Era informasi merupakan babak baru dalam sejarah peradaban manusia. Kemajuan mutakhir
yang telah dicapai di bidang teknologi informasi telah menyebabkan penetrasi informasi mengalir deras melalui
berbagai media IT dan menjangkau ke segenap pelosok dunia. Implikasi penetrasi
informasi ini antara lain terbentuknya cara hidup global dengan paradigma baru
beserta tuntutan nilai-nilai universal yang menjadi acuan bersama dalam
pergaulan hidup masyarakat. Arus deras globalisasi budaya dengan berbagai piranti
ideologis yang menyertainya telah merengsek ke dalam tatanan masyarakat nyaris
tanpa hambatan. Implikasi dari penetrasi budaya itu telah melebur nilai-nilai
budaya masyarakat lokal yang penuh nuansa keagamaan, dan secara gradual telah
digiring kearah pembudayaan global yang sarat nuansa
kebaratan. Khusus di Indonesia yang -mayoritas penduduknya- menjadikan agama Islam sebagai landasan kulturalnya telah mengalami perubahan yang sangat signifikan akibat dari munculnya berbagai ideologi modern yang cendrung melemahkan orientasi nilai yang telah berakar di masyarakat.
kebaratan. Khusus di Indonesia yang -mayoritas penduduknya- menjadikan agama Islam sebagai landasan kulturalnya telah mengalami perubahan yang sangat signifikan akibat dari munculnya berbagai ideologi modern yang cendrung melemahkan orientasi nilai yang telah berakar di masyarakat.
Perkembangan teknologi
informasi pada dasarnya telah membuka berbagai peluang di segala bidang untuk
dimanfaatkan, namun sebaliknya
memunculkan pula tantangan-tantangan baru yang harus dihadapi. Sebagai
bangsa kita dituntut memiliki kekuatan dan kemampuan yang andal dan nyata untuk
mengantisipasinya, bukan saja dalam
bentuk kekuatan materialistik atau kekayaan alam, akan tetapi lebih utama kesiapan kultural sebagai modal dasar pengembangan
berbagai potensi riil untuk menyikapi masalah-masalah serta mengelola tata
kelembagaan nilai dalam masyarakat yang dapat membendung dan menyaring derasnya
arus globalisasi itu.
Kesiapan
kultural dalam rangka menyikapi perubahan-perubahan yang bergerak cepat di era
informasi ini diperlukan upaya-upaya sadar untuk melakukan pencerahan
dan perombakan sikap secara mendasar. Pencerahan diperlukan untuk
merehabilitasi dan merevitalisasi kedudukan fungsi nilai dalam masyarakat
sebagai kekuatan moral yang pada gilirannya akan menghidupkan kembali jati diri
dan menyelamatkan peradaban bangsa melalui berbagai lini kehidupan.
Oleh karena itu fakultas Adab dan Humaniora dengan bidang
keilmuan yang dimiliki, seyogianya harus mampu menempatkan diri sebagai sentra
pengkajian, pengembangan dan pelestarian budaya Islam dalam rangka
mengantisipasi (bukan menghambat) perubahan-perubahan tersebut.
Pendidikan dan Masalah Resistensi Budaya
Hingga saat ini
pendidikan masih diyakini sebagai bagian dari proses pembudayaan bangsa. Namun,
ironisnya orientasi pembelajaran budaya sebagai bagian dari proses pembentukan
sumber daya manusia yang kritis telah tereduksi oleh paradigma kebijakan
politik yang keliru sejak beberapa dekade yang lalu. Setidaknya sejak orde baru,
ilmu-ilmu sosial budaya sangat termarjinalkan. Pengarusutamaan terhadap sains
dan teknologi yang dijadikan sentral pembangunan telah menjadikan ilmu-ilmu
sosial budaya semakin dianggap kurang penting. Kedua ilmu ini tidak
diorientasikan sebagai kajian kritis analitis, akan tetapi sebagai alat indoktrinasi
untuk kepentingan politik (Melani Budianta, 1998). Pemerintahan orde baru telah
mendefenisikan budaya secara sempit, yakni berorientasi pada nilai dan ekspresi
budaya adiluhung yang harus dilestarikan. Kebudayaan dipandang hanya sebagai
komoditas pembangunan, sehingga membatasi ruang gerak ilmu budaya sebagai alat
transformasi kebudayaan. Akibatnya ilmu ini menjadi kurang berdaya untuk
menjawab persoalan-persoalan yang muncul di tengah-masyarakat serta tidak
menawarkan resistensi terhadap intervensi budaya asing.
Menyangkut
implikasi dari peminggiran budaya dalam pendidikan selama ini, beberapa
diagnosis secara terbatas menyimpulkan bahwa krisis multidimensi yang melanda
Indonesia dewasa ini disebabkan oleh pengabaian terhadap budaya (Engkoswara,tt). Dampak
yang ditimbulkan akibat pengabaian budaya sangat luar biasa terhadap
prilaku masyarakat, menjamurnya kasus-kasus moralitas di segala lapisan sosial,
munculnya berbagai prilaku menyimpang, keserakahan yang disertai melemahnya semangat
kerja memunculkan motivasi ingin kaya dengan cara pintas telah mendorong
terjadinya pemalakan, pencurian, penipuan dan
korupsi. Begitu juga merebaknya kreatifitas yang tidak terpuji yang menyenangi
pornografi, pornoaksi, dan narkotika, kekerasan, pembunuhan sadis, dan mutilasi
yang tak berprikemanusiaan menjadi hal yang biasa. Pendek kata, tantangan
global yang sangat dahsyat telah dan sedang
melanda bangsa kita. Kehidupan semakin transparan, persaingan yang
semakin ketat dan penetrasi budaya yang makin menggila telah memberikan
kontribusi yang cukup untuk mendobrak kekokohan pagar normatif yang berasal dari tradisi budaya dan agama.
Produk
pendidikan dewasa ini secara kuantitatif memperlihatkan perkembangan yang cukup
signifikan dibanding dengan 50 atau 60 tahun yang lalu, namun permasalahan
moralitas bangsa semakin tidak terkendali dalam hampir segala lini dan strata,
perampok berdasi, kriminalitas pejabat dan kalangan ilmuan, penggerusan harta
rakyat melalui cara-cara yang tidak beretika yang justru dilakukan oleh
kalangan yang terdidik atau elit bangsa, bahkan tidak jarang juga elit agama
sekalipun. Ini adalah indikasi dari melemahnya peran pendidikan dalam proses
transformasi budaya.
Islam dan Realitas Budaya Minangkabau
Dampak budaya
globalisasi informasi juga dirasakan
pengaruhnya di Sumatera
Barat. Apa yang terjadi di daerah ini pada waktu-waktu terakhir cukup mengusik
naluri kemanusiaan kita. Di daerah yang
memiliki adagium “Adat basandi Syara’, Syara’ basandi Kitabullah“(ABSSBK) ini juga telah muncul
berbagai kasus moralitas yang sangat memprihatinkan, bila tidak dikatakan
sangat “memalukan”, mulai dari kriminalitas pembunuhan ibu kandung,
pemerkosaan, sarana maksiat, obat terlarang hingga ke moralitas pejabat dan
wakil rakyat yang tidak “mendidik”.
Apa yang sesungguhnya diperlukan untuk menemukan solusi atas berbagai
masalah sosial ini adalah bagaimana menciptakan situasi yang dapat mengarah
pada reaktualisasi nilai Islam sebagai aspek normatif dalam filosofi ABSSBK
yang sejak lama telah terinternalisasi dalam kehidupan sosial. Akan tetapi apa
terjadi selama ini adalah bahwa pemerintahan daerah ternyata gagal menciptakan
situasi itu, sehingga, alih-alih akan menciptakan harmoni budaya dengan
nilai-nilai keislaman, malah semakin mengarah kepada keadaan yang memilukan.
Meskipun dalam setiap jargon yang dikemukakan selalu mengedepankan nilai
filosofi itu dalam rangka menciptakan appeal untuk kepentingan politis serta program yang akan
dijalankan, namun, jargon ABSSBK itu hanya dimanfaatkan sebatas upaya simbolik
dalam rangka legitimasi berbagai kepentingan struktural untuk manipulasi
ideologis dan bersifat hegemonik semata. Inilah yang kemudian menyebabkan nilai
filosofi ABSSBK itu gagal teraktualisasi dalam masyarakat.
Bila
hegemoni kekuasaan sukses memanfaatkan simbol-simbol keislaman dalam meraih
tujuan politis, maka artinya potensi nilai Islam dalam masyarakat masih eksis.
Namun keberadaan nilai itu makin tereduksi akibat kebijakan struktural yang
tidak memihak budaya, yakni pembalikan arah pengembangan budaya lebih untuk
kepentingan hegemoni struktural dibanding melakukan transformasi pembelajaran
dalam rangka memperkuat basis nilai-nilai dan kearifan yang terdapat dalam budaya itu
sendiri. Inilah yang terjadi selama ini akibat kontaminasi budaya politik Orde
Baru yang menjadikan ekonomi sebagai prioriotas pembangunan budaya
(kapitalisasi budaya). Pembangunan, selama
ini cendrung diartikan sebagai perubahan kearah terwujudnya masyarakat yang
luas dengan struktur yang kompleks tanpa diiringi dengan upaya-upaya pencapaian
tujuan kultural masyarakat itu sendiri. Ketidakseimbangan kedua hal inilah
diantaranya yang justru telah memunculkan implikasi-implikasi tersebut.
Apa di kemukakan ini bila dikaitkan dengan program
yang dicanangkan oleh pemerintah
Sumatera Barat “Kembali ke Nagari dan Kembali ke Surau” yang santer
dijargonkan saat ini, maka seyogianya perlu ada perubahan paradigma kebijakan
yang mengedepankan upaya kultural yang serius, tidak sekedar program struktural
yang bersifat simbolik. Dalam pemahaman struktural, aktualisasi nilai dimulai
dari upaya mewujudkan kelembagaan yang secara struktural akan mengawal secara
kursif tegaknya nilai normatif itu dalam masyarakat. Pendekatan ini, dalam
pemahaman budaya, tidak akan lebih efektif untuk menumbuhkan kesadaran sosial
akan pentingnya nilai itu dalam kehidupan mereka secara individual, namun
justru akan memunculkan prilaku-prilaku simbolik dan formalistik.
Program kembali
ke nagari dan kembali ke surau akhirnya hanya akan menjadi isapan jempol, bila
tidak diikuti oleh upaya kultural untuk mengaktualisasikan kembali nilai-nilai
normatif itu sebagai basis kesadaran
sosial seperti yang menjadi konsensus sosial masyarakat Minangkabau sejak masa
lalu. Lembaga yang disebut Nagari dan Surau itu, pada dasarnya
secara historis, muncul dari kebutuhan kultural masyarakat, bukan sesuatu yang
didesain dari “atas”. Karena itu, program Kembali ke Nagari dan Kembali ke
Surau itu tidak akan cukup ampuh untuk menjadi solusi atas masalah-masalah sosial saat ini, bila program tersebut hanya
mengandalkan pendekatan struktural semata, tanpa menggunakan pendekatan budaya.
Yang paling penting dikondisikan ialah bagaimana menumbuhkan kembali
nilai-nilai budaya di tingkat akar rumput yang akan menggugah terbentuknya interest-interest
ke arah pelembagaan nilai oleh masyarakat itu sendiri. Di sisi inilah
seyogianya lembaga keilmuan budaya memainkan peranannya. Peran ini diharapkan
lahir dari fakultas Adab dan Humaniora IAIN Imam Bonjol Padang, sebagai satu-satunya fakultas di daerah ini yang
memiliki visi otoritas keilmuan budaya dalam perspektif Islam.
Peran Lembaga Keilmuan Budaya (Islam)
Fakultas Adab dan
Humaniora di lingkungan PTAI adalah
salah satu bagian dari kelembagaan agama yang mengelola berbagai disiplin di bawah
payung keilmuan budaya. Pada tataran idealnya, fakultas ini seyogianya
melahirkan produk keilmuan yang dapat memberikan kontribusi nyata dalam rangka
menemukan solusi atas persoalan-persoalan budaya masyarakat melalui pendekatan
keislaman sekaligus mengembangkan berbagai strategi yang dapat menyaring pengaruh-pengaruh negatif budaya global sebagai
yang disebutkan terdahulu.
Di tengah
kondisi masyarakat yang terombang ambing dalam arus gelombang perubahan yang
berlangsung cepat dan sukar dihambat ini, maka peran fakultas yang membidangi
keilmuan budaya, terutama dari PTAI seharusnya menjadi lebih strategis, karena
beberapa alasan :
Pertama : pendekatan struktural yang selama ini
digunakan ternyata belum mampu menjawab problema sosial, bahkan sistem
pendidikan dan pendekatan pembangunan yang strukturalistik dan berorientasi
materialistik, ternyata hanya menghasilkan intelektual kapitalistik yang minus
moralitas.
Kedua: masyarakat Indonesia secara umum, dalam beberapa waktu belakangan
berkecendrungan melakukan pencarian religious sebagai solusi kehidupan
individual atas carut marut politik dan ekonomi yang semakin memperlihatkan arah yang sukar dipahami,
Ketiga: konflik sosial, wabah penyakit dan bencana alam yang dialami secara
bertubi-tubi telah menyebabkan kegoncangan psikologis dan shock budaya akibat
tekanan situasi-situasi baru dalam kehidupan sosial dan individual masyarakat.
Masih banyak alasan lain kenapa solusi kultural dengan pendekatan keagamaan
menjadi lebih diperlukan.
Untuk upaya penguatan fakultas
Adab ke arah itu, setidaknya ada empat hal mendasar yang menurut kami,
perlu diwujudkan, pertama : perlunya perubahan paradigma pembelajaran di fakultas
Adab kearah penguatan keilmuan budaya yang lebih dapat diaplikasikan kepada
permasalahan-permasalah budaya yang aktual di masyarakat daripada sekedar
pemberian materi pengetahuan konvensional yang normativ, kedua : kajian-kajian aktual budaya Islam perlu lebih dintensifkan
di kalangan akademisi fakultas untuk
menangkap berbagai persoalan budaya yang muncul ditengah-tengah masyarakat agar
menghasilkan gagasan konkrit dalam
rangka kontribusi akademik terhadap masyarakat,
ketiga : perlu dikembangkan
upaya konkrit penyelamatan dan pelestarian warisan-warisan budaya serta
kearifan tradisional yang berkembang sebagai local genius masyarakat, terutama yang bersumber dari doktrin agama
Islam, keempat, fakultas dengan
segenap elemen yang mendukung proses pembelajaran seyogianya mengikuti
perkembangan teknologi informasi untuk mengikuti lajunya perkembangan budaya untuk mendukung
upaya mendapatkan solusi secara
keilmuan.
Bidang keilmuan fakultas Adab dengan tiga
disiplin utama yaitu : Ilmu Bahasa/Sastra, Ilmu Sejarah, dan Ilmu
Informasi/perpustakaan, yang masing-masing memiliki relevansi yang kuat dengan
persoalan kultural seperti yang disebutkan.
Bahasa adalah
identitas suatu bangsa sekaligus menjadi salah satu faktor yang
mengintegrasikan masyarakat pendukungnya. Kajian keilmuan bahasa memiliki
hubungan yang erat dengan analisis tentang budaya suatu masyarakat. Menurut
Ariel Heryanto (2000), kebudayaan bukan dipandang sebagai suatu realitas
kebendaan, tapi persepsi, pemahaman atau konsep untuk melihat, menangkap dan
mencerna realitas. Kebudayaan ada hanya jika ada kesadaran, konsep, dan bahasa
manusia untuk melihat keberadaannya.
Dengan kesadaran, konsep, dan bahasa tersebut manusia memberikan makna pada
dunia yang dilihatnya.
Keilmuan sastra
menganalisis karya sastra untuk mengungkap makna, ekspressi dan keprihatinan
sosial yang terkandung di dalamnya. Membedah suatu karya sastra secara literer
akan memberikan pesona estetik, namun dari sisi non-literernya mengungkap
berbagai elemen yang bermanfaat bagi
pencerahan batin bagi penikmatnya. Sastra sudah lama diakui dapat menjadi
sumber spirit kebangkitan suatu bangsa, spirit cinta pada tanah air, dan sumber
semangat patriotik untuk melawan segala bentuk penjajahan (Ahmadun Yosi Herfanda, 2008). Karya sastra
dapat menjadi sumber inspirasi dan pendorong kekuatan moral bagi proses
perubahan sosial-budaya.
Ilmu sejarah,
sebagai suatu disiplin ilmu yang mengkaji realitas manusia dalam dimensi waktu,
mengungkap berbagai jaringan yang membentuk keberadaannya sebagai suatu masyarakat serta perubahan yang
berlangsung didalamnya. Ilmu ini secara analitis dapat menjelaskan berbagai
dimensi kehidupan masa lalu beserta
penyebabnya. Sejarah juga dapat menguak realitas kekinian dalam analogi masa
lalu, menyingkap praksis sosial dan kultural yang muncul pada zamannya untuk
kemudian menyediakan pilihan masa kini dan rancangan masa depan.
Ilmu perpustakaan merupakan disiplin yang bergerak dalam
pengelolaan informasi. Perpustakaan sebagai penyedia informasi mengambil peran pada moda kumunikasi dalam
peradaban manusia. Dalam ranah ini perpustakaan dapat menjadi salah satu kekuatan
pembangun informasi dalam rangka pencerahan peradaban manusia. Peran-peran ini, secara konseptual,
menjadikan perpustakaan sebagai medium dalam proses dialektik konstruksi,
rekonstruksi, dan tranformasi
kebudayaan.
Fakultas Adab sebagai lembaga keilmuan budaya dengan
beberapa disiplin yang dikembangkan itu tentu memiliki relevansi dengan upaya pencarian solusi atas
permasalahan-permasalahan budaya yang terjadi di masyarakat. Bahkan lebih jauh,
hal spesifik dari bidang kajian budaya yang dikembangkan oleh fakultas ini adalah keilmuan budaya dengan pendekatan
keislaman sebagai spesifikasi yang tidak dimiliki oleh fakultas yang sama pada
PTU. Perspektif keislaman pada keilmuan budaya didasarkan pada alur tradisi
keilmuan Islam sesuai dengan mainstream
proses pembelajaran pada setiap lembaga pendidikan tinggi Islam. Paling tidak,
di lembaga ini pengembangan berbagai aspek keilmuan didasarkan pada tradisi
keilmuan itu. Namun sejauh ini, apakah fakultas Adab dengan semua perangkat
akademiknya sudah mempersiap formula keilmuan budaya yang mengarah kepada
tujuan itu?, apakah kompentensi keilmuan yang ditawarkan sudah relevan untuk
pencarian solusi atas permasalahan-permasalah budaya yang muncul dalam
masyarakat Islam? Apakah keilmuan budaya spesifik dengan perspektif Islam itu
sudah terumuskan dengan baik pada lembaga ini?
Pertanyaan seperti itu tentu diperlukan untuk retrospeksi
dalam rangka pemberdayaan kelembagaan ini agar semua proses akademik yang
dijalankan memiliki orientasi yang jelas dan relevan untuk menjawab tantangan
perubahan budaya sebagai yang dikemukakan terdahulu.
Reformulasi Integrasi Keilmuan Budaya dan
Keilmuan Islam pada Fakultas Adab
Masalah intergrasi keilmuan di PTAI sebenarnya sudah cukup lama mengapung,
karena masalah integrasi keilmuan dan keislaman pada lembaga pendidikan tinggi
Islam seolah menjadi keharusan ketika masalah dikhotomi keilmuan muncul ke permukaan, terutama sejak perubahan
status beberapa IAIN menjadi universitas. Demikian juga, setelah pemberlakuan
gelar akademik untuk semua lulusan fakultas Adab yang tidak lagi menggunakan
embel-embel keislaman, tema inipun menguat dalam perbincangan di kalangan
akademisi fakultas Adab sendiri.
Khusus masalah integrasi keilmuan budaya dan keislaman pada fakultas Adab
sendiri tentu ditujukan agar lembaga ini dapat menghasilkan produk keilmuan
serta lulusan dengan kompetensi keilmuan Budaya (humaniora) yang setara dengan
Fakultas Ilmu Budaya lainnya, sekaligus juga memiliki penguasaan yang baik dan
mampu mengaplikasikan konsep dan perspektif Islam dalam keilmuan dan keahlian
yang dimilikinya. Selain itu, bidang keilmuan budaya (semestinya) tidak diorientasikan untuk menghasilkan
praktisi budaya, tetapi justru produk lulusan dengan kapasitas keilmuan yang
mampu mengamati, menganalisis dan menemukan solusi atas masalah-masalah
kebudayaan yang aktual di masyarakat dengan pendekatan analitik keilmuan
budaya perspektif Islam.
Menyangkut upaya integrasi keilmuan budaya dan keislaman, pelaksanaannya
tidak semudah yang diperkirakan, karena konsep integrasi memerlukan pemikiran
yang komprehensif dan tidak bisa dilakukan secara parsial. Sementara banyak
realitas akademik yang selama ini telah terbentuk di tingkat fakultas yang
diasumsikan telah dan akan menjadi kendala untuk upaya dimaksud. Diantara
realitas itu adalah : masalah ketidaksamaan persepsi tentang rumpun keilmuan,
tradisi akademik dosen yang cendrung naratif, masalah kualifikasi dosen,
kelangkaan referensi keilmuan budaya perspektif Islam, masalah otoritas manajemen akademik yang tidak
mendukung, dan sebagainya (cf. Irhash A. Shamad 2011).
Integrasi keilmuan budaya (humaniora) dan keislaman seyogianya dipahami
sebagai upaya bagaimana menggagas sebuah
acuan konsep epistemologi keislaman yang
akan dijabarkan menjadi kerangka metodologi untuk mendasari semua aspek
telaahan tentang fenomena kemanusiaan.
Metodologi pada dasarnya adalah prosedur penalaran untuk menemukan
kebenaran penjelasan tentang kausalitas obyek berdasarkan karakter obyek itu
sendiri. Selama ini klaim kebenaran ilmiah tentang obyek manusia/masyarakat,
masih didominasi oleh konsep epistemologi yang menjadi acuan tunggal pada
metodologi yang digunakan oleh ilmu alam, sebagai yang dikembangkan oleh banyak
sosiolog dan antropolog barat, dimana manusia secara individual dipandang tidak
memiliki kekuatan kausal dalam kehidupan sosialnya, akan tetapi tunduk pada
kekuatan-kekuatan obyektif di luar dirinya (struktur-struktur). Konsep
epistemologi inilah yang kemudian mendasari pengembangan kajian tentang
perubahan-perubahan yang berlaku dalam obyek manusia, masyarakat, dan juga kebudayaan.
Selain itu, secara ontologis, konsepsi yang dikembangkan oleh ilmuan
kemanusiaan dan kemasyarakatan itu, melihat manusia sebagai obyek kajian lebih
pada tatanan fisik empirik, dan sangat kurang dalam mempertimbangkan tatanan
ideasional spiritual dimana terdapat area yang menggerakkan kebudayaan itu
sendiri.
Upaya integrasi keilmuan yang dimaksudkan bukanlah untuk menafikan apa yang
kita kemukakan itu. Kaidah-kaidah teoritis keilmuan barat tetap digunakan untuk
mengkonsepsikan kaidah-kaidah normatif tentang masyarakat sebagai yang
diajarkan oleh Islam, untuk kemudian dirumuskan menjadi sebuah kerangka
epistemologi dan metodologi keilmuan Islam yang akan digunakan untuk melakukan
telaahan tentang perkembangan budaya dalam masyarakat Islam, dan tidak mustahil
juga untuk masyarakat-masyarakat ideologis lainnya. Inilah yang dimaksudkan
dengan “Keilmuan Budaya perspektif Islam”.
Dengan keilmuan budaya perspektif Islam itulah kemudian dikembangkan suatu
acuan akademis untuk kerangka analisis beberapa disiplin ilmu yang berada di
bawah payung ilmu budaya (humaniora) itu sendiri. Dengan demikian diharapkan
jurusan Bahasa dan Sastra (Arab/Inggris) misalnya, akan melahirkan lulusan yang
memiliki kemampuan memahami fenomena
kemanusiaan dan kebudayaan secara kritis melalui telaah kebahasaan dan
kesusasteraan melalui perspektif Islam, dan bukan lulusan yang hanya mampu
berbahasa Arab/Inggris
secara aktif.
Jurusan Sejarah
dan Kebudayaan Islam dengan lulusan yang mampu memahami realitas manusia
dan mengungkap berbagai jaringan yang membentuk keberadaannya sebagai
masyarakat serta perubahan yang berlangsung didalamnya melalui perspektif
Islam, dan bukan lulusan yang hanya menguasai hafalan-hafalan sejarah.
Begitu juga dengan Ilmu Informasi dan Perpustakaan,
lulusannya diharapkan memiliki kemampuan mengkaji peran sistem informasi dan
perpustakaan sebagai salah satu kekuatan
pembangun informasi dalam rangka pencerahan peradaban manusia, dan bukan hanya
mampu mengolah sistem pelayanan informasi/perpustakaan secara praktis seperti
yang diharapkan pada lulusan vokasi (D.3) perpustakaan.
Demikian juga
misalnya, bila fakultas Adab ingin mengembangkan dan membuka beberapa disiplin lain yang berada di dalam
wilayah kajian keilmuan budaya, seperti : Philologi, Linguistik, Arkeologi,
Seni, dan sebagainya, maka pengembangan disiplin-disiplin itu tentu juga
harus mengacu pada suatu konsepsi yang sama, yaitu metodologi keilmuan budaya
yang didasarkan pada konsep epistemologi Islam, sehingga semua
disiplin itu dapat disinergikan dalam sebuah
kerangka luas untuk transformasi budaya di
tengah-tengah masyarakat.
©Irhash A. Shamad
Disampaikan pada Seminar Nasional "Islam dan Keadaban ; Eksistensi, Tantangan, dan Peluang", dalam rangka 50 Tahun Fakultas Adab dan Humaniora IAIN Imam Bonjol Padang, di Daima Hotel, Padang, 15 Agustus 2013
Posting Komentar