Home » , , » Pengalaman Politik Islam di Sumatera Barat Pasca Kemerdekaan

Pengalaman Politik Islam di Sumatera Barat Pasca Kemerdekaan

Written By Irhash A. Shamad on 08 April 2009 | 01.27

Perjalanan panjang perjuangan bangsa Indonesia berujung pada proklamasi kemerdekaan. Pengalaman masa penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang telah mengajarkan kepada bangsa ini untuk mensyukuri nikmat kemerdekaan setelah perjuangan panjang dan berat dengan kucuran darah dan keringat para syuhada. Rakyat Sumatera Barat tentu menyambut berita kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan di Jakarta 17 Agustus 1945 dengan sukacita. Kemerdekaan berarti terbebas dari penindasan dan kesewenangan bangsa asing dan, di satu sisi, terlepas dari penguasaan pemerintahan kafir.

Bagi kalangan ulama pejuang yang telah menggalang kekuatan rakyat -baik melalui kekuatan fisik, maupun kekuatan moral- selama ini, perjuangan kemerdekaan diartikan sebagai suatu keharusan syar’iy untuk melawan kekufuran dan karenanya akan bernilai jihad di mata Allah, dan sebagai suatu bangsa, mempertahankan tanah air adalah juga inklud di dalam pengertian terminologi itu. Bagi masyarakat Minangkabau yang memiliki filosofi Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah, hal ini tentu mendapatkan pembenaran dalam argumentasi keagamaan sebagaimana yang diperkenalkan oleh kalangan ulama Minangkabau : Hubbul wathan minal iman (mencintai tanah air adalah bagian dari iman) dan pepatah adat yang berbunyi : tagak di kampuang, kampuang dipatahankan, tagak di nagari, nagari dipatahankan (dalam berkampung, kampung harus dipertahankan, dalam bernegeri, negeri dipertahankan).

Dengan dicapainya kemerdekaan, maka berarti dimulainya suatu proses pembentukan negara bangsa. Dengan itu Indonesia memasuki masa revolusi, di mana kehidupan suatu negara baru perlu ditata untuk mencapai tujuan bersama. Dengan kemerdekaan berarti berbagai kepentingan masyarakat mendapatkan tempat dalam tatanan masyarakat baru yang dicita-citakan. Dalam proses penataan itu diperlukan langkah-langkah sistematis, mulai dari institusi-institusi hingga tokoh-tokoh yang ditampilkan sebagai pengambil kebijakan. Pada bagian inilah setiap daerah mempunyai pilihan-pilihan strategis sesuai dengan pengalaman-pengalaman historis masing-masing yang perlu dipertimbangkan.

Masyarakat Minangkabau (Sumatera Barat) adalah masyarakat yang religius dan menjadikan Islam sebagai agama yang inherent dalam sistem budaya masyarakatnya. Karena itu agama Islam telah sangat berperan dalam rentangan pengalaman sejarah perjuangan masyarakat di daerah sejak abad ke-19. Peran para ulama, guru-guru agama serta institusi-institusi keagamaan ternyata tidak dapat diabaikan dalam memotivasi dan menggalang kekuatan-kekuatan perlawanan rakyat, baik di masa penjajahan Belanda maupun masa pendudukan Jepang.

Zaman Revolusi
Pada saat kemerdekaan sudah ditangan dan era revolusipun harus dimulai, kelompok pemuka agama di daerah ini agaknya kurang mendapat porsi yang lebih baik dalam institusi yang akan menjalankan proses revolusi itu. Dalam Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) yang dibentuk di daerah ini di awal revolusi misalnya, ketidak seimbangan komposisi ketokohan sangat jelas terlihat. Institusi ini lebih didominasi (untuk tidak mengatakan semuanya), oleh kalangan politisi nasionalis sekuler. Diantara mereka adalah aktifis politik sejak zaman Jepang, bahkan sebagian besar adalah bekas pegawai-pegawai dalam pemerintahan Belanda. Kalangan politisi ini pada umumnya adalah anggota Hokokai, suatu institusi propaganda pemerintahan Jepang (Mestika Zed, 1998:17 ; Martamin, 1978:118).

Pada saat pertama kali dibentuk KNID Sumatera Barat tanggal 31 Agustus 1945 muncul tiga tokoh pada jajaran atas KNID yaitu Muhammad Syafi’i, Rusad Dt. Parpatih Baringek dan Dr. M. Djamil Dt. Rangkayo Tuo., masing-masing sebagai Ketua, Ketua I dan Ketua II. Muhammad Syafi’i pada waktu sebelumnya adalah pendiri INS Kayu Tanam , seorang nasionalis yang pernah belajar ke negeri Belanda, berasal dari keluarga maju dengan gaya hidup yang berorientasi barat. Rusad Dt. Parpatih Baringek adalah mantan Asisten Demang dan wakil Ketua Minangkabau Raad di masa Belanda. Sementara Dr. M. Djamil tidak begitu dikenal oleh masyarakat namun ia salah seorang dokter Minangkabau yang oratoris. Sedangkan yang menjabat sebagai Setia Usaha KNID adalah Mr. St. Muhammad Rasjid. Tokoh ini lulusan Sekolah Tinggi Hukum (RHS) di Batavia dan bekerja sebagai pengacara di zaman Belanda, kemudian di masa Jepang menjadi anggota Chu Sangi Kai. Muhammad Syafi’i kemudian oleh KNID diangkat sebagai Residen (Gubernur) Sumatera Barat yang pertama.

Pada dasarnya, hampir semua tokoh atau elit revolusi yang muncul di awal kemerdekaan baik di jajaran legislatif maupun eksekutif di pegang oleh tokoh-tokoh nasionalis sekuler berpendidikan barat yang tentunya kurang memiliki basis sosial dan pada zaman perjuangan kemerdekaan. Mereka pada pada waktu itu umumnya berdiri pada posisi pemerintahan. Indikasi dari akibat kurangnya dukungan rakyat sangat jelas terlihat ketika terjadinya beberapa kali pergantian Residen di Sumatera Barat. Residen pertama Muhammad Syafi’i hanya bertahan satu setengah bulan, kemudian digantikan oleh Rusad Dt. Parpatih Baringek yang kepemimpinannya juga hanya bertahan lebih kurang tiga setengah bulan, dia terpaksa mengundurkan diri dan digantikan secara berurutan Dr. M. Djamil dan Mr. St. Moh. Rasjid. Gonta ganti Residen di Sumatera Barat yang berlangsung pada dua tahun pertama ini adalah gambaran dari kekurangmampuan tokoh-tokoh itu dalam mengantisipasi persoalan-persoalan internal yang antara lain konflik sosial politik yang terjadi. Disamping itu masuknya sekutu menjadi tantangan tersendiri bagi tokoh revolusi ini.

Banyaknya persoalan-persoalan internal yang tidak terpecahkan menyebabkan proses revolusi menjadi mandeg. Terjadinya anarkisme sebagai pantulan ketidak puasan rakyat atas janji kemerdekaan, menjadi beban yang sangat rumit bagi pemerintahan republik yang baru ini. Muncul berbagai kecurigaan terhadap loyalitas perjuangan para pemimpin revolusi, serta perlakuan tidak adil terhadap berbagai elemen masyarakat yang seharusnya mendapat porsi pada pemerintahan. Salah satu ekspresi ketidak puasan berbagai golongan masyarakat adalah terjadinya peristiwa 3 Maret 1947 yang dikenal sebagai percobaan kudeta terhadap pemerintahan dan Tentara Republik Indonesia di Bukittinggi dan kota-kota lainnya di Sumatera Barat sebagai koreksi atas berbagai kelemahan pemerintah dan TNI dalam menjalankan roda revolusi (lihat : Taufik Abdullah dan S. Budhisantoso,1984:150-155). Kondisi sosial seperti ini sudah pasti menjadi titik lemah tersendiri, apalagi bila dihadapkan dengan kedatangan sekutu yang diboncengi oleh Belanda untuk kembali menguasai wilayah jajahannya.

Pada saat pemerintah bersama TRI harus memobilisasi rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan, mereka berusaha dengan gencar menyiarkan kampanye dengan tema-tema arti kemerdekaan di kalangan rakyat. Akibat kurang mengakarnya kalangan pemimpin revolusi itu, kampanye kemerdekaan kurang disambut baik oleh masyarakat. Ketika kesulitan ini dialami, maka tokoh formal itu merasa bahwa dukungan moral kalangan ulama yang memiliki kharisma di tengah masyarakat sangat diperlukan. Anekdot pada kutipan berikut mungkin bisa lebih memberi pemahaman tentang kondisi kepemimpinan formal pada waktu ini :

“Inyiak Musa Parabek (Syekh Ibrahim Musa Parabek, pen.) adalah salah seorang ulama terkemuka yang pernah dimintai nasehatnya, sekalian memohon agar beliau bersedia mengeluarkan fatwa tentang “perang jihad”. Artinya perang yang akan diadakan melawan Belanda adalah “perang suci”, Namun jawaban yang mereka peroleh dari ulama tua itu ternyata menjadi pelajaran yang amat berharga. “Menurut ajaran agama” demikian Inyiak menyatakan pandangannya, “kalau musuh itu tidak mungkin kita lawan, tidak boleh kita berjihad. Berdosa orang yang mengeluarkan fatwa jihad itu, kalau karena fatwa itu banyak korban yang jatuh sia-sia. Fatwa jihad hanya boleh dikeluarkan jika sudah pasti kita akan menang”.(Mestika Zed,1998:38)

Apa yang digambarkan di atas, sebenarnya tidak berbeda dengan apa yang pernah dipaksakan oleh pemerintahan Jepang kepada kalangan agama untuk menggalang kekuatan rakyat bagi kepentingan Perang Asia Timur Raya. Bedanya hanyalah pada masa Jepang antara pemerintah dengan ulama berada pada dua posisi yang berbeda, sedangkan di masa revolusi ini keduanya berada pada posisi yang sama. Anekdot ini telah membukakan mata para pemimpin revolusi sekaligus peringatan atas kelemahan mereka dalam mendapatkan dukungan rakyat, demikian juga dengan peran golongan Islam yang sesungguhnya tidak dapat diabaikan.

Partai Islam
Menyambut seruan pemerintah dalam Maklumat Wakil Presiden tgl. 3 Nopember 1945, rakyat Sumatera Barat segera membentuk partai-partai untuk penyaluran aspirasi politik mereka. Beberapa hari setelah keluarnya maklumat itu para politisi berkumpul dalam suatu pertemuan di Padang yang dihadiri oleh Residen Muhammad Syafi’i. Dalam rapat itu disepakati beberapa point resolusi yang isinya antara lain : bahwa untuk mengokohkan Negara Republik Indonesia yang demokratis hendaklah segala paham politik dari masyarakat dapat disalurkan dengan teratur ke dalam partai-partai. Dalam pertemuan ini juga disepakati bahwa dalam situasi perjuangan mempertahankan kemerdekaan atau kedaulatan, setiap partai politik jangan hendaknya saling bercakaran sesamanya dan berjuang sepenuhnya untuk mengokohkan pertahanan negara (Taufik Abdullah dan S. Budhisantoso,1984:146).

Kesepakatan itu kemudian disambut dengan berdirinya beberapa partai politik di Sumatera Barat. Dari kalangan Islam ikut meramaikan pembentukan partai pada waktu ini antara lain : Persatuan Tarbiyah Islamiyah. Organisasi madrasah dan ulama-ulama Syafi’iyah ini dijadikan partai politik pada tanggal 26 Nopember 1945, Majlis Islam Tinggi (MIT), organisasi ulama Sumatera Barat diresmikan pula menjadi partai politik lima hari setelah Majlis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau (MTKAM) organisasi adat yang diresmikan sebagai partai politik pada tanggal 20 Desember 1945. Beberapa waktu sebelum itu, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) yang pernah mendapat tempat di Minangkabau sebelum tahun 1937 saat dibubarkan oleh pemerintah Belanda, kembali ditubuhkan pada tanggal 18 Nopember 1945. Sedangkan Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) yang berpusat di Yogyakarta, didirikan cabangnya di Sumatera Barat pada Februari 1946 juga menjadi partai politik Islam. Disamping itu beberapa partai lokal lainnya seperti Partai Politik Tarikat Islam (PPTI), PKI Lokal Islamy, dan Partai Muslimin Syathariah Indonesia.

Penubuhan partai-partai politik Islam di Sumatera Barat, disamping menjadi wadah penyaluran aspirasi kalangan Islam untuk merespon maklumat pemerintah, lebih dari itu tentunya untuk mengantisipasi berbagai kesenjangan yang terjadi ditubuh pemerintah sekaligus penyeimbang munculnya partai-partai nasionalis sekular seperti Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Sosialis Indonesia (PSI), dan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan lain-lainnya yang juga didirikan di Sumatera Barat pada waktu ini.

Lasykar Islam di Masa Revolusi
Menyadari kondisi bangsa yang belum stabil, maka setiap elemen bangsa harus mengambil peran dalam menjaga dan mempertahankan kemerdekaan. Walaupun sudah dibentuk angkatan perang dan kepolisian oleh pemerintah, partai-partai dan organisasi masyarakat di Sumatera Barat merasa perlu membentuk barisan-barisan rakyat yang akan ikut ambil bagian bila dalam kondisi tertentu negara memerlukannya untuk memperkuat angkatan yang ada.

Barisan-barisan rakyat pada umumnya terdiri dari antara lain pemuda-pemuda yang pernah mendapatkan pelatihan militer di masa Jepang, diantaranya ada juga dari bekas anggota Gyugun yang tidak masuk ke dalam TRI, serta para pemuda yang mempunyai bakat kemiliteran lainnya.

Barisan yang pertama-pertama berdiri adalah Hizbullah yang dibentuk oleh organisasi Muhammadiyah. Organisasi ini pada awalnya telah memiliki angkatan muda yang tergabung dalam kepanduan Muhammadiyah yang bernama Hizbul Wathan. Setelah bekas anggota Hizbul Wathan ini mendapatkan pengarahan serta tambahan pengetahuan yang dilaksanakan selama lebih kurang 10 hari, kemudian disatukan dalam barisan Hizbullah. Barisan ini diresmikan oleh organisasi induknya (Muhammadiyah) di Padangpanjang pada tanggal 22 November 1945.

Segera setelah pembentukan Hizbullah dan masih pada tahun yang sama, Partai Islam Perti juga membentuk Lasykar Muslimin Indonesia (Lasymi). Keanggotaan Lasymi yang terdiri dari pemuda-pemuda Perti ini dilatih selama beberapa waktu untuk mendapatkan bekal pengetahuan kemiliteran dasar. Segera setelah selesai pelatihan, Syekh Sulaiman Ar-Rasuly selaku sesepuh partai ini melantik keanggotaannya dan sekaligus meresmikan barisan ini di Bukittinggi pada tanggal 24 Desember 1945. Majlis Islam Tinggi (MIT) yang telah menjadi partai Islam sejak 25 Desember 1945 juga membentuk sebuah barisan pada tanggal 16 Maret 1946. Barisan yang diremikan berdirinya di Bukittinggi ini diberi nama Sabilillah.

Beberapa bulan berikutnya, Partai Islam Perti, terutama dari kalangan wanita Perti juga dibentuk barisan wanita yang bernama Lasykar Muslimat . Barisan ini selain dibekali dengan pengatahuan kemiliteran, juga persiapkan untuk barisan belakang yang akan menangani dapur umum, palang merah dan keperluan-keperluan perang lainnya. Lasykar Muslimat diresmikan pada tanggal 23 Juni 1946. Diantara partai-partai Islam lainnya tidak ketinggalan mendirikan barisan masing-masing, seperti Partai Politik Tarikat Islam (PPTI) dengan barisan Tentara Allah, PKI Lokal Islami dengan barisan Saifullah, demikian juga barisan yang dipelopori oleh tokoh masyarakat, seperti Angkatan Api Islam yang didirikan oleh Abdul Hamid di Sawahlunto.

Barisan-barisan ini merupakan kantong-kantong kekuatan rakyat dalam rangka mempertahankan kemerdekaan dan akan berdampingan dengan Tentara Rakyat Indonesia (TRI) serta barisan-barisan yang didirikan oleh partai dan organisasi lainnya seperti Tentara Merah Indonesia (didirikan oleh PKI), Barisan Hulubalang (didirikan oleh MTKAAM), Barisan Gerilya Sumatera Barat (didirikan oleh Ali Umar di Padang), Api Sibonka (Angkatan Perang Silungkang, Bonjol dan Kamang) yang didirikan oleh Inyik Adam di Padangpanjang, dan lain-lain.

Partai Islam di Pentas Pemilu 1955
Usai revolusi, pada pertengahan tahun 1950, cita-cita proklamasi menjadikan Indonesia sebagai negara kesatuan dikokohkan kembali. Ini ditandai dengan dihapuskannya Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat dan aparat pemerintahan RIS dibubarkan. Perdana Menteri pertama NKRI Mohammad Natsir meminta kepada Menteri Dalam Negeri untuk memulihkan kondisi politik yang terjadi di Sumatera Barat.

Kebijakan Menteri Dalam Negeri Asaat mengganti gubernur Sumatera Tengah dengan mengangkat Mr. Ruslan Muljohardjo dari Partai Masyumi, telah memicu konflik antara DPR Sumatera Tengah dan pemerintah pusat. DPR ST kemudian bersepakat untuk menolak keputusan Mendagri itu serta berusaha menggagalkan pelantikannya di Sumatera Barat. Meskipun akhirnya Ruslan dapat menduduki kursinya sebagai gubernur, namun hal ini dinilai oleh masyarakat Sumatera Barat sebagai hilangnya demokrasi di ranah yang secara kultural historis adalah dianggap paling demokratis, apalagi sejak dibekukannya DPRST pada tahun 1951.

Dengan latar belakang kondisi politik itu, partai-partai di Sumatera Tengah yang telah kehilangan “panggung” mencoba merakit kembali kekuatan melalui sebuah perkumpulan yang bernama Koordinasi Partai Partai Politik se-Sumatera Tengah (KPPST) . Perkumpulan ini aktif mengadakan pertemuan-pertemuan untuk menggalang kembali kekuatan. Dalam Kongres KPPST di Bukittinggi pada tanggal 20 Januari 1952 yang dihadiri oleh H. Agus Salim. Kongres ini menghasilkan konsolidasi kekuatan dengan merekrut tokoh-tokoh daerah yang terdiri dari kaum ulama, kaum adat dan Cadiak Pandai (golongan intelektual).

Pada bulan Juli 1952, KPPST mengeluarkan Statemen Bersama yang ditujukan kepada pemerintah pusat yang berbunyi a.l.: “ menyesali sikap pemerintah yang mengakibatkan kosongnya demokrasi di Sumatera Tengah sekian lama” dan “mendesak diadakannya pemilihan umum”. Statemen ini disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dengan berbagai cara, namun tidak mendapatkan tanggapan positif dari pemerintah.

Apa yang diperjuangkan oleh KPPST selama tidak kurang dari tiga tahun, barulah membuahkan hasil setelah pemerintah pusat mengumumkan akan diadakannya pemilihan umum pada bulan September 1955. Pengumuman ini tentu melegakan masyarakat, karena berarti demokrasi yang kosong itu mulai akan terisi kembali. Kegembiraan ini disambut oleh rakyat dengan sangat antusias. Sehingga tidak kurang dari 44 partai dan organisasi yang mendaftar menjadi peserta pemilihan anggota DPR, dan 38 partai dan organisasi untuk Dewan Konstituante. Sedangkan jumlah pemilih menggunakan hak pilihnya lebih dari 90 % dari jumlah yang dinyatakan berhak.

Dari hasil pemilihan umum 1955 ini tercatat parta-partai Islam mengungguli perolehan suara terbesar adalah Masyumi 49 % diikuti oleh Perti di urutan kedua dengan jumlah perolehan suara 28 %, sedangkan partai Islam lainnya seperti Partai Islam Indonesia (PII), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Politik Tarikat Islam (PPTI), dan Nahdhatul Ulama berada di bawah Partai Komunis Indonesia (PKI) yang memperoleh suara 7%, bahkan PPTI dan PII gagal memperoleh suara.

Masyumi sebagai partai pemenang pertama pada pemilu di Sumatera Barat, ditingkat Nasional berada pada urutan kedua setelah PNI dengan perolehan 21% suara. Sedangkan Perti sebagai partai dengan suara terbanyak kedua di Sumatera Tengah, ditingkat nasional hanya memperoleh 1 % suara.

Islam dan Adat : Solusi atas Kesadaran Sejarah
Berakhirnya masa revolusi di Sumatera Barat, kehidupan sosial politik di daerah inipun mulai memasuki periode “normal” ditandai dengan terselesaikannya berbagai konflik internal pemerintahan pada awal tahun 1950an. Pada saat ini kalangan tokoh intelektual, para ulama serta para pemuka adat mulai berfikir untuk menciptakan suasana tenteram di kalangan masyarakat dengan meredam berbagai potensi yang memungkinkan terciptanya konflik internal baru di kalangan masyarakat. Pada waktu ini persoalan adat dan Islam, meski tidak lagi menjadi tema utama konflik internal sejak masa pergerakan, namun dirasakan bahwa tidak mustahil sewaktu-waktu akan kembali menguat, bila tantangan eksternal yang dihadapi sudah mereda, sebagaimana perspektif sejarah yang pernah terlihat pada abad yang lalu.

Untuk itu, pada tahun 1952 muncul inisiatif dari kalangan elit “Tungku Tigo Sajarangan” Minangkabau untuk menyelenggarakan sebuah konferensi yang akan membahas tentang kedudukan hukum Islam dalam adat Minangkabau. Persoalan ini, meski tidak menimbulkan konflik terbuka seperti pada waktu-waktu yang lalu, namun tetap menjadi persoalan yang dianggap rumit dalam tataran praktek peradilan masyarakat Minangkabau hingga waktu ini, terutama menyangkut persoalan waris dan kaitannya dengan harta pusaka yang berlaku dalam adat Minangkabau. Persoalan inilah yang dikhawatirkan akan meluas kembali menjadi konflik adat dan agama.

Persoalan menyangkut pelaksanaan waris di Minangkabau pernah mendapat “protes” keras dari Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawy pada pertengahan abad ke-19. Tokoh ini mengemukakan bahwa sistem adat Minangkabau tentang waris yang turun ke kemenakan sangat bertentangan dengan hukum Islam. Oleh karenanya harta yang diwariskan itu hukumnya haram menurut syara’. Ia bahkan secara radikal menyatakan adat Minangkabau tentang waris harus dihapuskan. Akan tetapi, protes ini tidak menjadi prioritas bagi kalangan ulama murid Ahmad Khatib yang kembali ke Minangkabau pada waktu itu. Mereka pada umumnya lebih memilih merumuskan kembali konsep harato pusako (harta pusaka) dan harato pancarian (harta pencaharian) sedemikian rupa untuk membatasi konflik adat dengan hukum Islam, meski pada tataran implementasinya di dalam sengketa-sengketa yang terjadi di masyarakat tidak sepenuhnya dapat mengacu pada konsep itu.

Berangkat dari kenyataan itulah konferensi ini dilaksanakan untuk mempertemukan kembali kalangan adat, kalangan agama, dan para cendikiawan untuk membahas rencana menyangkut bagaimana fatwa mengenai harta pencaharian --yang harus diwariskan sesuai dengan fiqh itu-- dilaksanakan. Diantara usulan yang mengemuka pada konferensi ini, selain menyangkut konsep tentang harato pancarian, adalah bahwa kemenakan dapat mewarisi sepertiga dari harta pencaharian mamak mereka melalui pembuatan wasiat, sedangkan yang duapertiga dibagi di antara para ahli waris menurut ketentuan fiqh. Harta pusaka hendaklah tetap diatur sesuai dengan adat. Setiap orang Minangkabau dianjurkan membuat surat wasiat untuk mewariskan sesuatu yang berfaedah bagi kemenakan mereka (Benda-Beckman,2000:418).

Pada tahun 1968 kembali dilaksanakan konferensi yang sama untuk membahas persoalan sebagaimana yang menjadi usulan yang mengemuka pada konferensi tahun 1952 dengan beberapa keputusan antara lain bahwa hukum yang berlaku atas harta pencaharian adalah hukum faraidh, sedangkan untuk harta pusaka berlaku hukum adat dengan beberapa penjelasan tentang konsep harta pusaka dan harta pencaharian dan ketentuan yang ditetapkan untuk itu. Semua hakim Sumatera Barat dan Riau yang hadir pada waktu ini, menghimbau khalayak untuk memperhatikan keputusan konferensi ini.

Meskipun keputusan konferensi ini telah disebarluaskan sedemikian rupa, ternyata dalam praktek peradilan di Sumatera Barat, para hakim tidak terlalu “menaruh perhatian” pada keputusan ini, mereka tetap saja menggunakan hukum adat dalam keputusan mereka (Benda-Beckman,2000:418). Namun, setidaknya dengan dilaksanakannya konferensi yang membahas tentang adat dan Islam, telah mempertemukan dua kelompok ideologis yang di masa lalu sangat rentan terhadap konflik. Dengan konferensi ini juga persoalan-persoalan yang menyangkut wacana adat dan Islam dibicarakan secara terbuka dan ilmiah. Sehingga potensi konflik di antara keduanya mendapatkan “katup pengaman” untuk tidak melebar menjadi konflik. Keadaan inilah yang telah mewarnai hubungan Islam dan adat pada waktu-waktu selanjutnya di Sumatera Barat.

Sementara itu wacana Islam dan adat yang dirumuskan dalam pepatah “Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah” (Adat Berdasarkan Syara’, Syara’ berdasarkan Al-Quran), demikian juga pepatah “Syara’ Mangato, adat Mamakai” (Syara’ menggariskan dan adat melaksanakan) selalu dijadikan slogan utama dalam penyelenggaraan pemerintahan, setiap pergantian pemerintah dan dalam mobilisasi rakyat untuk pelaksanaan pembangunan. Strategi ini sangat disadari oleh setiap pemerintahan di Sumatera Barat pada masa-masa selanjutnya, karena dianggap sangat efektif, dimana kesadaran sosial politik yang mendasari setiap aspek kehidupan, sangat mudah dibangkitkan dengan sentimen “agama-adat” seperti itu.

© Irhash A. Shamad.


Share this article :

+ comments + 2 comments

Anonim
19 April 2009 pukul 20.53

Salam!

Bertemu lagi Pak.

Perseteruan ideologis antara nasionalis, komunis, dan agamais, pada masa demokrasi liberal dan terpimpim, adalah pemandangan umum dalam perpolitikan Indonesia, bahkan ke kehidupan sosial secara luas, terutama di Pusat.

Saya mau bertanya Pak, bagaimana gambaran perseteruan itu di Sumatera Barat? Terutama antara Kaum Islam dan Komunis menjelang PRRI meletus dan setelahnya. Atau, setidak-tidaknya, bagaimana kekuatan dan pengaruh komunis di Sumatera Barat menjelang meletusnya PRRI. PKI pada pemilu 1955 mendapat 5 % lebih suara. Setidak-tidaknya itu bertanda, ideologi komunis cukup mendapat tempat di Sumatera Barat.

Trimakasih Pak

Deddy Arsya

26 Juni 2012 pukul 17.00

Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kita perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu

Posting Komentar

Maklumat

Maklumat
 
Support : Pandani Web Design
Copyright © 2009-2014. Irhash's Cluster - All Rights Reserved
Template Created by Maskolis
Proudly powered by Blogger