Indrapura : Dari Kerajaan ke Kesulthanan

Written By Irhash A. Shamad on 17 September 2013 | 18.58

Menelusuri asal usul kesultanan Indrapura terutama pada masa-masa sebelum abad keenambelas, seperti mengurai benang kusut yang tidak jelas ujungnya.  Perjalanan sejarah kesultanan Indrapura sendiri barulah agak terang  setelah adanya ‘pencatatan-pencatatan’ dari transmisi kesaksian lisan melalui naskah-naskah yang ditulis beberapa abad setelahnya serta pencatatan-pencatatan asing yang dilakukan setelah masuknya bangsa barat.  
Naskah sebagai wujud ‘memori kolektif’ pada awalnya ‘terbenam’ dalam interaksi oral masyarakatnya dari generasi ke generasi. Meskipun naskah merupakan sumber lokal yang dapat digunakan untuk menelusuri sejarah kesultanan ini secara spesifik, namun sangat disadari bahwa pengalihan dari kesaksian oral

ke bentuk naskah tertulis barulah dilakukan beberapa abad kemudian. ‘Kesaksian-kesaksian’ itu telah mengalami rentang waktu yang panjang sebelum ditulis, maka tidak mustahil telah terjadi interpolasi disana sini dalam proses transmisinya.
Pengungkapan asal usul kesultanan Indrapura, setidaknya, terdapat dua versi, pertama : kesultanan Indrapura yang keberadaannya dianggap usali (asli) sebagai pelanjut tradisi pemerintahan sebelumnya, dan bahkan konon dianggap bahwa dari sinilah awal mula kerajaan-kerajaan Melayu pada umumnya, termasuk kerajaan Minangkabau. Kedua, kesultanan Indrapura sebagai bagian dari kerajaan besar Minangkabau yang pada zaman purba mempunyai wilayah kekuasaaan (hampir) meliputi pulau Sumatera (Marsden, 1999 :200).
Perbedaan versi itu telah mengakibatkan pengemukaan informasi kesejarahan oleh sumber-sumber lokal sering sangat kabur, saling kontroversi dan adakalanya juga saling menunjang. Akan tetapi yang sering ditemukan dalam banyak sumber lokal adalah pengemukaan sejarah yang penuh subyektivitas dan pengunggulan pandangan masing-masing, saling klaim, saling bertubrukan, dan bahkan seringkali tidak memiliki titik temu yang jelas, karena sentimen masing-masing. Semua itu tentunya sangat ditentukan oleh berbagai kepentingan yang menyertainya.
Penelusuran tentang kesultanan Indrapura dalam pembahasan ini tidak serta merta dalam satu kesatuan tematis yang berdiri sendiri. Karena itu, betapapun kendala-kendala sumber untuk penelusuran terhadap masa-masa sebelumnya, namun akan dilakukan analisis terhadap sumber-sumber lokal yang kontroversial itu dengan pembandingan sumber-sumber asing yang dapat ditemukan. Dengan demikian diharapkan, paling tidak, sedikit mengurangi ‘kabut’ mitologis keberadaan kesultanan Indrapura sendiri.
Aktifitas Pelayaran di Pesisir Barat  Sumatera
Peranan Sumatera sebagai wilayah komoditi dagang utama semenjak masa sebelum Masehi telah banyak dikemukakan dalam berbagai sumber. Salah satu komoditi yang terkenal sejak lama di Sumatera ialah emas. Ini dikemukakan dalam berbagai catatan pengembaraan para pelancong Eropa, seperti Tome Pires, Joao de Barros, Fernao Mendes Pinto serta Jan Huygen van Linschoten, yang selalu menceritakan kekayaan emas Sumatera. Bahkan konon keutamaan komoditi ini terdapat dalam Kitab Perjanjian Lama yang menceritakan bahwa anak buah Hiram, raja Tyrus berlayar ke Ophir untuk mencari emas yang akan dipersembahkan kepada Nabi Sulaiman A.S. raja Israel. Kuat dugaan ahli sejarah bahwa yang dimaksud dengan Ophir itu adalah sebutan pulau Sumatera sekarang[1]. Hal inilah yang kemudian mengundang ramainya penjelajahan Arab dan Eropa pada rentang abad-abad sesudah Masehi dalam rangka mencari emas dan komoditi lainnya seperti kapur, lada dan lainnya di kawasan ini.
Sebelum kedatangan bangsa barat, orang-orang  Arab telah lebih dahulu mengunjungi pulau ini. Menurut Marsden (1999), dua orang Arab pertama telah mengunjungi pulau ini sejak abad ke-9 Masehi. Meskipun tidak disebutkan nama keduanya, namun dari laporan perjalanan mereka diketahui keberadaan pulau Sumatera. Mereka menceritakan sebuah pulau bernama Ramni terletak antara Sarandib dan Shin. Sebutan Sarandib inilah yang banyak ditemukan dalam pemberitaan-pemberitaan Arab selanjutnya (Lewis,1976 : 198). Diduga bahwa nama Sarandib itu adalah Sumatera (Marsden, 1999 : 3) sehubungan dengan perubahan sebutan Arab atas kata Sanskerta Swarnadwipa yang berarti “pulau emas” (cf. Nia, 1983 :84). Bersamaan dengan itu, ternyata sumber-sumber lokalpun telah lazim menyebut pulau Sumatera ini dengan pulau emas, ‘pulau ameh’ sebagaimana terdapat dalam “Kaba Cindua Mato” dan ‘tanoh emas’ seperti yang disebut dalam cerita-cerita rakyat Lampung.
Agama Islam  di Pesisir Barat Sumatera
Dari apa yang dikemukakan di atas, tidak mustahil bahwa masyarakat di pulau Sumatera sejak lama telah berinteraksi dengan pedagang-pedagang asing, terutama di kota-kota pelabuhan daerah-daerah pesisir, tidak terkecuali juga para pedagang yang sekaligus muballigh dari Arab atau Gujarat. Laporan seorang geograf Tunisia bernama Muhammad Sharfi tahun 1551 M, bahkan menyebutkan Sumatera sebagai salah satu daerah Islam (Nia, 1983 : 79). Sumber lokal banyak sekali menceritakan tentang pelayaran yang dilakukan olah orang-orang Arab di pesisir barat pulau Sumatera. Naskah Muballighul Islam oleh Imam Maulana Abdul Manaf (selanjutnya disingkat dengan Naskah MI) misalnya pernah mengemukakan tentang seorang petualang Arab yang kapalnya terdampar di pesisir barat, dan kemudian hidup dan mengembangkan Islam pada masyarakat setempat, diceritakan bahwa :
.......kira-kira dalam tahun 580 Hijrah terpasahlah seorang Arab yang karam dalam perjalanannya atau pelayarannya untuk berniaga ke negeri timur ini. Dia terdampar dekat muara sungai Arau yang waktu itu belum dihuni oleh manusia, malahan yang ada hanya padang lalang dan duri disela-sela oleh rawa-rawa. Diseberang sungai itu agak menjorok ke laut dan dinamai orang gunung Monyet, di situ banyak kera dan monyet. Setelah lepas lelahnya berjalan-jalanlah dia menengok kalau-kalau ada kampung orang yang dekat di situ. Di dalam dia berpikir-pikir di manalah kampung yang dihuni manusia maka hanyutlah beberapa  dahan kayu yang baharu dipancung orang. Melihat dahan-dahan kayu yang hanyut itu yakinlah hatinya bahwa di udik sungai itu pasti ada kampung orang, maka dibulatkannyalah hatinya hendak memudiki batang air itu dengan susah payah, sebab melalui belukar yang berduri-duri. Akhirnya bertemulah olehnya beberapa buah dangau [=pondok, pen.] dekat batang durian besar di pinggir sungai itu, maka pergilah orang Arab itu menemui orang dangau yang di bawah batang durian itu (Naskah MI, hal;76)
Bila deskripsi  di atas dapat dipercaya sebagai sumber, paling tidak, dapat diperkirakan bahwa sekitar abad ke-12 dan 13 M. wilayah pesisir barat Sumatera telah ramai dikunjungi oleh para pelayar asing, termasuk Arab, dan sangat mungkin mereka sekaligus menyebarkan Islam pada masyarakat setempat, sebagaimana juga digambarkan pada Naskah MI selanjutnya :
Setelah beberapa bulan Sayyid Abdullah tinggal di situ yang siangnya membantu orang dangau tempat dia tinggal itu bekerja tani, maka diberinyalah orang dangau itu penerangan agama Islam. Akhirnya terpahamlah oleh orang dangau itu akan penerangan Sayyid Abdullah, hingga seisi dangau itu memeluk agama Islam. Oleh orang dangau itu disampaikannya pula kepada kawan-kawannya pada dangau yang lain bahwa orang Arab itu ada membawa agama baru, agama yang benar bernama agama Islam. Oleh karena orang dangau tempat tinggal Sayyid Abdullah yang menjadi kepala pada dusun itu, dia yang menganjurkan memasuki agama Islam kepada seluruh penduduk dusun, maka memeluk Islamlah seluruh penduduk dusun itu. (Naskah MI, hal;76)
Kutipan di atas, paling tidak, memberikan gambaran tentang situasi wilayah pesisir barat pulau Sumatera, terutama dalam hubungannya dengan dunia luar. Hal ini tentu akan sedikit membantu dalam melihat keberadaan pelabuhan-pelabuhan samudera yang terdapat di pesisir barat pada umumnya, tak terkecuali juga Indrapura.  
Kerajaan Air Pura dan Kerajaan Indrapura
Situs kesultanan Indrapura  terletak di wilayah pesisir barat Sumatera tepatnya di perbatasan Sumatera Barat dan Bengkulu sekarang. Pusat kekuasaannya berada pada wilayah muara sungai yang sekarang juga bernama Indrapura, Kecamatan Pancung Soal, Kabupaten Pesisir Selatan. Di ujung sungai ini mengarah ke laut dengan muara yang lebih lebar dan merupakan pertemuan dua buah muara sungai  yaitu Muara Sakai dan Muara Bantaian, yang mengalir dari Air Haji. Pertemuan kedua muara ini disebut dengan Muaro Gadang yang konon sejak masa sebelum Masehi merupakan pelabuhan samudera pesisir barat yang disebut Samudera Pura[2]. Di wilayah ini terdapat sebuah negeri yang bernama Air Pura dibawah pemerintahan kerajaan yang juga bernama Air Pura. Tidak banyak sumber yang dapat memastikan keberadaan kerajaan ini secara ilmiah, kecuali hanya beberapa penulisan yang didasarkan pada tradisi oral masyarakat setempat. Dalam beberapa penulisan disebutkan bahwa pada abad ke-9 Masehi kerajaan Indrapura didirikan oleh Sultan Muhammad Syah anak bungsu dari Sultan Maharaja Diraja yang adalah putra Iskandar Zulkarnaini dan berkedudukan di Air Pura sebagaimana yang disebutkan terdahulu.            
Keberadaan Indrapura sebagai kerajaan Islam sejak abad ke-16 terutama sejak perubahan kerajaan menjadi kesultanan, agaknya sulit untuk diragukan.  Dari beberapa naskah lokal dan sumber-sumber lokal lainnya menjelaskan bahwa perubahan sebutan kerajaan Air Pura  menjadi kesultanan Indrapura dapat menjadi bukti untuk itu. Perubahan kerajaan menjadi kesultanan itu terjadi pada awal abad ke-16 yaitu pada masa pemerintahan Sultan ke-11 kerajaan Air Pura yaitu Sultan Sakelab Dunia gelar Sultan Iskandar Johan Berdaulatsyah (Yulizal Yunus,   ). Ketidaksesuaian informasi yang terdapat dalam sumber-sumber yang ada hanyalah pada perubahan nama Air Pura menjadi Indrapura. Dalam Naskah Indrapura disebutkan bahwa penggantian nama Air Pura menjadi Indrapura terjadi pada masa pemerintahan Sultan Inayat Syah (1357 M) tanpa menjelaskan apakah pada waktu ini sekaligus dilakukan penggantian sebutan kerajaan menjadi kesultanan atau tidak.
Maka pada suatu malam maka datanglah ninikhanda almarhun Sultan Muhammad Syah di dalam mimpi mengatakan tatkala hamba menjinjing melatih(?) iko negeri, puro emas hamba jatuh masuk […] selama tidak dapat. Kiranya buah jatuh masuk air kiranya disambar anak dewa2 […] dalam puro hamba itu ada sebuah batu maniko(?) dari ayah hamba Sultan Maharaja Diraja dari Sultan Syamsul Bahri kurang terbawa martabatnya oleh hamba, maka puro hamba itu disambar oleh peri disuruh oleh Sultan di lautan nan bernama Indrapara, kalau cucung (cucu, pen.) hendak menukar nama negeri tukarlah dengan nama peri itu. Maka Sultan bangun pagi2 maka dipanggil Sultan besar dan manti menerangkan mimpi maka ditukarlah nama negeri Taluk Airpuro dengan Indrapara, yaitu nama peri yang memberi puro Sultan Muhammad Syah tatkala menjinjing melatih(?) itu negeri. (Naskah Indrapura 01, hal : 335-336)
Terlepas dari masalah penggantian nama Air Pura menjadi Indrapura atau dari sebutan kerajaan menjadi kesultanan, hal lain yang mungkin dapat disimpulkan di sini ialah bahwa di kerajaan Air Pura telah berkembang agama Islam. Ini diperkuat pula dengan penelitian yang dilaksanakan oleh Tim peneliti Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Sumbar pada tahun 2004.  Dalam laporan penelitian ini disebutkan bahwa kerajaan Air Pura sudah berdiri semenjak abad ke-9 SM.  dan berubah nama menjadi Kerajaan Melayu Air Pura pada abad ke-12 yaitu di masa pemerintahan Sultan Zatullah  (Iim Imadudin, dkk., 2004 : 3).
Dari sumber yang disebutkan terdahulu dan sumber terakhir ini terdapat  kesamaan tentang nama Sultan yang memerintah pada abad ke-12 yaitu Sultan Zatullah (Syah) maupun Sultan Inayat Syah. Bila informasi dari kedua sumber ini bisa diterima, maka dari nama Sultan itu dapat diasumsikan bahwa sejak abad ke-12 kerajaan yang terdapat di wilayah pesisir barat bagian tengah Sumatera ini telah menganut agama Islam. Demikian juga dengan sebutan Sultan yang digunakan, tentu juga dapat memberikan indikasi bahwa kerajaan Indrapura sudah berupa kesultanan sejak abad ke12. Hal ini berbeda dengan sumber yang disebutkan terdahulu yang mengemukakan bahwa perubahan kerajaan menjadi kesultanan terjadi pada abad ke-16. Namun kesimpulan terakhir ini tentulah masih memerlukan pembuktian-pembuktian ilmiah lebih lanjut.  

Struktur Birokrasi dan Distribusi Kekuasaan di Kesultanan Indrapura
Perubahan Indrapura menjadi kesultanan seyogianya menjadi indikasi perubahan pola kekuasaan dalam suatu sistem pemerintahan. Paling tidak, perubahan ini menggambarkan adanya upaya pengukuhan formal sebagai salah satu sistem kekuasaan yang bercorak Islam[3]. Sebenarnya tidak ada perbedaan yang mendasar sistem birokrasi yang dijalankan antara kerajaan dan kesultanan. Kesultanan adalah sebutan lain dari kerajaan Islam. Di Indonesia antara kedua istilah yang disebutkan terakhir sering dipertukarkan. Kecuali itu, bila raja-raja yang memerintah menggunakan sebutan Sultan.
Sebagaimana telah dikemukakan terdahulu, bahwa penggunaan sebutan Sultan di kerajaan Indrapura sudah terlihat sejak abad ke-12 M. Pada saat itu kerajaan ini dipimpin oleh seorang  Sultan  yang bernama Zatullah Syah. Pada waktu ini tidak banyak informasi yang dapat diperoleh sehubungan dengan bentuk sistem birokrasi yang dijalankan. Sementara itu perubahan kerajaan menjadi kesultanan barulah dilakukan pada awal abad ke-16 pada masa pemerintahan Sultan Sakelab Dunia gelar Sultan Iskandar Johan Berdaulatsyah. Sejak waktu ini barulah dapat didapatkan gambara tentang bagaimana bentuk dan sistem pemerintahan di kesultanan Indrapura
Kekuasaan Eksekutif : Dewan Menteri Kesultanan
Kesultanan Indrapura memiliki organisasi pemerintahan yang mirip dengan sistem kabinet parlementer. Seperti juga kekuasaan tradisional lainnya kekuasaan tertinggi dipegang oleh Sultan. Sedangkan pelaksana pemerintahan dijalankan oleh Dewan Menteri yang disebut Penghulu Nan Duo Puluah. Dewan Menteri ini dipimpin oleh Mangkubumi. Penghulu nan Duo Puluah adalah pelaksana pemerintahan sehari-hari yang dipertanggungjawabkan kepada Sultan melalui Mangkubumi.
Penghulu nan Duo Puluah terdiri dari tiga pihak yaitu : 8 orang di tengah disebut pihak Nan Salapan, 6 orang di hulu, dan 6 orang di hilir yang disebut pihak Nan Baranam. Sebutan di tengah, di hulu, di hilir adalah merupakan batas kewenangan yang diberikan kepada masing-masing. Pihak Nan Salapan atau  disebut juga Basa Nan Salapan (Besar yang Delapan) sebagai pihak yang paling dekat kepada Sultan dan berkewenang mengatur Kampung Dalam dan urusan internal kerajaan. Sedangkan pihak yang berenam di hulu dan di hilir disebut dengan Manti Nan Duabelas (Menteri yang Duabelas) dengan kewenangan mengurus berbagai aspek dalam kehidupan masyarakat (NI : 316, 321).
Kedudukan masing-masing pihak akan terlihat pada saat upacara-upacara kerajaan seperti pada saat penobatan dan sebagainya. Masing-masing pihak menempati posisi yang berbeda  dan memakai simbol yang berbeda pula. Pihak Nan Salapan di tengah memakai ikat destar berwarna kuning, pihak yang berenam di hulu dengan ikat desta berwarna merah, dan pihak yang berenam di hilir berwarna hitam (Iim Imadudin, dkk., 2004 : 20).
Dewan Menteri yang disebut Penghulu Nan Duo Puluah (yang dua puluh) adalah jumlah kabinet dalam kesultanan Indrapura adalah bersifat tetap ; tidak boleh ditambah dan dikurangi. Jumlah ini didasari oleh hikmah sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berjumlah 20 sifat. Oleh karena itu jumlah ini telah menjadi Undang-Undang Dasar kesultanan yang tidak boleh diubah meskipun Sultan yang memerintah sudah berganti. Hal ini, bahkan terpatri dalam sumpah yang jika  dilanggar akan berkonsekuensi mendapat kutukan atau laknat dari al-Quran 30 juz (Iim Imadudin, dkk., 2004 : 20). Dari sini diketahui bahwa sistem birokrasi kesultanan Indrapura diwarnai oleh prinsip tauhid yang terdapat dalam ajaran agama Islam. Prinsip-prinsip Islam yang dipertahankan dalam kesultanan Indrapura juga dapat diketahui dari ucapan terakhir Tuanku Rusli Gelar Sultan Muhammadsyah  Sultan terakhir Indrapura sewaktu akan dinaikkan ke kapal yang akan membawanya ke Batavia di bawah pengawalan pasukan Belanda ia berucap dengan lantang tentang kesultanan Indrapura yang diwarisinya :
“Raja Indrapura adalah Raja Syarak Patah Tumbuh Hilang Berganti, Hilang Raja Berganti Raja. Beredar Raja dengan Syarak, Berdestar Syahid Syabilillah, Bersatu Sultan dengan Rakyat, Beredar Sultan dengan Adat, Beredar Sanak Kemenakan dengan Adat Pusaka. Mengitari Bumi se-Petalo Langit, ke Bawah Dalam, ke Awang Tinggi , Pergi Satu, Tumbuh Seribu, Sebanyak Pasir di tepi laut, Hati  bagai Sega! Air Laut kan ganti Tintanya, Air Tawar kan ganti Gencunya, kan pembuat Riwayat Tanah Alam, untuk diingat-ingatkan dikala sekarang, dikala nanti, karena syarak punya Bersama, Allah Ta’ala menjadikannya.”[4]
Kewenangan Legislatif : Pucuk Adat
Selain kekuasaan eksekutif, kesultanan Indrapura juga memiliki dewan perwakilan yang disebut Pucuk Adat yang memegang kewenangan legislatif. Pucuk Adat terdiri dari para Penghulu dan Orang Kaya yang mewakili Balai Kerapatan Adat Nagari. Lembaga yang disebut terakhir ini merupakan Dewan Perwakilan Rakyat yang dijabat oleh para penghulu yang mewakili anak kemenakan masing-masing. Sistem perwakilan ini sangat mirip dengan kepemimpinan nagari-nagari yang terdapat di kerajaan Pagaruyung.
Dari apa yang dikemukakan terakhir ini, dapat diasumsikan bahwa sistem kekuasaan yang dijalankan di kesultanan ini tidaklah bersifat otokratis murni sebagaimana layaknya kerajaan-kerajaan nusantara lainnya. Segala keputusan yang menyangkut anak nagari diputuskan secara musyawarah, meskipun keputusan terakhir tatap berada di tangan Sultan. Namun keputusan Sultan tetap didasarkan pada hasil pertimbangan musyawarah lembaga-lembaga perwakilan serta pertimbangan kebiasaan-kebiasaan tradisional (alur) dan kebaikan bersama (patut).
Kewenangan Yudikatif dan Federatif oleh Sultan
Meskipun otoritas legislasi di Indrapura diputuskan berdasarkan permusyawaratan Pucuk Adat secara bertingkat dari unsur pimpinan penghulu ninik mamak, namun kekuasaan kehakiman dan penuntutan dipegang secara langsung oleh Sultan bersama dengan alat-alat kekuasaannya. Bagi rakyat Sultan dipandang sebagai sosok yang penuh hikmah serta paham dengan ketentuan agama. Oleh karenanya, rakyat mempercayai bahwa dalam penegakan hukum Sultan akan berlaku seadil-adilnya.
Di kesultanan Indrapura ada dua orang Sultan yang sangat dikenal alim, dan taat beribadah, penuh kharisma dan adil dalam mengayomi rakyat, yaitu Sulthan  Mohammad  Arifinsyah Gelar Sulthan Mohammadsyah (1840-l860), dan Sulthan Mohammad Bakhi, Gelar Sulthan Firmansyah  Raja Terakhir di Indrapura (1860-1891).  Bahkan karena kharisma sipiritualitas keduanya   rakyat menggelari nya dengan Tuanku Sembah (Tuanku Sembahyang) untuk Sultan Muhammad Arifin Syah karena keshalehan dan ketaatannya beribadah, dan Tuanku Balindung (Tuanku tempat berlindung) untuk Sultan Muhammad Baki, karena kedekatannya dengan rakyat dan menjadi tempat berlindung dikala rakyat ditimpa kesusahan (cf. Emral Jamal, 2012).
Selain kekuasaan yudikatif, Sultan juga memiliki kewenangan dalam memutuskan berbagai kebijakan bilateral dan membuat kerjasama dengan pihak luar kesultanan, terutama dalam bidang politik, ekonomi dan perdagangan.
Dengan demikian, meskipun di Indrapura ketiga otoritas kekuasaan itu tidak sepenuhnya terpisah, namun sudah berlaku pembagian kekuasaan secara jelas. Demikian juga bahwa meskipun tidak terdapat bukti keterkaitan secara struktural, paling tidak,  menganut sistem pemerintahan kesulthanan sebagai mana berlaku di khalifahan Islam pada waktu itu, namun karakteristik kekuasaan lokal yang bernuansa Islam menjadi bukti bahwa Indrapura dapat mengklaim dirinya sebagai sebuah kesulthanan.  
© Irhash A. Shamad
Ditulis untuk laporan penelitian “Dinamika Sistem Birokrasi Kesulthanan Indrapura”, yang dilaksanakan oleh Tim peneliti Fakultas Adab dengan kerjasama Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Kementerian Agama RI tahun 2012  

Share this article :

Posting Komentar

Maklumat

Maklumat
 
Support : Pandani Web Design
Copyright © 2009-2014. Irhash's Cluster - All Rights Reserved
Template Created by Maskolis
Proudly powered by Blogger