surau yang ada di Kamang aktif untuk memompa semangat juang rakyat dengan menggunakan pendekatan keagamaan seperti itu. Surau-surau di Kamang secara serentak melakukan berbagai persiapan menghadapi perang dibawah koordinasi Surau Taluk (didekat makam pahlawan sekarang). Surau ini dijadikan sebagai basis untuk melakukan koordinasi kekuatan tempur baik fisik maupun mental masyarakat. Surau-surau yang ada, selain menjalankan fungsi penyelenggaraan ibadah shalat berjamaah, juga diadakan pengajian-pengajian dan do’a bersama dalam rangka memperkokoh keyakinan dan mempersiapkan mental, setelah itu kegiatan dilanjutkan dengan belajar silat untuk memper-siapkan fisik para pejuang. Setelah semua dianggap siap, mereka berangkat ke medan tempur. Kekompakan rakyat untuk melawan Belanda sangat dibantu oleh kekuatan koalisi adat dan agama, yang dalam hal ini sangat jelas terlihat. Haji Abdul Manan dan ulama-ulama Kamang lainnya memainkan peranan dalam persiapan mental sementara Datuk Rajo Penghulu seorang tokoh adat sangat berperan pula dalam persiapan fisik (Taufik Abdullah dan S. Budhisantoso (ed.),1983/84;44-45). Kombinasi kepemimpinan kedua tokoh ini sangat diapresiasi oleh rakyat. Meskipun, perlawanan rakyat Kamang yang gigih ini pada akhirnya hanya membuahkan kegagalan, namun terasa ada kepuasan rakyat atas pengorbanan yang telah mereka berikan, karena nilai-nilai patriotisme rakyat dan kebersamaan di bawah komando adat dan agama telah terwariskan pada generasi pelanjut mereka. Hingga saat ini, nilai-nilai itu masih tetap dirasakan di kalangan rakyat Kamang sendiri.

© Irhash A. Shamad

Sumber : Irhash A. Shamad & Danil M. Chaniago, 2007, Islam dan Praksis Kultural Masyarakat Minangkabau, Jakarta : PT. Tintamas Indonesia, Bagian 5

Maklumat

Maklumat
 
Support : Pandani Web Design
Copyright © 2009-2014. Irhash's Cluster - All Rights Reserved
Template Created by Maskolis
Proudly powered by Blogger