TERBARU

Sejarah Tulisan : Asal Usul Tulisan Arab

Written By Irhash A. Shamad on 24 Februari 2009 | 18.17

Perjalanan panjang tulisan phonetis yang berawal dari daerah yang pertama menggunakan alphabet, pada dasarnya telah menjadikan tulisan ini terbuka bagi perubahan dan pembaharuan secara luas. Perubahan dan pembaharuan bentuk pola perlambangan, biasanya sangat ditentukan oleh kenyataan bahwa perlambangan yang didasarkan pada bunyi ucapan (phonetic) lebih leluasa untuk digunakan kepada bentuk-bentuk yang bervariasi serta disesuaikan dengan kondisi dan tempat di mana ia dikembangkan.

Rumpun Sinai dan Tulisan Semit Utara
Pada tulisan terdahulu telah dikemukakan bahwa alphabet Sinai telah memperlihatkan perkembangannya di dua tempat yaitu jazirah Arab bagian utara, Asia Kecil dan jazirah Arab bagian selatan. Perkembangan alphabet Sinai ke bagian utara memunculkan beberapa tulisan yang digunakan oleh mayoritas masyarakat pesisir Laut Tengah seperti tulisan Ibrany dan Siryani, di jazirah Arab belahan utara lahir pula tulisan Tadmury dan tulisan Nabthy dari rumpun tulisan Aramia. Bahkan menurut sementara ahli tulisan Devanagari kuno yang digunakan oleh masyarakat Asia Selatan (India) juga berasal dari rumpun alphabet Semit utara ini. Tulisan Devanagari ini berkembang bersama agama Budha ke beberapa wilayah di kawasan Asia selatan dan tenggara. Istilah Semit Utara di sini digunakan untuk menyebut tulisan-tulisan yang berkembang dari alphabet Sinai. Sementara perkembangan rumpun alphebet Sinai di bagian utara ini diperkirakan adalah tulisan Aramia (Aramaic) atau tulisan yang digunakan di Palestina, Syria dan Iraq. Akan tetapi kita tidak menggunakan istilah Aramia, karena Aramia bukan satu-satunya terminal bagi perkembangan di utara ini.

Orang-orang Nabthy (Nabatean), walaupun pada abad-abad sebelum Masehi di bawah pengaruh Romawi, malah orang-orang Nabthy ikut melakukan invasi ke wilayah Arab, namun secara kultural dan geografis, mereka sebenarnya termasuk suku bangsa Arab asli (Arab Baidah). Mereka pada awalnya adalah sekelompok imigran yang datang dari Transyordania dan menempati wilayah Edomite, Petra. Dari sini mereka meluaskan kekuasaan ke wilayah-wilayah lainnya. Sehingga bangsa Nabthy menjadi sebuah kekuasaan besar yang disebut dengan Kerajaan Anbath. Kerajaan ini memperoleh kejayaan di masa pemerintahan dipegang oleh Haritsats (tahun 9 sM.-40 M.) Pada saat ini kekuasaan mereka makin meluas bahkan hampir mencakupi seluruh dataran jazirah Arabia. Kerajaan Anbath di puncak kejayaannya telah meninggalkan warisan-warisan budaya yang bernilai tinggi. Ini dapat dilihat dari bekas-bekas peradaban Anbath yang terdapat di kota Petra, seperti bangunan-bangunan megah dan spektakuler yang menggambarkan bahwa Petra, sebagai pusat kekuasaan dan sekaligus pusat peradaban Anbath, telah maju dalam berbagai lapangan. Hal yang lebih penting dari itu bagi kita ialah bahwa kebudayaan Nabthy telah ikut berperan dalam membidani kelahiran tulisan Arab.

Orang-orang Nabthy dalam pergaulan sehari-hari menggunakan bahasa Arab, akan tetapi huruf-huruf yang mereka gunakan lebih cendrung berkarakter Aramia. Bentuk-bentuk yang mereka kembangkan ini akhirnya melahirkan suatu jenis tulisan sendiri yang kemudian dikenal dengan tulisan Nabthy. Pada abad pertama Masehi, saat kerajaan ini meluas secara pesat, semua hasil budaya mereka ikut memperoleh perkembangan. Tulisan Nabthy digunakan secara resmi di hampir seluruh wilayah kekuasaannya.

Tulisan Arab Selatan
Di wilayah-wilayah kerajaan Arab selatan, seperti kerajaan Saba’, Minaiyah, Himyar dan Yaman, semenjak waktu yang lama telah menggunakan sejenis tulisan yang berbeda dengan tulisan yang berkembang di jazirah Arab bagian utara, meskipun wilayah selatan ini juga mendapatkan pengaruh dari alphabet Sinai seperti telah diuraikan terdahulu. Tulisan ini kemudian dikenal dengan tulisan Musnad. Dari beberapa penelitian yang dilakukan, telah disimpulkan bahwa tulisan Musnad telah berkembang secara luas pada masyarakat Arab kuno di wilayah-wilayah yang membentang antara Yaman dan Syria di belahan utara jazirah ini. Ini dibuktikan dengan beberapa penemuan tertulis di daerah Delos (Yunani) dan Gaza, Mesir yang juga menggunakan tulisan yang mirip dengan tulisan Musnad (lihat : Zainuddin,1974:297 ; Abu Shalih Alfi (tt):20). Perkembangan ini terlihat pada beberapa cabang tulisan yang muncul mengikuti karakter tulisan Musnad, seperti pada tulisan yang digunakan oleh Bani Lahyan di bagian utara Makkah, tulisan yang digunakan oleh masyarakat Diyar Tsamud sekitar tahun 715 sM. Dan di wilayah bukit Shafa (bagian dari pegunungan Druze) di timur negeri Syam (Syria sekarang).

Ketiga tulisan yang merupakan perkembangan dari tulisan Musnad ini kemudian dinamai masing-masing dengan Lihyani, Tsamudy, dan Shafawy. Akan tetapi tidak diketahui perkembangan lebih lanjut dari ketiga jenis tulisan itu.

Penggabungan Tulisan-Tulisan Semit
Dari uraian di atas kita simpulkan bahwa di wilayah jazirah Arab setidaknya terdapat dua jenis tulisan yang berpengaruh secara dominan, yaitu : tulisan Nabthy dari kelompok tulisan Semit utara dan tulisan Musnad dari jazirah Arab selatan. Hal yang selalu menjadi perdebatan bagi kalangan ahli ialah : mana di antara kedua tulisan itu yang lebih berperan dalam pembentukan tulisan Arab seperti yang berkembang hingga saat ini Beberapa ahli tentang Arab selatan (Klasser, Neckel, dan Homel) cendrung berpendapat bahwa tulisan Musnad adalah bentuk tulisan Arab tertua ( Zainuddin, 1974). Flinder Patri alam tulisannya The Formation of The Alphabet (1912), malah berkesimpulan sebaliknya. Ia mengatakan bahwa tulisan Arab bukan berasal dari tulisan Musnad, karena tulisan Musnad telah musnah setelah perkembangannya di Himyar. Sejarawan muslim seperti Ibnu Khaldun dan Ibnu Khallikan sepakat mengatakan bahwa Musnad adalah asal-usul tulisan Arab (Ibnu Khaldun,1957:418; Ibnu Khallikan,1948:346).

Semenjak beberapa abad sebelum Masehi kota Hirah telah berperan besar dalam pengembangan tulisan-tulisan Semit. Di kota ini telah berkembang beberapa jenis tulisan yaitu : tulisan Nabthy, dari kelompok tulisan Aramia, tulisan Kindy yang berasal dari kota Kindah (selatan kota Hirah), dan tulisan Strangeli. Tulisan yang disebutkan terakhir ini adalah perkembangan dari tulisan Siryani. Peran yang lebih besar telah diberikan oleh kerajaan Anbath pada waktu Hirah menjadi wilayah kekuasaan kerajaan itu. Tulisan Nabthy sangat umum dipakai oleh orang-orang Hirah dibanding dengan tulisan-tulisan lainnya. Menurut beberapa peneliti Arab, perkembangan tulisan Musnad di Himyar, kemudian di bawa ke Hirah pada masa kerajaan Manazirah (268 – 628 M.). Semenjak waktu inilah bergabungnya pemakaian Musnad, Nabthy, Kindy dan Strangeli di kota Hirah.

Pengenalan Tulisan oleh Orang Hijaz
Pada abad- abad sebelum kelahiran agama Islam, di wilayah Hijaz, pemakaian tulisan boleh dikatakan tidak umum. Orang Hijaz tidak mementingkan komunikasi tulis, tetapi lebih mengutamakan kefasihan lidah dan kekuatan hafalan. Pewarisan informasi di kalangan dan antar kabilan Arab disampaikan melalui penuturan lisan, demikianpun tradisi tutur dipelihara dalam hafalan-hafalan mereka. Oleh karena itu di wilayah ini tidak banyak di temukan peninggalan-peninggalan tertulis.

Dari periwayatan yang kita terima tentang kehidupan masyarakat Arab pra-Islam antara lain ialah adanya suatu tradisi bertutur sejenis Pekan Raya Sastra (sauq). Pekan Raya ini merupakan ajang pertemuan para sastrawan untuk saling mengadu kekuatan hafalan serta kefasihan lidah mereka. Kegiatan ini dilaksanakan sekali dalam setahun dan diikuti oleh utusan kabilah-kabilah setempat. Tempat penyelenggaraan kegiatan ini antara lain yang lebih populer, yaitu di Ukaz dan dikenal dengan Sauq al-‘Ukaz, juga ditempat-tempat lainnya seperti Zulmajaz dan al-Majanah.

Hal yang perlu kita catatkan dari tradisi ini ialah bahwa setiap syair yang dianggap terbaik akan memperoleh penghargaan untuk “digantung” di Ka’bah setelah terlebih dahulu “ditulis dengan tinta emas”. Karya terbaik itu disebut dengan al-Mu’allaqat atau al-Muzahhabat. Akan tetapi fakta tentang kemajuan tradisi menulis di kalangan bangsa Arab pada waktu ini kurang mendukung, karena disamping tidak ditemukan nya manuskrip asli mu’allaqat itu juga karena ketiadaan sumber-sumber tertulis sejenis yang ditemukan di wilayah Hijaz ini. Kenyataan ini menjadi lebih sukar untuk melakukan identifikasi jenis dan bentuk tulisan yang digunakan, demikianpun untuk menentukan kapan tradisi menulis ini bermula di wilayah Hijaz dan dari tulisan apa ia mendapat pengaruh. C. Israr (1985:42) mengemukakan bahwa tulisan yang digunakan untuk penulisan al-mu’allaqat ialah tulisan jenis Nabthy yang berbentuk murabba’ (persegi). Namun fakta ini sedikit membingungkan karena jenis murabba’ yang huruf-hurufnya berkarakter persegi atau disebut juga dengan muzawwa adalah turunan dari tulisan Strangeli yang berasal dari Siryani (yang juga berkembang di Hirah). Sedangkan Nabthy lebih cendrung berkarakter bundar (mudawwar/ muqawwar).

Suatu hal yang agaknya telah disepakati oleh para ahli bahwa tulisan yang digunakan oleh orang Hijaz adalah berasal dari Hirah. Pada bagian terdahulu telah dikemukakan bahwa Hirah adalah terminal bagi beberapa jenis tulisan Semit, baik Semit utara maupun Semit selatan. Suatu riwayat yang dikemukakan oleh al-Baladzury agaknya juga tidak banyak membantu, karena ia hanya lebih menekankan pada tokoh yang membawa tulisan dari Hirah ke Hijaz tanpa keterangan tentang jenis tulisan yang dibawa. Al-Baladzury mengemukakan bahwa salah seorang kerabat dekat penguasa Daumatul Jandal Bernama Bisyr bin Abd. Malik al-Kindy telah belajar tulisan di Hirah. Beberapa waktu kemudian ia ke Makkah. Kepandaian menulis yang dimiliki oleh Bisyr ini kemudian mendapat perhatian dari Syofyan bin Umayyah dari suku Quraisy (Zainuddin,1974:306). Dengan demikian Bisyr dianggap sebagai orang pertama yang mengajari orang-orang Makkah menulis dan membaca, malah ia juga telah mengajari orang-orang Thaif, Diyar Mudhar dan Syam. Dari apa yang dikemukakan dapat diketahui bahwa orang-orang Makkah baru mengenal tulisan pada sekitar akhir abad ke 6 Masehi (semasa dengan Syofyan bin Umayyah).

Beberapa penemuan tertulis (inskripsi) yang dijumpai di berbagai tempat di luar wilayah Hijaz seperti di Ummul Jamal dan an-Namarah. Inskripsi yang ditemukan di Ummul Jamal (Syria) menggunakan tulisan Nabthi Mutaakhir dengan bahasa Nabthy Aramia serta memuat informasi tentang wafatnya raja Tanukh : Fihr bin Sala. Inskripsi ini diperkirakan ditulis pada tahun 250 M. Sedangkan inskripsi yang ditemukan di daerah Nammarah (Hurran/Syria) berisi tentang Imriil Qys, raja Arab dan tentang kabilah Nazar dan Usad. Inskripsi Nammarah menggunakan bahasa Arab (lahjah Quraisy) dan diperkirakan menggunakan jenis tulisan Nabthy Mutaakhir dan ditulis sekitar tahun 228 M.(Zainuddin,1974: 304). Demikianpun inskripsi Hijr Zabad yang ditemukan di daerah Khirbah (Zabad) yang menggunakan bahasa Yunani, Siryani dan Nabthi Mutaakhir (Arab kuno) diperkirakan ditulis pada tahun 511 M., dan inskripsi Houran yang terletak di pintu sebuah geraja di Luja yang ditulis dengan Naskhi kuno pada tahuan 568/9 M. Mengamati tulisan yang terdapat pada inskripsi-inskripsi tersebut dapat diperkirakan bahwa tulisan Arab berakar pada jenis tulisan itu, karena kemiripan huruf-hurufnya dengan tulisan Arab yang ada sekarang.

Bila inskripsi Ummul Jamal dan an-Namarah adalah bukti bagi perluasan dan perkembangan tulisan-tulisan yang terdapat di Hirah pada abad ke-3 M., maka dengan itu dipahami bahwa Hijaz pada waktu itu terlepas dari jangkauan perkembangan tulisan-tulisan Hirah. Hal itu tentunya bila riwayat Bisyr bin Abd. Malik yang dikemukakan terdahulu diterima sebagai titik bermulanya pengenalan tulisan oleh orang-orang Makkah. Sampai saat ini belum kita dapatkan keterangan yang lebih pasti tentang kapan dimulainya penggunaan tulisan di Makkah sendiri atau dengan kata lain kapan orang-orang Quraisy mulai mengenal tulisan. Namun demikian keterangan-keterangan tentang pengaruh Hirah bagi perkembangan tulisan-tulisan di wilayah Hijaz (Makkah dan Madinah) agaknya tidak perlu diragukan lagi.

Peninggalan-peninggalan tertulis dari masa-masa awal Islam seperti coretan-coretan yang di temukan di bukit Sala (Madinah), demikianpun inskripsi yang terdapat pada dam (bendungan) yang dibangun oleh Mu’awiyyah dan beberapa surat Rasulullah kepada raja-raja di sekitarnya, telah pula memperkuat dugaan tentang pengaruh Hirah bagi pertumbuhan tulisan Arab hingga ke masa awal Islam.
Wallahu a’lam bish-shawab

© Irhash A. Shamad.


Elit Politik Lokal dan Kerusakan Sistem Internal Di Daerah ; Sumatera Barat di Masa Orde Baru

Written By Irhash A. Shamad on 23 Februari 2009 | 12.22

Pendahuluan
Diberlakukannya Undang-Undang No.5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa (UUPD) merupakan upaya penyeragaman sistem pemerintahan di masa Orde Baru, namun pelaksanaannya lebih dirasakan sebagai upaya detradisionalisasi di tingkat lokal. Di Sumatera Barat, pemberlakuannya telah menimbulkan berbagai ekses negatif karena sangat kontroversi dengan tradisi lokal. Program ini, secara mendasar dan drastis, telah merombak tatanan sosial tradisional yang telah mapan dan berakar cukup lama. Hak-Hak prerogatif dari kepemimpinan adat dalam struktur kepemimpinan nagari yang selama ini berakar dalam tradisi kultural masyarakat, menjadi termarjinalkan dengan dijalankannya sistem pemerintahan formal secara efektif sampai ke tingkat bawah. Marjinalisasi ini pada dasarnya telah meruntuhkan penyangga kelestarian budaya lokal, sekaligus berakibat pula terhadap rusaknya berbagai sistem internal di daerah. Karenanya program ini lebih terlihat sebagai intervensi politik pusat terhadap daerah ketimbang keinginan-keinginan untuk memacu pembangunan masyarakat di wilayah pedesaan.

Intervensi politik sebagai dikemukakan itu telah memperlihatkan kecendrungan negatif dari model hegemoni pemerintahan pusat atas daerah dan sekaligus telah memperlemah resistensi kebudayaan lokal sendiri. Ironinya adalah program ini justru dijalankan melalui tangan-tangan pemimpin regional sendiri yang tanpa ada kemampuan –dan mungkin kemauan-- untuk melindungi identitas, kepentingan dan kemandirian etnis mereka sendiri. Sehingga sistem kepemimpinan ideal dan demokratis yang semenjak lama telah diterapkan pada sistem kepemimpinan nagari dengan pola bottom-up, akhirnya menjadi rusak akibat dileburnya nagari menjadi desa-desa dengan sistem kepemimpinan yang berorientasi top-down. Perubahan struktural ini pada gilirannya telah membawa implikasi terhadap berbagai aspek dari sistem sosial di daerah ini. Hal yang dianggap dilematis di sini ialah kerusakan sistem internal disebabkan oleh perubahan prilaku politik kepemimpinan daerah, sementara perubahan prilaku itu sendiri sebenarnya juga adalah akibat dari telah melemahnya sistem internal itu sendiri. Keadaan ini terlihat sebagai "lingkaran setan" yang saling merupakan sebab dan akibat.

Dari kenyataan-kenyataan yang dialami Sumatera Barat sebagai bagian dari sistem pemerintahan nasional serta beberapa permasalahan kultural yang dihadapinya, dapat diasumsikan bahwa kerusakan sistem internal dan nilai-nilai sosial masyarakat di daerah ini setidaknya sangat ditentukan oleh dua hal, pertama : model hegemoni sistem politik pusat yang terlalu kuat terhadap daerah, sehingga tidak tersedia “ruang gerak” bagi kreatifitas lokal untuk menjaga kemandirian etnik mereka. Kedua : faktor komitmen elit kepemimpinan daerah sendiri dalam menyatukan peran fungsionalnya sebagai wakil pemerintahan pusat di daerah, dengan peran moralnya sebagai bahagian dari sistem internal daerah sendiri.

Menyangkut perubahan kultural dari sistem internal di Sumatera Barat seperti yang digambarkan itu, sejumlah pertanyaan dapat dimunculkan, diantaranya : bagaimana hubungan Pusat dan Daerah selama pemerintahan Orde Baru, model hegemoni yang dijalankan, serta kaitannya dengan proses kerusakan sistem dan nilai tradisional di daerah ini ? ; sebegitu jauh, apakah model hegemoni itu memang tidak menyediakan ruang bagi kreatifitas lokal untuk mengembangkan dan mempertahankan tradisi kulturalnya sendiri ? ; apakah perubahan sistem internal dan nilai-nilai sosial di Sumatera Barat dapat dilihat sebagai akibat dari hegemoni politik pusat semata atau adakah faktor-faktor internal yang juga ikut berperan? ; sejauhmanakah resistensi sosial terhadap perubahan-perubahan struktural yang terjadi ? ; dan apakah bentuk upaya yang dilakukan oleh elit kepemimpinan daerah dalam mengantisipasi kebijaksanaaan politik pusat, khususnya terhadap kebijaksanaan yang dianggap kontroversi dengan latar belakang sosial-kultural daerah ini ?

Pembahasan di seputar masalah elit sosial dan perubahan otoritas kepemimpinan tradisional di Sumatera Barat telah menjadi bahasan para ahli dalam beberapa dekade terakhir. Keberlanjutan otoritas kepemimpinan tradisional serta semangat demokrasi yang menjiwai sistem kepemimpinan itu, dasar ekonomis dari nagari dan kepemimpinannya, serta keterbukaan adat dalam menyerap perubahan-perubahan, telah memungkinkan sistem otoritas tradisional ini bertahan dan menyesuaikan diri dengan tuntutan birokrasi modern (Imran Manan, 1984 dan 1995). Latar belakang realitas sosial pasca PRRI yang "luluh lantak" secara politis dan ekonomis, telah mendorong elit politik di daerah, untuk memberi prioritas lebih pada 'pengembalian harga diri' dengan menempatkan faktor pertumbuhan ekonomi sebagai sasaran utama program yang dijalankan (Mestika Zed, 1998). Prilaku politik yang ditunjukkan oleh elit politik daerah di masa awal Orde Baru adalah merupakan bagian dari kepentingan regional mereka untuk terlepas dari tekanan politik pemerintah pusat (Ikhlasul Amal, 1982). Prilaku politik mana sekaligus merupakan gambaran dari pudarnya karakteristik intelektual Minangkabau yang menjadi ciri dinamika sosial kultural pada waktu-waktu sebelumnya. Perubahan ini disebabkan oleh kuatnya jaringan sentralisasi kekuasaan dan proses birokrasi yang kental dari rezim Orde Baru (Taufik Abdullah, dalam : Mestika Zed,1992 ; Ikhlasul Amal, 1992).

Pembahasan tentang kerusakan-kerusakan sistem internal di Sumatera Barat pasca UUPD 1979, setidaknya dapat dihubungkan dengan kesimpulan-kesimpulan tersebut. Namun untuk menentukan causal factor dari kerusakan itu sendiri, hemat penulis, penekanan terhadap faktor kekuatan eksternal (pemerintah pusat) saja, dirasakan tidak memadai, tanpa melihat faktor peran moral elit politik lokal sendiri, terutama bagaimana mereka menjalankan peranan sebagai perpanjangan tangan pemerintahan pusat di daerah, sementara mereka sekaligus adalah bagian dari sistem internal daerah sendiri. Karena itu, di sini penulis akan melihat faktor-faktor internal lokal itu sebagai salah satu faktor yang tak kurang pentingnya dalam perubahan-perubahan yang terjadi. Elit politik lokal, dilihat dari perspektif lokal adalah 'agency' yang juga memiliki kekuatan perubahan, terutama pada sisi ekspresi moral mereka dalam menampilkan prilaku politik dan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dikeluarkannya, terutama yang terkait dengan terpinggirkannya sistem kepemimpinan tradisional Nagari di Sumatera Barat.

Nagari sebagai Interest Sosial Masyarakat Minangkabau

Dalam struktur masyarakat tradisional di Minangkabau, nagari merupakan kesatuan sosial kultural yang holistik dengan berbagai perangkat tatanan sosial budaya. Selain itu ia juga merupakan kesatuan sosial genalogis dan territorial yang otonom, baik secara ekonomis, politis, maupun kultural. Secara genealogis, setiap nagari di Minangkabau terdiri dari kesatuan-kesatuan sosial seperti : samande (seibu) sebagai kesatuan sosial yang terkecil, kemudian saparuik (senenek), dan sasuku atau sekaum sebagai kesatuan genealogis tertinggi. Yang disebut terakhir ini merupakan kesatuan-kesatuan yang menjadi persyaratan utama terbentuknya sebuah nagari, dimana setiap nagari, sekurang-kurangnya terdiri dari empat suku.

Untuk menjaga kelangsungan jaminan ekonomi anak nagari, maka setiap kesatuan sosial nagari dilengkapi dengan hak properti atas tanah secara bertingkat, yaitu antara lain: ditingkat nagari disebut dengan hak ulayat nagari, ditingkat suku dengan hak ulayat suku, dan ditingkat kaum disebut dengan hak ulayat kaum. Hak ulayat ini merupakan kekayaan kolektif masing-masing tingkat yang dijaga menurut ketentuan adat. Kemandirian suatu nagari juga ditentukan oleh terpenuhinya beberapa persyaratan yang ditentukan seperti adanya: balai (balairung adat), musajik (mesjid), tapian (tempat pemandian), labuah (jalan raya), dan galanggang (gelanggang).

Hirarki kepemimpinan sosial masyarakat suatu nagari di Minangkabau juga dibentuk secara bertingkat berdasarkan aspek genealogis (suku) itu. Nagari sebagai organisasi politik tertinggi, kepemimpinannya dipegang seorang penghulu yang dipilih secara primus interpares di antara penghulu-penghulu suku yang ada.

Nagari, selain sebagai kesatuan genealogis, juga merupakan suatu kesatuan masyarakat hukum teritorial. Ia membawahi kampung-kampung sebagai unit teritorialnya, yang adalah juga merupakan unit genealogis. Setiap kampung dalam nagari dipimpin oleh seorang Tuo Kampuang, yang adakalanya juga sekaligus sebagai penghulu pada sukunya. Tuo Kampuang dan penghulu-penghulu suku yang ada duduk bersama dalam pemerintahan nagari dan secara bersama pula membicarakan serta memutuskan berbagai persoalan anak nagari, terutama yang menyangkut ketertiban, keamanan dan kesejahteraan mereka. Lembaga penghulu ini disebut dengan Kerapatan Adat Nagari .

Efektifitas dari mekanisme kepemimpinan nagari yang demokratis dan dasar sosiologis, ekonomis dan politis seperti yang dikemukakan itu, menjadikan otoritas tradisional ini tetap dipertahankan sebagai identitas kultural masyarakat di daerah ini. Resistensi sosial akan menguat, manakala muncul tantangan luar yang berupaya untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan fungsi sistem kepemimpinan nagari itu . Dalam kaitan ini, faktor birokrasi politik supra nagari (pemerintah daerah)--terutama setelah diperkenalkannya sistem birokrasi modern— sangat menentukan bagi keberadaan otoritas tradisional ini, karena berbagai kepentingan sistem politik supra nagari itu sangat mungkin akan berseberangan dengan realitas kultural tradisional masyarakatnya.

Elit Politik Lokal dan Eksistensi Nagari di Masa Orde Baru

a. Pemulihan Internal dan Pengukuhan Sistem Nagari

Sumatera Barat di awal Orde Baru dipimpin oleh salah seorang putra daerah, Harun Zain. Ia adalah seorang ekonom sipil yang tidak memiliki basis sosial di daerah ini, sementara kondisi daerah yang "terpuruk" akibat PRRI sangat memerlukan penanganan yang tepat. Namun demikian, program-program yang ia jalankan dalam rangka pemulihan kondisi sosial dan politik masyarakat di daerah ini ternyata berhasil menciptakan kerangka-kerangka fondasi-fondasi yang diperlukan sebagai landasan pembangunan ekonomi selanjutnya.

Faktor keberhasilan itu, selain ditentukan oleh strategi dan pendekatan yang baik terhadap masyarakat, juga sangat diuntungkan oleh adanya hubungan simbiosis antara daerah dan pemerintah pusat di awal pemerintahan rezim ini ; daerah membutuhkan bantuan dana pembangunan dari pemerintah pusat, sementara pusat sendiri memerlukan dukungan suara rakyat di daerah untuk mendapatkan legitimasi atas kekuasaannya. Karena itu, untuk upaya pemulihan kondisi perekonomian yang ia programkan, yang diperlukan hanya membangun appeal politik ke pusat kekuasaan, antara lain dengan cara meyakinkan rakyat di daerah ini untuk memberi dukungan kepada kekuatan politik Orde Baru sembari membenahi kehidupan ekonomi mereka. Harun Zain dinilai berhasil membangun kepercayaan pemerintah pusat yang ditandai dengan keberhasilannya menggaet dana pembangunan untuk pembangunan prasarana-prasarana yang sangat diperlukan sebagai fondasi pembangunan perekonomian selanjutnya . Sebagai imbalannya daerah inipun telah menyumbang suara terbanyak untuk Golongan Karya pada Pemilu 1971.

Beberapa program pemulihan internal telah dilakukan di masa awal kepemimpinannya ini. Pada tahun 1966 didirikan Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM). Meskipun organisasi ini pada pembentukan awalnya ditujukan untuk membersihkan kalangan ninik-mamak dan penghulu adat dari unsur partai komunis, namun tak kurang, masyarakat berharap bahwa lembaga ini akan dapat membangkitkan kembali identitas kultural mereka yang telah terabaikan semenjak Orde Lama. Kegairahan masyarakat mulai bangkit kembali. Beberapa kali seminar tentang adat dan budaya daerahpun mulai kembali diselenggarakan, setelah lebih dari sepuluh tahun sebelumnya terhenti .

Pada tahun 1968, untuk mengantisipasi kekosongan peraturan perundang-undangan tentang pemerintahan terbawah, pemerintah daerah mengeluarkan Keputusan tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari (SK.No.015/GSB/1968). Dengan keputusan ini, sistem pemerintahan nagari kembali dikukuhkan sebagai upaya penyelamatan sistem internal dari intervensi kekuatan eksternal seperti yang terjadi di daerah-daerah lain.
Meskipun terdapat sejumlah perbedaan dari sistem pemerintahan Nagari dengan sistem pemerintahan Nagari tradisional, namun tindakan penyelamatan yang dilakukan oleh pemerintah daerah Sumatera Barat pada waktu ini, setidaknya telah memberikan kembali hak-hak politik rakyat nagari serta hak untuk mengatur dan menyelenggarakan pemerintahan nagari. Pemerintahan Nagari ditegaskan kembali dalam rumusan S.K. itu sebagai berikut :
"Pemerintah Nagari adalah penguasa Nagari jang memimpin rakjat Nagari dengan membuat dan melaksanakan peraturan dan keputusan-keputusan Nagari, menjelenggarakan segala peraturan perundangan dari Pemerintah tingkat atasan serta usaha-usaha lainnja jang ditudjukan untuk mewudjudkan masjarakat adil dan makmur berdasarkan Pantja Sila.

Pada tahun 1974 Pemerintah Daerah kembali mengeluarkan Keputusan tentang Pokok-Pokok Pemerintahan nagari dalam Propinsi Daerah Tk.I Sumatera Barat. SK yang terakhir ini tidak banyak perbedaan dengan SK sebelumnya, namun posisi Kerapatan Nagari malah semakin diperkuat. Alat perlengkapan nagari sebagai pemerintahan nagari yang semula terdiri dari tiga unsur, yaitu : Wali Nagari, Dewan Perwakilan Rakyat Nagari dan Kerapatan Nagari, kini menjadi dua unsur, yaitu : Wali Nagari dan Kerapatan Nagari yang dinyatakan secara tegas bersama-sama merupakan Pemerintahan Nagari . Pengaturan ini semakin memperkuat posisi Kerapatan Nagari sebagai lembaga legislatif yang tidak lagi diketuai oleh Wali Nagari.

Upaya pemulihan internal seperti disebutkan terlihat lebih berorientasi sebagai "pengobat luka lama" ketimbang menawarkan resistensi kultural masyarakat di daerah. Ini dapat dilihat dari gagasan mendirikan LKAAM sebagai organisasi komunitas, yang sebenarnya lebih pada pertimbangan kepentingan pemerintah dari pada kepentingan komunitas itu sendiri. Berbagai seminar yang diselenggarakan, ternyata juga tidak banyak menghasilkan formula-formula bagi solusi kultural di daerah ini, karena wacana-wacana yang dikembangkan dalam seminar itu tidak terlalu menukik ke persoalan-persoalan esensial yang seharusnya menjadi interest utama pada komunitas. Demikian juga dengan pengukuhan sistem nagari yang semula dirasakan oleh masyarakat sebagai kembalinya hak-hak budaya dan politik rakyat yang sebelumnya terabaikan, namun kemudian mulai mendapat ganjalan oleh berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pusat.

Kemenangan kekuatan politik pemerintahan Orde Baru di Pemilu pertama 1971 secara nasional telah mempengaruhi kebijakan-kebijakan politik selanjutnya, terutama sekali terhadap penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Pada priode kedua kepemimpinan Harun Zain, beberapa kecendrungan intervensi pemerintahan Pusat terhadap daerah mulai pula memperlihatkan bentuknya. Ini ditandai dengan dikeluarkannya beberapa edaran Mendagri tentang pemekaran/pemecahan dan penyatuan desa, yaitu antara lain: No. Pem.2/3/35 tanggal 8 September 1976, No. Pem.2/1/14 tanggal 31 Januari 1977 dan penegasan terhadap surat-surat edaran itu No. Pem.2/2/29 tanggal 12 April 1977. Pemerintah daerah --yang sebenarnya sudah menyadari apa tujuan pemekaran desa tersebut--, berupaya untuk meyakinkan rakyat bahwa pemekaran desa itu tujuannya adalah sekadar untuk mendapatkan bantuan pemerintah pusat. Sedangkan unit pemerintahan terendah tetap berada pada Nagari .

b. Ambivalensi Pemerintah Daerah dan Leburnya Struktur Nagari

Program pembangunan ekonomi yang dirintis sejak masa Harun Zain telah memapankan struktur perekonomian masyarakat. Akan tetapi membaiknya struktur perkonomian masyarakat Sumatera Barat di masa kepemimpinan Azwar Anas yang menggantikannya, tidak mengurangi ketergantungan daerah pada pemerintahan pusat. Malah otoritas kekuasaan pusat pada waktu ini mulai menggerogoti hak-hak sosial komunitas di daerah, antara lain dengan diberlakukannya UU No.5 Tahun 1979.

Undang-Undang ini dikeluarkan sebagai upaya penyeragaman sistem pemerintahan sampai ke tingkat terbawah (pedesaan) di seluruh Indonesia. Akan tetapi di Sumatera Barat undang-undang ini tidak serta merta dapat diberlakukan, karena berbagai kendala sosiologis, diantaranya adalah kuatnya ketergantungan masyarakat terhadap kepemimpinan nagari. Pemerintah daerah sendiri (sepertinya) dibenturkan pada dua pilihan sulit, yaitu antara mempertahankan nagari dengan konsekuensi berkurangnya bantuan pusat dengan pemecahan nagari atau menjadikan Jorong (yang semula adalah wilayah administratif dari nagari) menjadi desa-desa.

Pilihan terakhir ini sebenarnya tidak diatur dalam UU.No.5 tahun 1979 yang mengharuskan nagari dipecah menjadi desa. Namun, karena sejak semula pemerintah daerah telah "berkecendrungan" pada pilihan kedua yang lebih menguntungkan secara ekonomis , maka diupayakan untuk mengulur waktu pemberlakuan UU tersebut dengan alasan ketidaksiapan masyarakat di daerah sembari melakukan upaya sosialisasi UUPD tersebut pada masyarakat.

Persoalan kerusakan sistem internal di Sumatera Barat yang terjadi di masa Orde Baru ini, pada dasarnya bukanlah semata-mata karena diberlakukannya Undang-Undang No.5 Tahun 1979, akan tetapi lebih disebabkan oleh kebijaksanaan yang diambil oleh pemerintah daerah dalam menetapkan Jorong sebagai unit pemerintahan terendah. Karena dengan kebijaksanaan itu, nagari sebagai kesatuan politik territorial-genalogis, menjadi terpinggirkan. Pada hal dalam Undang-Undang itu tidak dinyatakan secara tegas bahwa nagari sebagai unit pemerintahan terendah --seperti yang berlaku sebelumnya-- harus dipecah menjadi Desa-Desa sebagai yang dimaksud oleh UU tersebut. Bahkan dalam konsideran UU tersebut secara jelas memberi pertimbangan dengan "mengindahkan keragaman keadaan Desa dan ketentuan adat istiadat yang masih berlaku".

Yang dimaksud dengan desa dalam undang-undang ini "adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri" . Jadi, dengan penetapan Jorong sebagai Desa berarti beralihnya otoritas politik kepemimpinan nagari kepada Kepala Desa. Sedangkan Jorong --pada waktu sebelumnya-- adalah bahagian dari nagari dan tidak mempunyai otoritas pemerintahan, kecuali hanya sebagai pelaksana administrasi di tingkat bawah. Dengan demikian benturan kultural yang terjadi sebenarnya lebih banyak disebabkan oleh perubahan struktural itu. Meskipun implementasi UU tersebut dalam prakteknya kemudian juga mendatangkan berbagai implikasi kultural terhadap prilaku sosial di daerah.

Pada dasarnya keinginan pemerintah daerah untuk menetapkan jorong sebagai desa sudah terlihat sejak sebelum diberlakukannya undang-undang tersebut. Pada akhir tahun 1977, pemerintah pusat mengirimkan rancangan UU ini ke daerah. Untuk menanggapi semua butir yang terdapat dalam rancangan UU tersebut, pemerintah daerah segera mengadakan diskusi dengan unsur-unsur kepemimpinan sosial serta tokoh-tokoh intelektual di daerah . Diskusi ini bertujuan untuk mendapatkan masukan dari masyarakat, dan akan menjadi pertimbangan oleh gubernur dalam rapat kerja dengan Mendagri di Jakarta. Akan tetapi apa yang menjadi saran mayoritas peserta diskusi ini yang tetap ingin mempertahankan pemerintahan nagari, sama sekali tidak tercantum secara eksplisit dalam tanggapan Gubernur tersebut.

Pada tahun 1981, pemerintah daerah malah mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda No.7 tahun 1981) tentang Pembentukan, Pemecahan, Penyatuan dan Penghapusan Desa Dalam Propinsi Daerah Tk. I Sumatera Barat. Melalui Perda ini sebenarnya pemerintah daerah mulai mengakomodasi keinginan pemerintah pusat untuk menyeragamkan pola pemerintahan desa. Keputusan pemecahan desa yang dilakukan ini tetap mempedomani jumlah jorong yang ada, meskipun sebenarnya dengan dasar keputusan gubernur ini, pemerintah pusat kemudian akan menetapkan jorong di daerah ini menjadi setingkat desa. Kebijaksanaan ini telah membuka jalan bagi diberlakukannya secara penuh Undang-Undang tentang Pemerintahan Desa (UU No.5/1979) di Sumatera Barat. Melalui Surat Keputusan Gubernur No. 162/GSB/1983 dinyatakan secara resmi berlakunya UU No.5/1979 di daerah ini dengan menetapkan Jorong menjadi setingkat Desa.

Sejak saat ini mulailah terlihat berbagai anomie ditengah-tengah kehidupan masyarakat desa ; suatu kondisi yang sebenarnya bertolak belakang dengan tujuan dikeluarkannya undang-undang tersebut. Hal ini disebabkan oleh benturan-benturan kultural yang terjadi akibat sistem pemerintahan nagari, sebagai identitas kultural yang sekaligus menjadi penyangga keutuhan kultural itu, menjadi disfungsional, karena otoritas pemerintahan terendah dibawah kecamatan yang selama ini berada pada nagari, dialihkan kepada Jorong yang ditetapkan setingkat Desa.

c. Ke Arah Kepentingan Komunitas

Dalam priode kepemimpinan Gubernur berikutnya (Hasan Basri Durin) muncul kesadaran akan kepentingan kelompok komunitas. Kesadaran ini kelihatannya lebih dipengaruhi oleh terkendalanya berbagai program pembangunan ketimbang berkurangnya otoritas pusat di daerah. Sikap apatis masyarakat terhadap pelaksanaan dan pemeliharaan hasil pembangunan itu sendiri serta munculnya berbagai konflik internal telah mendorong pemerintah daerah mencari solusi-solusi baru dalam format lama. Salah satu upaya yang dilakukan pada masa kepemimpinan Hasan Basri Durin ini adalah mengakomodasi berbagai tuntutan kultural masyarakat di daerah seperti penataan kembali desa-desa ke dalam nagari, meskipun sebenarnya lebih dimotivasi oleh tidak terpenuhinya persyaratan desa-desa baru.

Menyadari beberapa dampak negatif dari akibat dipecahnya nagari menjadi desa-desa di Sumatera Barat yang telah mengakibatkan banyak desa yang rapuh dan sulit dibangun, maka pemerintah daerah pada tahun 1988 menjalankan program penataan kembali desa-desa tersebut. Penataan kembali (regrouping) desa-desa ini ditujukan antara lain untuk terciptanya desa-desa yang (a) punya pendapatan sendiri. (b) paling kurang penduduknya 2500 jiwa dengan 500 kepala keluarga, (c) luasnya memadai dan teratur, (d) dengan partisipasi masyarakat yang tinggi, (e) dengan pelayanan pemerintah yang baik, dan (f) dengan aparat pemerintahan yang andal sebagainya. Untuk itu pemerintah daerah melalui Instruksi Gubernur No.11/IST/GSB//1988 menyelenggarakan program penataan ini secara bertahap, hingga akhirnya dengan penataan ulang ini jumlah desa di Sumatera Barat yang semula lebih dari 3000 desa berkurang menjadi 1.753 desa. Dari jumlah itu 72 diantaranya sudah kembali ke dalam wilayah Nagari, seperti waktu sebelumnya sesuai dengan usulan yang diajukan oleh masyarakat desa yang bersangkutan kepada pemerintah daerah.

Beberapa program lainnya yang dilaksanakan Hasan Basri Durin yang sedikit akomodatif terhadap tuntutan kultural masyarakat antara lain menghidupkan kembali nilai-nilai kultural masyarakat dalam nuansa kehidupan tradisional, seperti program Manunggal Sakato dan Musyawarah Pembangunan Nagari sebagai aplikasi prinsip kegotong royongan dan musyawarah yang terdapat dalam nilai tradisional kehidupan bernagari di masa lalu.

Sebenarnya ada perbedaan mendasar pola penerapan yang dilakukan oleh pemerintah ini dengan apa yang berlaku dalam kehidupan bernagari di masa lalu. Prinsip gotong royong dalam masyarakat tradisional lebih berorientasi partisipasi, sedangkan dalam pelaksanaan Manunggal Sakato justru lebih cendrung bersifat mobilisasi. Namun pelaksanaan strategi Manunggal Sakato ini telah membawa pengaruh positif terhadap kelancaran pelaksanaan pembangunan di wilayah pedesaan. Hal ini dilihat dari tingkat partisipasi yang diberikan oleh masyarakat yang setiap tahun terus meningkat. Selama Pelita V masyarakat desa berhasil membangun 50.000 proyek. Hingga tahun keempat Pelita V tersebut, proyek yang dibangun dengan Manunggal Sakato tercatat 43.732 buah. Nilai dari proyek-proyek itu jauh melebihi jumlah dana Bandes yang diterima. Pada tahun 1989/1990 seluruh desa memperoleh dana Bantuan Desa (Bandes) sebanyak Rp.3,544 miliar, sedangkan hasil yang dicapai bernilai Rp.18,21 miliar. Dari angka ini, maka swadaya masyarakat bernilai Rp.14,58 miliar. Tahun berikutnya dengan nilai dana Bandes sebesar Rp.4,78 miliar, berhasil dikerjakan proyek senilai Rp,23,6 miliar.

Dari gambaran di atas agaknya dapat disimpulkan bahwa pendekatan kultural yang dilaksanakan lebih efektif menggerakkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan sehingga berhasil menggenjot laju pertumbuhan ekonomi seperti yang diharapkan, namun karena dalam prakteknya masih dibungkus dengan budaya formalisme Orde Baru, ternyata tidak makin memperkuat resistensi kultural masyarakat untuk mendapatkan kembali hak-hak kultural mereka sendiri. Namun apa yang dilakukan oleh pemerintah daerah saat ini, setidaknya telah sedikit menggeser kembali pola kebijakan pemerintah daerah dari kepentingan kelompok dominan ke kesadaran kepentingan kelompok subordinasi (komunitas).

Hegemoni Politik Pusat dan Perubahan Prilaku Elit Daerah

Dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah idealnya terdapat dua tuntutan yang harus dipenuhi, yaitu kewajiban melaksanakan tugas-tugas sebagai pelaksana pemerintahan negara di daerah dan pemenuhan aspirasi masyarakat daerah sendiri. Setidaknya itulah yang diinginkan oleh masyarakat bangsa ini pada waktu "bersepakat" untuk mendirikan sebuah negara bangsa. Ketika salah satu tuntutan itu menguat dan bila tuntutan itu berada pada posisi yang berseberangan dengan tuntutan yang lainnya, maka ketika itu pula, pemerintah daerah berada pada "medan ketegangan".
Kecendrungan-kecendrungan melemahnya resistensi sosial internal di Sumatera Barat dapat dihubungkan dengan keadaan ini. Pemerintah daerah cendrung menggeser loyalitasnya lebih pada kepentingan pemerintah pusat daripada kepentingan daerah, loyalitas mana bahkan melebihi tuntutan pusat itu sendiri.

Beberapa kondisi teknis dan kondisi politis telah mempengaruhi prilaku politik elit daerah itu dalam menjalankan kebijaksanaan pemerintah pusat di daerah, terutama kebijaksanaan yang berseberangan dengan kepentingan rakyat di daerah. Bahkan elit politik daerah tidak menyediakan peluang bagi terbentuknya kepemimpinan komunitas yang mandiri dan aspiratif bagi kepentingan komunitas mereka. Di antara kondisi-kondisi itu antara lain :

Pertama, pengalaman masa lalu daerah ini yang mencoba menunjukkan radikalisme yang berseberangan dengan kebijaksanaan pemerintahan pusat dengan segala konsekuensinya telah "mengajarkan" kepada elit daerah ini untuk senantiasa bersikap hati-hati. Keadaan ini telah berimplikasi terhadap prilaku politik kalangan elit daerah, baik yang berada di pusat kekuasaan maupun di daerah sendiri. Di antara implikasi itu adalah timbulnya "keengganan" untuk unjuk pemikiran yang berbau kedaerahan, memperjuangkan kepentingan daerah, meskipun itu menyangkut kesejahteraan rakyat dan rasa keadilan .

Kedua, salah satu faktor terpenting dari "keterbelengguan" elit daerah dalam memberikan perlindungan bagi kepentingan kelompok komunitas di daerah ini ialah masalah kekurangan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan ketergantungan terhadap pasokan dana dari pemerintah pusat. Pada Pelita I, II dan III, dana pembangunan proyek-proyek sektoral yang disalurkan melalui APBN berjumlah sekitar 75 % dari jumlah dana pembangunan keseluruhan. Dana proyek Inpres berkisar sekitar 15 %, sedangkan dana pembangunan daerah yang berasal dari APBD kenyataannya berkisar antara 10 -12,5 % saja. Dari kenyataan ini jelas memperlihatkan kemampuan dana pembangunan yang pelaksanaannya menjadi wewenang daerah, relatif sangat sedikit sekali dibanding dengan dana pembangunan yang menjadi wewenang pemerintah pusat.

Ketiga, problema ketegangan internal yang terlihat pada elit kepemimpinan di daerah ialah berbenturnya berbagai kepentingan daerah dengan kepentingan pusat kekuasaan dalam program pembangunan daerah sendiri. Dualisme kebijaksanaan pembangunan di daerah adalah sumber dari ketegangan itu. Adanya instansi vertikal dengan "misi" pemerintahan pusat dan kepala daerah sebagai penampung aspirasi rakyat di daerah --kalaupun dapat disebut demikian-, sering tidak koordinatif dalam praktek penanganan pembangunan di daerah, sementara peraturan dan perundangan yang dibuat masih mengandung banyak kelemahan.

Keempat, tradisi birokrasi Orde Baru adalah implementasi dari budaya politik yang dikembangkan dari salah satu etnis dominan di negara ini oleh kelompok penguasa. Latar belakang budaya etnis Jawa yang patrimonialistis dan sentralistis telah terefleksi pada setiap aspek penyelenggaraan pemerintahan, terutama dalam hubungan atasan dan bawahan yang bersifat patron-client. Budaya patrimonialisme tradisional seperti itu telah mewarnai sistem birokrasi pemerintahan Orde Baru secara berjenjang menurut hirarkhi jajaran pemerintahan dari pusat sampai ke daerah. Hal ini telah mempengaruhi kecendrungan psikologis kalangan aparat birokrasi pemerintahan dalam berbagai mekanisme penyelenggaraan pemerintahan.

Keadaan seperti ini juga sangat mempengaruhi prilaku politik pemerintahan di daerah. Sehingga tidaklah terlalu mengherankan bila semua kebijaksanaan yang akan dijalankan di daerah menjadi sangat tergantung dari pusat. Pertimbangan-pertimbangan yang diberikan dalam setiap kebijaksanaan pemerintah pusat di daerah akan selalu lebih berorientasi "menyenangkan" pemerintah pusat (patron) daripada pertimbangan internal daerah sendiri. Pola resiprositasnya justru terlihat pada keinginan-keinginan untuk memperoleh imbalan-imbalan yang mungkin bersifat ekonomis atau mobilitas-mobilitas vertikal yang sering mewarnai dalam setiap aspek hubungan itu sendiri.

Salah satu lembaga sosial yang harusnya menempati posisi kepentingan komunitas etnis di daerah ini adalah Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM). Organisasi ini (idealnya) merupakan wadah perantara kepentingan komunitas adat dengan pemerintah daerah, meskipun, pada dasarnya, struktur Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau --sebagai organisasi yang mewadahi ninik mamak dan pemuka adat antar nagari-- sebenarnya tidak terdapat dalam struktur tradisional masyarakat di daerah ini.

Prakarsa untuk mewadahi ninik mamak dan penghulu adat dalam organisasi LKAAM oleh kalangan militer di awal Orde Baru, lebih didorong oleh keinginan untuk membersihkan para penghulu adat yang terlibat dengan kegiatan Partai Komunis. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila kemudian organisasi ninik mamak ini sangat dekat dengan pemerintah dan kalangan ABRI. Bahkan aparat birokrasi masuk dalam jajaran kepengurusannya, Ketua LKAAM sendiri, pada saat awal berdirinya, dipegang oleh Baharuddin Dt Rangkayo Basa yang adalah juga Kepala Jawatan Penerangan Sumatera Barat. Sedangkan Kapten Saafroeddin Bahar (perwira Kodam) yang sekaligus Ketua DPD Golongan Karya juga duduk dalam sekretariat LKAAM sendiri dan pada beberapa periode berikutnya, kepemimpinan lembaga ini selalu menempatkan unsur Muspida sebagai Payung Panji (lebih kurang sama dengan Pelindung). Dengan demikian organisasi ini lebih banyak berperan sebagai perpanjangan tangan pemerintah ketimbang melindungi kepentingan komunitasnya.

Sebagai penyangga kepentingan pemerintah, organisasi ini telah memperlihatkan peran aktifnya dalam mensosialisasikan kekuatan politik Orde Baru dalam mencari dukungan masyarakat, terutama setiap masa menjelang Pemilu. Di samping itu lembaga ini menjadi alat yang efektif dalam mensukseskan segala program pembangunan. Antara tahun 1979 sampai 1983, lembaga ini secara aktif berperan dalam mensosialisasikan UUPD 1979 dalam rangka persiapan bagi diberlakukannya UU tersebut, meski hal itu --pada akhirnya-- mempunyai konsekuensi terkorbankannya fungsi kepemimpinan tradisional yang ada dalam komunitas mereka sendiri.

Perubahan-Perubahan Sistem Internal

Apa yang terjadi di Sumatera Barat pasca pemberlakuan UUPD 1979 adalah perubahan-perubahan yang signifikan pada struktur kepemimpinan sosial di tingkat bawah sebagai telah disinggung pada bahasan terdahulu. Perubahan ini telah menimbulkan implikasi terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat terutama di wilayah pedesaan, karena, konsepsi tentang nagari sebagai yang dianut oleh masyarakat sangat berbeda dengan desa sebagai struktur kepemimpinan yang diperkenalkan oleh undang-undang tersebut.

Robert K. Merton mengemukakan bagaimana sejumlah struktur sosial memberi tekanan yang jelas pada orang-orang tertentu yang ada dalam masyarakat sehingga mereka lebih menunjukkan kelakuan yang non konformis. Ia mengemukakan bahwa kelakuan non konformitas atau anomie dapat disebabkan oleh perubahan perangkat kelembagaan yang ada, yaitu apabila sarana kelembagaan yang ada tidak lagi sejalan dengan tujuan kultural masyarakat pendukungnya. Perubahan struktur nagari menjadi desa-desa dengan berbagai perubahan pola kepemimpinan yang ada di dalamnya, telah berimplikasi terhadap munculnya sikap anomie di kalangan masyarakat terutama di wilayah pedesaan di Sumatera Barat, seperti hilangnya nilai-nilai kegotong royongan, sikap apatis terhadap pembangunan dan berkurangnya solidaritas sosial serta tanggung jawab kolektif terhadap pemeliharaan hasil-hasil pembangunan dan sebagainya. Inilah yang diakui telah menjadi kendala kultural dalam pelaksanaan pembangunan pedesaan pasca UUPD 1979 sebagaimana dikemukakan oleh Hasan Basri Durin dalam Seminar AIPI tahun 1996:
….Salah satu masalah yang sering dirasakan adalah sulitnya membangun dan memelihara jaringan-jaringan irigasi, yang merupakan sarana vital bagi perekonomian masyarakat desa yang sebagian besar masih agraris. Irigasi-irigasi tradisional yang ada di Sumatera Barat pada umumnya dibangun berdasarkan kesatuan wilayah nagari dan partisipasi masyarakat melalui gotong -royong. Tetapi dengan pecahnya kesatuan nagari jaringan irigasi tersebut menjadi sulit diurus, karena tidak mungkin Pemerintahan Desa menggerakkan partisipasi masyarakat nagari untuk bergotong royong. Sebabnya antara lain tidak semua desa memiliki kepentingan dan kebutuhan terhadap jaringan irigasi yang sudah ada .

Penyebab munculnya sikap apatis masyarakat terhadap pembangunan ini adalah karena kurang efektifnya lembaga-lembaga formal sosial yang ada, sebagaimana telah disinyalir oleh suatu Seminar yang diadakan di Padang pada tahun 1989 , yang berkesimpulan antara lain :
1. karena lembaga-lembaga formal dan informal lebih berperan sebagai pelaksana program pembangunan yang ditetapkan dari atas.
2. adat sebagai unsur utama yang berfungsi mengatur dan menjadi orientasi prilaku masyarakat terpisah dari administrasi pemerintahan.
3. struktur kekuasaan yang berkembang terkonsentrasi di tangan Kepala Desa,
4. karena itu proses pengambilan keputusan dalam lembaga desa menjadi tidak demokratis,
5. Lembaga Kerapatan Adat Nagari (KAN) dalam kenyataannya menjadi lembaga tanpa wewenang, sehingga fungsionaris adat (baik anggota KAN atau tidak) secara berangsur-angsur kehilangan fungsinya di tengah masyarakat.

Selain itu, akibat dari tidak efektif dan tidak efesiennya lembaga-lembaga formal dan informal itu, menyebabkan banyak masalah yang timbul di tengah masyarakat pedesaan tidak dapat diselesaikan secara tuntas, sehingga sering menjadi sumber konflik dan perpecahan dalam kesatuan masyarakat desa atau kaum.

Persoalannya lebih komplit lagi bila dihubungkan dengan adanya upaya negara untuk menggerogoti tanah-tanah ulayat di daerah ini. Sebagai mana telah dikemukakan bahwa dalam tradisi masyarakat Minangkabau, tanah ulayat, selain memiliki fungsi yang sangat penting sebagai asset komunal, ia juga berfungsi sebagai identitas kultural suatu nagari dan suku, sekaligus merupakan basis ketahanan ekonomi anggota komunitasnya.

Di masa Orde Baru dikeluarkan UU No.5 Tahun 1967 tentang Undang-Undang Pokok Kehutanan. Dalam undang-undang ini eksistensi dan keberadaan hak ulayat Nagari atas hutan semakin tidak jelas. Malah menurut sementara pengamat mengatakan bahwa UU No.5 Tahun 1967 ini sama versinya dengan domeinverklaring di zaman Belanda dulu yang sebenarnya sudah dibatalkan dengan UU No.5 tahun 1960 . Pada pasal 2 UU No.5 Tahun 1967 dipakai istilah hutan negara untuk semua hutan yang tidak bermilik. Ini mencakup pula hutan-hutan adat yang dikuasai oleh masyarakat adat. Pasal 17 UU No.5 Tahun 1967 itu diatur sebagai berikut :
Pelaksanaan hak-hak masyarakat hukum serta hak-hak perseorangan untuk memanfaatkan dari hutan, baik langsung maupun tidak langsung yang didasarkan atas suatu peraturan hukum sepanjang peraturan masih ada tidak boleh mengganggu tercapainya tujuan yang dimaksud dalam undang-undang ini.

Kemudian pada tahun 1971 dikeluarkan pula Peraturan Pemerintah No.12 Tahun 1971 Tentang HPH dan Hak Pemungutan Hasil Hutan. Dalam pasal 6 PP ini disebutkan bahwa hak masyarakat adat untuk memungut hasil hutan perlu ditertibkan sehingga tidak mengganggu pelaksanaan penguasaan hutan (ayat 1), dan demi keselamatan umum dalam areal hutan yang sedang dikerjakan dalam rangka pengusahaan hutan tersebut, melaksanakan hak-hak rakyat memungut hasil hutan dibekukan (ayat 3).

Tanah ulayat di Minangkabau merupakan hak kolektif yang tidak boleh diperjualbelikan, kecuali itu boleh digadaikan dengan persyaratan yang ketat. Namun sejak pemerintah Orde Baru mengeluarkan PP No. No 24 Tahun 1997 yang mengharuskan semua tanah di Indonesia harus didaftarkan, tak terkecuali tanah ulayat (pasal 19), maka terjadi individualisasi kepemilikan tanah ulayat. Dengan demikian tanah ulayat yang seharusnya menjadi hak kolektif dan tidak dapat diperjualbelikan, dengan mudah dapat dijadikan angunan, dikontrakkan dan dijual seperti layaknya hak-hak individual lainnya. Seiring dengan tuntutan pembangunan serta maraknya kegiatan perekonomian oleh pengusaha-pengusaha besar telah mendorong pula terjadinya pelepasan hak atas tanah ulayat. Banyak tanah-tanah ulayat yang akhirnya menjadi areal perkebunan besar yang tak dapat dinikmati oleh masyarakat setempat, seperti yang terjadi di Kabupaten Pasaman atau dijadikan proyek pembangunan pemerintah dengan hanya penyelesaian ganti rugi, tanpa mengindahkan aturan-aturan adat yang berlaku .

Menyangkut persoalan tanah ulayat sebagai yang dikemukakan, telah memunculkan berbagai persoalan-persoalan sosial yang tidak sederhana. Beberapa konflik antar suku dan desa telah terjadi sebagai akibat pemecahan nagari menjadi desa-desa. Pemecahan desa-desa itu sudah barang tentu tidak mengikuti pola teritorial pemilikan tanah ulayat suku atau kaum, karena pemecahan itu hanya didasarkan atas luas daerah dan jumlah penduduk semata, tanpa mempertimbangkan properti-properti suku yang ada. Kasus perkelahian antar desa yang terjadi di beberapa daerah tingkat II pasca UUPD lebih banyak diwarnai oleh persoalan tanah ulayat suku ini .

Kesimpulan

Dari apa yang diuraikan dapat disimpulkan sebagai berikut :Pertama, Hegemoni politik pemerintah pusat terhadap daerah telah mempengaruhi pola prilaku politik elit daerah dalam memberikan perlindungan bagi kepentingan komunitas di daerah. Perubahan prilaku politik elit lokal dalam mengimplementasikan kebijaksanaan pemerintah pusat telah menyebabkan rusaknya tatanan sosial tradisional nagari yang menjadi interest utama masyarakat di daerah ini. Hal inilah yang pada gilirannya telah menimbulkan ekses negatif terhadap berbagai aspek dari sistem internal daerah sendiri.

Kedua, Tarik menarik kepentingan telah terjadi dalam masa kepemimpinan tiga orang Gubernur di daerah ini dengan intensitas yang berbeda. Harun Zain, dalam kondisi simbiosis, telah menjalankan peran fungsional dan peran moralnya dengan seimbang, namun pemulihan internal yang telah dijalankan tidak berhasil membangkitkan kesadaran akan kepentingan kelompok komunitas. Kuatnya dominasi kepentingan kelompok dominan (pemerintah pusat) pada masa Azwar Anas, telah menggeser elit daerah ke kesadaran kelompok dominan (pemerintah pusat). Kerusakan sistem internal pada waktu ini pada dasarnya lebih disebabkan oleh semakin melemahnya kesadaran akan kepentingan kelompok komunitas pada elit politik daerah sendiri. Kesadaran akan kepentingan kelompok komunitas ini justru terlihat menguat dalam kepemimpinan Hasan Basri Durin. Pola-pola pendekatan tradisional yang dijalankannya ternyata berhasil mengairahkan masyarakat dalam pembangunan. Namun, karena dominasi kelompok dominan tidak memperlihatkan trend yang makin menurun, maka kesadaran terhadap kepentingan komunitas masih bersifat semu dan identitas kultural masyarakat yang ditunjukkan hanya sebatas formalismenya Orde Baru.

© Irhash A. Shamad.




Sejarah Tulisan : Perkembangan Alphabetic

Written By Irhash A. Shamad on 22 Februari 2009 | 00.18


Tulisan tertua masyarakat purba telah melahirkan dua jalur proses perkembangan sistem penulisan. Jalur Phonetis --yang pada akhirnya menjadi tulisan alphebetis-- adalah pilihan bagi sistem menulis yang dikembangkan oleh dua pusat peradaban tertua di kawasan Asia Barat (Timur Tengah), yakni Mesir dan Mesopotamia. Sedangkan bangsa Tionghoa di kawasan Timur Jauh tetap mempertahankan sistem pelambangan gambar (pictografis-ideografis) dalam penulisan mereka, bahkan sampai saat ini.
Pada bagian ini akan dikemukakan bagaimana perkembangan kedua tulisan yang disebutkan pertama (Mesir dan Mesopotamia), yang akhirnya menjadi tulisan alphabetis dan memiliki wilayah pengembangan yang sangat luas hingga saat ini. Dari rumpun ini pula dilahirkan tulisan Arab, sebagai yang akan menjadi perhatian utama pada tulisan ini.


Alphabet

Istilah alphabet sebetulnya berasal dari bahasa Semit. Istilah ini terdiri dari dua kata, yaitu aleph yang berarti 'lembu jantan' dan kata beth yang berarti 'rumah'. Konotasi pictografis dari pengertian kedua kata ini menjadi sebutan untuk menunjukkan huruf pertama a (aleph) dan b (beth) dalam urutan huruf-huruf semit (Mario Pei,1971:176). Ini bukan berarti bahwa tulisan tersebut memakai sistem pictografis-ideografis, akan tetapi malah sebaliknya. Orang-Orang Semit mengambil tanda gambar lembu (kepala lembu) dari huruf Hierogliph Mesir tanpa memperdulikan pengertian lembu itu dalam bahasa Mesir sendiri, sedangkan menurut bahasa Semit, lembu itu disebut aleph. Demikian juga dengan tanda gambar rumah yang mereka sebut beth. Kemudian dengan mempergunakan prinsip akroponi, tanda gambar kepala lembu, oleh masyarakat Semit dijadikan tanda untuk bunyi a dan tanda gambar rumah untuk bunyi b. Semua huruf pada alphebt Semit mempunyai konotasi seperti pictografis itu.

Daerah yang Mula-Mula Menggunakan Sistem Alphabet.
Bangsa Semit sebagai yang pertama menggunakan sistem alphabet atau abjad, agaknya sudah disepakati oleh para sarjana. Namun, daerah mana dari daerah-daerah yang didiami oleh suku bangsa Semit yang lebih dahulu menggunakannya, masih saja terdapat perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka. Perbedaan pendapat ini makin terlihat setelah ditemukan beberapa bukti tertulis di kawasan Sarabit al-Khadim, yaitu suatu daerah yang terletak antara Fustat dan Adhruh, (bahagian timur Qulzum sekarang).
Inskripsi Sarabit al-Khadim ini oleh kalangan ahli, disimpulkan sebagai inskripsi tertua yang menggunakan sistem alphabeth (abjad). Diperkirakan bahwa inskripsi ini telah ditulis sekitar tahun 1850 sM.(Shiddiqi,1983) oleh orang-orang Sinai yang bekerja di tambang-tambang batu permata pyrus.

Penemuan inskripsi ini tentunya adalah acuan akhir yang menolak asumsi yang selama ini telah dikemukakan oleh para ahli bahwa orang-orang Phoenicialah yang pertama kali mentransfer Hierogliph menjadi tulisan alphebetis. Inskripsi Sarabit al-Khadim ternyata lebih tua beberapa abad dibanding dengan inskripsi Ahiram Yubail yang ditemukan oleh Monte di daerah Gebal purba (Byblos) yang merupakan bukti tertulis pemakaian pertama sistem alphabet oleh orang-orang Phoenicia. Dengan penemuan baru ini para ahli akhirnya dapat meyakini dengan tepat "jembatan" yang menghubungkan antara Hierogliph Mesir dengan alphabet Phoenicia. Karena selama ini mereka diragukan oleh perbedaan yang terlalu besar antara bentuk tulisan Mesir itu dengan bentuk tulisan yang digunakan oleh orang-orang Phoenicia, sehingga sangat sulit memastikan bahwa orang-orang Phoenicia yang pertama kali menggubah huruf-huruf Mesir ke dalam sistem alphabet.

Kenyataan bahwa Sinai yang pertama kali menggunakan alphabet dalam sistem penulisan mereka diperkuat pula oleh letak geografis daerah ini, yang ternyata lebih dekat dengan Mesir serta bentuk tulisan yang tidak terlalu menyolok perbedaannya.

Wilayah Perkembangan Sistem Alphabet
Sistem alphabet Sinai pada waktu kemudian berkembang ke beberapa wilayah, diantaranya ke Phoenicia. Oleh orang-orang Phoenicia, sistem penulisan Sinai ini dikembangkan sedemikian rupa. Beberapa karakter huruf disempurnakan serta disusun atas dasar dasar bunyi yang dilambangkan. Karena itu asumsi bahwa orang-orang Phoenicia yang pertama menggunakan sistem alphabet dianggap beralasan sebelum ditemukannya bukti tertulis di wilayah Sinai (inskripsi Sarabit al-Khadim seperti telah dikemukakan terdahulu. Namun, peranan orang-orang Phoenicia dalam menjembatani pengembangan alphabet ke beberapa kawasan Eropa memang sukar untuk dibantah.

1. Jazirah Arab Utara, Asia Kecil dan Eropa
Dalam perkembangannya ke utara, alphabet Sinai memperoleh kemajuan yang sangat pesat. Alphabet ini akhirnya, selian melahirkan alphabet Phoenicia, juga telah menurunkan tulisan Ibrani dan Aramia. Dari ketiga rumpun tulisan yang biasa disebut dengan Tulisan Semit Utara ini berkembang secara lebih luas lagi dan melahirkan tulisan-tulisan besar yang digunakan hingga saat ini.

Tulisan Phoenicia dibawa ke Yunani oleh Cadmus, dan dari sini berkembang menjadi tulisan Etroska yang merupakan cikal bakal pertumbuhan tulisan Romawi Barat yang dipakai di bahagian terbesar Eropa pada saat itu. Pengembangan lain dari tulisan Yunani telah pula dilakukan oleh salah seorang uskup Konstantinopel, Cyrillius dan Methodus. Tulisan ini mendapatkan perkembangan seiring dengan perkembangan agama Kristen di Slavia, Rusia, Ukeraina, Serbia, dan Bulgaria. Diketahui bahwa tulisan yang berkembang di Slavia ini tidak semata-mata berasal dari Yunani, akan tetapi juga memasukkan unsur-unsur tulisan Ibrani. Hal ini disebabkan oleh adanya bunyi-bunyi Slavia yang tidak terdapat dalam bahasa Yunani (Mario Pei,1971:81).

Dari rumpun Aramia (Aramaic) telah melahirkan tulisan Syryani, Nabthi, Tadmury (Palmyra) dan tulisan Pahlavi yang merupakan tulisan asli bangsa Persia. Di bahagian lain alphabet Sinai telah pula menurunkan tulisan Devanagari kuno di India. Kita telah mengetahui bahwa banyak sekali tulisan yang terdapat di kawasan Asia selatan dan tenggara berasal dari tulisan Devanagari ini, karena tulisan ini berkembang seiring dengan penyebaran agama Budha. Tulisan kuno di India. Kita telah mengetahui bahwa banyak sekali tulisan yang terdapat di kawasan Asia selatan dan tenggara berasal dari tulisan Devanagari ini, karena tulisan ini berkembang seiring dengan penyebaran agama Budha. Tulisan Siryani dan Nabthy dalam perjalanannya ke bahagian selatan jazirah Arab telah bergabung dengan karakter tulisan yang berasal dari jazirah selatan ini, terutama pada masa perluasan kerajaan Anbath ke hampir seluruh jazirah Arab pada abad pertama Masehi. Penggabungan inilah yang pada akhirnya menurunkan tulisan Arab kuno hingga menjadi tulisan Arab seperti yang berkembang saat ini.

2. Jazirah Arab Selatan
Perjalanan alphabet Sinai ke bahagian selatan jazirah Arab telah mengembangkan tulisan yang terdapat di kerajaan-kerajaan Arab Selatan, seperti kerajaan Saba`, Minaiyah dan lain-lain. Hanya saja tidak diperoleh keterangan yang pasti tentang tulisan yang digunakan oleh masyarakat di kerajaan Arab selatan ini pada waktu sebelumnya. Beberapa asumsi mengatakan bahwa tulisan yang digunakan masyarakat Arab pada waktu itu berasal dari tulisan Demotic (tulisan rakyat Mesir kuno). Setelah masuknya alphabet Sinai ke wilayah ini, barulah dikenal satu jenis tulisan yang telah menggunakan sistem alphabet, dan banyak persamaan bentuk dan karakter hurufnya dengan alphabet Sinai, sebagaimana dapat diperhatikan pada tabel terdahulu. Tulisan Arab selatan ini kemudian dikenal dengan Musnad.

Bila diperhatikan lebih jauh bentuk dan karakter lambang huruf Musnad, maka makin kuat dugaan bahwa karakter Sinai lebih banyak mewarnai pembentukan lambang huruf-hurufnya, dibanding dengan tulisan asli masyarakat Arab selatan yang dianggap sudah ada itu. Kenyataan itu agaknya juga memperkuat dugaan bahwa setidaknya Arab selatan mendapat pengaruh dari alphabet Sinai dalam waktu yang bersamaan dengan Phoenicia. Namun sementara ahli telah berkesimpulan lain, yaitu bahwa alphabet Arab selatan merupakan perkembangan dari alphabet Phoenicia yang dibawa ke wilayah ini melalui jalur perdagangan.

Perkembangan tulisan Musnad ke utara pada akhirnya bergabung dengan tulisan-tulisan Semit utara dan melahirkan tulisan Arab kuno (Hyry). Tulisan-tulisan Arab itu, setelah agama Islam lahir, ternyata memperoleh perhatian khusus bagi penganutnya. Karena itu, tulisan ini akhirnya makin berkembang dan meluas dengan pesat bahkan melampaui batas-batas wilayah yang menggunakan bahasa Arab. Bersama Al-Qur`an, tulisan Arab telah meluas ke berbagai bangsa dan bahasa, seperti Fula, Hausa dan Swahili di Afrika, Melayu, Sunda dan Jawa di Indonesia, bangsa Moro di Phillipina, Urdu dan Punjabi di India, Persia di Iran dan pelbagai bahasa Turki di Uni Sovyet (Mario Pei,1971:81).

Dari Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dari akar alphabet Sinai telah melahirkan dua bentuk tulisan besar yang digunakan secara luas hingga saat ini, yaitu tulisan Romawi --yang pada akhirnya dikenal dengan tulisan Latin--, dan tulisan Arab. Kedua bentuk tulisan ini, kendatipun sama-sama berasal dari rumpun yang sama, yaitu Sinai, tapi dalam perkembangannya terdapat perbedaan-perbedaan yang prinsipil pada karakter huruf dan cara penulisan. Dalam tulisan Romawi, lambang-lambang konsonan dan vokal memperoleh tempat yang sama pada penulisan, sementara pada tulisan Arab --seperti juga tulisan Ibrany dan Siryani (Semit utara)-- , lebih menonjolkan huruf (lambang) konsonan saja, sedangkan lambang vokalnya diserahkan sepenuhnya pada pengertian pembaca. Barulah pada perkembangan akhir (setelah Islam), lambang vokal dicantumkan pada penulisan, akan tetapi berupa tanda-tanda khusus yang ditempatkan di atas atau di bawah lambang konsonan. Perbedaan lainnya ialah bahwa tulisan Arab ditulis dari kanan ke kiri, sedangkan tulisan Romawi ditulis sebaliknya.

© Irhash A. Shamad

Sejarah Tulisan : Awal Tradisi Menulis dalam Kebudayaan Manusia

Written By Irhash A. Shamad on 21 Februari 2009 | 00.22


Seperti juga bentuk-bentuk budaya manusia lainnya, kepandaian tulis baca terbentuk melalui beberapa tahapan proses seiring dengan perkembangan cara berfikir suatu kelompok masyarakat manusia dalam waktu tertentu. Pertumbuhan suatu budaya tercipta dengan dorongan persepsi manusia itu terhadap kebutuhan untuk membebaskan diri dari tantangan-tantangan hidup yang ditemui. Dengan kata lain bagaimana manusia bisa menciptakan suatu usaha yang dengannya akan terpenuhi tuntutan kebutuhan hidup mereka. Apabila hasil usaha itu merupakan pemenuhan tuntutan hidup dan berproses melalui pemikiran, maka hal itu merupakan suatu bentuk budaya baru. Pelahiran budaya baru pada suatu masyarakat akan senantiasa merupakan gambaran perkembangan cara berfikir manusia pada saat itu.

Menulis, adalah salah satu bentuk budaya yang tercipta melalui proses-proses yang disebutkan. Penemuan lambang-lambang oral (huruf)yang bentuk akhirnya berupa tulisan, adalah suatu prestasi intelektual yang dicapai manusia dalam peradaban masyarakat klasik. Peralihan sistem komunikasi manusia dari tradisi oral ke tradisi menulis, sangat mempengaruhi percepatan perkembangan budaya dan perluasan informasi antar masyarakat dan antar generasi secara lebih otentik dan efektif. Akibat dari semua itu, tentunya --secara tidak langsung--, akan merubah tatanan budaya-budaya lainnya ke bentuk yang lebih baik dari masa-masa sebelumnya. Dengan demikian penemuan budaya tulisan dalam sistem budaya suatu masyarakat, tidak hanya akan menawarkan peningkatan dalam lapangan komunikasi saja, akan tetapi lebih jauh akan mempengaruhi aspek-aspek budaya manusia itu secara keseluruhan. Hal-hal yang kita sebutkan terbukti dari beberapa kerajaan besar pada zaman purba --seperti Mesir, Sumeria, Babylonia, Niniveh, China dan lain-lain-- yang telah memperoleh kemajuan yang pesat di bidang peradaban dalam masa 10.000 tahun semenjak mereka menemukan tulisan. Kemajuan tersebut ternyata lebih besar dari apa yang dicapai selama Zaman Batu yang berlangsung lebih kurang 2 juta tahun (Santoso,tt:19-20).

1. Proses Pertumbuhan Tulisan
a. Tulisan Gambar.

Sebagai salah satu hasil budaya, bagaimanakah awalnya tradisi menulis itu bermula pada suatu kelompok masyarakat manusia ?. Sebagaimana telah dikemukakan pada bahagian terdahulu bahwa tumbuhnya suatu budaya adalah karena adanya tantangan kebutuhan yang harus dipenuhi di dalam kehidupan. Kebutuhan akan tulisan bagi masyarakat tradisional (primitif), dirasakan setelah komunikasi lisan tidak lagi memadai di dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dengan itu timbullah ide-ide sederhana untuk melambangkan setiap apa yang bisa mereka ucapkan. Tuntutan ini pada awalnya melahirkan bentuk-bentuk lambang sederhana dan rumit, yaitu dengan cara menggambarkan setiap benda yang diucapkan.

Perlambangan dengan gambar. Kemudian mengalami keterbatasan-keterbatasan. Oleh karena penggambaran itu hanya akan dapat dilakukan terhadap pengucapan-pengucapan yang berwujud kata benda atau mungkin kata kerja. Sedangkan untuk pengucapan yang bersifat abstrak, seperti kata sifat atau keadaan, tentu penggambarannya akan sulit dilakukan.

Tulisan gambar, di samping memiliki keterbatasan, juga sangat rumit. Karena sudah barang tentu untuk satu baris tulisan (satu kalimat) saja mungkin akan terdiri dari berpuluh-puluh jejeran gambar. Ini mengakibatkan tulisan itu sulit untuk dipahami serta penulisannya memakan tempat yang luas, di samping itu tidak semua orang yang bisa menggambar. Namun demikian, tulisan gambar setidaknya adalah proses pertama dari timbulnya tulisan pada masyarakat kuno, seperti Mesir, Sumeria, China dan lain-lain, yang dianggap telah melahirkan bermacam-macam jenis tulisan yang ada di dunia hingga saat ini.

b. Tulisan Rumus
Perkembangan selanjutnya dari tulisan gambar ialah tulisan rumus (Zainuddin,1974:295). Upaya pertama yang dilakukan adalah penggambaran terhadap pengucapan yang abstrak, seperti kata sifat dan keadaan, yaitu dengan cara menggabungkan beberapa buah gambar benda dan ditujukan untuk satu pengertian sifat atau keadaan; seperti untuk penulisan karta 'siang' digunakan gambar matahari yang sedang memancarkan sinarnya, untuk melukiskan kata 'lapar', digambarkan sebuah tangan yang terletak didepan mulut. Menurut sementara ahli, sebagai proses kedua setelah tulisan gambar, adalah Pictographic Writing (Zainuddin,1974:20), yaitu tulisan gambar yang telah dipermudah cara pembuatannya (disederhanakan), dimana penggambaran benda-benda atau peristiwa diwakili oleh tanda kanji tertentu dan masih bersifat konkrit.

c. Tulisan Potongan
Proses Pictographic Writing seperti disebutkan diatas, oleh Naji Zainuddin, adalah merupakan proses ketiga, yang ia sebut dengan Tulisan Potongan. Menurutnya tulisan ini masih berbentuk gambar (bersifat konkrit), akan tetapi sudah dipotong untuk kebutuhan pengungkapan satu suku kata, seperti gambar 'tangan ' untuk menuliskan kata yang berawalan yad ('yad' artinya : tangan ) (Zainuddin,1974:20). Kata Yadhas, Yadhar dan semacamnya, memakai tanda kanji yang sama yaitu 'tangan' dengan tambahan lambang pada susku kata berikutnya.

d. Tulisan bunyi.
Perkembangan selanjutnya ialah Tulisan Bunyi, yaitu tulisan yang mempergunakan gambar sebagai lambang bunyi permulaan suatu sukukata pada kalimat. Proses ini juga disebut sebagai proses abstraksi yang pada dasarnya menemukan sifat atau peristiwa bunyi dan detail satu bunyi diujudkan dengan suatu tanda.

Pada tahap ini, lambang yang semula merupakan lambang bunyi suku kata pertama menjadi lambang bunyi awal suku kata tersebut. Perubahan ini melahirkan lambang-lambang konsonan.

e. Alphabetis.
Meningkatnya cara berfikir manusia, pada gilirannya telah menuntut perubahan-perubahan pada tulisan yang digunakan, setelah mana tulisan yang digunakan dirasakan kurang efektif lagi. Proses alphabetis (hijaiy), merupakan tingkat pengabstraksian lebih lanjut dari proses-proses sebelumnya. Pada tingkat ini mulai dilakukan pemisahan tanda terhadap bunyi yang berbeda pada suatu suku kata itu. Pembedaan tanda bunyi suku kata pada tingkat ini telah melahirkan tanda-tanda vokal, di mana sebelumnya yang ditandai pada awal suku-kata adalah bunyi-bunyi konsonan saja. Kemudian karena sulitnya membedakan bunyi awal suku kata yang sama, dilakukan pula usaha untuk membedakan bunyi-bunyi itu dengan memberi tanda-tanda tertentu. Tanda inilah yang disebut huruf-huruf vokal.

Dengan proses ini menjadi lengkaplah tercipta lambang dari setiap bunyi yang keluar dari mulut (lambang oral). Lambang-lambang itu kemudian kemudian disusun sedemikian rupa dan dibedakan antara lambang-lambang konsonan dan lambang-lambang vokal. Susunan lambang-lambang ini disebut dengan alphabet.

Penemuan pola perlambangan oral dalam bentuk tulisan --pada proses terakhir itu--, ternyata telah menuntun kemajuan yang banyak dalam hal ini. Huruf-huruf yang merupakan lambang bunyi, semakin lama semakin disederhanakan ; lambang-lambang yang terlalu banyak dan rumit diperkecil jumlahnya dan dipermudah cara pembuatannya. Hal ini memberi pengaruh yang besar terhadap pembakuan pola penulisan, yang justru dengan itu pula, semakin kecil kemungkinan terjadinya kekeliruan dan perbedaan penggunaan lambang-lambang dalam menulis akibat dari terlalu banyaknya jumlah lambang yang digunakan.

Berbeda dari apa yang telah diuraikan terdahulu, ada lagi tahapan proses yang berkembang dari tulisan gambar yang tidak mengarah kepada terbentuknya alphabet, akan tetapi tetap mempertahankan cara-cara pengungkapan dengan gambar. Penyempurnaan-penyempurnaan yang dilakukan dalam perkembangannya hanyalah penyederhanaan gambar-gambar saja, yaitu dari bentuk yang rumit dan pelik kepada bentuk yang makin sederhana, dengan kata lain, lambang gambar yang semula masih bersifat konkrit, diabstraksikan ke bentuk lambang yang mudah dibuat, tetapi pemahamannya tetap pada pengertian gambar yang dimaksudkan. Contoh satu-satunya untuk proses ini adalah tulisan yang digunakan oleh orang-orang Tionghoa purba. Bahkan di wilayah-wilayah yang berkebudayaan Tionghoa, seperti Jepang Korea, Taiwan dll. Hingga saat ini masih tetap memakai cara penulisan seperti itu.

Dengan uraian diatas, setidaknya ada dua alur proses yang secara umum telah ditempuh oleh masyarakat klasik dalam pengembangan pola penulisan mereka. Yang disebut pertama adalah perkembangan tulisan yang mengarah kepada pembentukan huruf-huruf alphabetis dan didasarkan pada nilai bunyi (phonetis). Sedangkan proses kedua adalah pengembangan tulisan yang tidak menekankan pada nilai bunyi dan tidak mengarah kepada pembentukan alphabeth, akan tetapi tetap didasarkan pada lambang gambar dengan pemahaman makna dan pengertian lambang yang digambarkan disebut dengan pictografis ideografis.

2. Tulisan-tulisan Tertua.
Gambaran tentang proses terciptanya tulisan seperti diuriakan terdahulu adalah proses yang secara umum telah dilalui oleh masyarakat purba dalam pengembangan komunikasi tulis mereka. Proses ini tentunya berjalan secara evolusi dan memakan waktu yang panjang. Penggalian-penggalian arkeolog pada beberapa situs yang dianggap sebagai pusat peradaban tertua, telah memberikan informasi-informasi yang sangat penting tentang sistem tulisan yang digunakan oleh masyarakat purba serta tahap-tahap perkembangannya. Dari inskripsi-inskripsi yang ditemukan itu, diketahui bahwa ulisan-tulisan yang dianggap tertua terpulang kepada masa 1.k 4000 tahun sebelum Masehi. Diantara tulisan-tulisan tertua itu adalah: tulisan Sumeria pada wilayah lembah Mesopotamia, Tulisan Mesir kuno dan tulisanTionghoa yang digunakan oleh masyarakat Tiongkok di wilayah propinsi Honan di sebelah utara sungai kuning. Pada subbahasan ini akan dikemukakan jenis-jenis tulisan tertua itu beserta perkembangannya hingga melahirkan beberapa jenis tulisan penting yang dipakai hingga saat ini.

a. Tulisan Sumeria
Dari penemuan-penemuan tertulis disekitar wilayah lembah Mesopotamia telah membuktikan bahwa orang-orang Sumeria yang mendiami wilayah ini beberapa ribu tahun sebelum Masehi, telah menggunakan sejenis tulisan gambar. Tulisan ini digunakan oleh orang-orang Sumeria dan mendapatkan perkembangan dizaman Babylonia sebagai pewaris peradaban Sumeria, kemudian oleh bangsa Assyiria yang menggantikannya.
Penemuan 'kitab' undang-undang Hammurabi, telah membuka pengetahuan kita tentang tulisan yang digunakan di kerajaan Babylonia, setidaknya pada masa pemerintahan Hammurabi, yang besar itu. Undang-undang Hammurabi ini ditemukan oleh seorang sarjana Perancis pada tahun 1901 (Mansur,tt:157;Gottschalk,1986:86). Undang-undang ini ditulis pada sebuah tugu batu bersegi delapan dengan ketinggian 20 meter dan berisikan undang-undang dan peraturan yang terdiri dari 282 bab.
Studi-studi yang dilakukan terhadap tugu batu itu pada akhirnya berhasil menyingkapkan misteri tulisan yang mirip jejak-jejak paku yang berjejer pada setiap segi dari tugu ini. Para ahli berhasil membaca dan menemukan beberapa informasi yang sangat penting bagi penelitian sejarah selanjutnya tentang peradaban masyarakat di lembah Mesopotamia.

Penemuan tugu batu undang-undang Hammurabi beserta penemuan-penemuan lainnya tidak saja telah memberikan informasi tentang kehidupan masyarakat purba, akan tetapi juga telah memberikan kesimpulan-kesimpulan tentang tradisi menulis pada masyarakat ini semenjak beberapa ribu tahun sebelum Masehi. Tulisan Paku setidaknya adalah merupakan proses ketiga setelah sebelumnya digunakan tulisan gambar. Tulisan ini sudah merupakan lambang bunyi, walaupun masih ditemukan unsur-unsur pictografisnya. Naji Zainuddin mengatakan bahwa bentuk awal dari tulisan paku adalah campuran antara tulisan gambar (pictografis) dengan tulisan bunyi. Akan tetapi pada bahagian lain ia memberikan ilustrasi tentang tulisan paku sebagai lambang bunyi (Zainuddin,1974:296). Sedangkan C. Israr cendrung mengatakan bahwa tulisan paku termasuk tulisan gambar (pictogram), tanpa memberikan keterangan yang terperinci tentang itu; (C.Israr,1985:6) Di sini penulis lebih cendrung mengkalsifikasikan tulisan paku ini kepada tulisan yang mengemban nilai bunyi (fonetis), karena istilah tulisan paku ( al-Mismary = Arab, Cuneiform=Inggeris) digunakan untuk bentuk tulisan yang ditulis menyerupai paku (bukan penggambaran paku itu sendiri). Perubahan dari tulisan gambar kepada tulisan paku terjadi pada masa Babylonia, sedangkan sebelumnya belum berbentuk paku. Inilah yang agaknya tergolong pada tulisan gambar atau campuran seperti pendapat penulis terdahulu. Amat disayangkan mereka tidak memberikan batasan yang jelas dari istilah tulisan paku itu (Bandingkan dengan : Easton,1955:79;Mario Pei,1971:80). Jadi, dengan demikian dipastikan bahwa dalam waktu yang jauh sebelum itu, mereka telah menggunakan tulisan gambar dalam sistem komunikasi mereka.

Salah satu kebiasaan bagi masyarakat di lembah Mesopotamia adalah menulis di atas tanah liat lembab yang telah didatarkan terlebih dahulu. Alat tulis yang digunakan adalah semacam baji (paku) (Mario Pei,1971:79). Paku tersebut ditekan-tekankan pada tanah liat yang masih lembab itu dan setelah itu dikeringkan, dijemur atau dibakar. Di wilayah lembah Mesopotamia banyak sekali dijumpai tapan-tapan tanah liat yang ditulis dengan tulisan paku itu dalam ekskavasi yang dilakukan oleh kalangan arkeolog pada masa akhir-akhir ini. Tapan-tapan tanah liat ini ternyata hampir menyerupai batu serta tahan, meskipun telah terbenam dalam masa yang cukup panjang. Para ahli menyebut tapan tanah liat itu dengan tablet cuneiform.

Pada dasarnya tulisan paku juga berawal dari tulisan gambar (pictografis). Perubahannya kepada kepada tulisan yang melambangkan bunyi, sangat mungkin terjadi seiring dengan perubahan bentuk lambang ; dari gambar yang telah disederhanakan kepada bentuk paku. Perubahan ini baru terjadi pada masa kerajaan Babylonia yang pertama, lebih dari kurang 2000 tahun sM. (Easton,1955:79).

Sedangkan orang-orang Sumeria yang mendiami lembah Mesopotamia ini diperkirakan telah mempergunakan tulisan dalam sistem komunikasi mereka semenjak 3300 tahun sebelumnya.

b. Tulisan Mesir Kuno
Mesir, setidaknya dalam waktu yang hampir bersamaan dengan peradaban di wilayah Mesopotamia, juga telah mencapai puncak peradaban yang tinggi. Dari beberapa penggalian arkeologis yang dilakukan di daerah-daerah lembah sungai Nil telah membuktikan bahwa rakyat Mesir pada masa lebih kurang 3000 tahun sM. telah maju dalam segala lapangan kebudayaan.

Salah seorang perwira Insinyur yang dibawa oleh Napoleon Bonaparte ke Mesir, Kapten M. Boussard, melakukan penggalian di dekat pelabuhan Rasyid (Rosetta). Ia menemukan sekeping batu berukir yang panjangnya 3,5 kaki, lebar 2,5 kaki dan dengan ketebalan 1 kaki. Batu ini kemudian dikenal dengan Batu Rasyid (Rosetta Stone). Batu ini menjadi lebih penting setelah dilakukan penelitian terhadap ukiran-ukiran yang ada di dalamnya, ternyata ada tiga kelompok tulisan yang terdiri dari : pada bahagian bawahnya adalah huruf-huruf Greek sebanyak 54 baris dan dua kelompok tulisan Mesir Kuno pada bahagian atasnya. Huruf-huruf Greek itu dapat dikenali dengan baik. Ia berisikan sebuah dekrit yang bertarikh 18 Mesir (27 Maret) tahun 196 sM. Dekrit ini ditulis oleh pendeta-pendeta kuil Memphis sebagai penghormatan mereka terhadap pengusaha Greek di tanah Mesir saat itu, yaitu Ptolemy Ephipanes (205-181 sM.).

Sementara kelompok huruf yang terdapat pada batu ini terdapat kurung membujur dan pada beberapa bagian terdapat tulisan yang membentuk cakar ayam.
Pada masa kemudian beberapa orang sarjana, seperti G. Zoega (Denmark) dan Dr. Thomas Young (Inggeris) berhasil mengeja huruf-huruf pada kurung membujur itu dan diketahui bahwa itu adalah nama Ptolemy Ephipanes.

Pada waktu Inggris berhasil merebut Mesir dari tangan Perancis tahun 1801, Batu Rasyid ini dibawa ke Inggeris dan disimpan di British Moseum. Namun demikian sarjana-sarjana Perancis tetap melakukan penelitian-penelitian yang sekasama terhadap tulisan Mesir kuno itu.

Jean Francois Champollion menghubungkan tulisan-tulisan yang terdapat ada Batu Rasyid itu dengan inskripsi yang terdapat pada tiang Obelisk yang ditemyukannya di pulau Philae, sebuah pulau yang terletak di tengah-tengah sungai Nil. Berkat studinya yang tak kenal lelah, akhirnya ia dapat memecahkan rumus-rumus tulisan Mesir kuno yang dua macam itu. Kelompok tulisan pada bahagian atas adalah tulisan Hierogliph, sedangkan kelompok tulisan pada bagian tengahnya adalah tulisan Demotic. Kedua bentuk tulisan ini dipakai secara bersamaan oleh rakyat Mesir untuk penggunaan yang berbeda.

Dengan ditemukannya rahasia huruf-huruf Hioerogliph telah mengundang ekspedisi-ekspedisi ilmiah lebih lanjut untuk menggali peninggalan-peninggalan kuno bangsa Mesir. Denga demikian dinasti demi dinasti dari kekuasaan Pharao terungkapkan sejarahnya. Para ilmuan membanjir datang ke Mesir untuk meneliti lebih jauh situs-situs peradaban bangsa Mesir kuno, terutama pada tiang-tiang Obelisk, ukiran-ukiran pada pyramid, patung-patung serta papyrus-papyrus tua yang bertebaran. Dari hasil akhir penelitian ini menunjukkan bahwa inskripsi tertua terdapat pada pyramid Unas (kuburan raja terakhir dinasti kelima atau lebih kurang 300 tahun sebelum Masehi. Inskripsi ini ditemukan di wilayah Kobtos.

Studi-studi tentang sejarah kebudayaan Mesir purba yang dilakukan oleh ahli-ahli sesudahnya, telah pula membuka mata lebih jauh tentang tulisan yang digunakan di Mesir. Ada tiga jenis tulisan yang dipakai oleh rakyat Mesir purba dan masing-masing digunakan untuk keperluan yang berbeda-beda. Di antara jenis tulisan itu adalah : pertama, Hieratic, yaitu tulisan yang biasanya digunakan untuk penulisan-penulisan resmi (official script ). Jenis kedua adalah Demotic, yang bentuk dan cara penulisannya berbeda dengan jenis pertama. Tulisan ini digunakan sehari-hari oleh rakyat biasa. Kedua jenis tulisan yang telah disebutkan biasanya ditulis di atas kertas papyrus.

Berbeda dengan kedua jenis tulisan tersebut, ada lagi tulisan yang disebut denga Hieroghliph, yang merupakan tulisan gambar dan lebih konkrit dalam penonjolan gambarnya dibanding dengan dua tulisan terdahulu. Hierogliph ini biasanya digunakan secara khusus untuk menulis-teks-teks suci yang bersifat ritual/sacral (Easton,1971:70). Karena itu, jenis ini tidak dapat digunakan untuk keperluan komunikasi biasa. Tulisan Hierogliph ini banyak sekali dijumpai pada makam-makam Pharao (Fir'aun), yaitu dalam piramid-piramid pada situs-situs peradaban masyarakat Mesir purba.

Seperti juga tulisan Cuneiform di Mesopotamia, tulisan Mesir kuno ini juga berawal dari tulisan gambar, meskipun pada saat ditemukan sudah tidak lagi merupakan lambang gambar, akan tetapi sudah melambangkan bunyi. Proses peralihan fungsi lambang ini berjalan dalam waktu yang lama dan secara berangsur-angsur. Lambang "matahari" --yang oleh rakyat Mesir disebut dengan "re"--, dalam perkembangannya akhirnya berubah fungsi dari pengertian matahari itu sendiri menjadi lambang bunyi suku kata yang berbunyi "re" (Mario Pei,1971:80). Lambang-lambang yang menunjukkan bunyi suku- kata inilah yang banyak dijumpai pada ketiga jenis tulisan yang telah disebutkan terdahulu.

Pada awalnya tulisan kuno di Mesir ini ditulis secara vertikal dari atas ke bawah dan sewaktu-waktu ditulis secara horizontal dari kiri ke kanan dan diikuti dari kanan ke kiri. Sedangkan pada masa terakhir, diketahui bahwa tulisan Hierogliph ditulis dari kiri ke kanan (Zainuddin,1974:297).
Penggunaan papyrus sebagai media tulis adalah sangat umum, terutama untuk tuisan Hieratic dan Demotic, sementara tulisan Hierogliph biasanya ditulis/diukir di atas batu.

c. Tulisan Tionghoa
Pengetahuan tentang peradaban bangsa Tionghoa purba terungkap dengan dilakukannya penggalian-penggalian arkeologis oleh sejumlah ahli di wilayah ini. Pada awal abad kedua puluh ini telah dilakukan penggalian di daerah Honan, sebuah daerah tua yang terletak di bagian utara sungai Kuning (Hoang Ho). Di daerah ini terdapat sebuah timbunan tanah yang oleh bangsa Tionghoa disebut dengan "Timbunan Tanah Yin". Sejumlah benda-benda purbakala, seperti tulang-belulang serta piring-piring yang terbuat dari kulit penyu, berhasil ditemukan pada penggalian ini.
Hasil penemuan ini menjadi penting, setelah diketahui bahwa goresan-goresan yang menghiasi tulang belulang dan piring-piring kulit penyu itu adalah merupakan tulisan yang digunakan oleh masyarakat Tionghoa purba di lembah sungai Hoang Ho itu. Tulisan ini ditulis oleh para ahli nujum yang meramalkan kejadian-kejadian yang bakal terjadi. Berbagai aspek kehidupan masyarakat, seperti perjalanan, perburuan, panen, pemerintahan dan sebagainya dapat diketahui dari goresan-goresan itu. Ini pada umumnya adalah jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh orang-orang yang membutuhkan bantuan (ramalan) dari para ahli nujum itu.

Tulisan yang berupa goresan-goresan ini akhirnya dapat dirumuskan dan diklassifikasikan sebagai tulisan gambar, karena ternyata sebagian dari lambang-lambang yang dipakai masih berupa gambar konkrit, meskipun ada juga terdapat lambang gambar yang sudah disederhanakan. Penemuan ini akhirnya berkesimpulan bahwa tulisan seperti ini digunakan di masa dinasti Syang (1550-1050 sM.).

Penggunaan kulit penyu dan tulang belulang sebagia media tulis, pada waktu ini, merupakan gambaran yang khas dari peradaban masyarakat purba di kawasan Timur Jauh ini, setidaknya pada satu priode tertentu dalam perjalanan sejarah bangsa Tionghoa.
Pada masa dinasti Syang, peranan ahli nujum dalam kehidupan sosial, agaknya sangat besar sekali. Oleh sebab itu banyak sekali masalah-masalah kemasyarakatan yang digantungkan pada ramalan mereka, mulai dari masalah pribadi sampai kepada masalah ketatanegaraan dan kekuasaan.

Semua jawaban atas pertanyaan itu dituangkan pada media kulit penyu dan tulang belulang itu. Media ini terlebih dahulu dilicinkan dan diberi lobang-lobang. Kemudian dengan memasukkan besi yang sudah dipanaskan, maka lobang-lobang itu akan menimbulkan retakan-retakan. Dari retakan itulah ahli nujum mengembangkan menjadi bentyuk-bentuk tertentu, mungkin berupa gambar binatang, tumbuh-tumbuhan, serta gambar-gambar benda, dan dari gambar yang dihasilkan itulah dipahami pengertian tentang apa yang bakal terjadi, seperti panen yang akan melimpah ruah atau kekuasaan yang akan hancur dan sebagainya.

Cara-cara pelambangan gambar untuk mengungkapkan sesuatu pengertian, seperti yang dilakukan oleh ahli-ahli nujum ini ternyata membawa dampak positif bagi perkembangan tulisan Tionghoa untuk masa-masa selanjutnya. Penggunaan gambar untuk melambangkan suatu pengertian ucapan, sampai saat ini masih tetap digunakan. Sekalipun cara penggambarannya sudah semakin disederhanakan, namun tidak mengubah fungsi lambang itu sendiri sebagai lambang pengertian ucapan. Tidak dapat dielakkan pula bahwa sistem ini menuntut penggunaan lambang yang sangat banyak, karena satu gambar mengemban satu pengertian ucapan. Akan tetapi, sebaliknya, sistem ini memiliki keuntungan lain pula, yaitu tulisan gambar (pictografis) ini, dapat dibaca oleh setiap kelompok masyarakat yang menganut sistem ini, meskipun ada perbendaan-perbedaan bunyi ucapan di antara kelompok -kelompok itu.

Penggunaan media kulit penyu dan tulang-belulang, ternyata juga menuntun kemajuan yang lebih cepat dalam bidang penggunaan media tulis pada masyarakat Tionghoa. Belahan-belahan bambu dan kayu akhirnya menggantikan kulit penyu dan tulang, namun tetap dengan menggunakan besi panas sebagai alat tulisnya. Setelah bambu dan kayu dirasakan kurang praktis dan berat, maka orang-orang Tionghoa beralih ke penggunaan kain sutera, setelah sebelumnya mereka menemukan cara-cara pembuatan tinta, yaitu dengan menggunakan minyak rengas yang diberi warna hitam dengan jelaga.
Pada abad pertama Masehi, masyarakat Tionghoa telah meramu kertas untuk menggantikan sutera yang dirasakan terlalu mahal. Bahan baku bagi pembuatan kertas ini adalah pakaian bekas, jerami dan kulit kayu. Bahan ini terlebih dahulu dihancurkan, kemudian disaring dan dituangkan pada wadah yang datar, dan beberapa waktu kemudian, mereka pun berhasil memutihkan kertas yang sudah jadi itu.

Kepandaian membuat kertas ini dipelajari oleh orang-orang Islam dari Tionghoa, terutama pada saat pesatnya kegiatan dagang antara Timur Tengah dengan wilayah ini. Pabrik kertas pertama didirikan oleh umat Islam di Samarkand dan pada masa-masa selanjutnya diikuti pula oleh wilayah-wilayah Islam lainnya. Orang-orang Barat, seperti Perancis dan Italia memperoleh kepandaian ini dari Spanyol sekitar tahun 1200 M. Pada saat Eropa mulai mengembangkan pembuatan kertas ini, orang Tionghoa telah mengembangkan teknologi percetakan. Ini sudah mereka rintis penggunaannya semenjak tahun 770 M. dengan menggunakan cetakan kayu.

© Irhash A. Shamad.


Masuknya Islam ke Indonesia : Masalah Perspektif Analisis

Written By Irhash A. Shamad on 20 Februari 2009 | 00.12

Betapapun seorang sejarawan berusaha untuk menghindarkan diri dari faktor subjektivitas dalam penelitiannya, secara sadar atau tidak, ia akan ia selalu dibayangi oleh faktor itu manakala ia mengungkapkan peristiwa sejarah yang ia teliti. Keterlibatan faktor-faktor subjektivitas--yang bahkan dalam hampir semua penelitian--, pada dasarnya, sulit dihindarkan, karena bagaimanapun dalam menentukan titik pandang terhadap objek yang diteliti, faktor ini sudah tentu ikut berperan. Demikianpun pada saat ia menentukan tujuan penelitian. Dalam kaitan ini, visi pribadi, golongan, agama, ideologi, politik dsb. merupakan dasar pertimbangan yang sangat sulit untuk dihindarkan.

Penulisan sejarah Islam di Nusantara telah ditulis oleh banyak sejarawan dengan sudut pandang --dan mungkin untuk sebahagian dapat disebut sebagai subyektivitas -- yang berbeda-beda. Perbedaan ini ternyata telah mengundang perdebatan-perdebatan yang berkelanjutan dan tak habis-habisnya hingga saat ini.

Pada dasarnya, perbedaan visi -- dalam beberapa hal-- dapat dibenarkan dalam penulisan sejarah. Namun perbedaan visi tentunya akan sukar diterima bila pengertiannya disetarakan dengan 'pemaksaan keinginan' penulisnya dalam pengolahan fakta-fakta yang disesuaikan dengan tujuan-tujuan tertentu yang hendak dicapai dengan penulisan sejarah itu. Sama halnya juga dengan, bahwa perbedaan visi tidak dapat dijadikan alasan untuk mendeskripsikan secara imajinatif tentang realitas-realitas sejarah yang sebenarnya tidak atau kurang ia ketahui.

Tulisan ini akan mengemukakan beberapa persoalan pokok diseputar perdebatan-perdebatan klasik tentang masuknya Islam ke Nusantara . Pembahasan ini, disamping merupakan kajian ulang tentang pokok persoalan yang disebutkan, lebih jauh akan dicoba menganalisa sejauhmana keterlibatan subjektivitas dari perbedaan visi itu dapat dipertemukan. Semua itu ditujukan untuk mendapatkan kebenaran sejarah, hingga perdebatan-perdebatan klasik seperti itu tidak terlalu membingungkan, atau setidaknya akan mengurangi kebingungan kita dalam melihat kebenaran sejarah masa lalu.

Persoalan Daerah Asal

Persoalan daerah asal Islam yang diterima pada tahap awal di Nusantara adalah merupakan topik yang paling banyak diperbincangkan. Hal ini dapat dimaklumi karena persoalan daerah asal akan sangat erat kaitannya dengan bentuk Islam yang diterima itu; apakah Islam diterima dalam bentuknya yang murni atau mungkin sudah tercampur dengan bias-bias kultural daerah asalnya. Yang demikian tentu akan lebih menarik lagi bila dikaitkan dengan kajian-kajian tentang eksistensi Islam di Indonesia pada masa-masa kemudian, seperti yang banyak ditulis oleh para ilmuan hingga saat ini, baik kajian yang menyangkut budaya, pemikiran maupun kenyataan sosial dan politik umat Islam Indonesia sampai pada periode kontemporer.

Persoalan ini akan menjadi ironis manakala dihubungkan dengan berbagai kepentingan yang sifatnya bertujuan bagi “penipisan” eksistensi Islam itu sendiri di Indonesia seperti yang telah banyak dilakukan oleh penulis-penulis kolonial, tanpa mempertimbangkan subjektivitas kultural yang mereka miliki dan hanya dipandu oleh otoritas keilmuan yang bukan tanpa disertai unsur subjektiv itu.

Tesis awal tentang daerah asal Islam yang datang ke Nusantara pertama kali diajukan oleh Dr. Pijnappel, seorang Professor dari Universitas Leiden. Ia mengemukakan bahwa Islam Nusantara dibawa dari daerah Gujarat (India) oleh orang-orang Arab yang telah bermukim di daerah itu (cf. Drewes, 1968; 439). Pendapat ini dikembangkan ilmuan-ilmuan selanjutnya seperti JP.Moquette (1912), Snouck Hurgronye, W.F. Stutterheim (1935), J. Gonda (1952) dan lain-lain. JP. Moquette (1912) lebih menekankan argumentasi peninggalan arkeologis yang terdapat di Aceh dan Gresik. Ia membandingkan nisan makam puteri Pasai yang berangka tahun 831 Hijriah (1428 Masehi) dengan nisan makam Maulana Malik Ibrahim (Gresik) adalah sama seperti nisan-nisan makam Umar bin Ahmad Kazaruni yang berangka tahun 1338 Masehi di Cambay Gujarat. (cf. Slamet Mulyana, 1981; 267 dan Azyumardi Azra, 1995; 24-25).

Kesimpulan Moquette inilah yang dikembangkan oleh sarjana-sarjana Belanda seperti yang telah kita sebutkan terdahulu, meskipun kesimpulan tersebut masih perlu dipertanyakan. Moquette ternyata telah melakukan perbandingan yang keliru, karena jarak waktu antara nisan makam puteri Pasai (1428 M.) dengan makam Kazaruni (1338 M.) adalah sangat jauh dan dengan demikian sangat sulit diterima menjadi dasar pertimbangan bagi kesimpulan yang ia ambil itu. Namun para sarjana Belanda lainnya itu hampir semuanya sepakat untuk tidak terlalu mempersoalkan dasar kesimpulan Moquette ini.

Kesimpulan-kesimpulan ini bila dikaitkan dengan kondisi Indonesia serta kenyataan kolonial Belanda di Indonesia pada saat mana tulisan-tulisan itu dihasilkan (awal abad ke 20), bisa dipahami bahwa penelitian-penelitian ilmiah yang dilakukan oleh Belanda sangat mungkin dirasuki oleh kepentingan kolonialisme. Kita ketahui bahwa persoalan Islam di Indonesia menempati prioritas utama dalam pemikiran-pemikiran Belanda. Karena, setidaknya pada akhir abad ke 19 Belanda di Indonesia banyak disusahkan dengan perlawanan-perlawanan Islam, terutama perlawanan-perlawanan yang dimotori oleh tokoh-tokoh yang pernah belajar di Timur Tengah. Belanda harus berfikir keras mencari pemecahan-pemecahan secara kultural soal militansi Islam ini. Untuk upaya inilah mereka melibatkan para sarjana dan ilmuwan untuk menemukan cara-cara yang dapat mengurangi dan membendung militansi Islam itu. Menurut sementara “ahli” Belanda, kelemahan-kelemahan Islam harus ditunjukkan kepada umat Islam sendiri. Pengemukaan fakta bahwa Islam di Indonesia tidak berasal dari Timur Tengah (Arab) dengan sengaja dijadikan sarana untuk memperlonggar keterkaitan antara umat Islam di Indonesia dengan pusat Islam itu sendiri di Timur Tengah. Dengan itu diharapkan fanatisme dan radikalisme umat Islam dapat dikurangi. Adalah sangat mungkin pengemukaan fakta sejarah tentang Islam oleh penulis-penulis Belanda pada awal abad ke 20 itu, terutama kenyataan tentang daerah asal Islam yang diterima oleh bangsa inipun adalah merupakan bahagian dari upaya tersebut.

TW. Arnold menempatkan argumentasinya berdasarkan mazhab yang dianut oleh masyarakat Nusantara. Menurutnya mazhab Syafi'i yang dianut di Nusantara sama dengan yang dianut oleh masyarakat muslim di wilayah Malabar/ Coromandel (pantai barat India) (TW. Arnold, 1913; 365). Karena itu ia berkesimpulan bahwa Islam yang masuk ke Nusantara berasal dari Malabar bukan dari Gujarat. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh G.E. Marrison (Marrison, 1951; 31-37). Ia membantah pendapat tentang Gujarat, karena menurutnya alasan persamaan bentuk nisan sama sekali tidak dapat dijadikan alasan bahwa Islam berasal dari daerah itu. Ia memperkuat kesimpulan ini dengan kenyataan bahwa nisan makam Malik Al Saleh berangka tahun 1297, pada hal Gujarat pada waktu yang sama belum ditaklukan oleh umat Islam. Islam baru meluas ke wilayah ini pada tahun 1298 atau setahun setelah raja Pasai pertama itu meninggal dunia.

Di pihak lain ternyata SQ. Fatimi menafikan pendapat-pendapat yang telah dikemukakan oleh para ahli terdahulu. Menurutnya sangatlah keliru menilai bahwa terdapat persamaan bentuk nisan-nisan di Nusantara dengan yang terdapat di Gujarat. Persamaan bentuk nisan itu lebih terlihat dengan nisan yang terdapat di Bengal (Benggala) (Fatimi, 1963; 31-32). Jadi sangat mungkin menurutnya bahwa Islam Nusantara dibawa dari Bengal. Pendapat ini tentunya juga menolak-- atau setidaknya ia tidak menggunakan-- alasan persamaan mahzab, karena ternyata bahwa masyarakat muslim Bengal menganut mahzab Hanafi.

Diantara pendapat-pendapat yang telah kita sebutkan terdahulu pada dasarnya sepakat mengatakan bahwa Islam yang dibawa ke Nusantara berasal dari India, meskipun pendapat tentang daerah asal masih terdapat pertikaian-pertikaian mendasar. Yang perlu dicatatkan disini ialah hampir semua pendapat itu bertolak dari kerangka analisis yang masih perlu ditinjau ulang, karena semua argumen yang dikemukakan pada umumnya ditempatkan pada lingkup waktu sekitar abad ke 13 M. yaitu atas dasar penemuan arkeologis nisan makam seperti yang telah dikemukakan.

Beberapa dasa warsa terakhir fakta-fakta tentang daerah asal Islam yang masuk ke Nusantara itu kembali dipertanyakan, dan lebih menghangat lagi setelah diselenggarakannya Seminar Masuknya Islam ke Indonesia yang diadakan di Medan pada tahun 1963 dan diperkuat dengan seminar yang sama di Aceh pada tahun 1967. Kedua seminar ini berkesimpulan bahwa Islam yang masuk ke Nusantara berasal dari Arab. Kegiatan perdagangan Arab di jalur perdagangan Nusantara yang telah intensif semenjak abad pertama Masehi dijadikan landasan analisis, bahkan dengan telah terdapatnya komunitas-komunitas Arab pada jalur-jalur perdagangan itu seperti yang diberitakan oleh penulis China di zaman Dinasti Sung. Alasan-alasan yang disebutkan terakhir pada dasarnya telah merobah kerangka analisis yang tidak lagi pada lingkup waktu sekitar abad ke 13 akan tetapi semenjak kelahiran agama Islam itu sendiri (abad ke 7 M).

Pemikiran-pemikiran yang berkembang pada seminar ini disamping menggunakan sumber-sumber arkeologis dan berita-berita Cina juga tidak sedikit menggunakan sumber-sumber Arab sendiri, terutama yang menyangkut tentang pelayaran dagang Arab di wilayah kepulauan Nusantara serta hubungan-hubungan diplomatik antara kekhalifahan Islam masa-masa awal dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara dan Cina pada abad-abad awal Hijriah (7-10 M).

Meskipun hasil seminar yang disebutkan telah menimbulkan pro dan kontra di kalangan sejarawan, namun setidaknya kesimpulan yang telah dihasilkan itu merupakan tesis akhir yang perlu untuk dipertimbangkan bagi kajian-kajian selanjutnya tentang sejarah Islam di Indonesia. Sikap kontra terhadap hasil seminar ini ditunjukkan oleh sebahagian ilmuwan yang meragukan otoritas kesejarahan yang dimiliki oleh peserta-peserta seminar pada waktu itu tanpa mempertimbangkan otoritas keilmuan serta kredibilitas sumber-sumber yang mereka gunakan. Sebahagian besar dari mereka memang tidak terdidik secara khusus dalam lapangan sejarah, akan tetapi tingkat akurasi dari pernyataan-pernyataan dan kesimpulan-kesimpulan mereka mencerminkan kesungguhan mereka dalam mencari objektifitas sejarah.

Sejalan dengan hasil seminar ini, Naquib Al Attas mengemukakan bahwa sangatlah tidak beralasan untuk mengatakan bahwa Islam di Nusantara berasal dari Gujarat dengan hanya mengandalkan penemuan epigrafis (nisan makam) saja. Ia lebih cenderung berpendapat bahwa Islam dibawa ke Nusantara dari Arab dan Persia. Ini dibuktikan dengan kenyataan literatur-literatur Islam-Melayu serta konsep-konsep istilah yang digunakan dalam literatur-literatur tersebut serta pengarang-pengarang muslim dalam literaur Melayu-Islam yang ternyata tidak berasal dari India, akan tetapi lebih banyak dari Arab dan Persia, bahkan sebagian kecil dari Turki dan Maghrib (cf. Al Attas, 1969; 1-25).

Apa yang dikemukakan oleh Al Attas pada dasarnya lebih menitik beratkan pada persoalan yang menyangkut dengan daerah asal semata berdasarkan analisa persamaan literatur. Akan tetapi patokan kronologis analisisnya tetap berpijak pada argumentasi sarjana-sarjana Belanda seperti yang disebutkan pada bahagian terdahulu. Al-Attas menjadikan literatur-literatur Melayu abad ke 16 dan 17 menjadi dasar bagi analisisnya. Literatur-literatur Melayu yang dimaksud tentunya adalah literatur yang banyak dihasilkan oleh tokoh-tokoh sufi Melayu Aceh pada abad tersebut.
Dasar analisis seperti yang digunakan oleh Al Attas adalah salah satu contoh pemanutan terhadap tesis yang diajukan oleh sarjana-sarjana Belanda. Meskipun tesis itu kemudian menimbulkan perdebatan-perdebatan dengan munculnya tesis-tesis baru, namun yang sangat mengherankan bahwa dasar analisis kronologis yang berpatokan sekitar abad ke 13 seperti yang dikemukakan oleh sarjana Belanda itu, tetap dijadikan pegangan.

Apa yang kita kemukakan sebenarnya hanyalah satu aspek dari persoalan-persoalan yang banyak diperdebatkan tentang Islam di Indonesia dalam kajian sejarahnya. Persoalan ini tentunya akan sangat terkait dengan persoalan waktu, proses, golongan pembawa dan masalah konversi yang berlaku di Nusantara pada waktu itu. Namun pada bahagian ini apa yang perlu kita kemukakan ialah bahwa selain masalah subyektifitas, pandangan kesejarahan konvensional juga ternyata lebih banyak mempengaruhi sementara penulis sejarah. Disadari atau tidak, peristiwa kemanusiaan pada masa lalu sering dilihat dengan pendekatan politik/kekuasaan, tentunya politik/kekuasaan yang bukan dalam pengertian power, tetapi dalam pengertian state atau nation . Kecenderungan analisa sejarah seperti ini telah diperpegangi dalam melihat keberadaan Islam di Nusantara, seperti dasar analisis bahwa Islam di Nusantara barulah eksis pada saat Islam disini sudah berujud sebagai kekuatan politik (semenjak adanya kerajaan Islam pertama di Nusantara). Pada titik inilah kajian-kajian tentang proses islamisasi dan konversi sering ditempatkan, sehingga kajian-kajian tersebut terlihat 'memihak' pada satu sisi pandang yang seperti telah di"pola"kan oleh sarjana-sarjana yang kita sebutkan terdahulu itu.

Seminar- Aceh dan Medan tentang masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia telah mencoba meninjau kembali sisi pandang itu dengan merobah kerangka waktu analisisnya pada abad ke tujuh Masehi, yaitu pada saat mana proses islamisasi dan konversi Islam di nusantara masih belum merupakan suatu sistem kekuasaan . Namun hasil seminar ini masih saja dipandang "sebelah mata" oleh sementara sejarawan kita.

Persoalan Waktu

Suatu hal yang sering kurang disadari adalah bahwa kesimpulan yang diambil dalam menetapkan daerah asal adalah saling terkait dengan persoalan waktu (sebagai patokan kronologisnya) demikianpun dengan terminologi dan pendekatan yang digunakan. Manakala kita sependapat tentang peranan perdagangan dalam proses pengislaman masyarakat nusantara, maka patokan kronologis itu tentulah sangat luas, tidak hanya pada abad ke 13, akan tetapi meliputi rentang waktu semenjak efektifnya kegiatan pelayaran dagang di jalur-jalur perdagangan Nusantara. Dan ini diperkirakan sudah berlangsung bahkan semenjak abad pertama Masehi. Karena itulah Seminar Medan dan Aceh seperti yang disebutkan terdahulu, lebih banyak mengemukakan analisis dalam kerangka waktu abad pertama Hijriyah (sekitar abad ke 7 Masehi) untuk mendapatkan fakta tentang konversi Islam di nusantara.

Dalam melihat proses islamisasi di nusantara, selama ini para sejarawan lebih banyak terpaku pada penemuan arkeologis. Nisan makam Maulana Malik al-Shaleh yang berangka tahun 1297 M. seperti yang telah disebutkan terdahulu, dijadikan sumber primer"terkuat" sebagai rujukan dalam menggunakan terminologi masuknya Islam ke Nusantara. Pada hal bukti arkeologis itu secara jelas mengisyaratkan bahwa pada waktu itu, sebetulnya Islam sudah eksis di nusantara sebagai suatu sistem kekuasaan. Lazimnya terbentuknya suatu sistem kekuasaan Islam akan terbentuk manalaka sudah didahului dengan adanya komunitas-komunitas muslim di wilayah itu jauh sebelum angka tahun yang tertera pada nisan tersebut. Aspek fungsional nisan ini pada dasarnya memperlihatkan bahwa Islam pada saat itu sudah merupakan suatu kekuatan politik, dan sementara itu kitapun sangat tidak meragukan pula bahwa kedatangan Islam ke nusantara tidak dibawa oleh golongan bangsawan (penguasa) dan proses konversinya berlangsung secara damai. Maka dengan demikian seyogianya dapat dipastikan bahwa sangatlah keliru menggunakan bukti arkeologis ini sebagai patokan waktu masuknya Islam ke nusantara atau dengan kata lain proses konversi awal terhadap Islam tidaklah berarti baru berlangsung setelah Islam berwujud sebagai kekuatan politik.

Terminologi masuknya Islam ke Nusantara sering tidak mendapatkan penjelasan yang memuaskan dari sementara sejarawan dan sering dikacaukan dengan pengertian berkembangnya Islam itu sendiri. Karena bukti arkeologis semacam itu tentunya merupakan bukti bahwa pada waktu itu Islam di nusantara sedang mengalami perkembangan yang pesat, karena, disamping sudah berwujud kekuatan politik, proses penye-barannyapun sudah semakin intensif, tetapi bukan sebagai bukti bahwa pada saat itu proses konversi Islam baru mulai berlangsung. Adalah sangat naif bila terminologi masuknya Islam dalam pengertian konversi di sini, dilandaskan pada bukti tertulis yang ada itu.

Sementara ini kesimpulan yang diambil dari perdebatan-perdebatan tentang persoalan waktu masuknya Islam ke Nusantara sudah mulai agak longgar, namun masih saja terasa belum tuntas. Ada yang menyimpulkan bahwa Islam masuk ke nusantara abad ke 11 M, dan --berdasarkan berbagai analisa-- bahkan ada yang berkesimpulan pada abad ke 9 M. demikianpun juga dengan abad ke 7 M. Sementara itu ada yang secara "bijak" mengatakan bahwa Islam sudah masuk sebelum abad ke 13 dan baru berkembang dengan pesat pada abad ke 13 M. tanpa memberi penjelasan yang memuaskan tentang waktu masuknya. Bahkan ada pula pernyataan yang dapat dianggap belum merupakan kesimpulan, yaitu asumsi bahwa pernyataan masuknya Islam abad ke 7 M. adalah kemungkinan semata. Namun demikian agaknya masalah terminologi kata masuk dalam pengertian konversi di sini sudah mulai disadari, hanya saja belum terlihat adanya studi yang serius untuk mendapatkan fakta kuat terhadap kerangka kronologis yang disebutkannya itu.

© Irhash A. Shamad

Maklumat

Maklumat
 
Support : Pandani Web Design
Copyright © 2009-2014. Irhash's Cluster - All Rights Reserved
Template Created by Maskolis
Proudly powered by Blogger