Home » , , » Inspirasi : "Ibunda……Kuikhlaskan Kepergianmu"

Inspirasi : "Ibunda……Kuikhlaskan Kepergianmu"

Written By Irhash A. Shamad on 29 April 2014 | 06.57


Tidak seperti biasanya, pada hari itu (Selasa 5 Oktober) aku memutuskan untuk membatalkan keikutsertaanku pada suatu kegiatan penting yang akan dilaksanakan di Malang Jawa Timur minggu depan, ( 12 sampai 14 Oktober 2010). Pembatalan ini cukup mengherankan stafku di kantor, karena kali ini tidak ada alasan yang cukup jelas aku kemukakan......”saya tidak bisa berangkat ke Malang, dan saya tidak bisa menjelaskan kenapa…..ada sesuatu yang sulit dikemukakan” ucapku, entah kenapa pernyataan sekenanya seperti itu aku kemukakan, jangankan dia, aku sendiri bahkan heran dengan pernyataan itu. Kamipun menyepakati untuk mengirim beberapa orang utusan untuk kegiatan itu tanpa keikutsertaanku yang seharusnya memimpin utusan itu. Beberapa hari setelah itu aku merasa semakin yakin dengan keputusan itu, meski keyakinan ini juga masih belum memiliki alasan yang cukup konkrit. Hari-hari berikutnya aku seperti “dipaksa” untuk berfokus pada Ibuku di kampung yang sudah sejak beberapa bulan yang lalu mengalami ‘uzur karena umur dan sakit. Aku akan pulang!……begitu bisikan hatiku, meski untuk itu baru akan dapat aku laksanakan pada hari Sabtu 09 Oktober 2010 setelah menimbang kegiatan yang terpaksa harus aku batalkan. Entah karena kebetulan, tapi yang pasti Tuhan telah menggerakkan, aku yang merencanakan ke kampung hari Sabtu sejak dua hari yang lalu itu, ternyata pada pagi Sabtu ini justru kakak dan adikku di Riau telah mendapat telepon dari kampung untuk segera pulang, karena Ibu kami kondisinya kritis, tidak bisa lagi bangkit dari tempat tidur, tidak berbicara, dan tidak bisa menelan makanan. Aku yang sebelumnya sudah bersiap-siap untuk berangkat, lalu menerima telepon dari kakakku itu mengabarkan kondisi Ibu seperti itu. Allahu Akbar…….ucapku, Tuhan memang
menggerakkanku, kenapa sangat bertepatan sekali dengan rencanaku untuk pulang hari ini.

Dengan perasaan pilu, kudapati Ibuku sedang terbaring di tempat tidur tanpa daya, tidak terdapat rona kesakitan yang terpantul di wajahnya, namun ketiadaan makanan yang masuk ke perut beliau telah membuat ia semakin lemah tak berdaya, ingin rasanya aku meraung melihat perubahan drastis kondisi Ibu yang beberapa waktu sebelumnya masih kusaksikan senyum yang selalu menyambut aku pulang. Tanpa pikir panjang kuputuskan untuk mendatangkan dokter ke rumah untuk membantu agar mengusahakan beliau dapat memperoleh asupan makanan. Kondisinya yang lemah membuat aku tidak tega membawanya ke tempat dokter. Aku bersama adikku segara mencari dokter dari beberapa desa tetangga….namun usaha kami sia-sia, karena tidak satupun dokter yang berada dirumahnya, …..semua pada keluar, hingga kamipun pulang dengan tangan kosong. Akhirnya, aku baru teringat pada ‘anakku’ (persisnya anak sepupuku) yang dokter dan lagi bertugas di Batu Sangkar. Kamila, demikian namanya, lalu kutelepon untuk meminta bantuannya, ku berharap, paling tidak, bisa menunjukkan bagaimana cara asupan makanan itu dapat diberikan ke Ibu. Alhamdulillah, pada hari itu dia juga tidak sedang bertugas dan bersedia untuk menemui Ibu. Tanpa pikir panjang aku berangkat menjemputnya ke Batu Sangkar yang berjarak lk. 30 km dari kampungku. Setelah mempersiapkan segalanya dari Batusangkar, kamipun berangkat. Malamnya barulah asupan makanan bisa diberikan melalui slang yang dimasukkan ke hidung beliau, sambil berharap mudah-mudahan ini akan membantu kekuatan beliau untuk bertahan. Hingga Minggu siang, aku sedikit lega, paling tidak, karena Ibuku sudah mendapatkan makanan, meski beliau lebih banyak tidur.

Siang ini…aku seyogianya kembali ke Padang, karena ada beberapa yang harus kupersiapkan sehubungan dengan keberangkatan utusan kantorku ke Malang pada pagi Senin besok (11 Oktober) serta kegiatan pada Senin pagi yang harus kuikuti di KPPN. Namun terasa hatiku mendua, antara Ibu dan tugas yang harus kuselesaikan…..lama aku bisa memutuskan apakah aku akan ke Padang dulu atau tetap menemani Ibuku…….berkali-kali aku bolak balik…ragu atas keputusan apa yang akan kuambil, meski beberapa keluarga berusaha meyakinkanku untuk berangkat ke Padang, tapi kebimbanganku tidak berkurang, hingga akhirnya aku putuskan untuk pamit kepada ibuku yang terbaring pulas. Terasa menganggu tidur beliau, tapi ku tetap memaksakan diri pamitan dengan coba membangunkan beliau pelan-pelan. Kuraih tangannya yang lemas kuusap-usap dan kupandangi wajahnya berharap beliau mengetahui maksudku….tapi beliau tetap pulas….dan kucoba untuk membatin memohon pamit, memohon maaf atas segala kesalahan dan kekhilafanku pada beliau…..komunikasi ini ternyata berlanjut, tampil banyak sekali episode kehidupan bersama pada saat-saat beliau masih sehat ceria, tanpa sadar aku menempelkan dahiku ke tangan beliau yang lemas…… sejuta perasaan pun tertumpah ruah, sejuta asapun berharap kesembuhannya dan mengembalikan masa-masa itu, dan emosikupun tanpa dapat kukontrol dalam pembatinanku itu, hingga dadaku semakin sesak dan meledakkan tangisan yang tertahankan, setelah kusadari, kucoba berucap doa ….“ ya Allah aku memohon kesembuhan atas Ibuku, ku berharap jangan Engkau biarkan dia dalam keadaan lemas tak berdaya seperti ini…….berikanlah jalan yang terbaikMu untuk tidak membuat beliau menderita tak berdaya seperti ini…..ya Allah sayangi Ibuku sebagaimana beliau menyayangiku waktu kecil……berikan petunjukMu atas hambamu yang lemah ini ya Allah. Kabulkan doa ku ya Rabb…amin”. Seperti tidak kupercaya….dadaku yang tadinya sesak terasa agak sedikit nyaman, dan aku seperti diberi keyakinan atas keraguanku atas keputusan itu, aku yakin Allah akan menjaga Ibuku dan Dia akan memberikan jalan terbaik bagi hambaNya…..Saat ku buka mataku yang basah dan kulepaskan dahiku dari tangannya,… kembali kupandangi Ibuku….tetap pulas tidurnya, namun ada secercah garis ketenangan yang kulihat di wajahnya seperti akan menyiratkan senyum waktu-waktu beliau ceria dulu,…… dadaku yang baru saja bergemuruh kembali mereda saat ku rasakan komunikasi batinku itu menyisakan makna yang dalam…..begitu dalam…..dan sangat dalam sekali.

Pagi ini (Senin 11 Oktober)…. Aku coba memastikan bahwa aku akan berangkat ke KPPN, tapi sejenak terpikir lagi bagaimana Ibuku……. Selang beberapa waktu kemudian (06.50) akupun menerima telepon dari kakakku untuk menyuruhku pulang kembali, dadaku berdebar, gerangan apa yang terjadi? Kakakku bilang….kondisi ibuku sangat kritis!.....Tanpa berpikir panjang kubatalkan semua rencana pada hari ini. Dengan perasaan tidak tenang aku persiapkan segalanya termasuk wakil penggantiku untuk kegiatan di KPPN itu…kupersiapkan anak dan istriku untuk segera berangkat ke kampung kembali, ku telepon sopir yang akan membawa mobil, kutitipkan penjagaan rumah kepada salah seorang pegawaiku, kusuruh bersiap-siap beberapa orang ponakanku untuk bersama-sama pulang. Namun, masih menunggu semua betul-betul siap untuk berangkat, beberapa menit kemudian (07.47) telepon genggamku berdering lagi, kakakku memberitahu bahwa Ibu sudah berangkat keharibaanNya!… beberapa menit yll (07.35) inna lillahi wainna ilaihi raji’un. Rasa menggelegar lagi jantungku menerima kenyataan itu ….. aku berusaha untuk tenang dengan coba meyakinkan diriku bahwa Allah telah menentukan yang terbaik bagi Ibuku….Allah telah memberikan jalannya bagi Ibuku untuk terlepas dari beban yang dideritanya, Allah telah memberikan ketenangan pada Ibuku, tapi meski kuyakini itu, selama perjalanan aku tetap gelisah, sedih dan galau…..ku sesali kemaren kenapa kutinggalkan Ibuku, hingga aku tidak ikut melepas kepergiannya pagi ini. Seandainya Engkau memberikan pilihan padaku untuk tidak berangkat ke Malang, yang seharusnya juga hari ini, adalah hikmah dari keharusan aku tidak berada jauh dari Ibuku saat akan menghadapMu, kenapa Engkau hindarkan aku untuk ikut disampingnya pada detik-detik Engkau akan memanggilnya?, Adakah keputusan kemaren sesungguhnya tidak Engkau restui ya Allah?...... hati kecilku bertanya andaipun aku ikut melepas Ibuku menemuiNya….akankah aku sanggup menahan diri untuk tidak membebani beliau saat menjalani sakrat itu?, padahal menyaksikan ketidakberdayaan Ibu di pembaringan saja nyaris meruntuhkan dadaku. Adakah ini hikmahnya ya Allah?……… bertubi-tubi dialog dalam diriku terjadi selama perjalanan ke kampung pagi ini, namun aku tetap berusaha meyakinkan diriku atas pemberlakuan ketentuanNya…..aku juga tidak mau menjadi hamba yang tidak ikhlas atas ketentuanNya itu, meski ini sangat terasa berat kurasakan hari ini.

Perjalanan pulang ke kampung hari ini, kurasakan begitu lama, dan perasaan tidak sabar untuk segera menemui Ibuku yang telah terbujur kaku semakin menyentak dada pada saat kami dihadapkan dengan kemacetan jalan yang menambah kegusaranku …kubayangkan saat ini pastilah sudah banyak saudara, karib dan kerabat yang duduk di sekeliling pembaringan Ibuku, mereka tentu menunggu kadatanganku untuk mengawali penyelanggaraan jenazah Ibuku. Aku tetap berusaha untuk berdamai dengan emosiku sepanjang perjalanan itu, agar saat-saat kehadiranku di rumah, aku dapat menunjukkan keikhlasanku atas ketentuan Allah ini. Aku tepuk dadaku meyakinkan itu, karena aku tidak mau membebani perjalananan ibuku karena ketidak ikhlasanku itu. Tidak saatnya aku meratapi kepergiannya yang memang sudah menjadi ketentuanNya. Aku tekadkan dalam diriku untuk kuat mengantarkan Ibuku, aku tekadkan untuk ikut membaringkan jasad beliau ke liang lahadnya, dan… alhamdulillah, menit-menit menjelang memasuki pekarangan rumah…..aku merasakan betul-betul siap dengan semua itu. Aku melangkah pasti memasuki rumah duka menuju pembaringan Ibuku, kuberjalan tegar diantara orang-orang yang sudah bersiap untuk penyelenggaraan jenazah beliau, ku buka selubung wajah Ibuku yang sudah pucat, kukecup kening beliau yang dingin itu dan kupanjatkan doa untuk kelancaran perjalanan pulang sang Ibu tanpa setitikpun air mata mengalir dari kedua kelopak mataku….sebagai bukti keikhlasanku, dan….. alhamdulillah prosesi penyelenggaraan jenazah Ibuku dapat kuikuti dengan tegar sampai gundukan tanah memeluk jasad Ibuku.

Sepanjang hari ini, terlalu banyak hal yang kurasakan……semenjak pemakaman Ibuku ada kelegaan menyelinap dihati ini…Ibuku sudah tenang di haribaanNya, ….ya Allah, ampuni segala dosa-dosanya, balasilah semua amal ibadah beliau yang telah membesarku dan tempatkanlah ia di tempat yang selayaknya di sisiMu…..aku juga bersyukur kepadaMu, karena telah Engkau beri kekuatan dan keikhlasan padaku untuk menghadapi semua ini. Tak habis rasa syukurku karena banyaknya orang yang ikut menshalatkan jenazah yang diimami oleh kakakku, banyak orang yang menunjukkan simpati atas kepergiannya, banyaknya orang yang mengantar dan hadir disaat pemakaman, dan banyaknya pelayat datang ke rumah duka yang ikut menunjukkan rasa belasungkawa atas kepergiannya, itu semua pastilah merupakan kesan atas kebaikan-kebaikan beliau semasa hidupnya. Tak habis rasa syukurku atas orang-orang disekelilingku yang selama ini telah berbakti-tulus dalam memberikan perawatan terhadap beliau ; adikku Armini, Agus dan Amir, Ibuku Bainidar serta ponakan-ponakanku Dian, Dini, Dita dan Dewi. Mereka dengan ikhlas telah mengambil alih apa yang seharusnya menjadi kewajibanku, mereka telah berbuat pada beliau melebihi apa yang seharusnya aku melakukannya. Aku hanya dapat berdoa kiranya mereka selalu diberikan kesehatan dan kesejahteraan oleh Allah atas kebaikan-kebaikan mereka itu. Demikianpun untuk Fatihah, seorang perempuan muda yang sebenarnya tidak memiliki pertalian genetis dengan keluargaku, ternyata telah dengan sabar dan tulus merawat Ibuku dalam masa-masa akhir kehidupannya. Siang dan malam mendampingi Ibuku dan berbuat seperti layaknya terhadap Ibu kandungnya sendiri. Aku menyaksikan ketulusan dan kasih sayang itu terekspresi dalam perlakuannya terhadap Ibu.

Hari ini,… tiada yang lebih tepat kuucapkan selain rasa syukur yang dalam atas semua itu. Tuhan telah memberikan kepadaku seorang Ibu yang sederhana, polos, penuh kasih sayang dan sangat tulus, seorang Ibu yang setia dan sabar dalam membesarkan anak-anaknya, seorang Ibu yang peduli dan selalu menunjukkan empati kepada siapapun, seorang Ibu yang selalu berusaha untuk menyenangkan siapapun, seorang Ibu yang selalu mampu menyembunyikan rasa marah, gusar dan gelisah di saat ia merasa itu akan melukai dan mencemaskan orang lain.


Kepada pembaca yang budiman, kami mohonkan bacaan 'Al-Fatihah' untuk Beliau
Allahummaghfirlaha, warhamha, wa’aafiha wa’fu’anha, waakrim nuzulaha, waj’alil jannata matswaaha……amien!

©Irhash FB 15 Oktober 2010
Share this article :

Posting Komentar

Maklumat

Maklumat
 
Support : Pandani Web Design
Copyright © 2009-2014. Irhash's Cluster - All Rights Reserved
Template Created by Maskolis
Proudly powered by Blogger