Menakar Nasionalisme BO dan SDI

Written By Irhash A. Shamad on 13 Mei 2010 | 13.33

Prolog

Masalah penetapan hari besar untuk mengenang perjuangan bangsa dalam suatu negara yang telah berdaulat merupakan sebuah keharusan historis untuk melestarikan nilai-nilai kejuangan yang telah diwariskan oleh generasi masa lalu, sama halnya juga dengan penganugerahan gelar kepahlawanan bagi para pelaku sejarah perjuangan bangsa itu sendiri. Akan tetapi persoalan momentum apa dan siapa tokoh yang akan ditetapkan, seringkali melibatkan berbagai pertimbangan akademis dan iklim politis pada waktu itu. Meski pertimbangan akademik pada bagian ini seharusnya menempati otoritasi paling atas, namun kepentingan politik dan kekuasaan nampaknya selalu berada lebih di depan. Oleh karena itu setiap pergantian kekuasaan dan perubahan iklim politik masalah momentum itu selalu mengundang munculnya perdebatan-perdebatan akademis dan sekaligus juga politis. Persoalan tokoh, pahlawan, maupun hari besar nasional dari sudut akademis tentulah berada di ranah kesejarahan, sementara dari ranah politis, relevansinya lebih menyangkut persoalan legitimasi dan kepentingan kekuasaan itu sendiri.

Tulisan ini akan mengemukakan seputar hari kebangkitan nasional yang diperingati setiap tanggal 20 Mei yang ditetapkan semenjak tahun 1949 dengan mengambil momentum tanggal kelahiran organisasi Boedi Oetomo (BO). Akhir-akhir ini persoalan penetapan hari kebangkitan nasional ini kembali menjadi wacana yang diperdebatkan menyangkut ketepatan konteks kesejarahan yang mendasarinya dengan terminologi nasionalisme dan kebangkitan itu sendiri. Tulisan ini tidaklah bertendensi memberikan preskripsi yang membenarkan atau menyalahkan, namun lebih pada maksud pengayaan wacana berdasarkan pilihan dan perbandingan analitis yang lebih mendekati pembenaran konteks kesejarahan sesuai dengan terminologi yang digunakan dalam menetapkan momentum itu sendiri.

Nasionalitas, Kebangsaan dan Kebangkitan Nasional
Persoalan dasar yang menjadi ajang perdebatan tentang hari kebangkitan nasional, sesungguhnya berawal dari konsepsi kata kebangkitan nasional itu sendiri. Sementara klaim momentum kelahiran dua organisasi Boedi Oetomo dan Serikat Dagang Islam yang sering dipertentangkan, sebenarnya adalah implikasi dari penafsiran atas aktualitas sejarah yang dipilih (mungkin dipelajari) untuk menentukan organisasi mana yang lebih tepat ditetapkan sebagai momentum yang akan diperingati.

Kebangkitan nasional adalah moment disaat mana sekelompok orang telah mendefenisikan diri mereka sebagai warga suatu “bangsa”, untuk kemudian mencoba berdiri dan bangkit dari keterpurukan akibat penjajahan dan dominasi bangsa lain. Rasa sebagai “sebangsa” dapat saja tumbuh secara imagined (meminjam istilah Ben Anderson 1991) pada saat orang-orang merasa dipersatukan oleh berbagai hal, seperti kepentingan bersama, pengalaman bersama, image tentang kesatuan bersama, dan rasa senasib dan sepenanggungan. Jadi bukan oleh adanya suatu nation dalam arti yang sesungguhnya , tetapi “nation” sebagai suatu masyarakat yang dibayangkan (imagined communities).

“Bangsa” yang dibayangkan dalam persepsi komunitas multi etnik ialah sebuah “bangsa” yang akan menjadi kulminasi dan dapat mempersatukan suku-suku bangsa yang beraneka ragam budaya menjadi sebuah kekuatan yang akan dapat mengatasi kesulitan bersama, memenuhi dan memelihara kepentingan bersama sebagai sebuah bangsa berdaulat yang juga dicita-citakan bersama. Ketika komunitas yang beragam ingin bangkit untuk menemukan realitas sesungguhnya dari “bangsa yang dibayangkan” itu, maka adalah menjadi sebuah keharusan untuk mencari titik yang mempersamakan diantara komunitas-komunitas yang ada ke dalam sebuah kepentingan bersama dengan menciptakan identitas bersama . Sehubungan dengan ini, pengalaman keterjajahan menjadi alasan utama menyatukan tekad bersama untuk bangkit. Situasi penjajahan yang dialami oleh daerah-daerah yang sama-sama merasakan tekanan penjajahan telah memilah antara warga yang dijajah (masyarakat lokal) dengan penjajah (pemerintah asing) dalam posisi yang berseberangan, dan gagasan untuk bangkit melawan ketertindasan dengan semangat untuk keluar dari situasi yang ada tentulah bukan dari kalangan yang menikmati “keuntungan” dari situasi itu . Demikianpun pengalaman penjajahan tentu belum cukup untuk mempersatukan daerah-daerah untuk bangkit secara bersama, karena perbedaan etnik antara daerah itu tentu menjadi kepentingan tersendiri, karena itu adanya simbol sebagai identitas bersama sangat diperlukan.

Perjuangan Emansipasi

Boedi Oetomo (BO) yang hari kelahirannya (20 Mei 1908) diperingati sebagai hari kebangkitan nasional dipertanyakan kembali, karena beberapa tahun sebelum kelahirannya sudah lebih dahulu berdiri sebuah organisasi yang dianggap lebih nasionalis dan mewakili aspirasi mayoritas bumiputera, yaitu Syarikat Dagang Islam (SDI).

SDI disamping lebih dahulu tiga tahun (16 Oktober 1905) dari BO, ternyata pendiriannya merupakan suatu bentuk perlawanan yang dilakukan oleh rakyat terhadap penjajahan dalam arti yang sesungguhnya, dan dalam rangka emansipasi untuk menuntut hak yang seharusnya diberikan kepada rakyat, tanpa diskriminasi dan tanpa prasangka negatif . H. Samanhudi, pendiri SDI pada waktu itu sangat menyadari bahwa situasi penjajahan yang telah menindas bangsa ini melalui monopoli dagang Belanda dengan kerjasama etnis Tionghoa. Karena itu, perlawanan yang paling mendasar sesuai konteks masa ini adalah memperkuat basis ekonomi bangsa melalui organisasi dagang yang mempersatukan para pedagang bumiputera.

Sementara BO didirikan pada 20 Mei 1908 oleh murid-murid Sekolah Dokter pribumi di Weltevreden (yang kemudian dikenal dengan STOVIA), gagasan awalnya hanyalah sebagai perkumpulan orang-orang Jawa dan hanya untuk kepentingan etnis Jawa dan Madura . Organisasi ini lebih bersifat lokal dan bahkan hanya terbatas untuk kelas tertentu dari masyarakat Jawa, khususnya kalangan priayi . Pada awal berdirinya, BO tidak dalam posisi perlawanan terhadap penjajah untuk memperjuang nasib rakyat , tetapi justru sebaliknya memperjuangkan kelompok sendiri dan pro pemerintah, karena perkum-pulan BO ini lebih merupakan organisasi pegawai-pegawai pemerintah ketimbang mewakili aspirasi rakyat terjajah. Ini artinya bahwa aspirasi apa yang sesungguhnya ada di dalam organisasi BO, jelas bukanlah perjuangan emansipasi sebagai yang menjadi interest mayoritas bangsa pada waktu itu.

Identitas Kebangsaan : Islam atau Jawa?

Membicarakan tentang cikal bakal nasionalisme dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia ini, maka penelusurannya haruslah berawal dari munculnya gagasan menyatukan semua bentuk identitas kelompok (baca: suku bangsa) untuk diarahkan ke satu titik dimana semua bentuk primordialisme harus dilebur menjadi sebuah identitas baru ; kebangsaan. Namun, dalam kondisi tertentu tidaklah mudah menemukan sebuah identitas bersama yang dapat menyatukan berbagai primordialisme yang akan dapat digalang untuk memperjuangkan cita-cita bersama. Islam adalah pilihan identitas bagi SDI untuk menemukan jalan masuk “penciptaan” identitas kebangsaan itu, sementara BO lebih memilih Jawaisme. Keduanya memang berangkat dari primordialisme, namun terdapat perbedaan yang sangat mendasar. Islam pada dekade ini dan sebelumnya telah membangkitkan semangat perlawanan rakyat di berbagai daerah, meski belum terdapat kesamaan kepentingan dalam perjuangan yang dilancarkan, namun simbol Islam ini terbukti telah menggerakkan secara nyata berbagai perlawanan rakyat terhadap penjajahan dan penindasan. Meskipun perlawanan rakyat daerah berlangsung secara partial, namun sentiment Islam ini telah membuat pemerintahan jajahan sangat mengkhawatirkan perkembangannya dan merasa perlu memberi perhatian tersendiri. Kekhawatiran pemerintahan kolonial bahwa Islam tidak sekedar agama yang dianut oleh sebagian besar penduduk negeri, melainkan juga menjadi simbol identitas “kebangsaan” yang telah disadari sejak akhir abad ke 19 . Maka dalam kaitan pencarian identitas bangsa pada waktu ini, sesungguhnya pilihan “Islam” oleh SDI ini tidaklah dalam porsi primordialisme sempit sebagaimana banyak diasumsikan, akan tetapi lebih merupakan pilihan strategis yang sesuai konteks zamannya , yaitu sebagai identitas kebangsaan yang memang menjadi milik mayoritas bangsa ini.

Keluasan Massa dan Konsistensi Perjuangan

Persoalan lain yang dianggap cukup menjadi indikator bagi penetapan apakah suatu organisasi massa rakyat layak dijadikan momentum kebangkitan nasional ialah seluas dan sejauh apakah organisasi itu mampu memperoleh dukungan massa rakyat dan seberapa konsistennya organisasi itu memperjuangkan tujuannya. Kemampuan mobilisasi dan keluasan rekrutmen keanggotaan lebih ditentukan oleh seberapa besar kepentingan semua anggota terakomodasi dalam tujuan organisasi serta konsistensi perjuangan dan kemampuan organisasi untuk tetap survive memegang teguh komitmen yang telah dicanangkan bersama.
Bila indikator itu kita gunakan untuk melihat ke dua organisasi yang disebutkan terdahulu, maka terdapat perbedaan yang sungguh sangat mencolok. Syarikat Dagang Islam (SDI) yang kemudian pada tanggal 10 September 1912 dirubah menjadi Syarikat Islam (SI) , sejak masa awal telah memiliki tokoh-tokoh utama yang bersifat terbuka untuk semua daerah, seperti H. Samanhudi (Jateng), HOS Cokroaminoto (Jatim), K.H. Agus Salim dan Abdul Muis (Sumatera Barat) dan AM Sangaji (Maluku). Begitu juga perkembangan cabang organisasi ini yang berdiri di hampir semua kota di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi hanya dalam masa 4 tahun (1912-1916) Ini menggambarkan bahwa organisasi ini tidaklah bersifat lokal, tetapi memiliki radius keluasan dengan percepatan yang luar biasa.

Sementara itu para pemimpin BO adalah dari kalangan “priayi” professional dan keratonan seperti Dr. Soetomo dan Dr. Cipto Mangunkusumo, Dr. Rajiman Wedyodinigrat, mereka ini adalah para priayi dari Sekolah Dokter, Demikian juga Raden Adipati Tirtokoesoemo, mantan Bupati Karanganyar dan Pangeran Arionotodirodjo dari Keraton Pakualaman dari priayi keratonan. Ini menunjukkan bahwa BO memiliki keterbatasan dari segi elit organisasi, demikianpun rekruitmen keanggotaan yang hanya dari segmen tertentu dan wilayah lokalitas tertentu pula.

Bila dilihat dari percepatan jumlah anggota antara kedua organisasi ini juga sangat kontras. SDI, yang kemudian menjadi SI, antara tahun 1912-1916 mengalami percepatan jumlah anggota hingga mencapai 490.120 orang , dan pada tahun 1919 jumlah anggota menjadi 2.000.000 orang . Untuk sekedar perbandingan, BO pada puncak kejayaannya pada tahun 1909 hanya memiliki anggota sebanyak 10.000 orang .

Apa yang dikemukakan sebenarnya adalah sebagian kecil dari apa yang dapat ditunjukkan untuk menakar nasionalisme BO dan SDI. Masih terdapat banyak perbedaan antara keduanya, misalnya, bila dilihat dari perspektif perjuangan dan aksi yang dilakukan, begitu juga kemampuan organisasi untuk menjalani jarak tempuh perjalanan bangsa ini dibawah kontrol penjajahan, serta konsistensinya mengantarkan bangsa ini menjadi Indonesia yang merdeka.

Epilog

Tulisan ini tak hendak menyimpulkan tentang apakah BO atau SDI yang layak dijadikan momentum kebangkitan nasional yang diperingati setiap tahun, tapi lebih merupakan sebuah upaya memancing kesadaran sejarah atas perjuangan bangsa yang telah berlaku. 20 Mei atau 16 Oktober hanyalah momentum dimana kita harus memaknai perjuangan panjang bangsa ini untuk terbebas dari belenggu penjajahan untuk kemudian bangkit berdiri di atas kaki sendiri. Pada saat kita selaku bangsa harus menghargai jasa dan perjuangan itu, persoalannya akan selalu masuk ke ranah politik. Pertimbangannya lebih pada kepentingan dan keuntungan apa yang dapat diperoleh dari legitimasi seremonial itu. Terlalu banyak untuk dapat disebut bagaimana “sejarah” selalu dijadikan instrumen legitimasi kekuasaan. Dalam kaitan ini peran Islam sebagai agama mayoritas bangsa ini sering tereduksi oleh beragam kepentingan kekuasaan sejak masa kolonial bahkan hingga pascakemerdekaan. Meskipun penulisan sejarah tidak selalu berpihak pada kebenaran aktualitas, namun kebenaran masalalu tidak akan pernah “tergugat” hanya karena diungkapkan.
Wallahua’lamu bishshawab.

© Irhash A. Shamad


Share this article :

+ comments + 2 comments

17 Mei 2010 pukul 00.47

Assalamu'alaikum wr.wb.
Saya baru tahu penetapan 20 Mei sebagai hari kebangkitan itu tahun 1949. Awal abab 20 adl babak kelahiran ideologi sbg alat perjuangan, Islam, Komunisme dan Nasionalisme lahir secara berurutan. Negara berdiri karena ada momentum-momentum sejarah yang mengiringinya. Sebuah kewajaran apabila para identitas nasionalisme mencari momentum-momentum yg bisa diingat oleh bangsanya. 20 Mei 08, 28 Okt 28, 1 Juni dan 17 Agustus 45 adalah waktu2 yang dimafhumi sebagai titik2 sejarah yg diperingati.
Kalo sy berpandangan setiap ideologi yang tumbuh dan berkembang di negeri ini akan terus mencari dan mempertahankan titik2 sejarah yang menyebabkan dia bisa berdiri. Islam punya identitas sendiri dan punya sejarah sendiri, Komunis mengambil starting point sendiri. begitu juga nasionalis.
Menggugat sejarah masa lalu adalah merubah sejarah hari ini, jika suatu kelak seandinya komunisme atau variannya bisa tegak berdiri di negeri ini maka titik sejarah yang diperingatinya akan berubah. Begitu juga Islam.

“sejarah” selalu dijadikan instrumen legitimasi kekuasaan. Tapi inilah realitas krn yang mencatat sejarah bukan sejarawan tetapi penguasa.

Maaf kepanjangan ... rindu berkunjung kemari, ;)

Hatur tararengkyu

Wassalam

17 Mei 2010 pukul 20.02

Wa'alaikumussalam wr.wb.
Terima kasih Kopral Cepot!....ada kekeliruan tentang tahun penetapan 20 Mei sebagai kebangkitan nasional pada artikel ini, tahun yang benar adalah 1948 pada saat Bung Karno, Bung Hatta dan beberapa tokoh lainnya ingin membangkitkan samangat persatuan di kalangan rakyat yang sudah terpecah-belah, maka ditetapkanlah hari kebangkitan itu dengan mengangkat momentum kelahiran BO. Dengan ini kesalahan diperbaiki,... sekali lagi terima kasih.
Kecendrungan bias pada kelompok primordialisme ideologis memang tidak dapat dielakkan, apalagi bila kelompok itu memiliki otoritas politik. Namun tidaklah berarti bahwa aktualitas sejarah begitu saja dapat "dikuasai" dengan otoritas politik, karena kebenaran fakta yang ditunjukkan tidak cukup dengan pemilikan legitimasi seremonial semata. Otoritas ilmiah tentu akan selalu memberikan pertimbangan yang sebaik-baiknya. Bukan untuk menggugat tapi membiarkan sejarah yang berbicara.......
Salam, dan terima kasih kunjungan dan komennya.
Wassalam

Posting Komentar

Maklumat

Maklumat
 
Support : Pandani Web Design
Copyright © 2009-2014. Irhash's Cluster - All Rights Reserved
Template Created by Maskolis
Proudly powered by Blogger