Home » , , » Dimensi Ekonomi dalam Gerakan Keagamaan Akhir Abad ke-18 : Tuanku Nan Tuo

Dimensi Ekonomi dalam Gerakan Keagamaan Akhir Abad ke-18 : Tuanku Nan Tuo

Written By Irhash A. Shamad on 24 November 2009 | 14.05

Pasca jatuhnya Malaka ke dalam genggaman kolonialis Portugis pada tahun 1511 berakibat pada goyahnya kekuatan politik ekonomi Kerajaan Aceh Darussalam di sepanjang pantai timur Pulau Sumatera. Daerah-daerah pantai barat Sumatera akhirnya menjadi pilihan Aceh untuk menanamkan pengaruh politiknya. Tujuannya tidak lain adalah untuk "memaksakan" dominasi politik ekonominya. Sasaran utama politik ekonomi itu adalah mendapatkan rempah-rempah dan menguasai perdagangan di jalur tersebut. Minangkabau yang terkenal sebagai daerah penghasil rempah-rempah dan kaya akan hasil tambangnya tidak luput dari incaran Aceh (cf.Dobbin:1992). Persentuhan orang-orang Minangkabau dengan Kerajaan Aceh pada gilirannya membuka babak baru bagi perkembangan Islam di Minangkabau. Syekh Burhanuddin tercatat dalam sejarah Minangkabau sebagai yang paling awal belajar kepada Syekh Abdur Rauf di Singkel sebagaimana telah dikemukakan terdahulu.

Pada abad ke-18, di bidang ekonomi masyarakat Minangkabau mengalami rangsangan dagang dan limpahan kekayaan. Menurut Dobbin masyarakat Minangkabau mengalami peningkatan kesejahteraan yang cukup drastis pada waktu ini. Hal ini disebabkan berkembangnya sektor ekonomi dan perdagangan dengan pesat. Surau-surau yang merupakan sentra kegiatan agama mempunyai peranan penting dalam hal ini. Pemimpin-pemimpin Surau dan murid-muridnya terlibat langsung dalam aktifitas ekonomi terutama di pasar-pasar. Tidak sedikit di antara para pemimpin surau itu yang kemudian menjadi kaya raya lantaran keterlibatannya dalam perdagangan.

Peningkatan kesejahteraan rakyat Minangkabau bermula dari berpindahnya konsentrasi ekonomi Belanda yang semula berada di Aceh ke wilayah lain di Nusantara. Beroperasinya Pelabuhan bebas di Penang pada tahun 1786 juga membawa dampak yang cukup penting bagi perdagangan orang-orang Minangkabau karena mereka dapat melakukan kontak dagang langsung dengan pusat ekonomi internasional (Dobbin,1992:118). Daerah Pesisir tercatat sebagai daerah rantau Minangkabau yang memegang peranan sangat penting dalam perdagangan emas sejak abad ke-15. Sementara itu, daerah-daerah rantau pesisir lainnya seperti Barus, Tiku, Pariaman dan Bayang dikenal sebagai kota pelabuhan pengekspor emas dan rempah-rempah khususnya lada. Kota-kota pelabuhan ini menjadi langganan pedagang-pedagang Asia Barat. Selain lewat jalur pantai barat, emas dan lada Minangkabau juga diekspor melalui jalur pantai timur yakni melalui sungai-sungai di Kampar, Indragiri, dan Siak. Jalur timur ini semakin ramai sejak munculnya Malaka sebagai pusat perdagangan di Asia Tenggara. Pada akhirnya, aktifitas perdagangan emas dan lada Minangkabau menjadi bagian dari jaringan perdagangan perusahaan-perusahaan dagang Belanda (baca:VOC) di Asia sebelum berangkat ke Jawa.

Perdagangan emas dan lada mengalami kemunduran sejak akhir abad ke 18. Kopi kemudian tampil sebagai pengganti. Perubahan komoditi perdagangan ini membuka babak baru bagi kehidupan perdagangan di pedalaman. Dalam hal ini Agam dan Lima Puluh Koto menjadi daerah pedalaman yang mengalami keuntungan yang luar biasa. Dua daerah ini dikenal sebagai penghasil kopi yang sangat melimpah. Sudah pasti petani-petani kopi menjadi orang yang paling banyak menikmati keuntungan dari perubahan komoditi ini. Dapat dipastikan pula kehidupan ekonomi mereka semakin meningkat. Meningkatnya kehidupan ekonomi rakyat kedua daerah ini membawa dampak yang cukup besar bagi kehidupan agama mereka. Pedagang-pedagang yang pergi menunaikan ibadah haji; jauh lebih banyak dari biasanya Sekembalinya para haji itu ke kampung halaman, mereka membawa aliran-aliran segar dari dunia muslim di Timur-Tengah (Dobbin,1992:148). Di antara para haji itu kemudian menjadi penggerak-penggerak perubahan sosial di Minangkabau. Agam dan Lima Puluh Koto, kelak dikenal sebagai daerah yang menjadi basis pergerakan pembaharuan Islam tahap awal yang kemudian pada awal abad ke-19 menjelma jadi Gerakan Padri.

Gerakan keagamaan tahap awal di Minangkabau muncul pada akhir abad ke-18. Gerakan ini bermula dari Agam, daerah pedalaman yang dikenal sebagai penghasil kopi yang melimpah ruah dan pusat kegiatan pengajaran fiqh di pedalaman Minangkabau. Mengembalikan masyarakat Minangkabau kepada Syari'at Islam adalah misi utama gerakan yang dipelopori oleh Tuanku Nan Tuo, Guru utama Surau Koto Tuo di Ampek angkek. Pemicu munculnya gerakan tersebut adalah pudarnya kesadaran beragama baik di kalangan masyarakat awam maupun elit-elit tradisional Minangkabau. Tatanan perekonomian masyarakat tidak lagi sejalan dengan ajaran Islam. Bahkan menjamurnya patologi sosial seperti perampokan, pembunuhan, dan perkosaan ikut meruntuhkan sendi-sendi kehidupan masyarakat. Aturan-aturan adat lebih dipatuhi daripada ajaran-ajaran Islam.

Surau, pada waktu ini, memegang peranan yang sangat penting di tengah-tengah masyarakat, tidak saja sebagai pusat pengembangan agama, tetapi juga aktif dalam berbagai kegiatan ekonomi masyarakat. Bahkan, menurut Azra, ketika itu kesetiaan kepada surau melebihi kesetiaan kepada nagari dan suku. Dengan kata lain institusi Islam tradisional itu telah berkembang menjadi suatu lembaga supra village (Azra, 2003:66) Kedudukan surau semakin strategis sebagai basis pergerakan pembaharuan Islam sejak menjamurnya jumlah jema'ah haji Minangkabau yang pergi dan kembali dari tanah suci. Walaupun tidak diketahui secara persis surau-surau mana saja yang terlibat selain Surau Tuanku Nan Tuo, namun dapat dipastikan bahwa daerah Agam menjadi tempat yang penting bagi pertumbuhan surau-surau bagi pengajaran syari’at di pedalaman Minangkabau yang di kemudian hari menghasilkan kader-kader yang terlibat langsung dalam gerakan pembaharuan itu.

Kembali kepada syari'at menjadi slogan yang amat populer di tengah masyarakat menjelang pergantian abad 18 ke abad 19. Slogan ini dimunculkan orang-orang surau lantaran banyak masyarakat Minangkabau yang meninggalkan ajaran-ajaran Islam dalam hampir semua aspek kehidupan. Berjudi, mabuk-mabukan, madat, dan perbuatan-perbuatan lain yang merusak moral menjadi hal yang sangat digemari oleh banyak orang. Kegemaran ini tidak dilakukan oleh masyarakat awam saja, tetapi juga oleh elit-elit adat. Bahkan melakukan perbuatan-perbuatan krimininal seperti merampok, membunuh, menculik, dan memperkosa ikut menghiasi krisis moral ketika itu.

Maraknya patologi sosial dan lunturnya nilai-nilai Islam merisaukan hati para pemimpinan Surau dan elit-elit agama lainnya. Tuanku Nan Tuo (1723-1830), pendiri sekaligus guru utama Surau di desa Koto Tuo, daerah Ampek Angkek Agam, tercatat sebagai ulama yang pertama kali memelopori gerakan memberantas penyakit masyarakat. Inti dari gerakan Tuanku nan Tuo ini adalah memurnikan kembali ajaran-ajaran Islam yang telah dikotori oleh masyarakat, kemudian melakukan penataan bagaimana seharusnya hidup sesuai dengan Al Qur'an dan Sunah Nabi Muhammad SAW. Ia juga mengajarkan pada masyarakat bagaimana agama telah mengatur segi-segi kehidupan ekonomi secara lebih baik, baik melalui pengajian-pengajian maupun dalam praktek kehidupannya sehari-hari.

Literatur-literatur tradisional Minangkabau tidak pernah menyebut nama asli dan asal usul tokoh ini. Oleh karenanya sangat sulit untuk melacak sejarah tokoh ini. Adapun sebutan Tuanku Nan Tuo diberikan oleh masyarakat Minangkabau sebagai penghormatan kepada tokoh ini lantaran kedalaman dan keluasan ilmu agama yang dimilikinya.

Popularitas tokoh ini baru muncul sekitar tahun 1784 ketika ia mendirikan surau di kampungnya, sebagaimana telah kita singgung pada bagian terdahulu. Syafnir (1988:31) mencatat bahwa ribuan orang pernah menjadi murid Tuanku Nan Tuo. Tentu saja, jumlah sebanyak itu akumulasi dari keseluruhan murid dari berbagai periode baik yang pasif maupun yang aktif. Sangat mustahil jumlah sebanyak itu dalam satu periode mengingat fasilitas yang bisa disediakan Surau pada saat itu. Tidak sedikit dari murid-murid Tuanku nan Tuo yang menjadi pelopor-pelopor dan penggerak gerakan Padri. Di antara murid-muridnya yang utama adalah Tuanku nan Renceh, Syekh Djalaluddin Faqih Shagir, Haji Miskin, Tuanku Lintau, Tuanku Padang Laweh, Tuanku Galung, Tuanku Basa, Tuanku Kapau, Tuanku Lubuk Aur, Tuanku Berapi dan. Muhammad Syahab yang terkenal dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol (Taufik Abdullah, 1996:156).

Cara-cara lunak merupakan strategi Tuanku nan Tuo dalam mengajak masyarakat kembali kepada syara'. Cara ini berhasil memikat hati masyarakat di nagari-nagari sekitar Agam. Apalagi dalam menjalankan misinya, Tuanku nan Tuo yang juga dikenal sebagai saudagar kaya raya ikut berperan dalam memberantas penyakit masyarakat. Gerakan keagamaan awal Islam dimulai melalui ceramah-ceramah agama baik di surau-surau maupun tempat-tempat lainnya, seperti pasar dan balai pertemuan adat. Dalam setiap khutbahnya, Tuanku nan Tuo selalu mengajak masyarakat untuk menjadikan Islam sebagai pilihan jalan hidup dan meminta umat untuk menjadi muslim yang baik.

Selain itu, Tuanku nan Tuo seringkali mendatangi langsung tempat-tempat yang sering menjadi sasaran perampokan dan tempat penyimpanan orang-orang yang diculik untuk dijual sebagai budak. Begitu juga tempat-tempat yang sering dijadikan sebagai ajang kemaksiatan. " Dia mengimbau orang-orang yang terlibat dalam hal-hal itu untuk melepaskan diri mereka dari perbuatan-perbuatan keliru tersebut; kalau tidak mereka akan diserang atau dihukum" . Mendekati pergantian abad, cara-cara yang dilakukan Tuanku nan Tuo semakin dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat Agam dan sekitarnya. Kehidupan yang damai dan peningkatan yang signifikan dalam keamanan serta kegiatan perdagangan yang kembali ramai dan semakin berkembang merupakan kenikmatan yang diperoleh masyarakat dari usaha-usaha Tuanku nan Tuo.

Meskipun Tuanku nan Tuo selalu mengutamakan sikap yang penuh hikmah dan bijaksana menjalankan misi pemurniannya, namun dalam beberapa kesempatan tidak dapat menghindari tindakan kekerasan khususnya ketika penduduk nagari yang disinggahinya menggunakan cara-cara yang anarkhis untuk menolak dakwahnya. "Para murid biasanya siap menghadapi kekerasan semacam itu, karena mereka juga merupakan para pesilat yang tangguh. Namun itu tidak dilakukan untuk menunjukkan bahwa agama tidak menganjurkan kekerasan dibalas dengan kekerasan, dan dengan kekerasan tentu misi keagamaan mereka tidak akan berjalan dengan baik.

Selain terjun langsung ke berbagai daerah yang menurutnya sangat diperlukan dalam menjalankan pembaharuan, Tuanku Nan Tuo juga mengirim murid-muridnya ke berbagai daerah untuk mengajak masyarakat kembali kepada syara' dan menjadikan Al Qur'an dan Sunnah nabi SAW sebagai pegangan hidup. Di antara muridnya yang terkenal adalah Jalaluddin yang mendirikan Surau di Cangking, Candung Koto Laweh, sebuah desa di lereng Gunung Merapi.

Seperti gurunya, dalam menjalankan misi da'wahnya Jalaluddin juga menggunakan cara-cara yang lunak. Sikap moderat ini pada giliran membawa banyak kemajuan bagi usaha da'wahnya sehingga banyak mendapat simpati dari penduduk Candung Koto Laweh. Secara perlahan namun pasti banyak penduduk yang kembali mempraktekkan ajaran-ajaran Islam dalam aktifitas kehidupan mereka, bahkan meluas keberbagai daerah di wilayah Agam sendiri.

Meskipun latar kehidupan pribadi Tuanku Nan Tuo tidak banyak diungkapkan, namun dari fakta yang diungkapkan di atas dan dari beberapa catatan yang dibuat oleh muridnya, dapat disimpulkan bahwa Tuanku Nan Tuo adalah tokoh sentral gerakan keagamaan di Minangkabau pada akhir abad ke 18. Misi keagamaan yang dijalankan dengan perspektif ekonomi ternyata telah berhasil dalam merobah tatanan kehidupan masyarakat di wilayah Agam dan sekitarnya.


© Irhash A. Shamad 


Sumber : Irhash A. Shamad & Danil M. Chaniago, 2007, Islam dan Praksis Kultural Masyarakat Minangkabau, Jakarta : PT. Tintamas Indonesia, Bagian 4



Share this article :

Posting Komentar

Maklumat

Maklumat
 
Support : Pandani Web Design
Copyright © 2009-2014. Irhash's Cluster - All Rights Reserved
Template Created by Maskolis
Proudly powered by Blogger