Home » , , , , » "Hadza Min Fadhli Rabby" : Pengalaman Haji Atas Undangan Raja Saudi Arabia 2014 (Bagian 4)

"Hadza Min Fadhli Rabby" : Pengalaman Haji Atas Undangan Raja Saudi Arabia 2014 (Bagian 4)

Written By Irhash A. Shamad on 15 Februari 2015 | 20.17





Jam 16.00 WSA sore, iring-iringan rombongan bus jama’ah tamu kerajaan sampai di ‘Arafah. Masing-masing telah disediakan tenda sesuai negara dan wilayah regional masing-masing. Kami jama’ah tamu dari Indonesia ditempatkan satu tenda dengan Malaysia dan Philipina. Tenda-tenda yang cukup besar untuk menampung jamaah ini berada pada blok  tersendiri. Di sini fasilitas untuk jama’ah sangat memadai, tersedia tenda yang berfungsi sebagai masjid, tenda ruang makan, restoran, klinik pengobatan, MCK serta fasilitas umum lainnya.


Kenyamanan lingkungan blok ini lebih dirasakan dengan adanya pohon-pohon pelindung serta pekarangan yang seluruhnya ditutupi dengan karpet rumputan berwarna hijau, meski dengan rerumputan artifisial, namun cukup menimbulkan kesan yang sejuk. Suasana di dalam tenda juga tidak kurang kenyamanannya. Satu tenda besar yang ditempati oleh l.k. 100 orang mungkin terkesan sumpek dan gerah, namun karena masing-masing tenda juga dilengkapi dengan air conditioner (AC) yang cukup, sehingga suasana didalamnya cukup sejuk. Semua tenda-tenda itu juga dilengkapi dengan kasur dan selimut untuk setiap jama’ah tamu. Dengan demikian pelaksanaan ibadah dan zikir jama’ah didalamnya dapat dilakukan dengan lebih khusyu’.
Demikian juga MCK tersedia cukup banyak sehingga hampir tidak memerlukan waktu untuk antrian, namun yang sedikit agak perlu menyesuaikan adalah air wudhu’ dan air mandi yang tersedia cukup panas menurut ukuran biasa, sehingga setiap kali  sehabis mandi dan wudhu’ tidak terasa segar. Makanan serta minuman yang disediakan khusus untuk jamaah tamu ditempatkan pada satu tenda khusus. Tidak ada kesan “darurat” dalam pelayanan makanan dan minuman,  bahkan juga dalam penyajiannya. Semua itu persis sama dengan pelayanan yang ada di hotel, termasuk variasi menu yang disediakan, yang berbeda hanyalah tidak tersedianya kursi dan meja untuk makan. Soal yang terakhir ini yang sedikit berkesan “darurat” ; para tamu dipersilakan mencari sendiri tempat duduk, apakah di tenda masing, di taman-taman atau di gang-gang antara tenda yang memang sudah dialasi karpet hijau, apalagi pula terdapat banyak pohon pelindung.
Apa yang dikemukakan tentu dapat dimaklumi. Bahkan menurut saya, pengalaman spritual ibadah haji sepatutnya benar-benar menjadi ‘napak tilas’ pelaksanaan haji Rasulullah SAW,  paling tidak segala duka dan kesulitan di masa itu dapat dihayati. Saat pikiran saya mencoba untuk membayangkan realitas masa Rasulullah, rasanya apa yang kami alami dalam pelaksanaan haji kali ini sudah terlalu “mewah”, bahkan terkadang hati kecil saya seperti merasa tidak sempurna dan kurang afdhal saja  pelaksanaan ibadah haji ini, meski tetap berharap tidak akan kurang nilainya di mata Allah SWT.
Kami jamaah tamu mendengarkan khutbah Arafah pada Jum’at 03 Oktober di dalam tenda yang dikhususkan untuk masjid. Khutbah Arafah hanya kami saksikan melalui layar monitor. Untuk setiap negara-negara ‘ajam (yang tidak berbahasa Arab) masing-masing  dibantu oleh seorang interpreter yang bertugas menterjemahkan isi khutbah kepada bahasa masing-masing. Lautan manusia yang mendengarkan khutbah Arafah di lapangan hanya dapat disaksikan lewat monitor. Dalam hati,  saya rasanya mau protes kenapa kami tidak diberi pengalaman menyatu dengan umat muslim yang banyak itu saat ini? ; seyogianya di saat saat seperti inilah kami dapat merasakan “padang mahsyar” dunia itu, karena saat ini semua jamaah haji dari seluruh dunia berkumpul pada satu titik dan detik secara bersamaan….betapa indahnya. Namun apa hendak dikata, semua kami tunduk pada aturan-aturan yang menjadi ketetapan penyelenggara yang mengurus penyelenggaraan haji tamu Khadim Haramayn ini. 

Selesai shalat jum’at, saat saat dimana wuquf di mulai, para jamaah mencari tempat masing-masing secara bebas untuk berzikir dan berdo’a menjelang terbenamnya matahari ; ada yang kembali ke tenda, ada yang mengambil tempat dipojok-pojok tenda, tetapi saya dan salah seorang teman dari Jawa Barat sengaja mengambil tempat di luar tenda, persisnya di tempat yang agak jauh dari tenda, Ini sengaja kami lakukan untuk sedikit merasakan panasnya suhu padang Arafah, meski tidak kena matahari langsung, namun cukup untuk sedikit menghayati padang Arafah dalam arti yang sesungguhnya.  Do’a-do’a wuquf yang melantun di tengah suhu seperti ini terasa lebih menjiwai, karenanya kesempatan wuquf ini saya gunakan sebaik-baiknya untuk tidak saja mewiridkan zikir dan do’a seperti yang diajarkan Rasulullah, tetapi do’a-do’a dan segala ‘pengaduan’ atas segala hal yang telah berlaku dalam kehidupan saya dan semua keluarga saya, baik suka maupun duka yang telah kami  alami selama ini, segala alpha dan kelemahan diri yang disesali. Terasa betapa ‘malu’ diri ini dihadapanNya atas semua itu, dan betapa kecilnya diri ini dan bahkan rasanya kurang pantas untuk berharap kehadiratNya, mengingat belum sempurnanya segala kewajiban tertunai sesuai syari’atNya, dan betapa terlalu banyak karunia dan kasih sayangnya yang telah dicurahkanNya kepada saya dan keluarga yang kadang tanpa kesyukuran yang berarti dari kami yang tak tahu diri…..betapa berdosanya diri ini kurasakan!. Konflik batin ini kurasakan tak ubahnya bagai pengadilan “mahsyar” atas diri saya sendiri. Tak sedikit air mata yang tercurah mengiringi “ratapan” dan do’a-do’a itu, hingga terleraikan oleh waktu ‘Ashar. Setelah shalatpun semua itu terulang kembali hingga saatnya kami bersiap-siap untuk diberangkatkan ke Mudzdalifah saat mata hari terbenam.


Kami berangkat ke Mudzdalifah pada saat menjelang maghrib dengan manaiki bus-bus tamu kerajaan yang memang telah standby di luar area sesuai dengan nomor bus yang ditentukan sedari awal. Membayangkan caravan onta Rasulullah dulu, bus-bus kamipun bergerak ke Mudzdalifah di tengah keramaian umat dengan berbagai macam jenis kendaraan, bahkan ada diantaranya yang berjalan kaki, sesekali saya berfikir alangkah lebih afdhalnya ibadah mereka yang benar-benar merasakan perjalanan malam ke Mudzdalifah tanpa menggunakan kendaraan itu.
Jarak antara Arafah dan Mudzdalifah tidaklah begitu jauh, namun masa tempuhnya begitu lama, karena bus kami tidak bisa bergerak cepat akibat ramainya lalu lintas pada waktu ini.  Lebih kurang jam 10.00 WSA malam, kami sampai di Mudzdalifah. Bus-bus jamaah tamu yang seragam ini berjejer disepanjang jalan Jawhara. Kami semua turun untuk mabit dengan terlebih dahulu shalat Maghrib dan Isya’ yang dijama’ serta memungut kerikil-kerikil yang akan digunakan nanti di jamarat. Begitu bus-bus kami berhenti, panitia langsung membentangkan beberapa permadani di jalanan diantara bus-bus tersebut, agar para jamaah dapat melaksanakan shalat, berzikir dan berdoa selama mabit, dan menunggu saat-saat perjalanan dilanjutkan ke Mina menjelang Shubuh............
(baca lanjutannya..... klik di sini)

© Irhash A. Shamad
Share this article :

Posting Komentar

Maklumat

Maklumat
 
Support : Pandani Web Design
Copyright © 2009-2014. Irhash's Cluster - All Rights Reserved
Template Created by Maskolis
Proudly powered by Blogger