Menelusuri asal usul
kesultanan Indrapura terutama pada masa-masa sebelum abad keenambelas, seperti
mengurai benang kusut yang tidak jelas ujungnya. Perjalanan sejarah kesultanan Indrapura sendiri
barulah agak terang setelah adanya
‘pencatatan-pencatatan’ dari transmisi kesaksian lisan melalui naskah-naskah
yang ditulis beberapa abad setelahnya serta pencatatan-pencatatan asing yang
dilakukan setelah masuknya bangsa barat.
Naskah sebagai wujud
‘memori kolektif’ pada awalnya ‘terbenam’ dalam interaksi oral masyarakatnya
dari generasi ke generasi. Meskipun naskah merupakan sumber lokal yang dapat
digunakan untuk menelusuri sejarah kesultanan ini secara spesifik, namun sangat
disadari bahwa pengalihan dari kesaksian oral
ke bentuk naskah tertulis barulah dilakukan beberapa abad kemudian. ‘Kesaksian-kesaksian’ itu telah mengalami rentang waktu yang panjang sebelum ditulis, maka tidak mustahil telah terjadi interpolasi disana sini dalam proses transmisinya.
ke bentuk naskah tertulis barulah dilakukan beberapa abad kemudian. ‘Kesaksian-kesaksian’ itu telah mengalami rentang waktu yang panjang sebelum ditulis, maka tidak mustahil telah terjadi interpolasi disana sini dalam proses transmisinya.
Pengungkapan asal usul
kesultanan Indrapura, setidaknya, terdapat dua versi, pertama : kesultanan Indrapura yang keberadaannya dianggap usali (asli) sebagai pelanjut tradisi
pemerintahan sebelumnya, dan bahkan konon dianggap bahwa dari sinilah awal mula
kerajaan-kerajaan Melayu pada umumnya, termasuk kerajaan Minangkabau. Kedua, kesultanan Indrapura sebagai
bagian dari kerajaan besar Minangkabau yang pada zaman purba mempunyai wilayah
kekuasaaan (hampir) meliputi pulau Sumatera (Marsden, 1999 :200).
Perbedaan versi itu
telah mengakibatkan pengemukaan informasi kesejarahan oleh sumber-sumber lokal
sering sangat kabur, saling kontroversi dan adakalanya juga saling menunjang.
Akan tetapi yang sering ditemukan dalam banyak sumber lokal adalah pengemukaan
sejarah yang penuh subyektivitas dan pengunggulan pandangan masing-masing,
saling klaim, saling bertubrukan, dan bahkan seringkali tidak memiliki titik
temu yang jelas, karena sentimen masing-masing. Semua itu tentunya sangat
ditentukan oleh berbagai kepentingan yang menyertainya.
Penelusuran tentang
kesultanan Indrapura dalam pembahasan ini tidak serta merta dalam satu kesatuan
tematis yang berdiri sendiri. Karena itu, betapapun kendala-kendala sumber
untuk penelusuran terhadap masa-masa sebelumnya, namun akan dilakukan analisis
terhadap sumber-sumber lokal yang kontroversial itu dengan pembandingan
sumber-sumber asing yang dapat ditemukan. Dengan demikian diharapkan, paling
tidak, sedikit mengurangi ‘kabut’ mitologis keberadaan kesultanan Indrapura
sendiri.
Aktifitas Pelayaran di
Pesisir Barat Sumatera
Peranan Sumatera
sebagai wilayah komoditi dagang utama semenjak masa sebelum Masehi telah banyak
dikemukakan dalam berbagai sumber. Salah satu komoditi yang terkenal sejak lama
di Sumatera ialah emas. Ini dikemukakan dalam berbagai catatan
pengembaraan para pelancong Eropa, seperti Tome Pires, Joao de Barros, Fernao Mendes Pinto serta Jan Huygen van
Linschoten, yang selalu menceritakan kekayaan emas Sumatera. Bahkan konon keutamaan komoditi ini terdapat dalam
Kitab Perjanjian Lama yang menceritakan bahwa anak buah Hiram, raja Tyrus
berlayar ke Ophir untuk mencari emas
yang akan dipersembahkan kepada Nabi Sulaiman A.S. raja Israel. Kuat dugaan
ahli sejarah bahwa yang dimaksud dengan Ophir
itu adalah sebutan pulau Sumatera sekarang[1].
Hal inilah yang kemudian mengundang ramainya penjelajahan Arab dan Eropa pada
rentang abad-abad sesudah Masehi dalam rangka mencari emas dan komoditi lainnya
seperti kapur, lada dan lainnya di kawasan ini.
Sebelum kedatangan
bangsa barat, orang-orang Arab telah lebih
dahulu mengunjungi pulau ini. Menurut Marsden (1999), dua orang Arab pertama
telah mengunjungi pulau ini sejak abad ke-9 Masehi. Meskipun tidak disebutkan
nama keduanya, namun dari laporan perjalanan mereka diketahui keberadaan pulau
Sumatera. Mereka menceritakan sebuah pulau bernama Ramni terletak antara Sarandib dan Shin. Sebutan Sarandib inilah
yang banyak ditemukan dalam pemberitaan-pemberitaan Arab selanjutnya
(Lewis,1976 : 198). Diduga bahwa nama Sarandib
itu adalah Sumatera (Marsden, 1999 : 3) sehubungan dengan perubahan sebutan
Arab atas kata Sanskerta Swarnadwipa
yang berarti “pulau emas” (cf. Nia, 1983 :84). Bersamaan dengan itu, ternyata sumber-sumber
lokalpun telah lazim menyebut pulau Sumatera ini dengan pulau emas, ‘pulau
ameh’ sebagaimana terdapat dalam “Kaba Cindua Mato” dan ‘tanoh emas’ seperti
yang disebut dalam cerita-cerita rakyat Lampung.
Agama Islam di Pesisir Barat Sumatera
Dari apa yang
dikemukakan di atas, tidak mustahil bahwa masyarakat di pulau Sumatera sejak
lama telah berinteraksi dengan pedagang-pedagang asing, terutama di kota-kota
pelabuhan daerah-daerah pesisir, tidak terkecuali juga para pedagang yang
sekaligus muballigh dari Arab atau Gujarat. Laporan seorang geograf Tunisia bernama
Muhammad Sharfi tahun 1551 M, bahkan menyebutkan Sumatera sebagai salah satu
daerah Islam (Nia, 1983 : 79). Sumber lokal banyak sekali menceritakan tentang
pelayaran yang dilakukan olah orang-orang Arab di pesisir barat pulau Sumatera.
Naskah Muballighul Islam oleh Imam
Maulana Abdul Manaf (selanjutnya
disingkat dengan Naskah MI) misalnya pernah mengemukakan tentang seorang
petualang Arab yang kapalnya terdampar di pesisir barat, dan kemudian hidup dan
mengembangkan Islam pada masyarakat setempat, diceritakan bahwa :
.......kira-kira dalam tahun 580
Hijrah terpasahlah seorang Arab yang karam dalam perjalanannya atau
pelayarannya untuk berniaga ke negeri timur ini. Dia terdampar dekat muara
sungai Arau yang waktu itu belum dihuni oleh manusia, malahan yang ada hanya
padang lalang dan duri disela-sela oleh rawa-rawa. Diseberang sungai itu agak
menjorok ke laut dan dinamai orang gunung Monyet, di situ banyak kera dan
monyet. Setelah lepas lelahnya berjalan-jalanlah dia menengok kalau-kalau ada kampung
orang yang dekat di situ. Di dalam dia berpikir-pikir di manalah kampung yang
dihuni manusia maka hanyutlah beberapa
dahan kayu yang baharu dipancung orang. Melihat dahan-dahan kayu yang
hanyut itu yakinlah hatinya bahwa di udik sungai itu pasti ada kampung orang,
maka dibulatkannyalah hatinya hendak memudiki batang air itu dengan susah
payah, sebab melalui belukar yang berduri-duri. Akhirnya bertemulah olehnya
beberapa buah dangau [=pondok, pen.] dekat batang durian besar di
pinggir sungai itu, maka pergilah orang Arab itu menemui orang dangau yang di
bawah batang durian itu (Naskah MI, hal;76)
Bila deskripsi di atas dapat dipercaya sebagai sumber,
paling tidak, dapat diperkirakan bahwa sekitar abad ke-12 dan 13 M. wilayah
pesisir barat Sumatera telah ramai dikunjungi oleh para pelayar asing, termasuk
Arab, dan sangat mungkin mereka sekaligus menyebarkan Islam pada masyarakat
setempat, sebagaimana juga digambarkan pada Naskah MI selanjutnya :
Setelah beberapa
bulan Sayyid Abdullah tinggal di situ yang siangnya membantu orang dangau
tempat dia tinggal itu bekerja tani, maka diberinyalah orang dangau itu
penerangan agama Islam. Akhirnya terpahamlah oleh orang dangau itu akan
penerangan Sayyid Abdullah, hingga seisi dangau itu memeluk agama Islam. Oleh orang
dangau itu disampaikannya pula kepada kawan-kawannya pada dangau yang lain
bahwa orang Arab itu ada membawa agama baru, agama yang benar bernama agama
Islam. Oleh karena orang dangau tempat tinggal Sayyid Abdullah yang menjadi
kepala pada dusun itu, dia yang menganjurkan memasuki agama Islam kepada
seluruh penduduk dusun, maka memeluk Islamlah seluruh penduduk dusun itu. (Naskah
MI, hal;76)
Kutipan
di atas, paling tidak, memberikan gambaran tentang situasi wilayah pesisir
barat pulau Sumatera, terutama dalam hubungannya dengan dunia luar. Hal ini
tentu akan sedikit membantu dalam melihat keberadaan pelabuhan-pelabuhan
samudera yang terdapat di pesisir barat pada umumnya, tak terkecuali juga
Indrapura.
Kerajaan
Air Pura dan Kerajaan Indrapura
Situs
kesultanan Indrapura terletak di wilayah
pesisir barat Sumatera tepatnya di perbatasan Sumatera Barat dan Bengkulu
sekarang. Pusat kekuasaannya berada pada wilayah muara sungai yang sekarang
juga bernama Indrapura, Kecamatan Pancung Soal, Kabupaten Pesisir Selatan. Di
ujung sungai ini mengarah ke laut dengan muara yang lebih lebar dan merupakan
pertemuan dua buah muara sungai yaitu Muara
Sakai dan Muara Bantaian, yang mengalir dari Air Haji. Pertemuan kedua muara
ini disebut dengan Muaro Gadang yang
konon sejak masa sebelum Masehi merupakan pelabuhan samudera pesisir barat yang
disebut Samudera Pura[2]. Di wilayah ini terdapat
sebuah negeri yang bernama Air Pura dibawah pemerintahan kerajaan yang juga
bernama Air Pura. Tidak banyak sumber yang dapat memastikan keberadaan kerajaan
ini secara ilmiah, kecuali hanya beberapa penulisan yang didasarkan pada
tradisi oral masyarakat setempat. Dalam beberapa penulisan disebutkan bahwa pada
abad ke-9 Masehi kerajaan Indrapura didirikan oleh Sultan Muhammad Syah anak
bungsu dari Sultan Maharaja Diraja yang adalah putra Iskandar Zulkarnaini dan
berkedudukan di Air Pura sebagaimana yang disebutkan terdahulu.
Keberadaan
Indrapura sebagai kerajaan Islam sejak abad ke-16 terutama sejak perubahan
kerajaan menjadi kesultanan, agaknya sulit untuk diragukan. Dari beberapa naskah lokal dan sumber-sumber
lokal lainnya menjelaskan bahwa perubahan sebutan kerajaan Air Pura menjadi kesultanan Indrapura dapat menjadi
bukti untuk itu. Perubahan kerajaan menjadi kesultanan itu terjadi pada awal
abad ke-16 yaitu pada masa pemerintahan Sultan ke-11 kerajaan Air Pura yaitu
Sultan Sakelab Dunia gelar Sultan Iskandar Johan Berdaulatsyah (Yulizal
Yunus, ). Ketidaksesuaian informasi
yang terdapat dalam sumber-sumber yang ada hanyalah pada perubahan nama Air
Pura menjadi Indrapura. Dalam Naskah Indrapura disebutkan bahwa penggantian
nama Air Pura menjadi Indrapura terjadi pada masa pemerintahan Sultan Inayat
Syah (1357 M) tanpa menjelaskan apakah pada waktu ini sekaligus dilakukan penggantian
sebutan kerajaan menjadi kesultanan atau tidak.
Maka pada suatu malam maka datanglah
ninikhanda almarhun Sultan Muhammad Syah di dalam mimpi mengatakan tatkala
hamba menjinjing melatih(?) iko
negeri, puro emas hamba jatuh masuk […] selama tidak dapat. Kiranya buah jatuh
masuk air kiranya disambar anak dewa2 […] dalam puro hamba itu ada sebuah batu maniko(?) dari ayah hamba Sultan
Maharaja Diraja dari Sultan Syamsul Bahri kurang terbawa martabatnya oleh
hamba, maka puro hamba itu disambar oleh peri disuruh oleh Sultan di lautan nan
bernama Indrapara, kalau cucung (cucu,
pen.) hendak menukar nama negeri
tukarlah dengan nama peri itu. Maka Sultan bangun pagi2 maka dipanggil Sultan
besar dan manti menerangkan mimpi maka ditukarlah nama negeri Taluk Airpuro
dengan Indrapara, yaitu nama peri yang memberi puro Sultan Muhammad Syah
tatkala menjinjing melatih(?) itu
negeri. (Naskah Indrapura 01, hal : 335-336)
Terlepas dari masalah
penggantian nama Air Pura menjadi Indrapura atau dari sebutan kerajaan menjadi kesultanan,
hal lain yang mungkin dapat disimpulkan di sini ialah bahwa di kerajaan Air
Pura telah berkembang agama Islam. Ini diperkuat pula dengan penelitian yang
dilaksanakan oleh Tim peneliti Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional
Sumbar pada tahun 2004. Dalam laporan
penelitian ini disebutkan bahwa kerajaan Air Pura sudah berdiri semenjak abad
ke-9 SM. dan berubah nama menjadi
Kerajaan Melayu Air Pura pada abad ke-12 yaitu di masa pemerintahan Sultan
Zatullah (Iim Imadudin, dkk., 2004 : 3).
Dari sumber yang
disebutkan terdahulu dan sumber terakhir ini terdapat kesamaan tentang nama Sultan yang memerintah pada
abad ke-12 yaitu Sultan Zatullah (Syah) maupun Sultan Inayat Syah. Bila informasi
dari kedua sumber ini bisa diterima, maka dari nama Sultan itu dapat diasumsikan
bahwa sejak abad ke-12 kerajaan yang terdapat di wilayah pesisir barat bagian
tengah Sumatera ini telah menganut agama Islam. Demikian juga dengan sebutan
Sultan yang digunakan, tentu juga dapat memberikan indikasi bahwa kerajaan Indrapura
sudah berupa kesultanan sejak abad ke12. Hal ini berbeda dengan sumber yang
disebutkan terdahulu yang mengemukakan bahwa perubahan kerajaan menjadi
kesultanan terjadi pada abad ke-16. Namun kesimpulan terakhir ini tentulah
masih memerlukan pembuktian-pembuktian ilmiah lebih lanjut.
Struktur
Birokrasi dan Distribusi Kekuasaan di Kesultanan Indrapura
Perubahan Indrapura
menjadi kesultanan seyogianya menjadi indikasi perubahan pola kekuasaan dalam
suatu sistem pemerintahan. Paling tidak, perubahan ini menggambarkan adanya
upaya pengukuhan formal sebagai salah satu sistem kekuasaan yang bercorak Islam[3]. Sebenarnya tidak ada
perbedaan yang mendasar sistem birokrasi yang dijalankan antara kerajaan dan
kesultanan. Kesultanan adalah sebutan lain dari kerajaan Islam. Di Indonesia
antara kedua istilah yang disebutkan terakhir sering dipertukarkan. Kecuali
itu, bila raja-raja yang memerintah menggunakan sebutan Sultan.
Sebagaimana telah
dikemukakan terdahulu, bahwa penggunaan sebutan Sultan di kerajaan Indrapura
sudah terlihat sejak abad ke-12 M. Pada saat itu kerajaan ini dipimpin oleh
seorang Sultan yang bernama Zatullah Syah. Pada waktu ini
tidak banyak informasi yang dapat diperoleh sehubungan dengan bentuk sistem
birokrasi yang dijalankan. Sementara itu perubahan kerajaan menjadi kesultanan
barulah dilakukan pada awal abad ke-16 pada masa pemerintahan Sultan Sakelab
Dunia gelar Sultan Iskandar Johan Berdaulatsyah. Sejak waktu ini barulah dapat didapatkan
gambara tentang bagaimana bentuk dan sistem pemerintahan di kesultanan
Indrapura
Kekuasaan Eksekutif : Dewan
Menteri Kesultanan
Kesultanan Indrapura
memiliki organisasi pemerintahan yang mirip dengan sistem kabinet parlementer. Seperti
juga kekuasaan tradisional lainnya kekuasaan tertinggi dipegang oleh Sultan. Sedangkan
pelaksana pemerintahan dijalankan oleh Dewan Menteri yang disebut Penghulu Nan Duo Puluah. Dewan Menteri
ini dipimpin oleh Mangkubumi. Penghulu nan Duo Puluah adalah pelaksana
pemerintahan sehari-hari yang dipertanggungjawabkan kepada Sultan melalui Mangkubumi.
Penghulu
nan Duo Puluah
terdiri dari tiga pihak yaitu : 8 orang di tengah disebut pihak Nan Salapan, 6 orang di hulu, dan 6
orang di hilir yang disebut pihak Nan
Baranam. Sebutan di tengah, di hulu, di hilir adalah merupakan batas
kewenangan yang diberikan kepada masing-masing. Pihak Nan Salapan atau disebut juga Basa Nan Salapan (Besar yang Delapan) sebagai pihak yang paling
dekat kepada Sultan dan berkewenang mengatur Kampung Dalam dan urusan internal
kerajaan. Sedangkan pihak yang berenam di hulu dan di hilir disebut dengan Manti Nan Duabelas (Menteri yang
Duabelas) dengan kewenangan mengurus berbagai aspek dalam kehidupan masyarakat
(NI : 316, 321).
Kedudukan
masing-masing pihak akan terlihat pada saat upacara-upacara kerajaan seperti
pada saat penobatan dan sebagainya. Masing-masing pihak menempati posisi yang
berbeda dan memakai simbol yang berbeda pula.
Pihak Nan Salapan di tengah memakai
ikat destar berwarna kuning, pihak yang berenam di hulu dengan ikat desta
berwarna merah, dan pihak yang berenam di hilir berwarna hitam (Iim Imadudin,
dkk., 2004 : 20).
Dewan
Menteri yang disebut Penghulu Nan Duo
Puluah (yang dua puluh) adalah jumlah kabinet dalam kesultanan Indrapura
adalah bersifat tetap ; tidak boleh ditambah dan dikurangi. Jumlah ini didasari
oleh hikmah sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berjumlah 20 sifat. Oleh
karena itu jumlah ini telah menjadi Undang-Undang Dasar kesultanan yang tidak
boleh diubah meskipun Sultan yang memerintah sudah berganti. Hal ini, bahkan terpatri
dalam sumpah yang jika dilanggar akan
berkonsekuensi mendapat kutukan atau laknat dari al-Quran 30 juz (Iim Imadudin,
dkk., 2004 : 20). Dari sini diketahui bahwa sistem birokrasi kesultanan
Indrapura diwarnai oleh prinsip tauhid yang terdapat dalam ajaran agama Islam. Prinsip-prinsip
Islam yang dipertahankan dalam kesultanan Indrapura juga dapat diketahui dari
ucapan terakhir Tuanku Rusli Gelar Sultan Muhammadsyah Sultan terakhir Indrapura sewaktu akan dinaikkan ke
kapal yang akan membawanya ke Batavia di bawah pengawalan pasukan Belanda ia
berucap dengan lantang tentang kesultanan Indrapura yang diwarisinya :
“Raja Indrapura adalah Raja Syarak Patah Tumbuh Hilang Berganti, Hilang
Raja Berganti Raja. Beredar Raja dengan Syarak, Berdestar Syahid Syabilillah,
Bersatu Sultan dengan Rakyat, Beredar Sultan dengan Adat, Beredar Sanak
Kemenakan dengan Adat Pusaka. Mengitari Bumi se-Petalo Langit, ke Bawah Dalam,
ke Awang Tinggi , Pergi Satu, Tumbuh Seribu, Sebanyak Pasir di tepi laut,
Hati bagai Sega! Air Laut kan ganti Tintanya, Air Tawar kan ganti
Gencunya, kan pembuat Riwayat Tanah Alam, untuk diingat-ingatkan dikala
sekarang, dikala nanti, karena syarak punya Bersama, Allah Ta’ala
menjadikannya.”[4]
Kewenangan Legislatif
: Pucuk Adat
Selain kekuasaan eksekutif,
kesultanan Indrapura juga memiliki dewan perwakilan yang disebut Pucuk Adat yang memegang kewenangan
legislatif. Pucuk Adat terdiri dari para Penghulu dan Orang Kaya yang mewakili
Balai Kerapatan Adat Nagari. Lembaga yang disebut terakhir ini merupakan Dewan
Perwakilan Rakyat yang dijabat oleh para penghulu yang mewakili anak kemenakan masing-masing.
Sistem perwakilan ini sangat mirip dengan kepemimpinan nagari-nagari yang
terdapat di kerajaan Pagaruyung.
Dari apa yang
dikemukakan terakhir ini, dapat diasumsikan bahwa sistem kekuasaan yang
dijalankan di kesultanan ini tidaklah bersifat otokratis murni sebagaimana
layaknya kerajaan-kerajaan nusantara lainnya. Segala keputusan yang menyangkut
anak nagari diputuskan secara musyawarah, meskipun keputusan terakhir tatap berada
di tangan Sultan. Namun keputusan Sultan tetap didasarkan pada hasil
pertimbangan musyawarah lembaga-lembaga perwakilan serta pertimbangan
kebiasaan-kebiasaan tradisional (alur) dan kebaikan bersama (patut).
Kewenangan Yudikatif dan
Federatif oleh Sultan
Meskipun otoritas
legislasi di Indrapura diputuskan berdasarkan permusyawaratan Pucuk Adat secara bertingkat dari unsur
pimpinan penghulu ninik mamak, namun
kekuasaan kehakiman dan penuntutan dipegang secara langsung oleh Sultan bersama
dengan alat-alat kekuasaannya. Bagi rakyat Sultan dipandang sebagai sosok yang
penuh hikmah serta paham dengan ketentuan agama. Oleh karenanya, rakyat
mempercayai bahwa dalam penegakan hukum Sultan akan berlaku seadil-adilnya.
Di kesultanan Indrapura
ada dua orang Sultan yang sangat dikenal alim, dan taat beribadah, penuh
kharisma dan adil dalam mengayomi rakyat, yaitu
Sulthan Mohammad Arifinsyah Gelar Sulthan Mohammadsyah
(1840-l860), dan Sulthan Mohammad Bakhi, Gelar Sulthan
Firmansyah Raja Terakhir di Indrapura (1860-1891).
Bahkan karena kharisma sipiritualitas keduanya rakyat menggelari nya dengan Tuanku Sembah (Tuanku Sembahyang) untuk
Sultan Muhammad Arifin Syah karena keshalehan dan ketaatannya beribadah, dan Tuanku Balindung (Tuanku tempat
berlindung) untuk Sultan Muhammad Baki, karena kedekatannya dengan rakyat dan
menjadi tempat berlindung dikala rakyat ditimpa kesusahan (cf. Emral Jamal,
2012).
Selain kekuasaan
yudikatif, Sultan juga memiliki kewenangan dalam memutuskan berbagai kebijakan
bilateral dan membuat kerjasama dengan pihak luar kesultanan, terutama dalam
bidang politik, ekonomi dan perdagangan.
Dengan demikian,
meskipun di Indrapura ketiga otoritas kekuasaan itu tidak sepenuhnya terpisah,
namun sudah berlaku pembagian kekuasaan secara jelas. Demikian juga bahwa meskipun tidak terdapat bukti keterkaitan secara
struktural, paling tidak, menganut sistem
pemerintahan kesulthanan sebagai mana berlaku di khalifahan Islam pada waktu
itu, namun karakteristik kekuasaan lokal yang bernuansa Islam menjadi bukti
bahwa Indrapura dapat mengklaim dirinya sebagai sebuah kesulthanan.
©
Irhash A. Shamad
Ditulis untuk laporan penelitian “Dinamika Sistem Birokrasi Kesulthanan
Indrapura”, yang dilaksanakan oleh Tim peneliti Fakultas Adab dengan kerjasama Puslitbang
Lektur dan Khazanah Keagamaan Kementerian Agama RI tahun 2012
Posting Komentar