.
Kecendrungan kepada pembaharuan sebagai representasi fenomena keagamaan awal abad keduapuluh itu disebabkan oleh keterjebakan sebagian besar sejarawan pada prakonsepsi dikhotomis antara Kaum Tua dan Kaum Muda, atau antara tradisionalis dan modernis. Prakonsepsi ini terasa lebih bias ketika bertolak dari asumsi bahwa yang tua dan tradisional adalah sesuatu yang kuno dan menjadi bagian dari episode sejarah yang kelam, sedangkan yang muda dan modernis adalah sesuatu yang baru dan mencerahkan. Kecendrungan itu tentulah menjadi gambaran buruk dari sebuah prakonsepsi yang keliru serta sikap keberpihakan sejarawan dalam pemilihan tema-tema kesejarahan. Yang demikian, sesungguhnya, secara sadar atau tidak, telah mendistorsi nilai obyektivitas sejarah itu sendiri.
Prakonsepsi tentang ‘pertikaian’ ulama Minangkabau antara kaum tua dan kaum muda sebagai yang banyak ditulis dalam sejarah selama ini, di sini, diasumsikan masih memerlukan pemahaman dalam perspektif sejarah lokal, dimana perbedaan pandangan merupakan sumber dinamika masyarakat yang senantiasa menjadi keniscayaan dalam konteks kehidupan kultural masyarakat Minangkabau, seperti digambarkan dalam pepatah adat : “basilang kayu dalam tungku, baitu api mangko ka iduik” (bersilang kayu dalam tungku, begitu api baru bisa hidup). Aspek normatif adat ini menjadi kebutuhan kultural masyarakat sejak lama dan dalam perkembangannya telah melahirkan berbagai praksis sosial kultural di Minangkabau (Irhash A. Shamad, 2007;175).
Dikhotomi perbedaan pandangan yang dikonsepsikan sebagai pertikaian Kaum Tua dan Kaum Muda terhadap kalangan ulama-ulama Minangkabau pada dekade ini muncul dari seorang filolog Belanda, BJO Schrieke. Ia adalah seorang tenaga ahli Kantor Urusan Pribumi di masa Gubernur Jenderal de Graaft dan sangat terkait dengan berbagai kebijakan pendidikan Belanda di Indonesia dalam rangka membendung gerakan nasionalisme di kalangan pribumi . Oleh karena itu patut untuk diduga bahwa prakonsepsi tersebut sangat erat kaitannya dengan berbagai kepentingan politik pemerintahan kolonial yang melatarbelakanginya. Inilah yang banyak menjadi dasar analisis sejarah kehidupan keagamaan di Minangkabau yang ditulis setelahnya sebagai yang banyak dijumpai sekarang, dimana peran sebagian besar ulama menjadi “tenggelam” dalam sejarah perkembangan Islam di wilayah ini sejak awal abad ke-20.
Salah satu tradisi pengajian yang popoler di kawasan Asia tenggara, tak terkecuali Indonesia dan Minangkabau, pada rentang waktu akhir abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20 adalah Syafi’iyyah. Ini dapat dilihat dari berbagai aktifitas pengajaran di surau-surau serta perjalanan intelektual ulama-ulama Nusantara pada waktu ini, demikianpun referensi keagamaan (fiqh) yang digunakan secara umum pada majelis-majelis pengajian mereka. Aktifitas pengajian ini terbilang cukup meluas dan membentuk jaringan yang antara satu dengan yang lain saling terhubung dalam satu kesatuan ideologis. Akan tetapi bagaimana jaringan ini bekerja dan mewarnai kehidupan sosial secara umum di Minangkabau, tidak begitu kelihatan ke permukaan sejarah. Ini disebabkan karena perhatian sejarawan yang “larut” dalam kegairahan aktifitas pembaharuan 'keagamaan' yang, dalam beberapa asumsi, telah menafikan keberadaan salah satu kelompok ideologis, apalagi dengan populernya pemilahan Kaum Tua dan Kaum Muda sebagai yang dikemukakan terdahulu.
Atas hal itu, keberadaan kelompok ideologis (Syafi’iyyah), menurut penulis, perlu mendapatkan perhatian tersendiri dalam penulisan sejarah. Penulisan mana, tentunya, tidak diberangkatkan dari perspektif ‘pertikaian’ ulama sebagai prakonsepsi dikhotomis seperti dikemukakan terdahulu, akan tetapi lebih pada perspektif bahwa jaringan Syafi’iyyah sebagai “titik balik” tradisi intelektual akhir abad ke-19 dari mana hampir semua kalangan ulama Minangkabau yang muncul awal abad ke-20, mendasari wawasan keulamaannya.
Tradisi pengajian Syafi’iyyah dengan figur sentral keulamaan Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawy diasumsikan menjadi terminal kedua dalam jaringan intelektual Minangkabau dengan pusat Islam Makkah al-Mukarramah. Majelis pengajiannya ini melahirkan ulama-ulama yang menjadi pelanjut tradisi pengajian Syafi’iyyah setelah kembali ke tanah air masing-masing. Diantara ulama-ulama Minangkabau murid Syekh Ahmad Khatib yang kemudian melanjutkan tradisi pengajian Syafi’iyyah, dan hanya beberapa diantaranya yang kemudian dikenal dengan ulama pembaharu. Bahkan untuk beberapa asumsi, pengajian Ahmad Khatib inilah yang dianggap telah menyumbang bagi munculnya berbagai gerakan pembaharuan keagamaan pada akhir abad ke-19 dan masa-masa sesudahnya. Asumsi itu tentu didasarkan pada fakta bahwa semua tokoh ulama pembaharu Minangkabau awal abad keduapuluh adalah murid-murid Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawy.
Masih dalam asumsi yang sama, sesungguhnya, preskripsi bahwa tradisi Syafi’iyyah atau penganut mazhab Syafi’i adalah berada di luar arus pembaharuan, dan bahwa pemikiran pembaharuan Islam awal abad ke-20 adalah gerakan anti mazhab (Syafi’i) atau anti tarikat , ternyata masih memerlukan berbagai penjelasan. Begitu juga misalnya pembaharuan sebagai suatu proses yang melahirkan kecendrungan non teologis yang dihadapkan kepada kenyataan lingkungan sosial, dan tidak lagi sekedar pencarian terhadap pesan-pesan teologis dari kebenaran ajaran agama (Taufik Abdullah, 1987 : 91). Dari aspek ini, ternyata beberapa literatur tentang pembaharuan Islam di Minangkabau tidak banyak memberikan penjelasan yang memadai secara konseptual dan definitif terhadap penggunaan terminologi pembaharuan itu sendiri. Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu faktor kerancuan, ketika ada keharusan untuk memberikan klassifikasi keulamaan seseorang, apakah tergolong kepada pembaharu atau bukan pembaharu, demikianpun batasan-batasan konsep antara tradisionalis dan modernis dan antara kaum tua dan kaum muda sebagaimana yang telah dikemukakan terdahulu.
Demarkasi antara antara modernis dan tradisionalis semakin lebih dikelirukan lagi dengan penggunaan prakonsepsi Schrieke terdahulu, dimana ia lebih memberi penajaman pada persoalan-persoalan sekunder (furu’iyyah) yang dipolemikkan antara kedua belah pihak, bukan atas dasar bahwa pelahiran gagasan pembaharuan yang didorong oleh pemberian makna keberagamaan dan interpretasi doktrinal terhadap perubahan-perubahan realitas sosial dan kultural yang terjadi. Kekeliruan inilah juga yang telah sangat berimplikasi terhadap langgengnya pemilahan para ulama dan terbentuknya polarisasi di kalangan umat Islam sebagaimana yang dirasakan hingga hari ini. Bahkan masing-masing kelompok telah mengidentifikasi diri secara salah berdasarkan perbedaan praktek keagamaan sekunder itu. Ini, menurut penulis, merupakan bagian dari apa yang sesungguhnya dicita-citakan oleh penulis-penulis masa kolonial, dimana perpecahan umat Islam akan memberikan keuntungan tersendiri bagi proyek kolonialis yang mereka jalankan, sebagaimana yang juga diimpikan oleh empu ilmuan orientalis C. Snouck Hurgronye sendiri.
Wallahu a’lamu bishshawab
©Irhash A. Shamad
Posting Komentar