Home » , » Perso-Islamic ; Kekuatan Kultural Dunia Islam

Perso-Islamic ; Kekuatan Kultural Dunia Islam

Written By Irhash A. Shamad on 12 Februari 2009 | 23.42

Rekonstruksi peristiwa masa lalu tentulah mempertimbangkan kebenaran fakta yang dapat diungkapkan dari realitas masa lalu, lebih dari itu pemilihan dimensinya akan selalu bertolak dari pertimbangan masa kini, terutama dalam melihat perspektif yang ditawarkan oleh masa lalu itu sendiri. Berbagai faktor metodologis tentunya juga sangat berperan, demikianpun sisi pandang yang digunakan. Pandangan kesejarahan konvensional dari sejarawan-sejarawan sebelum parohan abad ke dua puluh, misalnya, tidak diragukan telah menyajikan fakta-fakta masa lalu secara benar dari sudut kesejarahan, namun ternyata diskripsi-deskripsi mereka secara umum, pada gilirannya telah menyulut perang-perang yang berkepanjangan. Hal ini disebabkan oleh lemahnya pertimbangan ‘sisi pandang’ dalam mengamati masa lalu. Prognose dari perubahan sosial lebih banyak dilihat dari sudut politik dan kemiliteran. Sisi pandang politik dalam arti ‘nation’ dengan kekuatan-kekuatan militer yang mendukung ‘lapis atas’ masyarakat itu, dijadikan landasan teoritis, sementara riak-riak bawahnya hampir-hampir kurang teramati. Itulah sebabnya kenapa kemudian sejarawan-sejarawan berikutnya mulai menyadari dan mengalihkan sisi pandang itu kepada kekuatan-kekuatan sosial “lapis bawah” sebagai kekuatan yang berperan banyak dalam perubahan-perubahan yang terjadi, maka analisis sosial, budaya, ekonomi dan kekuatan rakyat kecil, pada akhirnya mulai disertakan dalam pengerjaan sejarah.

Dalam tulisan ini akan dikemukakan bahasan tentang realitas kebudayaan klassik Persia dan pertemuannya dengan Islam sebagai sebuah contigency yang berperan bagi pengembangan budaya Islam. Selama ini, dalam banyak penulisan sejarah tentang perkembangan budaya Islam lebih banyak dilihat dari aspek politik dan militer. Padahal sejarah penyebaran budaya Islam ke berbagai belahan dunia, justru lebih terlihat pada sisi kekuatan budaya ini.

Apa yang dikemukan mungkin untuk sementara akan dianggap sebagai asumsi –untuk tidak mengatakan sebagai hipotesis-, terlebih lagi selama ini dalam berbagai analisis, kehadiran unsur Persia sebagai sub-kultural yang berasimilasi dengan Islam, terutama dari visi politik dan keagamaan, selalu terlihat miring di mata dunia, apalagi bila dikaitkan dengan sekte Syi’ah serta gerakan fundamentalis Islam Iran yang pernah menjadi momok yang menakutkan. Demikianpun di banyak kalangan umat Islam, terutama penganut Sunny, di berbagai belahan dunia Islam, terdapat pandangan paradoks terhadap berbagai pemikiran Syi’ah yang kontroversial dan bahkan dianggap menyimpang dan keluar dari mainstream doktrin keislaman yang murni.

Tulisan ini tidaklah bermaksud mengemukakan analisa diseputar masalah politik dan paham keagamaan itu dalam melihat unsur Persia dengan alasan seperti yang dikemukakan terdahulu, akan tetapi lebih memfokus pada sisi kulturalnya yang mempengaruhi penyebaran kebudayaan Islam secara lebih mantap, terutama pada saat Syi’ah belum terasa mengkristal sebagai ideology politik yang kemudian baru mengental pada saat dinasti Syafawy berkuasa di Persia (1145-1732 (Azra, 1995). Unsur Persia dilihat sebagai satu kesatuan budaya –dan bukan kesatuan politik- yang untuk masa kemudian berakulturasi dengan Arab dan Islam. Saling konversi antara unsur budaya Persia dengan Arab dan Islam telah melahirkan satu unit budaya yang khas, dan malah dapat dikatakan luar biasa. Sehingga, karena itu, kemajuan Islam dalam berbagai lapangan ilmu pengetahuan dan seni, terutama di masa kekhalifahan Abbasiyyah tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan persoalan konversi ini.

Kawasan Kultural Persia
Persia, selain sebagai suatu kawasan politik yang luas dan besar di masa pra Islam, adalah juga merupakan kawasan cultural yang mewarisi pusat peradaban dunia dengan pengalaman sejarah yang tunggal. Wilayah kultural Persia kuno membentang antara dataran tinggi Iran sampai ke Asia Tengah, dan termasuk ke dalamnya Afghanistan, Tajikistan dan beberapa bagian Pakistan dan Kaukasus (cf. Nashr, 1998:78). Sebagai salah satu kawasan budaya, Persia telah mengalami perjalanan sejarah yang panjang, mulai dari berakulturasinya sistem budaya setempat dengan budaya-budaya luarnya, seperti India, Alexandria, Syria dan Yunani hingga menjadi satu kesatuan budaya yang unik. Malah kontaknya dengan Athena telah menyebarangkan tradisi keilmuan Yunani ke wilayah yang justru pada saat redupnya tradisi pendidikan Yunani sendiri atau tepatnya di masa kekaisaran Sasania di Persia (Nakosteen, 1996: 23). Namun tidak dapat pula diingkari bahwa, pada dasarnya, tradisi keilmuan ini sudah berlangsung lama, malah berabad-abad sebelum Sasania., Persia telah memperoleh kekayaan ilmu pengetahuan dari India dan Babilonia (lihat :Nakosten, 1996:23). Karena itulah menurut sementara penulis seperti Ibnu Khaldun misalnya, beranggapan bahwa melalui Persialah Yunani memperoleh pelajaran pertamanya mengenai ilmu pengetahuan.
Beberapa fakta tentang tradisi keilmuan Persia dapat kita lihat dari kegairahan para intelektual Persia diawal abad masehi, seperti kegiatan penterjemahan karya-karya Yunani di akademi Jundi Shapur terutama dalam bidang filsafat dan logika.

Terdapatnya perpustakaan-perpustakaan besar serta akademi-akademi seperti di Nisibis dan Jundi Shapur sendiri. Pusat-pusat ilmu pengetahuan lainnya juga banyak terdapat dalam khazanah kebudayaan Persia, seperti Beit Ardeshir, Ctesiphon dan lain-lain. Kebesaran akademi Jundi Shapur sangat masyhur terutama pada masa pemerintahan Anushirwan; disini dipadukan ilmu pengetahuan Yunani, Hindu, Yahudi, Syria dan Persia. Bahkan sebuah rumah sakit yang menjadi pusat studi kedokteran dijadikan model pada abad-abad selanjutnya. Ketika Islam masuk ke wilayah Persia telah terjadi kontak budaya antara Islam dan Persia, salah satu tradisi budaya yang dipertahankan oleh Islam untuk pertama kalinya ialah mempertahankan hidupnya universitas-universitas serta pusat-pusat ilmu pengetahuan Persia. Tradisi keilmuan Persia diadaptasi oleh Islam untuk kemudian dikembangkan lebih jauh dengan semangat Al-Qur’an. Demi kepentingan pengembangan ilmu pula, para intelektual serta juru terjemah dipelihara oleh Islam. Kondisi inilah yang pada akhirnya menjadi jembatan menuju abad keemasan Islam.

Persia Sebagai Kawasan Budaya Islam
Kontak budaya antara Persia disatu pihak dengan Islam dan Arab di pihak lain, telah melahirkan beberapa kemajuan besar dalam lapangan kebudayaan untuk kedua belah pihak. Hasil perkawinan Perso-Islamic ini telah memberi kontribusi terbesar bagi dunia ilmu pengetahuan dan peradaban. Mungkin terlalu jauh kalau kita mengatakan bahwa Persia dengan latar belakang budayanya telah berperan besar terhadap kemajuan peradaban Islam, karena ternyata bahwa tidak sedikit pula Persia mengadopsi berbagai aspek budaya Islam, dan --untuk beberapa bagian tertentu-- ternyata norma-norma kehidupan masyarakat Persia yang menyusup ke dalam Islam – untuk beberapa pandangan- dapat dianggap sebagai fenomena yang ikut mendorong kejatuhan kekuatan politik Islam (K. Ali, 1996:112).

Namun semua itu jauh lebih kecil bila dibanding dengan keunggulan budaya yang dihasilkan oleh konversi Perso-Islamic yang telah menciptakan jembatan bagi perkembangan dan penyebaran secara luas berbagai aspek budaya Islam lainnya. Melalui perpaduan Perso – Islamic lah Islam menyeruak berbagai batasan budaya, bahasa, etnis dan lain-lain dalam penyebarannya ke dunia timur. Tradisi-tradisi yang lahir dari perpaduan ini telah pula menyatukan berbagai variasi budaya lokal dan bahkan melahirkan tradisi-tradisi budaya baru di dunia timur. Kita sebut misalnya, kekuatan Perso-Islamic yang masuk ke India ternyata telah mampu merobah tradisi Hindu dan memunculkan kebudayaan Islam Shindi, Punjabi, Gujarati, Kashmiri/Bengali (Nasr, 1989 ; 78). Bahasa Urdu terlahir dari perkawinan antara bahasa Parsi dan India. Bahasa Arab dan Parsi ternyata dalam kurun waktu tertentu, pernah menjadi bahasa utama dunia intelektual Melayu di Nusantara, dimana tradisi Perso-Islamic disini telah mampu memecah ”ruang sempit” tradisi intelektual Hindu Budha serta memperkaya khazanah bahasa Melayu kuno. Inilah titik awal tradisi Melayu tengah yang dengan keluasan bahasa serta dinamika intelektualnya telah memapankan bahasa, bahkan tulisannya, hingga beberapa abad, bahkan sampai saat ini, seperti apa yang kita kenal dengan bahasa Indonesia.

Apa yang kita kemukakan sebenarnya adalah sebahagian kecil fakta kesejarahan tentang Perso-Islamic sebagai suatu kekuatan kultural di dunia Islam. Namun bila kita mau lebih membuka naskah-naskah tradisi keilmuan Islam masa lalu, maka kita akan menemukan banyak nama-nama penulis literatur berbahasa Arab yang berasal dari Persia, demikianpun dalam bahasa Persia sendiri. Dan dalam beberapa literatur tertentu hampir sulit diidentifikasi sebagai Arab atau Persia, karena kentalnya perpaduan Perso-Islamic ini. Yang dapat dipastikan dari fakta ini ialah kombinasi antara keduanya itulah yang mengantarkan Islam ke gerbang zaman keemasannya.
Artikel sederhana ini diharapkan -paling tidak- memunculkan sebuah hipotesis yang mungkin dapat diteliti lebih jauh pada masa yang akan datang.
Wallahu a’lamu bish-shawab.

© Irhash A. Shamad


Share this article :

Posting Komentar

Maklumat

Maklumat
 
Support : Pandani Web Design
Copyright © 2009-2014. Irhash's Cluster - All Rights Reserved
Template Created by Maskolis
Proudly powered by Blogger