Home » , , » Inspirasi : Duka Oktober….di Wajah Miris Bangsa Ini

Inspirasi : Duka Oktober….di Wajah Miris Bangsa Ini

Written By Irhash A. Shamad on 01 Mei 2014 | 03.00

Bulan Oktober ini sepertinya tak henti menyisakan kepedihan. Tuhan ternyata telah memberlakukan kehendakNya diluar apa yang kita mau, sehingga alam ciptaanNya enggan untuk berdamai dengan manusia. Amukan banjir bandang di Papua barat 4 Oktober yang memporakporandakan Wasior, Manggurai, Wondamai hingga Wandiboy, meluluhlantakkan pemukiman dan menewaskan hampir 200 orang warga. Jakarta, kota metropolitan yang setiap tahun menjadi langganan banjir, pada bulan ini mencatatkan kerugian akibat banjir sebagai yang tertinggi dalam sejarahnya, begitupun banjir-banjir yang terjadi di hampir 100 kabupaten dan kota di Indonesia. Merapi, gunung api terbilang paling aktif di dunia yang terletak di pulau Jawa, bulan ini, ikut memperlihatkan keberingasannya sejak tanggal 25 Oktober. Letusan-letusan asap dan material disertai awan panas yang terbilang dahsyat (mendekati 600 derjat celcius) yang terjadi 27 Oktober telah menghanguskan apapun yang ada di sekitarnya, rumah, pohon ,ternak, dan manusia dalam sekejap menjadi gosong dan kaku tak berdaya. Pekikan parau , tangisan dan suara-suara pilu seperti tertelan oleh gemuruh longsoran material Merapi. Sebaran abu vulkanik yang menyesakkan dada membuat sejumlah desa dalam radius lebih dari sepuluh kilometer diseputar Merapi menjadi buram seperti tak berpengharapan. Gempa bumi berskala 7,2 SR, disusul gelombang Tsunami di pulau Pagai Selatan Kabupaten Kepulauan Mentawai terjadi menjelang tengah malam (25 Oktober). Goncangan bumi yang terjadi saat warga desa Belagu dan Muntai Baru yang terletak di pesisir Pagai selatan, membuai seakan menjadi pengantar tidur, namun sekonyong disusul terjangan gelombang yang menyapu bersih kedua desa ini, dan akhirnya menyisakan puing dan jasad-jasad manusia yang tercabik-cabik oleh ganasnya hempasan air, kayu, batu dan material bangunan rumah-rumah mereka sendiri. Ratusan orang telah menjadi korban dan ratusan lainnya dinyatakan hilang entah kemana….. 
(hingga tulisan ini dibuat, masih dilakukan pendataan)

Bencana beruntun yang terjadi selama Oktober meninggalkan duka yang begitu dalam di setiap sanubari yang peka, meruntuhkan banyak sekali harapan, dan meninggalkan jejak trauma psikologis bagi yang ikut merasakan. Meski bagi korban berlalunya bencana adalah “ketenangan”, dan mereka tidak perlu lagi terusik dengan berbagai kecemasan. Namun bagi yang ditinggalkan adalah kepedihan yang tak terkatakan, menggumam pilu (seperti) tidak rela dengan apa yang telah menimpa orang tua, istri, suami, anak, saudara, dan semua yang mereka cintai ; sebegitu kejamnya alam merenggut semua itu dari mereka. Tidak hanya keluarga terdekat, mereka yang nun jauh di ujung sanapun dapat merasakan kepedihan yang menimpa warga yang terkena bencana, diantara mereka, yang meskipun, tidak dapat melakukan apa-apa untuk meringankan penderitaan itu, paling tidak, ikut berempati dengan penderitaan sesama. Banyak naluri kemanusiaan tersentak untuk menyatakan belasungkawa, untuk menyisihkan sebagian harta dalam rangka mengurangi penderitaan mereka, mengorbankan waktu dan tenaga membantu meringankan beban-beban mereka, atau, paling tidak, untuk sekadar besimpuh menadahkan tangan bermohon pada Yang Kuasa agar yang “pergi” memperoleh ketenangan di sisiNya dan yang ditinggalkan selalu tabah dan sabar……..

Bencana demi bencana tak urung telah mengusik kesadaran keTuhanan manusia. Banyak yang berspekulasi tentang kemarahan Tuhan atas sikap-sikap manusia yang telah kehilangan rasa takut untuk mengingkari ketentuanNya. Tak sedikit pula yang menyadari bencana sebagai peringatan dan ujian ilahiyah dalam rangka mengukuhkan keimanan terhadap ‘kekuasaan yang tak terbatas’ yang dimiliki sang Khaliq atas makhluq ciptaanNya atau sebagai wujud bukti kasih sayangNya. Banyak juga di sana yang berspekulasi tentang bencana sebagai siklus alam yang bukan sunnahNya, dan dengan angkuh mengkultus ilmu, mendewakan perhitungan matematis, lalu memberikan prediksi-prediksi “menakutkan” untuk menambah beban traumatis warga daerah bencana, menebar keputusasaan dalam duka yang tak pernah putus dan nyaris kehilangan harapan. Ada di sana manusia klenis namun fanatis menunjukkan keyakinan dirinya dengan menyanggah kekuasaan Ilahi secara salah, menerobos batas-batas alamiah menjalin interaksi semu dengan alam untuk menundukkan keganasannya dengan niteni yang bersifat naluriah, membungkus fanatisme tradisional keratonan yang meyakini alam dikuasai oleh sejumlah penguasa ; eyang empu dan eyang panembahan sapujagad. Namun tatkala wedhus gembel menyambanginya …keyakinannyapun luruh, kemudian “bersujud” entah untuk keyakinannya lalu “menyediakan diri” ditelan bencana, atau sebagai pernyataan pertobatan atas kekeliruannya pada kekuasaan Tuhan…..tidak ada yang tahu!

Di sana juga ada manusia-manusia tak memiliki naluri kemanusiaan yang tak mampu menunjukkan empati dan kepedulian terhadap penderitaan sesama. Manusia yang telah kehilangan sensitifitas karena terlanjur “tercebur” ke dalam limpahan kesenangan dan “semerbakwangi”nya kehidupan Senayan, hingga tidak lagi mampu mencium dan merasakan “wangi”nya penderitaan rakyat kecil, padahal, untuk rakyat kecil itulah ia bisa “menikmati” Senayan, dan kepadanyalah, seyogianya, digantungkan nasib rakyat. Namun, pada saat rakyat menjeritkan penderitaan atas bencana yang menimpa,… dengan enteng ia berkata : “itulah resiko tinggal di daerah rawan bencana, kalau takut bencana ya pindah sajalah!.......sebuah kalimat yang menyayat hati dan tak seharusnya keluar dari mulut seorang pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat yang (katanya) sangat terhormat di negeri ini…….. la’anallahu lahu wa na’uzubillah min zalik……
©Irhash FB 30 Oktober 2010

Share this article :

Posting Komentar

Maklumat

Maklumat
 
Support : Pandani Web Design
Copyright © 2009-2014. Irhash's Cluster - All Rights Reserved
Template Created by Maskolis
Proudly powered by Blogger