Home » , , , , , » Refleksi Sejarah Pergulatan Etnisitas di Pemerintah Daerah Sumatera Barat (2) : Gubernur Azwar Anas (1977-1987)

Refleksi Sejarah Pergulatan Etnisitas di Pemerintah Daerah Sumatera Barat (2) : Gubernur Azwar Anas (1977-1987)

Written By Irhash A. Shamad on 19 Maret 2010 | 23.24

Di awal kepemimpinan Azwar Anas sebagai gubernur Sumatera Barat, kondisi daerah cukup stabil meskipun beberapa waktu sebelumnya sempat menghangat khususnya menjelang pelaksanaan Pemilu 1977. Hasil Pemilu kali ini memang sedikit berbeda dibanding dengan Pemilu 1971 yang telah mengantarkan Golkar sebagai kekuatan mayoritas untuk seluruh daerah tingkat II, pada Pemilu kali ini Golkar mengalami penurunan perolehan suara di beberapa daerah tingkat II ; di dua kota penting Bukittinggi dan Padang Panjang Golkar mengalami kekalahan dari PPP, sedangkan di Kotamadya Padang terjadi perimbangan kekuatan . Keadaan ini agaknya tidak mempengaruhi suasana pemilihan gubernur pengganti Harun Zain, karena jauh sebelum berakhirnya jabatan kedua Harun Zain, siapa yang bakal menggantikannya sudah menjadi pembicaraan di kalangan politisi daerah dan hampir-hampir tidak banyak kontroversi. Dua nama yang diajukan pada waktu itu terdiri dari orang-orang yang dikenal sangat dekat dengan Harun Zain, yaitu Azwar Anas dan Yanuar Muin. Keduanya sama berbobotnya, prestasi keduanya juga berimbang. Azwar Anas dinilai berhasil menyelamatkan PT Semen Padang yang hampir terjual kepada Perancis, sedangkan Yanuar Muin namanya mencuat setelah berhasil memimpin pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Agam. Beda keduanya cuma, yang satu ABRI dan yang satu lagi adalah sipil. Untuk menentukan siapa diantara keduanya yang akan menggantikan Harun Zain, sebenarnya bagi masyarakat di daerah ini tidak menjadi soal, yang penting pembangunan serta perbaikan kondisi sosial di daerah ini tetap berlanjut. Namun Harun Zain sendiri rupanya telah menjatuhkan pilihan pada Azwar Anas, dengan beberapa pertimbangan, antara lain bahwa untuk menjaga hubungan Pusat dan Daerah yang selama ini telah terjalin "mesra", maka Sumatera Barat memerlukan kepemimpinan seorang ABRI.

Pada priode pertama kepemimpinan Azwar Anas (1977-1982), merupakan puncak keberhasilan pembangunan di Sumatera Barat yang ditandai dengan berhasilnya daerah ini meraih penghargaan tertinggi dalam pembangunan, yaitu : Prasamya Purnakarya Nugraha yang diberikan oleh pemerintah pusat. Penghargaan ini adalah merupakan bukti keberhasilan Sumatera Barat -- setidaknya menurut penilaian pemerintah pusat-- dalam menjalankan pembangunan sesuai dengan standar-standar keberhasilan yang –tentunya-- juga ditentukan oleh pusat sendiri.

Disamping keberhasilan itu, pada priode yang sama masyarakat di daerah ini mulai "membayar hutang" pembangunan kepada pemerintah pusat yang selama ini diterima dalam bentuk bantuan, subsidi dan sebagainya. Struktur kepemimpinan tradisional Nagari yang selama ini menjadi kekuatan pengikat hubungan sosial, ekonomi dan politik masyarakat, mengalami "keruntuhan" dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang pemerintahan Desa di daerah ini pada tahun 1983.

Persiapan Pemberlakuan UUPD 1979
Pada tahun 1979, pemerintah pusat barulah benar-benar menunjukkan kesungguhannya untuk menyeragamkan sistem pemerintahan sampai ke tingkat bawah. Pemerintah mengundangkan U.U. No. 5 tahun 1979 tentang pemerintahan Desa (UUPD). Undang-Undang ini ditujukan untuk mengatur bentuk serta susunan pemerintahan desa yang dapat memberikan arah perkembangan kemajuan masyarakat yang berazaskan Demokrasi Pancasila sebagai yang dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945 . Penetapan UUPD ini didasari oleh Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. IV/ MPR/1978 tentang GBHN yang menegaskan perlunya memperkuat pemerintahan Desa agar makin mampu menggerakkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan dan menyelenggarakan administrasi Desa yang makin meluas dan efektif.

UU No.5 Tahun 1979, yang secara formal mulai diberlakukan tanggal 1 Desember 1979 ini, di Sumatera Barat --pada awalnya-- belumlah membawa perubahan yang prinsipil terhadap struktur pemerintahan Nagari. Ini disebabkan karena, disamping belum adanya ketentuan lebih lanjut dari Mendagri, pemerintah daerah merasa bahwa daerah belum siap untuk melaksanakan UU tersebut. Karena itu, pemberlakuan UU No. 5/1979 ini perlu ditunda dan akan dilakukan secara bertahap . Untuk sementara, acuan tentang pola pemerintahan ditingkat terendah, tetap mempedomani SK Gub. No. 155/GSB/1974 .

Sementara itu pemerintah daerah mulai pula melakukan langkah-langkah persiapan untuk menyesuaikannya produk Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 dengan kondisi lokal sendiri (atau mungkin lebih tepat sebaliknya). Diantara langkah persiapan yang dilakukan oleh pemerintah daerah adalah mensosialisasikan Undang-Undang ini kepada selu-ruh jajaran pemerintah daerah tingkat II se-Sumatera Barat pada bulan Nopember 1979 . Kemudian pada awal tahun 1980 selama tiga hari berturut-turut diadakan pula rapat kerja dengan Wali-Wali Nagari se Sumatera Barat . Sebuah tim yang akan menangani persiapan Pelaksanaan Undang-Undang itupun dibentuk . Tim ini, selain akan bertugas mensosialisasikan UU ini, juga akan menginventarisir permasalahan bagi persiapan pelaksanaannya serta mengadakan konsultasi dengan berbagai pihak, terutama dengan pemuka masyarakat di daerah.

Pada tahun 1981 Pemerintah Daerah mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda No.7 tahun 1981) tentang Pembentukan, Pemecahan, Penyatuan dan Penghapusan Desa Dalam Provinsi Daerah Tk. I Sumatera Barat. Melalui Perda ini sebenarnya pemerintah Daerah mulai mengakomodasi keinginan pemerintah pusat untuk menyeragamkan pola pemerintahan desa. Kebijaksanaan ini kemudian dirasakan sebagai pembuka jalan bagi diberlakukannya secara penuh Undang-Undang tentang Pemerintahan Desa (UU No.5/1979) di Sumatera Barat melalui Surat Keputusan Gubernur No. 162/GSB/1983 yang menyatakan berlakunya UU No.5/1979. Sejak saat ini mulailah terlihat berbagai anomie ditengah-tengah kehidupan masyarakat desa ; suatu kondisi yang sebenarnya bertolak belakang dengan tujuan dikeluarkannya undang-undang tersebut. Hal ini disebabkan oleh benturan-benturan kultural yang terjadi akibat sistem pemerintahan Nagari yang menyangga keutuhan kultural itu menjadi disfungsional, karena otoritas pemerintahan terendah dibawah kecamatan yang selama ini berada pada Nagari, dialihkan kepada Jorong yang ditetapkan setingkat Desa. Sementara Jorong pada waktu sebelumnya adalah bahagian dari Nagari.

Ambivalensi Pemerintah Daerah dan Leburnya Struktur Nagari
Persoalan kerusakan sistem internal di Sumatera Barat yang terjadi di masa Orde Baru ini, pada dasarnya bukanlah semata-mata karena diberlakukannya Undang-Undang No.5 Tahun 1979, akan tetapi lebih disebabkan oleh kebijaksanaan yang diambil oleh pemerintah daerah dalam menetapkan Jorong sebagai unit pemerintahan terendah. Karena dengan kebijaksanaan itu, Nagari sebagai kesatuan politik teritorial-genealogis, menjadi terpinggirkan. Pada hal dalam Undang-Undang itu tidak dinyatakan secara tegas bahwa Nagari sebagai unit pemerintahan terendah --seperti yang berlaku sebelumnya-- harus dipecah menjadi Desa-Desa sebagai yang dimaksud oleh UU tersebut. Bahkan dalam konsideran UU tersebut secara jelas memberi pertimbangan dengan "mengindahkan keragaman keadaan Desa dan ketentuan adat istiadat yang masih berlaku" . Yang dimaksud dengan desa dalam undang-undang ini "adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri" . Jadi, dengan penetapan Jorong sebagai Desa berarti beralihnya otoritas politik masyarakat dari Nagari kepada Jorong. Sedangkan Jorong --pada waktu sebelumnya—adalah bahagian dari Nagari dan tidak mempunyai otoritas pemerintahan, kecuali hanya sebagai pelaksana administrasi di tingkat bawah. Dengan demikian benturan kultural yang terjadi sebenarnya lebih banyak disebabkan oleh perubahan struktural itu. Meskipun implementasi UU tersebut dalam prakteknya kemudian juga mendatangkan berbagai implikasi kultural terhadap prilaku sosial di daerah.

Persoalan kebijaksanaan penetapan Jorong sebagai unit pemerintahan terendah setingkat Desa ini sudah menjadi topik perdebatan yang hangat di kalangan tokoh-tokoh masyarakat di daerah ini sebelum diundangkannya Undang-Undang tersebut. Pada bulan Januari 1978 pemerintah daerah menyelenggarakan diskusi tentang Pemerintahan Desa yang diikuti oleh kalangan tokoh-tokoh intelektual, kalangan ulama serta kalangan pemuka adat.

Permasalahan utama yang diangkatkan dalam diskusi ini adalah menyangkut penetapan Desa sebagai yang dimaksudkan dalam Ran-cangan Undang-Undang No.5 Tahun 1979. Dua persoalan yang menimbulkan dilema dalam penetapan ini, yaitu : pertama : bila pengertian yang disebut dengan "Desa" oleh Pusat sama dengan "Nagari" di Sumatera Barat (berada langsung di bawah kecamatan), maka akan mengakibatkan berkurangnya jumlah bantuan desa yang diterima oleh daerah dari pemerintah pusat. Kedua : Bila yang dinyatakan sebagai "Desa" adalah "Jorong yang merupakan bahagian dari Nagari sesuai dengan SK. Gubernur KDH Tk. I Sumatera Barat No. 259/GSB/1977 , maka kemungkinan akan hilangnya fungsi Nagari. Ini akan mengakibatkan timbulnya persepsi yang kurang baik, karena akan menghilangkan struktur pemerintahan Nagari yang mempunyai hak asal usul, sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 18 UUD 1945 .

Sejak semula diskusi yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah ini memang tidak ditujukan untuk mendapatkan keputusan, akan tetapi hanya dalam rangka mengumpulkan pendapat yang akan dijadikan bahan bagi tim perumus . Dengan demikian apapun kecendrungan pendapat peserta diskusi, tidak mutlak menjadi acuan dalam menetapkan apakah Nagari atau Jorong yang akan ditetapkan setingkat Desa.

Dari jalannya Diskusi, baik dari pemakalah maupun dari peserta diskusi, terdapat kecendrungan untuk tidak menjadikan Jorong sebagai Desa, karena hal itu akan menghilangkan fungsi Nagari yang pada gilirannya akan menimbulkan dampak yang serius pada banyak aspek kehidupan sosial di daerah ini, Meskipun ada sebahagian pendapat yang ingin mempertahankan Jorong sebagai Desa yang diberi bantuan oleh Pusat, namun keberadaan Nagari sebagai unit pemerintahan terendah tetap dipertahankan . Pandangan yang disebut terakhir sebenarnya merupakan jalan tengah antara pemikiran yang berkembang dalam diskusi dengan apa yang disampaikan oleh Gubernur dalam pidato pengarahannya di awal diskusi dengan sedikit koreksian . Gubernur, dalam pidato pengarahannya, mengemukakan bahwa bila Nagari disamakan dengan Desa, maka jumlah bantuan yang diterima oleh daerah ini akan berkurang menjadi seperenam dari jumlah bantuan yang diterima sebelumnya. Selanjutnya ia mengemukakan pandangannya sebagai berikut :
Sekarang sudah keluar SK. Mendagri (maksudnya SK. No. 17/1977), kita mikir-mikir lagi, artinya jalan keluar yang lain, kalau alternatif kita ambil yaitu alternatif kedua, menjadi Jorong sama dengan Desa, dan Nagari berfungsi koordinator terutama dalam pelaksanaan pembangunan. Sedangkan fungsi Nagari sebagai kesatuan adat, kesatuan hukum, kesatuan sosial budaya dan lain-lain tadi adalah tepat dewasa ini. Jadi dengan demikian, arti Nagari dalam etnologi adalah tetap seperti sekarang ini, sedangkan dalam arti administrasi pemerintahan dan pembangunan, maka pengertian Desa bagi kita adalah Jorong sehingga LSD (Lembaga Sosial Desa) berada di Jorong-Jorong sebagai operator pemerintahan yang sama-sama Kepala Jorong membinanya, dan kalau Nagari ada K.N. dan Jorong ada L.S.D. nya

Pandangan di atas dengan jelas mencerminkan kecen-drungan ambivalensi Pemerintah Daerah antara sikap untuk tetap mempertahankan Jorong sebagai Desa, sesuai dengan SK Mendagri No 17/1977, dengan pengakuan terhadap keberadaan Nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum adat. Pertimbangan terakhir ini didasari oleh kenyataan bahwa keberadaan Nagari terlalu riskan untuk dihilangkan. Dengan hanya pengakuan Nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum adat, berarti menghilangkan fungsi Nagari sebagai unit pemerintahan, pada hal fungsi hukum adat, menurut pandangan masyarakat, sebenarnya meliputi fungsi politis dan pemerintahan. Otoritas kepemimpinan Nagari yang mengakar kuat seperti ini akan digantikan dengan Pamong Desa (Kepala Desa) yang memiliki legitimasi dari atas.

Apa yang kemudian disampaikan dalam kesimpulan diskusi yang dibacakan pada Sidang Pleno terakhir ternyata tidak menjelaskan secara eksplisit tentang substansi permasalahan yang didiskusikan, akan tetapi hanya merumuskan tentang perlunya beberapa perobahan dari Rancangan UU Pemerintahan Desa . Rumusan diskusi inilah yang menjadi dasar untuk penyusunan tanggapan gubernur terhadap rancangan Undang-Undang tentang Pemerintahan Desa. Akan tetapi dalam tanggapan ini juga tidak memuat tentang sikap yang diambil oleh daerah untuk merespon Undang-Undang tersebut. . Dengan demikian berarti aspirasi apa yang berkembang dalam diskusi dengan tokoh-tokoh masyarakat itu, tidak pernah (atau tidak perlu) disampaikan ke pemerintah pusat. Bahkan ada asumsi lain yang mengatakan bahwa diskusi itu hanya sebagai strategi pemerintah daerah untuk melihat sejauhmana reaksi masyarakat terhadap perubahan sistem pemerintahan yang akan dijalankan.

Dari apa yang dikemukakan itu dapat di duga alasan perlunya menyelenggarakan diskusi itu, yaitu agar secara formal pemerintah daerah tidak bertindak sendiri dalam mengambil konsensus menjadikan Jorong sebagai Desa, artinya, konsensus itu telah melalui proses dialog dan telah dimusyawarahkan dengan pemuka-pemuka masyarakat. Dengan itu pemerintah daerah terlindung dari prasangka-prasangka negatif dan dalam hal ini seolah-olah bertindak hanya sebagai mediator antara kepentingan lokal dan nasional, pada hal sebenarnya kepentingan pemerintahlah menjadi acuan, sementara itu kepentingan lokal harus menyesuaikan diri.

Nagari sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat
Pemberlakuan UUPD di Sumatera Barat yang ditetapkan dengan Keputusan Gubernur Tingkat I Sumatera Barat tanggal 28 Juli 1983 beberapa waktu kemudian diiringi dengan dikeluarkannya Peraturan Daerah No. 13 Tahun 1983 tentang pengakuan nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum adat dalam propinsi Sumatera Barat . Dengan keluarnya Perda ini, secara resmi lembaga nagari di Sumatera Barat tidak lagi berfungsi sebagai unit pemerintahan terendah. Oleh karenanya Kepemimpinan Nagari tidak lagi memiliki kekuatan politis, karena sudah diambil alih oleh pemerintahan Desa. Di setiap Nagari dibentuk Lembaga Kerapatan Adat Nagari (KAN), namun otoritas lembaga ini dibatasi hanya dalam soal-soal yang menyangkut dengan persoalan adat istiadat, sebagaimana ditetapkan pada Pasal 3 tentang fungsi Nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum adat sebagai berikut :
(a) Membantu pemerintah dalam mengusahakan kelancaran pelaksanaan pembangunan di segala bidang, terutama bidang kemasyarakatan dan budaya.
(b) Mengurus hukum adat dan adat istiadat dalam nagari.
(c) Memberi kedudukan hukum adat terhadap hal-hal yang menyangkut harta kekayaan masyarakat nagari guna kepentingan hukum keperdataan adat, juga adanya persengketaan atau perkara perdata adat.
(d) Menyelenggarakan pembinaan dan pengembangan nilai-nilai adat Minangkabau, dalam rangka memperkaya, me-lestarikan dan mengembangkan kebudayaan nasional pa-da umumnya dan kebudayaan Minangkabau khususnya
(e) Menjaga, memelihara dan memanfaatkan kekayaan nagari untuk kesejahteraan masyarakat nagari .

Dengan beralihnya fungsi pemerintahan dari nagari ke desa maka dalam kehidupan masyarakat terdapat dua lembaga kepemimpinan anak nagari. Dalam hal yang menyangkut administrasi pemerintahan adalah Kepala desa sebagai lembaga formal dan dalam soal yang menyangkut adat istiadat adalah Nagari sebagai lembaga informal. Dalam pelaksanaan pembangunan di desa-desa, peran Kerapatan Adat Nagari hanyalah bersifat konsultatif bagi desa-desa yang berada dalam wilayah Nagarinya.

Hubungan kerja yang kabur dan tidak jelas antara KAN dan Kepala Desa telah menempatkan peran Kerapatan Adat Nagari pada posisi yang "menggantung" dan "tidak bergigi" . Walaupun Kerapatan Adat Nagari mempunyai dasar sosiologis yang kuat, namun Kepala Desa lebih memiliki legitimasi dari pemerintahan teratas (Kecamatan). Kondisi inilah yang telah menyebabkan munculnya berbagai anomi dan anomali di-tengah kehidupan masyarakat pedesaan yang sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan pembangunan di desa, terutama dalam menggerakkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan, seperti yang digambarkan oleh Imran Manan :
Persaingan kedua bentuk otoritas itu di desa tidak dapat dielakkan, karena keduanya mempunyai basis sosiologis, ekonomis dan politis yang berbeda. Karena dasar sosiologisnya yang tidak kuat, maka otoritas pemerintahan desa tak sekuat pemerintahan nagari. Karena dasar ekonomisnya tak kuat maka kehidupan dan efektifitas pemerintahan desa sangat bergantung pada bantuan otoritas supra desa. Dan karena dasar politisnya tidak berakar ke bawah maka kemampuannya untuk mengerakkan masyarakat dalam pembangunan menjadi terbatas .
Menyangkut hubungan kerja, pembagian kerja dan masalah otoritas ini lebih terlihat terutama dalam hal-hal khusus seperti penyediaan tanah untuk lahan pembangunan, masalah pemanfaatan tanah ulayat suku dan nagari serta penyelesaian berbagai sengketa anak nagari dan persoalan lainnya terutama yang terkait dengan kedua otoritas kepemimpinan ini.

Nagari --dalam hal terbatas-- adalah merupakan kesatuan teritorial desa. Sedangkan desa secara administratif punya garis hirarki ke kecamatan. Peran nagari disini terlihat hanya bersifat simbolik. Lembaga Kerapatan Adat Nagari tidak memiliki otoritas dalam mengambil keputusan-keputusan yang menyangkut kepentingan desa. Bila berbenturan antara kepentingan masyarakat nagari dengan program pemerintahan yang dijalankan melalui otoritas kepala desa, maka Pucuk Adat akan berada pada posisi yang lemah .

© Irhash A. Shamad
 

Sumber : Irhash A. Shamad, 2001, Hegemoni Politik Pusat dan Kemandirian Etnik di Daerah, Sumatera Barat di Masa Orde Baru, Padang, IAIN IB Press, Bagian 4

Share this article :

Posting Komentar

Maklumat

Maklumat
 
Support : Pandani Web Design
Copyright © 2009-2014. Irhash's Cluster - All Rights Reserved
Template Created by Maskolis
Proudly powered by Blogger