Dari Surau, Madrasah, Hingga Pesantren

Written By Irhash A. Shamad on 02 April 2009 | 23.01

Lembaga pendidikan tradisional Islam di Minangkabau paling awal dikenal dengan nama Surau. Secara etimologis, surau adalah tempat dimana orang-orang Islam melaksanakan ibadah shalat berjamaah, namun konsep luas dari surau, selain tempat beribadah juga sebagai tempat dimana anak laki-laki Minangkabau tidur dan melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan serta belajar al-Quran, terutama pada usia menjelang dewasa. Tradisi tidur di surau adalah tuntutan normatif yang berlaku dalam konvensi adat anak nagari, di mana anak laki-laki yang sudah baligh dianggap “memalukan” bila masih tidur di rumah orang tuanya. Tidur di surau bagi anak laki-laki yang menjadi tradisi kehidupan masyarakat ini selanjutnya melembaga menjadi institusi bagi pelatihan serta “pematangan” diri untuk memasuki usia remaja dan dewasa. Di surau mereka belajar bersama, berinteraksi dengan anak-anak seusia, serta melakukan kegiatan-kegiatan yang berfaedah untuk persiapan masa depan, belajar mengaji, belajar silat serta kegiatan lainnya seperti bergotong royong untuk menumbuhkan solidaritas sesama dan pengembangan kemampuan bersosialisasi dengan masyarakat, berdagang dan sebagainya.

Selain anak-anak usia menjelang dewasa, biasanya surau juga ditempati oleh laki-laki dewasa dan orang tua yang tidak memiliki istri dan duda. Mereka yang disebut terakhir ini, biasanya berperan sebagai pemimpin, senior, pelatih, atau tutor bagi anak-anak yang tidur di surau, baik secara langsung maupun tidak, dan diminta atau tidak diminta untuk memegang peran itu. Selain sebagai guru membaca al-Qur an, para tutor ini juga sekaligus melatih keterampilan silat (kedua keahlian ini di Minangkabau dulu, biasanya dimiliki oleh setiap lelaki dewasa). Kehadiran mereka di surau telah memungkinkan terjadinya proses transmisi pengetahuan, nilai-nilai dan keterampilan antara dua, tiga atau mungkin empat generasi, yaitu anak-anak, remaja, dewasa dan orang tua, karena, di sinilah mereka berinteraksi, paling tidak, selama kurang lebih 12 jam sehari, kecuali saat makan, di mana anak-anak harus pulang ke rumah orang tuanya.

Proses “pendidikan” yang berlangsung di surau sangat komprehensif sifatnya. Meskipun tidak terstruktur sebagaimana lazimnya institusi pendidikan formal, ternyata di surau terjadi proses pematangan diri dan sosialitas bagi para remaja dan anak-anak. Banyak tradisi kehidupan di surau “mengajarkan” tentang kemandirian, nilai-nilai kebersamaan, kegotongroyongan, bahkan juga kematangan berfikir, serta keterampilan dan kepiawaian dalam berargumen.

Surau sebagai Basis Pendidikan Agama
Terminologi surau kemudian berkembang terutama setelah munculnya tokoh-tokoh keagamaan lokal yang telah memperdalam ilmu agama mereka di luar Minangkabau. Pada waktu ini istilah surau juga digunakan untuk menyebut tempat di mana ulama-ulama itu kemudian mengembangkan dan mengajarkan ilmu-ilmu keislaman kepada masyarakat. Surau Syekh Burhanuddin di Ulakan dianggap merupakan surau pertama yang berfungsi sebagai pusat pengembangan dan pengajaran agama Islam di Minangkabau. Syekh Burhanuddin adalah putra Minangkabau yang mendalami ilmu agama Islam kepada Syekh Abdur Rauf Singkel, seorang ulama yang terkenal di Aceh pada abad ke 17. Meski kemudian banyak bermunculan surau-surau, sebagai yang disebut terakhir ini di berbagai wilayah Minangkabau dengan banyaknya ulama-ulama yang pulang dari Makkah, Madinah dan lainnya, namun tradisi tidur di surau, sebagai yang disebutkan pertama, tetap dipertahankan di nagari-nagari Minangkabau.

Pada rentang waktu abad ke 17 hingga awal ke 20 ini, surau sebagai pusat pengajaran agama Islam berkembang dengan pesat. Diantaranya yang terkenal adalah Surau Syekh Burhanuddin di Ulakan, Surau Tuanku nan Tuo di Koto Tuo, IV Angkat Candung, Surau Tuanku Pamansiangan nan Tuo di IV Koto, Surau Cangking (Syekh Jalaluddin) di Cangking IV Angkat, Surau Tanjung Pauh (Syekh Muhammad Thaib Umar) di Tanjung Pauh Sungayang, Surau Candung (Syekh Sulaiman Arrasuli) di Candung IV Angkat dan lain-lain. Surau-surau tersebut telah melahirkan banyak ulama serta tokoh-tokoh masyarakat baik di Minangkabau maupun di daerah-daerah lainnya. Bahkan diantara murid-muridnya telah pula membuka surau-surau sendiri di daerah asalnya. Pada waktu ini keberadaan surau menjadi sangat signifikan, ketika peran yang dimainkannya tidak hanya menyangkut pengembangan agama Islam dan mengajarkan ilmu-ilmu agama semata, akan tetapi juga banyak persoalan-persoalan sosial yang akhirnya mendapat sentuhan peran surau (cf. Christine Dobbin,1992:142-148).

Setidaknya hingga awal abad ke 20 istilah surau sebagai pusat pengajaran agama Islam oleh ulama-ulama Minangkabau dan surau sebagai tradisi tempat bermalam bagi anak laki-laki Minangkabau masih tetap digunakan. Lembaga surau dalam pengertian pertama adalah satu-satunya model pendidikan pribumi yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Lembaga ini memiliki citra tersendiri di mata masyarakat. Kenyataan ini tidak saja didukung semata oleh kekuatan kharisma dan ketinggian ilmu yang dimiliki oleh guru atau syekh yang memberikan pelajaran agama pada surau itu, akan tetapi lebih pada peran yang dimainkan oleh surau dalam berbagai lapangan kehidupan masyarakat. Seringkali juga wadah pendidikan ini memiliki peran yang besar dalam memotivasi—bahkan juga memobilisasi-- masyarakat untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah.

Pada paruh pertama awal abad ke 20, ketika pendidikan surau tradisional merasakan adanya tantangan eksternal dengan munculnya pendidikan barat yang diperkenalkan oleh Belanda, maka sistem pendidikan ini mulai melakukan perubahan-perubahan, terutama pada sistem pendidikan yang dijalankan. Pada saat ini sebutan surau secara berangsur mulai ditinggalkan dan beralih ke istilah yang lebih pas untuk sistem pendidikan Islam sendiri, yaitu madrasah (dari bahasa Arab yang berarti : tempat mendalami ilmu pengetahuan). Bahkan, beberapa kalangan modernis Islam di daerah ini menggunakan istilah yang terlihat lebih “akomodatif” dengan istilah sistem pendidikan yang diperkenalkan oleh Belanda, seperti Madras School, Diniyah School, Normal Islam, Islam College dan sebagainya. Setidaknya ada dua aspek yang terlihat dari perubahan istilah ini, pertama : perubahan metode pengajaran dari metode halaqah ke metode klassikal, kedua : mulai diajarkan mata-mata pelajaran umum seperti Sejarah, Ilmu Bumi, Ilmu Alam, Aljabar, Ilmu Ukur, Ilmu Jiwa, Bahasa Ingris, Bahasa Belanda dan lain-lain (Mardjani Martamin, 1997: 84-100,256-258). Sekolah-sekolah seperti yang disebutkan belakangan, umumnya terdapat di daerah-daerah perkotaan, sedangkan di wilayah pedesaan lazimnya tetap menggunakan istilah madrasah.

Kejayaan madrasah di Minangkabau sebagai lembaga pendidikan agama Islam tetap berlangsung hingga tahun 1970, meski proses penurunannya sudah terlihat sejak satu dasa warsa sebelum itu. Priode kritis dari sistem pendidikan ini terlihat pada akhir tahun 1970an seiring dengan wafatnya ulama-ulama yang menjadi figur sentral madrasah itu sendiri. Keadaan ini justru berbanding terbalik dengan perkembangan pesantren sebagai sistem pendidikan tradisional di Jawa yang pada dekade ini memperlihat kemajuan yang cukup signifikan. Sejak waktu ini, banyak madrasah Minangkabau (Sumatera Barat) yang secara berangsur-angsung mati suri, kecuali beberapa yang mencoba bertahan dengan sisa-sisa “kekuatan kharisma” sentral figur masa lalunya, namun secara umum kekuatan kharisma kelembagaannya tetap mengalami penurunan. Hal ini lebih diperparah lagi dengan mulai beralihnya kecendrungan mayoritas masyarakat untuk belajar ke pesantren-pesantren di Jawa.

Pada tahun 1990an beberapa madrasah di daerah ini mencoba untuk bangkit kembali dengan “kekuatan baru” yang diadopsi dari sistem pesantren yang berlaku di Jawa. Pada waktu ini para pengelola madrasah (untuk tidak menyebut sebagai ulama) di Sumatera Barat ramai-ramai merobah sistem pengajarannya dengan sistem pengajaran pesantren di Jawa, bahkan tidak sedikit juga yang hanya merobah nama dari madrasah menjadi pondok pesantren untuk sekedar mendompleng popularitas pesantren Jawa. Ada perbedaan yang menonjol antara sistem pendidikan madrasah dengan pesantren yang terdapat di daerah Jawa. Di Minangkabau, madrasah-madrasah yang ada, termasuk wadah pendidikan modern seperti Diniyah School, Madras School dan lain-lainnya, tidak menerapkan sistem belajar sepenuh hari sebagaimana yang terdapat di Jawa. Jam pelajaran telah diatur sedemikian rupa sebagaimana yang juga berlaku pada sistem pendidikan kolonial.

Apa yang dikemukakan adalah sebuah ironi dari hilangnya identitas kultural sistem pendidikan Minangkabau sebagai akibat dari madegnya proses regenerasi ulama kharismatis sebagai yang dimiliki oleh Minangkabau pada waktu lalu. Madrasah-madrasah pada waktu ini tidak lagi memiliki sentral figur yang dapat dipanut, namun hanya sebagai pimpinan-pimpinan lembaga pendidikan yang tidak memiliki kekuatan kharisma, kecuali (mungkin) hanya mewarisi kharisma pendahulunya berdasarkan hubungan genealogis semata. Karena itu, untuk tetap survive, tidak ada yang dapat dilakukan, kecuali hanya mengadopsi popularitas pihak lain, meski itu hanya nama.

Pesantren
Saat ini, sebutan pesantren lazim digunakan untuk menyebut lembaga pendidikan Islam. Istilah ini hampir-hampir umum pemakaiannya di kalangan masyarakat untuk membedakan antara pendidikan Islam dan pendidikan umum. Mastuhu (1994) misalnya, mengemukakan pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional Islam untuk memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran agama Islam (tafaqquh fiddin) yang menekankan pentingnya moral Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari (Mastuhu, 1994:6).

Bila ditelusuri, istilah pesantren berasal dari tradisi pendidikan Islam di pulau Jawa. Zamachsyari Dhofier (1982:8) mengemukakan bahwa sistem pendidikan pesantren pada awalnya diadopsi oleh Islam dari tradisi pendidikan agama Jawa pada abad ke 8-9 M. (Steenbrink, 1994:20-21). Tradisi pendidikan ini merupakan perpaduan Animisme, Hinduisme dan Budhisme (Mastuhu,1994:3). Model pendidikan agama Jawa yang disebut dengan pawiyatan itu berbentuk asrama para pelajar (disebut : cantrik), dengan rumah guru (disebut : ki ajar) di tengah-tengahnya. Ki ajar dan cantrik hidup bersama dalam satu komplek. Hubungan mereka bagaikan satu keluarga dalam rumah tangga selama 24 jam. Model pawiyatan inilah yang kemudian digunakan oleh Taman Siswa dalam sistem pendidikannya yang menekankan pada kehidupan bersama tersebut. Istilah pesantren sangat mungkin adalah perkembangan dari kata cantrik yang kemudian menjadi cantri atau santri. Sedangkan tempat di mana santri itu memondok (bertempat tinggal) bersama guru (kiyai), disebut dengan pesantrian atau pesantren yang berarti tempat di mana santri berkumpul dan belajar bersama.

Dhofier cendrung mengatakan bahwa kata santri berasal dari bahasa India yang berarti orang yang tahu tentang buku-buku suci agama Hindu (Dhofier,1982:18). Namun pendapat lainnya menyebutkan bahwa kata santri berasal dari kata sastri yang berarti orang-orang yang membaca dan menguasai kitab suci. Pendeknya, penggunaan kata santri atau pesantren dalam masyarakat Jawa selalu dihubungkan dengan kegiatan keagamaan seperti ini. Istilah ini secara konvensi juga digunakan setelah Islam di pulau Jawa dalam mengembangkan sistem pendidikan mereka.

Pesantren, sebagaimana yang dikemukakan, pada dasarnya memiliki konsep yang spesifik yang dapat dibedakan dengan sistem pendidikan lainnya di tanah air. Spesifikasi yang dimiliki sistem pendidikan ini antara lain adalah di mana murid dan guru/kiyai hidup bersama dalam suatu wadah pendidikan yang bersifat sepenuh hari. Elemen dasar suatu pesantren terlihat dari adanya : guru/kiyai, murid/santri, masjid, pondok, dan kitab-kitab Islam klasik (Dhofier,1982:44 ; Hasbullah,1996:47-49). Di antara lima elemen ini, peran sentralnya dipegang oleh Kiyai sebagai guru dan sekaligus pimpinan. Peran penting ini bahkan sangat menentukan bagi keberlanjutan pesantren itu sendiri, termasuk juga dalam menentukan materi-materi pelajaran yang diberikan, karena Kiyai memiliki otoritas penuh atas pesantren yang dipimpinnya. Otoritas ini seringkali juga disebabkan karena kepemilikan tunggal Kiyai itu sendiri atas pesantren tersebut. Tidak jarang suatu pesantren terpaksa tutup dengan meninggalnya Kyai yang memimpin pesantren itu sendiri, terutama bila regenerasi keulamaan Kyai itu gagal terwariskan.

Dikhotomi Madrasah dan Pesantren
Departemen Agama Republik Indonesia pada waktu terakhir telah menegaskan penggunaan terminologi pesantren, setidaknya sejak dibentuknya struktur baru di jajaran lembaga ini dengan nama Pekapontren (Pendidikan Keagamaan Pondok Pesantren). Sebutan pondok pesantren telah menggantikan istilah madrasah yang selama ini dikelola secara swasta, sedangkan istilah madrasah lebih ditujukan untuk menyebut sekolah agama yang “dikelola” (baca:diatur) oleh Departemen Agama sendiri, seperti Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah negeri atau swasta. Istilah pesantren, yang mengacu pada terminologi yang lazim digunakan oleh sistem pendidikan tradisional di daerah Jawa ini, kemudian digunakan untuk mengklassifikasikan madrasah-madrasah yang dikelola secara swasta oleh masyarakat. Istilah ini kemudian diseragamkan secara nasional, meskipun sistem pendidikan ini memiliki akar historis dan kultural yang berbeda-beda di setiap daerah.

Pesantren-pesantren seperti yang dikemukakan terakhir ini, oleh Departemen Agama diakui keberadaannya sebagai sistem pendidikan tradisional yang masih tetap mengakar di masyarakat Indonesia. Oleh karena itu Departemen ini merasa perlu untuk “campur tangan”, terutama dalam pengembangan dan pemberdayaannya dengan membentuk suatu struktur tersendiri yang khusus menangani pendidikan keagamaan pondok pesantren. Penanganan pondok pesantren yang terpisah dengan pendidikan agama yang langsung di bawah Departemen Agama (Madrasah Negeri) ini, setidaknya mengisyaratkan pembedaan perlakuan pemerintah atas kedua jenis lembaga pendidikan ini. Meskipun tidak untuk pengertian adanya campur tangan langsung oleh pemerintah atas sistem pendidikan yang dikembangkan oleh masyarakat, namun untuk memperoleh status yang dapat disejajarkan dengan Madrasah Negeri, terdapat beberapa persyaratan khusus yang diharuskan ada pada lembaga pendidikan swasta ini, seperti keharusan untuk menempatkan beberapa mata pelajaran yang disyaratkan ke dalam kurikulum pendidikannya.

Pesantren Salafiyah dan Khalafiyah
Selain itu, pihak Departemen Agama juga memberikan klassifikasi terhadap pesantren yang ada sesuai dengan bentuk dan model kurikulum yang dikembangkan, yaitu pesantren salafiah dan pesantren khalafiyah. Pembedaan kedua jenis ini didasarkan pada penerimaan pesantren terhadap unsur-unsur baru yang layaknya dikembangkan pada sistem pendidikan modern. Pesantren salafiyah adalah sistem pendidikan yang tetap bertahan dengan tradisi pendidikan lama (sorogan, weton atau halaqah) serta menggunakan secara konsisten kitab-kitab Islam klasik dan tidak memasukkan mata pelajaran umum ke dalam kurikulumnya. Sedangkan pesantren khalafiyah menerima hal-hal baru dalam sistem pendidikannya, menggunakan metode klassikal, dan disamping mata pelajaran lama yang dianggap masih relevan juga mengajarkan pengetahuan umum, bahkan membuka pendidikan umum di lingkungan pesantrennya sendiri. Jenis pesantren khalafiyah ini disebut juga sebagai pesantren modern (cf. Zul Asyri LA, 1990, (disertasi) : 87-89 dan 187).

Apa yang dikonsepsikan oleh Departemen Agama dengan salafiyah dan khalafiyah adalah pembedaan yang longgar antara pesantren yang dikelola secara tradisional dan modern. Konsepsi ini tidak sepenuhnya dapat dijadikan acuan untuk klassifikasi pesantren-pesantren yang ada di daerah. Departemen Agama secara gamblang telah menentukan sendiri apakah suatu pesantren termasuk salafiyah atau khalafiyah. Dari hasil pengamatan yang dilakukan di Sumatera Barat, dapat disimpulkan bahwa konsep salaf dan khalaf ini ternyata belum tersosialisasi dengan baik. Pengklassifikasian ini barulah sekedar untuk memudahkan pendataan terhadap madrasah dan pesantren dan tidak terlalu mempedulikan apakah pesantren itu termasuk salafiyah atau khalafiyah. Karena, bila yang dijadikan ukurannya adalah komitmen terhadap kitab-kitab salaf, maka hampir semua pesantren menggunakannya, namun bila ukurannya adalah metode halaqah dan klassikal, maka hampir semua pesantren juga telah telah memakaikan metode klassikal. Demikian juga bila kriteria khalaf ditentukan dengan masuknya mata pelajaran umum, ternyata untuk pesantren salafiyah, Departemen Agama sendiri justru telah menetapkan beberapa mata pelajaran umum yang harus masuk dalam kurikulumnya.

© Irhash A. Shamad.


Share this article :

Posting Komentar

Maklumat

Maklumat
 
Support : Pandani Web Design
Copyright © 2009-2014. Irhash's Cluster - All Rights Reserved
Template Created by Maskolis
Proudly powered by Blogger