TERBARU

Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM)

Written By Irhash A. Shamad on 06 Oktober 2010 | 22.48

Salah satu lembaga sosial yang mewakili kepentingan masyarakat adat di Sumatera Barat adalah Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM). Organisasi ini (idealnya) merupakan wadah penyaluran aspirasi komunitas adat dalam hubungannya dengan pelestarian nilai-nilai adat dalam masyarakat, disamping, tentunya, dalam menjaga kepentingan komunitas adat itu sendiri. Namun dalam perjalanan sejarahnya ternyata fungsi itu kurang terlihat signifkan. Oleh karena , secara historis, struktur Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau sebagai organisasi yang mewadahi ninik mamak dan pemuka adat, sebenarnya tidak terdapat dalam struktur kepemimpinan tradisional masyarakat di daerah ini ; tidak ada organisasi penghulu di atas penghulu-penghulu Nagari. Hubungan antar Nagari hanya ada bersifat kultural semata, yaitu adat Minangkabau. Bahkan tidak ada garis hirarkhi antara nagari-nagari itu sendiri dengan pusat kerajaan Pagaruyung sendiri.

Pembentukan wadah organisasi LKAAM bukanlah muncul dari masyarakat, akan tetapi merupakan inisiatif dari aparat pemerintah, yaitu berawal dari munculnya gagasan dari Panglima Komando Antar Daerah Letjen TNI Mokoginta dan Panglima Kodam III/17 Agustus. Pada awalnya masyarakat Sumatera Barat sangat optimis dengan dibentuknya wadah LKAAM ini, karena dengan demikian berbagai kepentingan komunitas adat akan terlindungi dari intervensi kepentingan-kepentingan di luarnya, yang dengan itu pula eksistensinya akan tetap terpelihara di tengah-tengah perubahan-perubahan politik di negara ini. Hal ini memang sejak lama diidamkan oleh masyarakat, khususnya sejak nagari-nagari tidak lagi memiliki otonomi atas wilayahnya oleh karena adanya struktur supra nagari yang memiliki otoritas yang lebih kuat.

Di awal kemerdekaan kepentingan komunitas adat di daerah ini diwakili oleh Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau (MTKAAM). Majelis Kerapatan Adat ini telah memperlihatkan peranannya dalam mempertahankan kepentingan komunitas etnik pada waktu Kerapatan Adat Nagari (KAN) tidak lagi dimasukkan menjadi bahagian dari kepemimpinan Nagari dalam Maklumat Residen Sumatera Barat No. 20 dan 21 tanggal 21 Mei 1946. Pada Pemilu pertama 1955, organisasi ini bahkan menjadi satu kekuatan politik di Sumatera Barat, yaitu : Partai Kerapatan Adat.

Prakarsa untuk mewadahi ninik mamak dan penghulu adat dalam organisasi LKAAM oleh kalangan militer di awal Orde Baru, sebenarnya lebih didorong oleh keinginan untuk membersihkan para penghulu adat yang terlibat dengan kegiatan Partai Komunis. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila kemudian organisasi ninik mamak ini sangat dekat dengan pemerintah dan kalangan ABRI. Ketua LKAAM sendiri dipegang oleh Baharuddin Dt Rangkayo Basa yang adalah juga Kepala Jawatan Penerangan Sumatera Barat. Sedangkan Kapten Saafroeddin Bahar (perwira Kodam) yang sekaligus Ketua DPD Golongan Karya juga duduk dalam sekretariat LKAAM sendiri . Dengan demikian organisasi ini sebenarnya lebih banyak berperan sebagai perpanjangan tangan pemerintah dan Golongan Karya. Sebagai penyangga kepentingan pemerintah, -- menjelang Pemilu 1971--organisasi ini telah memperlihatkan peran aktifnya dalam mensosialisasikan kekuatan politik Orde Baru, dalam mencari dukungan masyarakat, terutama di wilayah pedesaan. Hingga mengantarkan Golkar menjadi kekuatan mayoritas di daerah ini pada Pemilu 1971.

LKAAM sebagai organisasi adat bentukan pemerintah, dalam anggaran dasarnya, dicantumkan bahwa tujuan organisasi ini adalah untuk melestarikan nilai-nilai luhur adat Minangkabau serta mengembangkan falsafat adat Minangkabau yaitu : Adat basandi Syara', Syara' Basandi Kitabullah. Sebagai organisasi kemasyarakatan yang berorientasi kultural, wilayah kerja organisasi ini ternyata tidak meliputi semua wilayah kultural Minangkabau, akan tetapi hanya mengikuti batasan wilayah teritorial propinsi Sumatera Barat. Induk Organisasi ini berada di ibukota propinsi dan secara hirarkhis mempunyai cabang di setiap Daerah tingkat II Kabupaten/Kotamadya dan di tingkat Kecamatan. Untuk tingkat Nagari, ada Kerapatan Adat Nagari (KAN) yang tidak mempunyai hubungan struktural secara langsung dengan LKAAM tingkat Kecamatan, tetapi hanya bersifat konsultatif saja, terutama menyangkut program-program yang dilaksanakan di tingkat pedesaan.

Di dalam susunan kepemimpinan lembaga ini, selain terdiri dari unsur-unsur pemuka adat, pemuka agama dan tokoh cendikiawan, juga terdapat unsur pemerintahan daerah. Struktur kepemimpinan LKAAM pada awal berdirinya terdiri dari : Payung Panji, Presidium, dan Badan Pekerja Harian. Sedangkan unsur pemerintahan daerah, --dalam struktur kepemimpinan priode awal--, menduduki posisi sebagai Payung Panji. Duduk sebagai Payung Panji pada waktu ini antara lain : Panglima Kowilhan I Sumatera, Panglima Kodam III/17 Agustus, dan Gubernur Kepala Daerah sendiri . Struktur ini juga berlaku di setiap kepengurusan LKAAM di daerah tingkat II dan kecamatan-kecamatan.

Sejak tahun 1974, terjadi perubahan struktur kepemimpinan pada lembaga ini. Istilah Payung Panji tidak lagi muncul dalam susunan kepengurusannya. Pada priode 1974-1978 struktur kepengurusannya terdiri dari tiga komponen, pertama : Dewan Pucuk Pimpinan, yaitu Ketua Umum, Wakil Ketua, Anggota, dan Penasehat, kedua : Pimpinan Harian, yang terdiri dari Ketua Umum, Sekretaris Jenderal, Bendahara, dan Pembantu Umum. Sedangkan unsur ketiga adalah Lembaga Pembinaan Adat dan Syarak, yang terdiri dari Ketua, Sekretaris dan Anggota. Pada priode ini, jabatan Ketua Umum dalam struktur Pucuk Pimpinan dijabat oleh seorang intelektual yang juga penghulu dan sekaligus Rektor Universitas Andalas, yaitu Drs. Mawardi Yunus Datuk Rajo Mangkuto. Pada waktu ini, setidaknya secara struktural, sudah terlihat ada kemandirian pada lembaga ini dengan tidak masuknya unsur pemerintah daerah di dalam susunan kepengurusannya. Namun bukan berarti bahwa tidak ada intervensi ke dalam kelembagaan ini. Sejak awal, organisasi ini telah mengikatkan diri untuk menyalurkan aspirasi politiknya pada Golongan Karya. Ini artinya adalah loyalitas untuk pemerintah daerah, dan sangat tidak mungkin untuk menempatkan dirinya pada posisi yang berseberangan dengan pemerintah daerah. Karena itu, pada waktu pemerintah daerah menetapkan Jorong menjadi Desa yang mengakibatkan disfungsionalnya sistem Nagari, ternyata tidak menimbulkan reaksi yang begitu berarti dari lembaga ini .

Perubahan yang drastis dari kepengurusan LKAAM justru terlihat pada dua priode terakhir, dimana Gubernur Kepala Daerah langsung memegang kendali lembaga ini sebagai Ketua Umum dan Assisten Gubernur menduduki jabatan Ketua I. Seiring dengan perubahan ini pula, Musyawarah Besar LKAAM juga menghasilkan beberapa perubahan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga organisasi ini. Diantara perubahan yang dianggap mendasar adalah mengenai asas organisasi yang pada awalnya adalah : "Pancasila dan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah" diganti dengan Pancasila saja tanpa mencantumkan dasar falsafah adat itu .

Sebagai organisasi kemasyarakatan, LKAAM dalam perkembangannya tidak lepas dari berbagai dinamika tarik menarik kepentingan. Sebagai mitra pemerintah yang hidup dengan satu-satunya sumber dana dari bantuan pemerintah daerah , ia harus menunjukkan loyalitas bagi kepentingan pemberi dana itu sendiri. Namun sebagai organisasi yang menyandang simbol komunitas etnis Minangkabau, juga tidak mungkin melepaskan tanggung jawabnya dari segala persoalan kultural yang muncul dalam komunitas ini.

Dalam perjalanannya, organisasi LKAAM ini telah memperlihatkan perannya dalam rangka meningkatkan serta melestarikan nilai-nilai kebudayaan Minangkabau melalui berbagai program pembinaan-pembinaan dan penyebaran pengetahuan adat Minangkabau, baik melalui ceramah, penataran, serta mengupayakan kerjasama dengan Kanwil Departeman Pendidikan dan Kebudayaan untuk memasukan pelajaran adat sebagai muatan lokal di sekolah-sekolah me-nengah di Sumatera Barat . Meskipun secara umum program-program yang telah dijalankan itu tidak banyak memperlihatkan hasilnya, sebagaimana yang terlihat pada realitas sosial pada dasa warsa terakhir , namun hal ini setidaknya menunjukkan keberhasilan lembaga ini dalam meyakinkan pemerintah daerah serta instansi terkait untuk memberikan "perhatian" terhadap aspek-aspek kultural masyarakat.

Di sisi lainnya juga terlihat bahwa lembaga ini secara akomodatif telah memanfaatkan otoritasnya di bidang adat ini dalam mensukseskan pembangunan daerah sendiri. Beberapa diantaranya yang dapat ditunjukkan adalah dalam memasyarakatkan Perda No. 13 Tahun 1983 tentang Nagari Sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dalam Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Barat, lembaga ini telah mendampingi kunjungan kerja pemerintah daerah ke daerah-daerah tingkat II. Hal ini tentunya dalam rangka memberi pengertian-pengertian kepada masyarakat komunitasnya tentang "maksud baik" pemerintah dengan dikeluarkannya Perda tersebut. Demikian juga peran yang tidak sedikit diberikan oleh lembaga ini dalam mensukseskan program peningkatan ekonomi melalui pemanfaatan tanah-tanah ulayat sebagai lahan penanaman modal para investor di Sumatera Barat, menyukseskan program IDT, dan yang tak kalah pentingnya adalah menyukseskan Pemilihan Umum dan memenangkan Orde Baru .

Dari apa yang telah dikemukakan dapat dilihat bahwa kehadiran lembaga ini tidak lebih banyak perannya dalam membangkitkan nilai-nilai kultural komunitasnya, dibanding dengan program-program bernuasa kultural yang diberikan untuk melegitimasi program-program pemerintah yang dijalankan. Karena itu, tidak mengherankan bila kehadiran LKAAM hingga saat ini tidak semakin meningkatkan kesadaran sosial masyarakat di Sumatera Barat terhadap adat Minangkabau, apalagi untuk peningkatan implementasi komitmen Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah.
© Irhash A. Shamad


Sumber : Irhash A. Shamad, 2001, Hegemoni Politik Pusat dan Kemandirian Etnik di Daerah, Kepemimpinan Sumatera Barat di Masa Orde Baru, Padang : IAIN IB Press Bab 5


Sumatera Barat di Masa Pendudukan Jepang

Written By Irhash A. Shamad on 13 Agustus 2010 | 22.14

Ekspansi Jepang ke selatan, khususnya Asia tenggara selain bertujuan untuk eksploitasi sumber daya alam, terutama minyak bumi, juga dalam rangka meraih supremasi dan pertahanan dalam negeri serta penguasaan wilayah dengan menggunakan slogan “kemakmuran bersama Asia Timur Raya” (Dai to A Kyo Ei Ken). Namun demikian ekspansi ke selatan ini menghadapi berbagai kondisi yang tidak sama di tiap wilayah, karena perbedaan situasi politik wilayah jajahan serta latar belakang potensi alam dan budaya di masing-masing wilayah yang menuntut pendekatan dan penanganan yang berbeda pula. Namun demikian, ada persamaan karakteristik ekspansi, yaitu ekspansi atas nama kepentingan politik dan militer. Sama halnya juga dengan Tiongkok yang merupakan wilayah ‘nyawa’ bagi Jepang dalam pemasokan keperluan ekonomi dan militer, maka wilayah selatan (Asia tenggara) dirasakan tidak kurang pula pentingnya , baik dari sudut sumber daya alam (logistik dan minyak bumi), maupun potensi-potensi yang dimiliki dalam rangka mendukung aksi militer Jepang menghadapi sekutu.

Awal ekspansi Jepang ke selatan pada dasarnya telah dimulai semenjak sebelum Perang Dunia II. Vietnam, diduduki untuk mengamankan jalur transportasi perdagangan Jepang dan Cina (Yunan). Bersamaan dengan itu juga Thailand diduduki secara damai. Indo Cina dilihat sebagai pemenuhan kebutuhan logistik terutama untuk keperluan perang karena potensi alamnya yang kaya dengan beras. Seperti halnya dengan Indo Cina, maka wilayah Philipina diduduki hanya untuk diberikan kemerdekaan. Wilayah yang disebutkan terakhir lebih dimotivasi oleh pengamanan strategis dan karena menyangkut keberadaan Amerika. Sedangkan Indonesia dan Malaysia adalah merupakan wilayah sumber alam minyak yang penting, oleh karenanya akan dipertahankan sebagai wilayah pendudukan.

Melihat latar belakang kultural masyarakat Asia tenggara, secara umum, Jepang beranggapan bahwa untuk menguasai wilayah ini harus menggunakan pendekatan terhadap golongan konservatif, karena dengan demikian diharapkan tidak munculnya gerakan-gerakan kebangsaan. Disamping itu kekuatan propaganda dengan slogan “Asia untuk Asia” sangat efektif untuk “menjinakkan” masyarakatnya, karena pada umumnya rakyat Asia tenggara tengah berhadapan dengan kolonialis Barat.

Pendekatan pertama tidak mengalami hambatan di beberapa wilayah seperti Malaysia dimana Jepang berhasil merangkul elit tradisional yang konservatif. Oleh karenanya di sini tidak muncul perlawanan rakyat yang berwujud gerakan kebangsaan. Di Birma tokoh gerakan kebangsaan (Aung San) telah dirangkul terlebih dahulu pada saat Birma berhadapan dengan Inggeris. Berbeda halnya dengan di Indonesia yang sebelum kedatangan Jepang telah muncul gerakan kebangsaan dibawah pimpinan Soekarno dan Hatta. Namun akhirnya Jepangpun berhasil berkolaborasi dengan elit nasional ini untuk menjalankan propagandanya yaitu dengan masuknya Soekarno ke dalam gerakan “Tiga A”. Pendekatan Jepang ini hampir-hampir tidak menemui kendala, meskipun ada perlawanan-perlawanan rakyat terutama dari golongan kiri (komunisme) seperti munculnya gerakan anti Jepang MPAJA (Malay People’s Anti Japan Army) dan perlawanan Tan Malaka, kecuali itu, yang atas nama kepentingan kolonial di Indonesia dilakukan oleh KNIL.

Jepang dan Islam di Sumatera Barat
Sikap Jepang terhadap Islam di Indonesia telah digambarkan dalam “Prinsip-Prinsip Mengenai Pemerintahan Militer di Wilayah Pendudukan” (Senryochi Gunsei Jisshi Yoko) yang dikeluarkan pada tanggal 14 Maret 1942 yang menyatakan antara lain “bahwa agama-agama harus dihormati sejauh mungkin untuk menjaga kestabilan pikiran rakyat….kaum muslim, harus diberikan perhatian khusus untuk memanfaatkan mereka dalam rangka mencengkram pikiran rakyat ” (Kurasawa, 1993: 274). Dengan demikian jelas bahwa upaya mendekati kalangan agama dan memberi tempat tersendiri dalam kebijakan pemerintahan pendudukan Jepang di Indonesia merupakan bagian dari operasi propaganda Jepang. Kaum agama (baca : ulama) oleh pemerintahan pendudukan, dianggap memiliki potensi untuk memanipulasi pikiran rakyat dalam rangka memobilisasi rakyat untuk perang “Asia Timur Raya”. Tidak itu saja, Jepang telah membentuk beberapa organisasi ulama seperti Masyoemi, namun juga kelembagaan yang akan berfungsi sebagai pengontrol, seperti shumuka (seksi urusan keagamaan) di setiap keresidenan. Bahkan untuk kaum ulama dilaksanakan program pelatihan khusus yang disebut dengan ”Kiyai Koshokai” dalam rangka mempersiapkan mereka menjadi alat propaganda Jepang.

Jepang masuk di Sumatera Barat (Minangkabau) tanggal 13 Maret 1942 dan empat hari setelah itu hampir semua kota penting diduduki tanpa perlawanan dari Belanda. Seiring dengan itu di Padang dilaksanakan serah terima kekuasaan atas Sumatera Barat antara Jepang dan Belanda. Kadatangan Jepang ke Sumatera Barat pada awalnya sangat mencemaskan masyarakat, namun dalam berbagai kesempatan Jepang menyerukan bahwa kedatangannya adalah sebagai saudara tua untuk membebaskan rakyat dari penjajahan barat. Jepang menyiarkan slogan “Asia untuk Asia” melalui agen-agen mereka. Rakyat banyak di berbagai kota menyambut kehadiran Jepang dengan sangat antusias, terutama rakyat yang tidak mengerti sama sekali dengan perkembangan politik global.

Dalam menjalankan roda pemerintahannya di Sumatera Barat, Jepang pada awalnya tidak banyak melakukan perubahan struktur pemerintahan, kecuali perubahan nomenklatur ke bahasa Jepang seperti Sumatera Westkust diganti Sumatra Neishi Kaigun shu, Asisten Residen diganti dengan Bun Shuco, afdeling dengan Bun, Onder afdeling dengan Fuku Bun, Distrik dengan Gun, dan seterusnya. Jepang juga masih menggunakan pegawai-pegawai pribumi yang dulu pernah bekerja dengan Belanda. Ini disebabkan oleh karena bangsa Jepang yang datang pertama kali adalah serdadu-serdadu yang tidak mengerti soal pemerintahan sipil. Jepang juga tidak melarang rakyat di daerah ini mengibarkan bendera Merah Putih bergandengan dengan bendera Hinomaru. Rakyat diberi kebebasan untuk mendirikan perkumpulan-perkumpulan dan sekolah-sekolah. Pemimpin masyarakat juga dibolehkan,--bahkan menganjurkan-- untuk mendirikan Komite Rakyat yang bergerak di bidang sosial, terutama mengurangi ekses akibat perang.

Keadaan seperti digambarkan di atas ternyata tidak berlangsung lama. Setelah Jepang merasakan makin terdesak oleh pasukan gabungan Sekutu, “keramahan” Jepang terhadap rakyat mulai berbalik seratus delapan puluh derajat. Apalagi keperluan finansial bagi perang menghadapi Sekutu makin meningkat, sementara sumber penghasil tidak bertambah. Karena itu kebijakan eksploitasi tenaga kerja rakyat untuk kepentingan Jepang mulai terlihat. Rakyat dipaksa bekerja pada pabrik-pabrik. Penyiksaan-penyiksaan kejam terhadap rakyat yang membangkang oleh kempetai terlihat dimana-mana. Kebebasan para pemimpin rakyat dibatasi, demikian juga organisasi dan perkumpulan hanya diperbolehkan melaksanakan kegiatan yang berorientasi pengabdian bagi kepentingan Jepang.

Dalam bidang pendidikan Jepang melakukan perubahan-perubahan secara mendasar. Sekolah-sekolah dimobilisasi untuk kepentingan Jepang. Melalui jalur ini pemerintahan pendudukan ini berusaha untuk men“jepang”kan anak-anak Indonesia dengan berbagai cara. Di sekolah para murid sekolah dalam berbagai tingkatan diajarkan bahasa Jepang, mereka juga dilatih taiso (sejenis senam pagi ala Jepang), bergotong royong ala Jepang, bahkan juga latihan militer. Kegiatan-kegiatan ini justru lebih banyak dilaksanakan dibanding belajar. Para pemuda dilatih secara militer untuk keperluan Kei-bo-dan (pembantu polisi), Sei-nen-dan (penjaga keamanan kampung), Hei-ho (prajurit Asia Timur Raya), Romusha (tentara pembangun Asia Timur Raya), dan Gyugun (tentara Sukarela) (Martamin,1978:104). Tujuan diberikannya latihan-latihan militer oleh Jepang adalah dalam rangka mempersiapkan tentara untuk Perang Asia Timur Raya. Meskipun kemudian sangat bermanfaat bagi bangsa ini dalam memperjuang dan mempertahankan kemerdekaan.
Untuk membantu mobilisasi kalangan pemuda, pemerintahan Jepang memaksakan kepada para ulama untuk memfatwakan bahwa perang Asia Timur Raya sebagai perang Sabil. Oleh kalangan ulama, kewenangan ini digunakan justru untuk meyakinkan rakyat bahwa memerangi bangsa asing termasuk perang sabil, dalam hal ini termasuk bangsa Jepang. Para ulama yang tergabung dalam Majlis Islam Tinggi (MIT) bersama-sama dengan golongan Cadiak Pandai dan golongan adat memberikan dorongan kepada pemuda untuk mengikuti pelatihan-pelatihan militer seperti yang dianjurkan oleh Jepang.

Majlis Islam Tinggi (MIT) sebagai satu-satunya organisasi ulama Sumatera Barat, pada waktu ini meminta kepada Jepang agar diizinkan mendirikan Gyugun. Pemuda-pemuda Sumatera Barat didorong untuk menjadi pasukan Gyugun supaya mendapat pelatihan kemiliteran dari Jepang. Dengan dorongan para pemimpin rakyat itu banyak pemuda-pemuda mendaftarkan diri menjadi Gyugun. Diantara pemuda Islam yang tercatat adalah M. Dahlan Djambek, Ismail Lengah, Syarif Usman, Dahlan Ibrahim, Syofyan Nur, Syofyan Ibrahim. A. Thalib, Nurmatias, Sayuti Amin, Alwi St. Marajo, Syefei Ali, Mahyuddin Tonek, Burhanuddin, Munir Latif dan banyak lagi yang lain. Pada umumnya mereka adalah pemuda-pemuda terbaik daerah ini (Martamin,1978:109). Sedangkan tokoh yang ditugaskan untuk merekrut calon-calon Gyugun itu adalah : Ahmad Dt. Simarajo dari golongan adat, Mahmud Yunus dari golongan alim ulama (yang kemudian dikenal sebagai tokoh pendidikan Islam Indonesia), dan Khatib Sulaiman dari golongan cendikawan (BPSIM,1978,I :123 ; Mahmud Yunus, 1979;122). MIT melalui ketiga tokoh itu meminta kepada pemuda-pemuda yang masuk Gyugun agar selalu berjiwa Islam dan nasionalis. Pemuda-pemuda terlatih dalam Gyugun inilah yang pada masa revolusi menjadi lasykar-lasykar rakyat bentukan partai dan organisasi di daerah ini dalam mempertahankan kemerdekaan.

“Dukungan semu” yang diberikan oleh kaum ulama Sumatera Barat pada masa pemerintahan Jepang, ternyata telah membutakan mata Jepang dalam melihat apa yang ada dibalik dukungan ulama dalam pembentukan Gyugun. Tokoh masyarakat seperti ulama dan tokoh adat serta para cendikawan pada waktu ini hanyalah berfikir bagaimana kemerdekaan dapat segera di capai. Dengan mempersiapkan tenaga terlatih, tentu pada saatnya akan memuluskan rencana “belakang layar” itu.

Sama seperti di masa Belanda, pada masa pendudukan Jepang ini peran ulama sangat besar sekali, terutama dalam menyelamatkan rakyat dari penindasan dan pengibirian terhadap Islam sendiri serta mempersiapkan kalangan pemuda dalam rangka menuju kemerdekaan. Melawan secara terang-terangan tentu merupakan perhitungan yang keliru pada waktu ini, karena itu kalangan ulama memberikan motivasi yang sangat kuat kepada rakyat untuk melawan dengan diam-diam, sambil berlindung dibalik dukungan terhadap Perang Asia Timur Raya yang didengungkan oleh Jepang.

© Irhash A. Shamad

Sumber Utama : Irhash A. Shamad, 2007, Islam dan Praksis Kultural Masyarakat Minangkabau, Jakarta : PT. Tintamas Indonesia, Bagian VI

Menakar Nasionalisme BO dan SDI

Written By Irhash A. Shamad on 13 Mei 2010 | 13.33

Prolog

Masalah penetapan hari besar untuk mengenang perjuangan bangsa dalam suatu negara yang telah berdaulat merupakan sebuah keharusan historis untuk melestarikan nilai-nilai kejuangan yang telah diwariskan oleh generasi masa lalu, sama halnya juga dengan penganugerahan gelar kepahlawanan bagi para pelaku sejarah perjuangan bangsa itu sendiri. Akan tetapi persoalan momentum apa dan siapa tokoh yang akan ditetapkan, seringkali melibatkan berbagai pertimbangan akademis dan iklim politis pada waktu itu. Meski pertimbangan akademik pada bagian ini seharusnya menempati otoritasi paling atas, namun kepentingan politik dan kekuasaan nampaknya selalu berada lebih di depan. Oleh karena itu setiap pergantian kekuasaan dan perubahan iklim politik masalah momentum itu selalu mengundang munculnya perdebatan-perdebatan akademis dan sekaligus juga politis. Persoalan tokoh, pahlawan, maupun hari besar nasional dari sudut akademis tentulah berada di ranah kesejarahan, sementara dari ranah politis, relevansinya lebih menyangkut persoalan legitimasi dan kepentingan kekuasaan itu sendiri.

Tulisan ini akan mengemukakan seputar hari kebangkitan nasional yang diperingati setiap tanggal 20 Mei yang ditetapkan semenjak tahun 1949 dengan mengambil momentum tanggal kelahiran organisasi Boedi Oetomo (BO). Akhir-akhir ini persoalan penetapan hari kebangkitan nasional ini kembali menjadi wacana yang diperdebatkan menyangkut ketepatan konteks kesejarahan yang mendasarinya dengan terminologi nasionalisme dan kebangkitan itu sendiri. Tulisan ini tidaklah bertendensi memberikan preskripsi yang membenarkan atau menyalahkan, namun lebih pada maksud pengayaan wacana berdasarkan pilihan dan perbandingan analitis yang lebih mendekati pembenaran konteks kesejarahan sesuai dengan terminologi yang digunakan dalam menetapkan momentum itu sendiri.

Nasionalitas, Kebangsaan dan Kebangkitan Nasional
Persoalan dasar yang menjadi ajang perdebatan tentang hari kebangkitan nasional, sesungguhnya berawal dari konsepsi kata kebangkitan nasional itu sendiri. Sementara klaim momentum kelahiran dua organisasi Boedi Oetomo dan Serikat Dagang Islam yang sering dipertentangkan, sebenarnya adalah implikasi dari penafsiran atas aktualitas sejarah yang dipilih (mungkin dipelajari) untuk menentukan organisasi mana yang lebih tepat ditetapkan sebagai momentum yang akan diperingati.

Kebangkitan nasional adalah moment disaat mana sekelompok orang telah mendefenisikan diri mereka sebagai warga suatu “bangsa”, untuk kemudian mencoba berdiri dan bangkit dari keterpurukan akibat penjajahan dan dominasi bangsa lain. Rasa sebagai “sebangsa” dapat saja tumbuh secara imagined (meminjam istilah Ben Anderson 1991) pada saat orang-orang merasa dipersatukan oleh berbagai hal, seperti kepentingan bersama, pengalaman bersama, image tentang kesatuan bersama, dan rasa senasib dan sepenanggungan. Jadi bukan oleh adanya suatu nation dalam arti yang sesungguhnya , tetapi “nation” sebagai suatu masyarakat yang dibayangkan (imagined communities).

“Bangsa” yang dibayangkan dalam persepsi komunitas multi etnik ialah sebuah “bangsa” yang akan menjadi kulminasi dan dapat mempersatukan suku-suku bangsa yang beraneka ragam budaya menjadi sebuah kekuatan yang akan dapat mengatasi kesulitan bersama, memenuhi dan memelihara kepentingan bersama sebagai sebuah bangsa berdaulat yang juga dicita-citakan bersama. Ketika komunitas yang beragam ingin bangkit untuk menemukan realitas sesungguhnya dari “bangsa yang dibayangkan” itu, maka adalah menjadi sebuah keharusan untuk mencari titik yang mempersamakan diantara komunitas-komunitas yang ada ke dalam sebuah kepentingan bersama dengan menciptakan identitas bersama . Sehubungan dengan ini, pengalaman keterjajahan menjadi alasan utama menyatukan tekad bersama untuk bangkit. Situasi penjajahan yang dialami oleh daerah-daerah yang sama-sama merasakan tekanan penjajahan telah memilah antara warga yang dijajah (masyarakat lokal) dengan penjajah (pemerintah asing) dalam posisi yang berseberangan, dan gagasan untuk bangkit melawan ketertindasan dengan semangat untuk keluar dari situasi yang ada tentulah bukan dari kalangan yang menikmati “keuntungan” dari situasi itu . Demikianpun pengalaman penjajahan tentu belum cukup untuk mempersatukan daerah-daerah untuk bangkit secara bersama, karena perbedaan etnik antara daerah itu tentu menjadi kepentingan tersendiri, karena itu adanya simbol sebagai identitas bersama sangat diperlukan.

Perjuangan Emansipasi

Boedi Oetomo (BO) yang hari kelahirannya (20 Mei 1908) diperingati sebagai hari kebangkitan nasional dipertanyakan kembali, karena beberapa tahun sebelum kelahirannya sudah lebih dahulu berdiri sebuah organisasi yang dianggap lebih nasionalis dan mewakili aspirasi mayoritas bumiputera, yaitu Syarikat Dagang Islam (SDI).

SDI disamping lebih dahulu tiga tahun (16 Oktober 1905) dari BO, ternyata pendiriannya merupakan suatu bentuk perlawanan yang dilakukan oleh rakyat terhadap penjajahan dalam arti yang sesungguhnya, dan dalam rangka emansipasi untuk menuntut hak yang seharusnya diberikan kepada rakyat, tanpa diskriminasi dan tanpa prasangka negatif . H. Samanhudi, pendiri SDI pada waktu itu sangat menyadari bahwa situasi penjajahan yang telah menindas bangsa ini melalui monopoli dagang Belanda dengan kerjasama etnis Tionghoa. Karena itu, perlawanan yang paling mendasar sesuai konteks masa ini adalah memperkuat basis ekonomi bangsa melalui organisasi dagang yang mempersatukan para pedagang bumiputera.

Sementara BO didirikan pada 20 Mei 1908 oleh murid-murid Sekolah Dokter pribumi di Weltevreden (yang kemudian dikenal dengan STOVIA), gagasan awalnya hanyalah sebagai perkumpulan orang-orang Jawa dan hanya untuk kepentingan etnis Jawa dan Madura . Organisasi ini lebih bersifat lokal dan bahkan hanya terbatas untuk kelas tertentu dari masyarakat Jawa, khususnya kalangan priayi . Pada awal berdirinya, BO tidak dalam posisi perlawanan terhadap penjajah untuk memperjuang nasib rakyat , tetapi justru sebaliknya memperjuangkan kelompok sendiri dan pro pemerintah, karena perkum-pulan BO ini lebih merupakan organisasi pegawai-pegawai pemerintah ketimbang mewakili aspirasi rakyat terjajah. Ini artinya bahwa aspirasi apa yang sesungguhnya ada di dalam organisasi BO, jelas bukanlah perjuangan emansipasi sebagai yang menjadi interest mayoritas bangsa pada waktu itu.

Identitas Kebangsaan : Islam atau Jawa?

Membicarakan tentang cikal bakal nasionalisme dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia ini, maka penelusurannya haruslah berawal dari munculnya gagasan menyatukan semua bentuk identitas kelompok (baca: suku bangsa) untuk diarahkan ke satu titik dimana semua bentuk primordialisme harus dilebur menjadi sebuah identitas baru ; kebangsaan. Namun, dalam kondisi tertentu tidaklah mudah menemukan sebuah identitas bersama yang dapat menyatukan berbagai primordialisme yang akan dapat digalang untuk memperjuangkan cita-cita bersama. Islam adalah pilihan identitas bagi SDI untuk menemukan jalan masuk “penciptaan” identitas kebangsaan itu, sementara BO lebih memilih Jawaisme. Keduanya memang berangkat dari primordialisme, namun terdapat perbedaan yang sangat mendasar. Islam pada dekade ini dan sebelumnya telah membangkitkan semangat perlawanan rakyat di berbagai daerah, meski belum terdapat kesamaan kepentingan dalam perjuangan yang dilancarkan, namun simbol Islam ini terbukti telah menggerakkan secara nyata berbagai perlawanan rakyat terhadap penjajahan dan penindasan. Meskipun perlawanan rakyat daerah berlangsung secara partial, namun sentiment Islam ini telah membuat pemerintahan jajahan sangat mengkhawatirkan perkembangannya dan merasa perlu memberi perhatian tersendiri. Kekhawatiran pemerintahan kolonial bahwa Islam tidak sekedar agama yang dianut oleh sebagian besar penduduk negeri, melainkan juga menjadi simbol identitas “kebangsaan” yang telah disadari sejak akhir abad ke 19 . Maka dalam kaitan pencarian identitas bangsa pada waktu ini, sesungguhnya pilihan “Islam” oleh SDI ini tidaklah dalam porsi primordialisme sempit sebagaimana banyak diasumsikan, akan tetapi lebih merupakan pilihan strategis yang sesuai konteks zamannya , yaitu sebagai identitas kebangsaan yang memang menjadi milik mayoritas bangsa ini.

Keluasan Massa dan Konsistensi Perjuangan

Persoalan lain yang dianggap cukup menjadi indikator bagi penetapan apakah suatu organisasi massa rakyat layak dijadikan momentum kebangkitan nasional ialah seluas dan sejauh apakah organisasi itu mampu memperoleh dukungan massa rakyat dan seberapa konsistennya organisasi itu memperjuangkan tujuannya. Kemampuan mobilisasi dan keluasan rekrutmen keanggotaan lebih ditentukan oleh seberapa besar kepentingan semua anggota terakomodasi dalam tujuan organisasi serta konsistensi perjuangan dan kemampuan organisasi untuk tetap survive memegang teguh komitmen yang telah dicanangkan bersama.
Bila indikator itu kita gunakan untuk melihat ke dua organisasi yang disebutkan terdahulu, maka terdapat perbedaan yang sungguh sangat mencolok. Syarikat Dagang Islam (SDI) yang kemudian pada tanggal 10 September 1912 dirubah menjadi Syarikat Islam (SI) , sejak masa awal telah memiliki tokoh-tokoh utama yang bersifat terbuka untuk semua daerah, seperti H. Samanhudi (Jateng), HOS Cokroaminoto (Jatim), K.H. Agus Salim dan Abdul Muis (Sumatera Barat) dan AM Sangaji (Maluku). Begitu juga perkembangan cabang organisasi ini yang berdiri di hampir semua kota di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi hanya dalam masa 4 tahun (1912-1916) Ini menggambarkan bahwa organisasi ini tidaklah bersifat lokal, tetapi memiliki radius keluasan dengan percepatan yang luar biasa.

Sementara itu para pemimpin BO adalah dari kalangan “priayi” professional dan keratonan seperti Dr. Soetomo dan Dr. Cipto Mangunkusumo, Dr. Rajiman Wedyodinigrat, mereka ini adalah para priayi dari Sekolah Dokter, Demikian juga Raden Adipati Tirtokoesoemo, mantan Bupati Karanganyar dan Pangeran Arionotodirodjo dari Keraton Pakualaman dari priayi keratonan. Ini menunjukkan bahwa BO memiliki keterbatasan dari segi elit organisasi, demikianpun rekruitmen keanggotaan yang hanya dari segmen tertentu dan wilayah lokalitas tertentu pula.

Bila dilihat dari percepatan jumlah anggota antara kedua organisasi ini juga sangat kontras. SDI, yang kemudian menjadi SI, antara tahun 1912-1916 mengalami percepatan jumlah anggota hingga mencapai 490.120 orang , dan pada tahun 1919 jumlah anggota menjadi 2.000.000 orang . Untuk sekedar perbandingan, BO pada puncak kejayaannya pada tahun 1909 hanya memiliki anggota sebanyak 10.000 orang .

Apa yang dikemukakan sebenarnya adalah sebagian kecil dari apa yang dapat ditunjukkan untuk menakar nasionalisme BO dan SDI. Masih terdapat banyak perbedaan antara keduanya, misalnya, bila dilihat dari perspektif perjuangan dan aksi yang dilakukan, begitu juga kemampuan organisasi untuk menjalani jarak tempuh perjalanan bangsa ini dibawah kontrol penjajahan, serta konsistensinya mengantarkan bangsa ini menjadi Indonesia yang merdeka.

Epilog

Tulisan ini tak hendak menyimpulkan tentang apakah BO atau SDI yang layak dijadikan momentum kebangkitan nasional yang diperingati setiap tahun, tapi lebih merupakan sebuah upaya memancing kesadaran sejarah atas perjuangan bangsa yang telah berlaku. 20 Mei atau 16 Oktober hanyalah momentum dimana kita harus memaknai perjuangan panjang bangsa ini untuk terbebas dari belenggu penjajahan untuk kemudian bangkit berdiri di atas kaki sendiri. Pada saat kita selaku bangsa harus menghargai jasa dan perjuangan itu, persoalannya akan selalu masuk ke ranah politik. Pertimbangannya lebih pada kepentingan dan keuntungan apa yang dapat diperoleh dari legitimasi seremonial itu. Terlalu banyak untuk dapat disebut bagaimana “sejarah” selalu dijadikan instrumen legitimasi kekuasaan. Dalam kaitan ini peran Islam sebagai agama mayoritas bangsa ini sering tereduksi oleh beragam kepentingan kekuasaan sejak masa kolonial bahkan hingga pascakemerdekaan. Meskipun penulisan sejarah tidak selalu berpihak pada kebenaran aktualitas, namun kebenaran masalalu tidak akan pernah “tergugat” hanya karena diungkapkan.
Wallahua’lamu bishshawab.

© Irhash A. Shamad


Refleksi Sejarah Pergulatan Etnisitas di Pemerintah Daerah Sumatera Barat (3) : Gubernur Hasan Basri Durin (1987-1997)

Written By Irhash A. Shamad on 25 Maret 2010 | 15.52

Pengalaman kepemimpinan Hasan Basri Durin sebagai Pamong telah diawalinya ketika ia selama 11 tahun menduduki jabatan Walikota Padang (1971-1983). Ia kemudian menggantikan Azwar Anas sebagai gubernur Sumatera Barat yang juga telah menyelesaikan tugasnya sebagai gubernur selama dua priode. Pada saat memulai tugasnya sebagai gubernur, kondisi Sumatera Barat digambarkan sebagai berikut :

.. nagari-nagari yang terkerat-kerat dan menjadi desa-desa yang rapuh secara sosial budaya, ekonomi dan pemerintahan. Di satu sisi desa-desa memang mencatat kemajuan dalam sarana-dan prasarana ekonomi, namun di sisi lain terjadi krisis sosial budaya serta makin derasnya aliran manusia-manusia terdidik ke kota-kota.
Secara makro situasi perekonomian nasional juga mengalami persoalan-persoalan yang cukup serius, terutama setelah negara ini mengalami krisis ekonomi yang beruntun semenjak awal tahun 80an setelah penurunan harga minyak di pasar internasional disusul kemudian dengan berbagai kebijaksanaan ekonomi yang diambil oleh pemerintah, telah mempengaruhi suasana politik dalam negeri . Keadaan sepanjang tahun 1980-an sebenarnya tidak terlalu mempengaruhi hubungan kekuasaan antara pusat dan daerah, meskipun akibat merosotnya perekonomian nasional ini telah menggeser perimbangan keuangan dari pusat ke daerah, namun kontrol pemerintah pusat terhadap daerah tidak semakin menurun.

Hasan Basri Durin, --yang selain telah mempunyai pengalaman dalam birokrasi pemerintahan juga sebagai seorang ninik mamak pemangku adat--, memahami dengan baik apa yang harus ia kerjakan setelah diangkat menjadi orang nomor satu di daerah ini. Beberapa kebijaksanaan yang diambil selama kepemimpinannya dinilai cukup memenuhi harapan masyarakat di daerah, meskipun sebagai "tangan" pemerintahan pusat di daerah, dia juga mengalami berbagai keterbatasan untuk berbuat secara maksimal.

Hal menarik yang patut dicatat di masa kepemimpinannya di Sumatera Barat ialah peristiwa pemilihan gubernur pada tahun 1992, ketika ia akan memasuki jabatan kedua sebagai gubernur. Peristiwa pemilihan yang banyak menyita halaman halaman pers daerah dan ibu kota ini, berpangkal dari ketegangan antara elit tingkat atas soal calon gubernur ini, yaitu antara Mendagri dengan beberapa tokoh daerah yang juga duduk dalam kabinet. Mendagri yang sejak semula sudah memperlihatkan ketidaksimpatiannya terhadap Hasan Basri untuk melanjutkan jabatan kedua kalinya sebagai gubernur, justru ditelikung oleh dua tokoh Azwar Anas dan Bustanul Arifin (yang pada waktu itu masing-masing menjabat sebagai Menteri Perhubungan dan Menteri Koperasi). Kedua orang ini diduga telah merekayasa pencalonan kembali Hasan Basri Durin dengan akses langsung kepada Presiden. Peristiwa ini merebak dan tak urung menimbulkan berbagai kontradiksi di daerah antara pihak yang mendu-kung dan menolak Hasan Basri Durin . Akhirnya kemelut itu diakhiri dengan terpilihnya Hasan Basri Durin pada Sidang DPRD tanggal 19 Desember 1992. Banyak gunjingan di luar yang menyudutkannya dengan hasil pemilihan itu, terutama dari pihak-pihak yang telah dengan terang-terangan menolaknya. Namun Hasan Basri Durin yang berkarakter low profile ini dapat menghadapinya dengan tenang dan tidak mempengaruhi tugas-tugasnya sebagai gubernur berikutnya.

Penataan Kembali Desa dalam Nagari
Menyadari beberapa dampak negatif dari akibat dipecahnya nagari menjadi desa-desa di Sumatera Barat yang telah mengakibatkan banyak desa yang rapuh dan sulit dibangun, maka pemerintah daerah pada tahun 1988 menjalankan program penataan kembali desa-desa tersebut . Penataan kembali (regrouping) desa-desa ini ditujukan antara lain untuk terciptanya desa-desa yang (a) punya pendapatan sendiri. (b) paling kurang penduduknya 2500 jiwa dengan 500 kepala keluarga, (c) luasnya memadai dan teratur, (d) dengan partisipasi masyarakat yang tinggi, (e) dengan pelayanan pemerintah yang baik, dan (f) dengan aparat pemerintahan yang andal sebagainya . Untuk itu pemerintah daerah melalui Instruksi Gubernur No.11/IST/GSB//1988 menyelenggarakan program penataan ini secara bertahap. Pertama untuk desa-desa dengan penduduk kurang dari 250 jiwa, kemudian dilanjutkan dengan desa-desa berpenduduk kurang dari 500 jiwa, dan terakhir desa-desa dengan penduduk kurang dari 1000 jiwa. Pada tahap pertama, jumlah desa telah berkurang dari 3.138 (1983) menjadi 2.586 desa, tahap kedua berkurang lagi menjadi 2.132 dan tahap ketiga menjadi 2.059 , hingga akhirnya dengan penataan ulang ini jumlah desa di Sumatera Barat menjadi 1.753 desa. Dari jumlah itu 72 diantaranya sudah kembali ke dalam wilayah Nagari, seperti waktu sebelumnya sesuai dengan usulan yang diajukan oleh masyarakat desa yang bersangkutan kepada pemerintah daerah .

Sebagai konsekuensi penataan kembali desa-desa ini adalah berkurangnya jumlah dana bantuan Inpres pembangunan desa yang mengalir ke Sumatera Barat. Sebelum dilaksanakannya kebijaksanaan ini, agaknya pemerintah bersama masyarakat Sumatera Barat sudah siap dengan segala konsekuensi yang ditimbulkannya. Di sini, kepentingan akan keutuhan masyarakat Nagari lebih diutamakan ketimbang kebutuhan dana pembangunan. Karena itulah kebijaksanaan ini mendapat dukungan dan disambut baik oleh masyarakat desa di Sumatera Barat, bahkan oleh para perantau Minang di luar Sumatera Barat. Malah kebijaksanaan ini pada awalnya lebih dimotivasi oleh adanya keinginan masyarakat terutama kalangan intelektual dan tokoh masyarakat di daerah dan di rantau . Pemerintah Daerah sendiri juga mempersiapkan berbagai program untuk mengantisipasi berkurangnya jumlah dana pembangunan desa dengan menerapkan beberapa strategi pembangunan, seperti Manunggal Sakato, Musyawarah Pembangunan Nagari, Sarjana Masuk Desa, dan sebagainya.

Strategi Pembangunan "Manunggal Sakato".
Untuk meningkatkan pelaksanaan pembangunan pedesaan secara lebih menyeluruh, terpadu dan terarah, pemerintah daerah pada tahun 1990 menetapkan suatu kebijaksanaan strategi pembangunan pedesaan melalui konsep Manunggal Sakato dan dikukuhkan dengan SK Gubernur No. 17 A Tahun 1990. Konsep ini pada dasarnya merupakan upaya solusi kulturil atas terkendalanya pelaksanaan pembangunan di pedesaan dengan hilangnya beberapa elemen nilai tradisional kehidupan bernagari akibat terpecahnya nagari menjadi desa. Terjadinya berbagai anomie dalam kehidupan masyarakat selama ini telah menjadi kendala pelaksanaan pembangunan terutama di wilayah pedesaan. Solidaritas sosial, kebersamaan serta prinsip gotong royong yang menjadi ciri dari kehidupan bernagari sebagai pepatah : "barek samo dipikua , ringan samo dijinjing" (berat sama dipikul, ringan sama dijinjing) dirasakan telah semakin menipis. Oleh karena itu pemerintah merasa perlu mensosialisasikan kembali nilai-nilai itu melalui berbagai pendekatan yaitu pendekatan legalitas, struktural, empiris dan sosio kultural.

Ada perbedaan mendasar pola penerapan yang dilakukan oleh pemerintah ini dengan apa yang berlaku dalam kehidupan bernagari di masa lalu. Prinsip gotong royong dalam masyarakat tradisional lebih berorientasi partisipasi, sedangkan dalam pelaksanaan Manunggal Sakato justru lebih cendrung bersifat mobilisasi . Namun pelaksanaan strategi Manunggal Sakato ini telah membawa pengaruh positif terhadap kelancaran pelaksanaan pembangunan di wilayah pedesaan. Hal ini dilihat dari tingkat partisipasi yang diberikan oleh masyarakat yang setiap tahun terus meningkat. Selama Pelita V masyarakat desa berhasil membangun 50.000 proyek. Hingga tahun keempat Pelita V tersebut, proyek yang dibangun dengan Manunggal Sakato tercatat 43.732 buah. Nilai dari proyek-proyek itu jauh melebihi jumlah dana Bandes yang diterima. Pada tahun 1989/1990 seluruh desa memperoleh dana Bandes sebanyak Rp.3,544 miliar, sedangkan hasil yang dicapai bernilai Rp.18,21 miliar. Dari angka ini maka swadaya masyarakat bernilai Rp.14,58 miliar. Tahun berikutnya dengan nilai dana Bandes sebesar Rp.4,78 miliar, berhasil dikerjakan proyek senilai Rp,23,6 miliar

Musyawarah Pembangunan

Untuk lebih memuluskan jalannya program Manunggal Sakato, pemerintah daerah melihat berbagai kemungkinan peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Salah satu upaya peningkatan itu adalah dengan member-dayakan lembaga musyawarah yang telah menjadi tradisi di nagari-nagari masa lalu. Untuk itu pada tahun 1991 pemerintah mengeluarkan instruksi kepada seluruh jajaran pemerintah tingkat II di daerah ini, untuk menyelenggarakan Musyawarah Pembangunan Nagari di tiap-tiap nagari di Sumatera Barat dengan menunjuk KAN bersama seluruh Kepala Desa/Kelurahan yang ada di Nagari tersebut sebagai pelaksana. Musyawarah Pembangunan Nagari dimaksudkan sebagai wadah untuk merumuskan rencana pembangunan pedesaan sesuai dengan aspirasi anak nagari berdasarkan adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat Nagari dan dilaksanakan sekali dalam setahun . Dengan ketetapan ini setiap desa yang berada dalam satu wilayah nagari harus merencanakan dan melaksanakan pembangunannya secara terpadu dan terkoor-dinasi. Setiap sumber daya yang ada pada masing-masing desa dalam nagari harus disatukan kembali dalam gerak pembangunan yang ditopang dan diorientasikan kepada kepentingan dan kebutuhan masyarakat nagari .

Berjalannya mekanisme musyawarah dalam masyarakat pedesaan dengan "pola" nagari ini, ternyata membawa dampak yang cukup baik terhadap kegairahan masyarakat desa dalam membangun. Banyak nagari --melalui musyawarah nagari ini-- yang menerapkan kembali hukum adat bagi anak nagari setempat, memecahkan berbagai persoalan di nagari dengan melaksanakan berbagai bentuk pengembangan usaha anak nagari, mengatasi masalah pengangguran serta berbagai usaha pelestarian nilai budaya dan pemberantasan maksiat dan kejahatan. Bahkan ada nagari yang mewajibkan pemuda yang akan menikah untuk menanam sejumlah pohon kayu manis sebelum melangsungkan pernikahannya .

Meskipun Musyawarah Pembangunan Nagari ini bukan untuk mengembalikan otoritas Nagari seperti sebelum berlakunya UUPD 1979, namun suasana kehidupan bernagari itu sudah hampir terasa dan cukup banyak keputusan-keputusan musyawarah itu yang telah membawa perubahan serta kemajuan di banyak nagari di Sumatera Barat. Akan tetapi bila dilihat secara lebih obyektif, dalam kontek sistem pembangunan yang sentralistis dengan birokrasi yang paternalis, seperti yang mewarnai budaya politik Orde Baru, maka tidak dapat dipungkiri bahwa apapun bentuk dialog atau musyawarah yang dilaksanakan --apalagi yang disebut dengan bottom up planning--, hampir dapat dipastikan bahwa hal itu tidak akan selalu berada pada koridor demokrasi dalam arti yang sesungguhnya. Yang mungkin dapat dipastikan adalah bahwa, baik pelaksanaan maupun hasil-hasil yang diperoleh, dipahami lebih pada aspek formalitas dan seremonialnya ketimbang aktualisasi dari nilai musyawarah itu sendiri.

Sarjana Masuk Desa

Salah satu kendala pembangunan di wilayah pedesaan Sumatera Barat, antara lain adalah kurangnya sumber daya manusia di desa. Kekurangan ini disebabkan oleh besarnya arus urbanisasi kalangan pemuda terpelajar yang terus menerus mengalir ke wilayah perkotaan. Arus urbanisasi ini, selain disebabkan oleh budaya merantau yang telah menjadi tradisi bagi masyarakat di sini, juga kecendrungan banyak pemuda untuk belajar ke kota sebagai konsekuensi tidak tersedianya sarana pendidikan secara memadai di desa. Biasanya, setelah mereka menyelesaikan pendidikan di kota, enggan untuk pulang ke desa. Akibatnya ialah desa semakin sepi dari tenaga-tenaga terdidik.

Kelangkaan yang dihadapi oleh daerah akibat urbanisasi ini tidak saja berdampak terhadap pelaksanaan pembangunan, malahan untuk mendapatkan seorang kepala desa yang memenuhi syarat saja menjadi sulit, Apalagi kebutuhan terhadap kepala desa semakin besar akibat pemecahan desa-desa pasca UU No.5 tahun 1979.

Untuk mengatasi keadaan tersebut, pemerintah daerah pada tahun 1988 menggagaskan suatu program yang disebut Sarjana Pelopor Pembangunan Desa (SPPD). Program ini bertujuan untuk mengirim manusia-manusia berpendidikan tinggi ke desa untuk menggerakkan dan mempercepat kemajuan dan pertumbuhan pembangunan ekonomi di wilayah pedesaan. Selain itu kehadiran sarjana di desa juga diarahkan untuk berperan dalam usaha meningkatkan kemampuan serta fungsi kelembagaan yang terdapat di pedesaan, meningkatkan kemampuan dan keterampilan masyarakat, meningkatkan peranserta masyarakat dalam berbagai kegiatan pembangunan serta dalam rangka membuka lapangan kerja baru dengan memanfaatkan potensi yang ada di desa masing-masing . Pada tahun 1989, untuk pertama kalinya dikirim 200 orang sarjana dari berbagai disiplin ilmu ke desa-desa di Sumatera Barat, demikian juga pada tahun-tahun berikutnya. Selama Pelita V telah dikirim sebanyak 457 sarjana ke ratusan desa di Sumatera Barat.

Program SPPD ini kemudian telah memperlihatkan hasilnya, seiring dengan keberhasilan para sarjana itu dalam mengelola usaha-usaha produktif di desa, meskipun ada diantara mereka yang gagal. Namun program ini terus didorong oleh pemerintah daerah dengan menyediakan fasilitas kredit dengan bunga yang sangat rendah . Secara ekonomis kehadiran sarjana ke desa telah mampu membangkitkan gairah perekonomian masyarakat pedesaan, bahkan tidak sedikit juga kalangan masyarakat yang ikut termotivasi dalam pengembangan usaha mereka. Dengan program ini tentu diharapkan akan terjadi transformasi ekonomi masyarakat dengan memanfaatkan lahan-lahan yang selama ini terlantar agar menjadi lebih produktif. Akan tetapi tidak demikian halnya bila dilihat dari sisi kultural, yang terjadi justru transformasi pola hidup perkotaan yang telah diserap oleh para sarjana itu ikut terbawa ke desa. Hal ini tak kurang juga telah pula mempengaruhi nilai-nilai kehidupan pedesaan

© Irhash A. Shamad


Sumber : Irhash A. Shamad, 2001, Hegemoni Politik Pusat dan Kemandirian Etnik di Daerah, Sumatera Barat di Masa Orde Baru, Padang, IAIN IB Press, Bagian 4


Refleksi Sejarah Pergulatan Etnisitas di Pemerintah Daerah Sumatera Barat (2) : Gubernur Azwar Anas (1977-1987)

Written By Irhash A. Shamad on 19 Maret 2010 | 23.24

Di awal kepemimpinan Azwar Anas sebagai gubernur Sumatera Barat, kondisi daerah cukup stabil meskipun beberapa waktu sebelumnya sempat menghangat khususnya menjelang pelaksanaan Pemilu 1977. Hasil Pemilu kali ini memang sedikit berbeda dibanding dengan Pemilu 1971 yang telah mengantarkan Golkar sebagai kekuatan mayoritas untuk seluruh daerah tingkat II, pada Pemilu kali ini Golkar mengalami penurunan perolehan suara di beberapa daerah tingkat II ; di dua kota penting Bukittinggi dan Padang Panjang Golkar mengalami kekalahan dari PPP, sedangkan di Kotamadya Padang terjadi perimbangan kekuatan . Keadaan ini agaknya tidak mempengaruhi suasana pemilihan gubernur pengganti Harun Zain, karena jauh sebelum berakhirnya jabatan kedua Harun Zain, siapa yang bakal menggantikannya sudah menjadi pembicaraan di kalangan politisi daerah dan hampir-hampir tidak banyak kontroversi. Dua nama yang diajukan pada waktu itu terdiri dari orang-orang yang dikenal sangat dekat dengan Harun Zain, yaitu Azwar Anas dan Yanuar Muin. Keduanya sama berbobotnya, prestasi keduanya juga berimbang. Azwar Anas dinilai berhasil menyelamatkan PT Semen Padang yang hampir terjual kepada Perancis, sedangkan Yanuar Muin namanya mencuat setelah berhasil memimpin pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Agam. Beda keduanya cuma, yang satu ABRI dan yang satu lagi adalah sipil. Untuk menentukan siapa diantara keduanya yang akan menggantikan Harun Zain, sebenarnya bagi masyarakat di daerah ini tidak menjadi soal, yang penting pembangunan serta perbaikan kondisi sosial di daerah ini tetap berlanjut. Namun Harun Zain sendiri rupanya telah menjatuhkan pilihan pada Azwar Anas, dengan beberapa pertimbangan, antara lain bahwa untuk menjaga hubungan Pusat dan Daerah yang selama ini telah terjalin "mesra", maka Sumatera Barat memerlukan kepemimpinan seorang ABRI.

Pada priode pertama kepemimpinan Azwar Anas (1977-1982), merupakan puncak keberhasilan pembangunan di Sumatera Barat yang ditandai dengan berhasilnya daerah ini meraih penghargaan tertinggi dalam pembangunan, yaitu : Prasamya Purnakarya Nugraha yang diberikan oleh pemerintah pusat. Penghargaan ini adalah merupakan bukti keberhasilan Sumatera Barat -- setidaknya menurut penilaian pemerintah pusat-- dalam menjalankan pembangunan sesuai dengan standar-standar keberhasilan yang –tentunya-- juga ditentukan oleh pusat sendiri.

Disamping keberhasilan itu, pada priode yang sama masyarakat di daerah ini mulai "membayar hutang" pembangunan kepada pemerintah pusat yang selama ini diterima dalam bentuk bantuan, subsidi dan sebagainya. Struktur kepemimpinan tradisional Nagari yang selama ini menjadi kekuatan pengikat hubungan sosial, ekonomi dan politik masyarakat, mengalami "keruntuhan" dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang pemerintahan Desa di daerah ini pada tahun 1983.

Persiapan Pemberlakuan UUPD 1979
Pada tahun 1979, pemerintah pusat barulah benar-benar menunjukkan kesungguhannya untuk menyeragamkan sistem pemerintahan sampai ke tingkat bawah. Pemerintah mengundangkan U.U. No. 5 tahun 1979 tentang pemerintahan Desa (UUPD). Undang-Undang ini ditujukan untuk mengatur bentuk serta susunan pemerintahan desa yang dapat memberikan arah perkembangan kemajuan masyarakat yang berazaskan Demokrasi Pancasila sebagai yang dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945 . Penetapan UUPD ini didasari oleh Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. IV/ MPR/1978 tentang GBHN yang menegaskan perlunya memperkuat pemerintahan Desa agar makin mampu menggerakkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan dan menyelenggarakan administrasi Desa yang makin meluas dan efektif.

UU No.5 Tahun 1979, yang secara formal mulai diberlakukan tanggal 1 Desember 1979 ini, di Sumatera Barat --pada awalnya-- belumlah membawa perubahan yang prinsipil terhadap struktur pemerintahan Nagari. Ini disebabkan karena, disamping belum adanya ketentuan lebih lanjut dari Mendagri, pemerintah daerah merasa bahwa daerah belum siap untuk melaksanakan UU tersebut. Karena itu, pemberlakuan UU No. 5/1979 ini perlu ditunda dan akan dilakukan secara bertahap . Untuk sementara, acuan tentang pola pemerintahan ditingkat terendah, tetap mempedomani SK Gub. No. 155/GSB/1974 .

Sementara itu pemerintah daerah mulai pula melakukan langkah-langkah persiapan untuk menyesuaikannya produk Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 dengan kondisi lokal sendiri (atau mungkin lebih tepat sebaliknya). Diantara langkah persiapan yang dilakukan oleh pemerintah daerah adalah mensosialisasikan Undang-Undang ini kepada selu-ruh jajaran pemerintah daerah tingkat II se-Sumatera Barat pada bulan Nopember 1979 . Kemudian pada awal tahun 1980 selama tiga hari berturut-turut diadakan pula rapat kerja dengan Wali-Wali Nagari se Sumatera Barat . Sebuah tim yang akan menangani persiapan Pelaksanaan Undang-Undang itupun dibentuk . Tim ini, selain akan bertugas mensosialisasikan UU ini, juga akan menginventarisir permasalahan bagi persiapan pelaksanaannya serta mengadakan konsultasi dengan berbagai pihak, terutama dengan pemuka masyarakat di daerah.

Pada tahun 1981 Pemerintah Daerah mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda No.7 tahun 1981) tentang Pembentukan, Pemecahan, Penyatuan dan Penghapusan Desa Dalam Provinsi Daerah Tk. I Sumatera Barat. Melalui Perda ini sebenarnya pemerintah Daerah mulai mengakomodasi keinginan pemerintah pusat untuk menyeragamkan pola pemerintahan desa. Kebijaksanaan ini kemudian dirasakan sebagai pembuka jalan bagi diberlakukannya secara penuh Undang-Undang tentang Pemerintahan Desa (UU No.5/1979) di Sumatera Barat melalui Surat Keputusan Gubernur No. 162/GSB/1983 yang menyatakan berlakunya UU No.5/1979. Sejak saat ini mulailah terlihat berbagai anomie ditengah-tengah kehidupan masyarakat desa ; suatu kondisi yang sebenarnya bertolak belakang dengan tujuan dikeluarkannya undang-undang tersebut. Hal ini disebabkan oleh benturan-benturan kultural yang terjadi akibat sistem pemerintahan Nagari yang menyangga keutuhan kultural itu menjadi disfungsional, karena otoritas pemerintahan terendah dibawah kecamatan yang selama ini berada pada Nagari, dialihkan kepada Jorong yang ditetapkan setingkat Desa. Sementara Jorong pada waktu sebelumnya adalah bahagian dari Nagari.

Ambivalensi Pemerintah Daerah dan Leburnya Struktur Nagari
Persoalan kerusakan sistem internal di Sumatera Barat yang terjadi di masa Orde Baru ini, pada dasarnya bukanlah semata-mata karena diberlakukannya Undang-Undang No.5 Tahun 1979, akan tetapi lebih disebabkan oleh kebijaksanaan yang diambil oleh pemerintah daerah dalam menetapkan Jorong sebagai unit pemerintahan terendah. Karena dengan kebijaksanaan itu, Nagari sebagai kesatuan politik teritorial-genealogis, menjadi terpinggirkan. Pada hal dalam Undang-Undang itu tidak dinyatakan secara tegas bahwa Nagari sebagai unit pemerintahan terendah --seperti yang berlaku sebelumnya-- harus dipecah menjadi Desa-Desa sebagai yang dimaksud oleh UU tersebut. Bahkan dalam konsideran UU tersebut secara jelas memberi pertimbangan dengan "mengindahkan keragaman keadaan Desa dan ketentuan adat istiadat yang masih berlaku" . Yang dimaksud dengan desa dalam undang-undang ini "adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri" . Jadi, dengan penetapan Jorong sebagai Desa berarti beralihnya otoritas politik masyarakat dari Nagari kepada Jorong. Sedangkan Jorong --pada waktu sebelumnya—adalah bahagian dari Nagari dan tidak mempunyai otoritas pemerintahan, kecuali hanya sebagai pelaksana administrasi di tingkat bawah. Dengan demikian benturan kultural yang terjadi sebenarnya lebih banyak disebabkan oleh perubahan struktural itu. Meskipun implementasi UU tersebut dalam prakteknya kemudian juga mendatangkan berbagai implikasi kultural terhadap prilaku sosial di daerah.

Persoalan kebijaksanaan penetapan Jorong sebagai unit pemerintahan terendah setingkat Desa ini sudah menjadi topik perdebatan yang hangat di kalangan tokoh-tokoh masyarakat di daerah ini sebelum diundangkannya Undang-Undang tersebut. Pada bulan Januari 1978 pemerintah daerah menyelenggarakan diskusi tentang Pemerintahan Desa yang diikuti oleh kalangan tokoh-tokoh intelektual, kalangan ulama serta kalangan pemuka adat.

Permasalahan utama yang diangkatkan dalam diskusi ini adalah menyangkut penetapan Desa sebagai yang dimaksudkan dalam Ran-cangan Undang-Undang No.5 Tahun 1979. Dua persoalan yang menimbulkan dilema dalam penetapan ini, yaitu : pertama : bila pengertian yang disebut dengan "Desa" oleh Pusat sama dengan "Nagari" di Sumatera Barat (berada langsung di bawah kecamatan), maka akan mengakibatkan berkurangnya jumlah bantuan desa yang diterima oleh daerah dari pemerintah pusat. Kedua : Bila yang dinyatakan sebagai "Desa" adalah "Jorong yang merupakan bahagian dari Nagari sesuai dengan SK. Gubernur KDH Tk. I Sumatera Barat No. 259/GSB/1977 , maka kemungkinan akan hilangnya fungsi Nagari. Ini akan mengakibatkan timbulnya persepsi yang kurang baik, karena akan menghilangkan struktur pemerintahan Nagari yang mempunyai hak asal usul, sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 18 UUD 1945 .

Sejak semula diskusi yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah ini memang tidak ditujukan untuk mendapatkan keputusan, akan tetapi hanya dalam rangka mengumpulkan pendapat yang akan dijadikan bahan bagi tim perumus . Dengan demikian apapun kecendrungan pendapat peserta diskusi, tidak mutlak menjadi acuan dalam menetapkan apakah Nagari atau Jorong yang akan ditetapkan setingkat Desa.

Dari jalannya Diskusi, baik dari pemakalah maupun dari peserta diskusi, terdapat kecendrungan untuk tidak menjadikan Jorong sebagai Desa, karena hal itu akan menghilangkan fungsi Nagari yang pada gilirannya akan menimbulkan dampak yang serius pada banyak aspek kehidupan sosial di daerah ini, Meskipun ada sebahagian pendapat yang ingin mempertahankan Jorong sebagai Desa yang diberi bantuan oleh Pusat, namun keberadaan Nagari sebagai unit pemerintahan terendah tetap dipertahankan . Pandangan yang disebut terakhir sebenarnya merupakan jalan tengah antara pemikiran yang berkembang dalam diskusi dengan apa yang disampaikan oleh Gubernur dalam pidato pengarahannya di awal diskusi dengan sedikit koreksian . Gubernur, dalam pidato pengarahannya, mengemukakan bahwa bila Nagari disamakan dengan Desa, maka jumlah bantuan yang diterima oleh daerah ini akan berkurang menjadi seperenam dari jumlah bantuan yang diterima sebelumnya. Selanjutnya ia mengemukakan pandangannya sebagai berikut :
Sekarang sudah keluar SK. Mendagri (maksudnya SK. No. 17/1977), kita mikir-mikir lagi, artinya jalan keluar yang lain, kalau alternatif kita ambil yaitu alternatif kedua, menjadi Jorong sama dengan Desa, dan Nagari berfungsi koordinator terutama dalam pelaksanaan pembangunan. Sedangkan fungsi Nagari sebagai kesatuan adat, kesatuan hukum, kesatuan sosial budaya dan lain-lain tadi adalah tepat dewasa ini. Jadi dengan demikian, arti Nagari dalam etnologi adalah tetap seperti sekarang ini, sedangkan dalam arti administrasi pemerintahan dan pembangunan, maka pengertian Desa bagi kita adalah Jorong sehingga LSD (Lembaga Sosial Desa) berada di Jorong-Jorong sebagai operator pemerintahan yang sama-sama Kepala Jorong membinanya, dan kalau Nagari ada K.N. dan Jorong ada L.S.D. nya

Pandangan di atas dengan jelas mencerminkan kecen-drungan ambivalensi Pemerintah Daerah antara sikap untuk tetap mempertahankan Jorong sebagai Desa, sesuai dengan SK Mendagri No 17/1977, dengan pengakuan terhadap keberadaan Nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum adat. Pertimbangan terakhir ini didasari oleh kenyataan bahwa keberadaan Nagari terlalu riskan untuk dihilangkan. Dengan hanya pengakuan Nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum adat, berarti menghilangkan fungsi Nagari sebagai unit pemerintahan, pada hal fungsi hukum adat, menurut pandangan masyarakat, sebenarnya meliputi fungsi politis dan pemerintahan. Otoritas kepemimpinan Nagari yang mengakar kuat seperti ini akan digantikan dengan Pamong Desa (Kepala Desa) yang memiliki legitimasi dari atas.

Apa yang kemudian disampaikan dalam kesimpulan diskusi yang dibacakan pada Sidang Pleno terakhir ternyata tidak menjelaskan secara eksplisit tentang substansi permasalahan yang didiskusikan, akan tetapi hanya merumuskan tentang perlunya beberapa perobahan dari Rancangan UU Pemerintahan Desa . Rumusan diskusi inilah yang menjadi dasar untuk penyusunan tanggapan gubernur terhadap rancangan Undang-Undang tentang Pemerintahan Desa. Akan tetapi dalam tanggapan ini juga tidak memuat tentang sikap yang diambil oleh daerah untuk merespon Undang-Undang tersebut. . Dengan demikian berarti aspirasi apa yang berkembang dalam diskusi dengan tokoh-tokoh masyarakat itu, tidak pernah (atau tidak perlu) disampaikan ke pemerintah pusat. Bahkan ada asumsi lain yang mengatakan bahwa diskusi itu hanya sebagai strategi pemerintah daerah untuk melihat sejauhmana reaksi masyarakat terhadap perubahan sistem pemerintahan yang akan dijalankan.

Dari apa yang dikemukakan itu dapat di duga alasan perlunya menyelenggarakan diskusi itu, yaitu agar secara formal pemerintah daerah tidak bertindak sendiri dalam mengambil konsensus menjadikan Jorong sebagai Desa, artinya, konsensus itu telah melalui proses dialog dan telah dimusyawarahkan dengan pemuka-pemuka masyarakat. Dengan itu pemerintah daerah terlindung dari prasangka-prasangka negatif dan dalam hal ini seolah-olah bertindak hanya sebagai mediator antara kepentingan lokal dan nasional, pada hal sebenarnya kepentingan pemerintahlah menjadi acuan, sementara itu kepentingan lokal harus menyesuaikan diri.

Nagari sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat
Pemberlakuan UUPD di Sumatera Barat yang ditetapkan dengan Keputusan Gubernur Tingkat I Sumatera Barat tanggal 28 Juli 1983 beberapa waktu kemudian diiringi dengan dikeluarkannya Peraturan Daerah No. 13 Tahun 1983 tentang pengakuan nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum adat dalam propinsi Sumatera Barat . Dengan keluarnya Perda ini, secara resmi lembaga nagari di Sumatera Barat tidak lagi berfungsi sebagai unit pemerintahan terendah. Oleh karenanya Kepemimpinan Nagari tidak lagi memiliki kekuatan politis, karena sudah diambil alih oleh pemerintahan Desa. Di setiap Nagari dibentuk Lembaga Kerapatan Adat Nagari (KAN), namun otoritas lembaga ini dibatasi hanya dalam soal-soal yang menyangkut dengan persoalan adat istiadat, sebagaimana ditetapkan pada Pasal 3 tentang fungsi Nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum adat sebagai berikut :
(a) Membantu pemerintah dalam mengusahakan kelancaran pelaksanaan pembangunan di segala bidang, terutama bidang kemasyarakatan dan budaya.
(b) Mengurus hukum adat dan adat istiadat dalam nagari.
(c) Memberi kedudukan hukum adat terhadap hal-hal yang menyangkut harta kekayaan masyarakat nagari guna kepentingan hukum keperdataan adat, juga adanya persengketaan atau perkara perdata adat.
(d) Menyelenggarakan pembinaan dan pengembangan nilai-nilai adat Minangkabau, dalam rangka memperkaya, me-lestarikan dan mengembangkan kebudayaan nasional pa-da umumnya dan kebudayaan Minangkabau khususnya
(e) Menjaga, memelihara dan memanfaatkan kekayaan nagari untuk kesejahteraan masyarakat nagari .

Dengan beralihnya fungsi pemerintahan dari nagari ke desa maka dalam kehidupan masyarakat terdapat dua lembaga kepemimpinan anak nagari. Dalam hal yang menyangkut administrasi pemerintahan adalah Kepala desa sebagai lembaga formal dan dalam soal yang menyangkut adat istiadat adalah Nagari sebagai lembaga informal. Dalam pelaksanaan pembangunan di desa-desa, peran Kerapatan Adat Nagari hanyalah bersifat konsultatif bagi desa-desa yang berada dalam wilayah Nagarinya.

Hubungan kerja yang kabur dan tidak jelas antara KAN dan Kepala Desa telah menempatkan peran Kerapatan Adat Nagari pada posisi yang "menggantung" dan "tidak bergigi" . Walaupun Kerapatan Adat Nagari mempunyai dasar sosiologis yang kuat, namun Kepala Desa lebih memiliki legitimasi dari pemerintahan teratas (Kecamatan). Kondisi inilah yang telah menyebabkan munculnya berbagai anomi dan anomali di-tengah kehidupan masyarakat pedesaan yang sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan pembangunan di desa, terutama dalam menggerakkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan, seperti yang digambarkan oleh Imran Manan :
Persaingan kedua bentuk otoritas itu di desa tidak dapat dielakkan, karena keduanya mempunyai basis sosiologis, ekonomis dan politis yang berbeda. Karena dasar sosiologisnya yang tidak kuat, maka otoritas pemerintahan desa tak sekuat pemerintahan nagari. Karena dasar ekonomisnya tak kuat maka kehidupan dan efektifitas pemerintahan desa sangat bergantung pada bantuan otoritas supra desa. Dan karena dasar politisnya tidak berakar ke bawah maka kemampuannya untuk mengerakkan masyarakat dalam pembangunan menjadi terbatas .
Menyangkut hubungan kerja, pembagian kerja dan masalah otoritas ini lebih terlihat terutama dalam hal-hal khusus seperti penyediaan tanah untuk lahan pembangunan, masalah pemanfaatan tanah ulayat suku dan nagari serta penyelesaian berbagai sengketa anak nagari dan persoalan lainnya terutama yang terkait dengan kedua otoritas kepemimpinan ini.

Nagari --dalam hal terbatas-- adalah merupakan kesatuan teritorial desa. Sedangkan desa secara administratif punya garis hirarki ke kecamatan. Peran nagari disini terlihat hanya bersifat simbolik. Lembaga Kerapatan Adat Nagari tidak memiliki otoritas dalam mengambil keputusan-keputusan yang menyangkut kepentingan desa. Bila berbenturan antara kepentingan masyarakat nagari dengan program pemerintahan yang dijalankan melalui otoritas kepala desa, maka Pucuk Adat akan berada pada posisi yang lemah .

© Irhash A. Shamad
 

Sumber : Irhash A. Shamad, 2001, Hegemoni Politik Pusat dan Kemandirian Etnik di Daerah, Sumatera Barat di Masa Orde Baru, Padang, IAIN IB Press, Bagian 4

Refleksi Sejarah Pergulatan Etnisitas di Pemerintahan Daerah Sumatera Barat (1) : Gubernur Harun Zain (1966-1977)

Written By Irhash A. Shamad on 18 Maret 2010 | 21.15

Harun Zein (lengkapnya : Drs. Harun Al Rasyid Zein) adalah gubernur Sumatera Barat pertama di masa Orde Baru. Masa tugasnya sebagai gubernur diawali dengan pengangkatan oleh Presiden. Hasil sidang DPRD-GR yang dilaksanakan tanggal 17 Maret 1966, sebenarnya ia mendapatkan suara terbanyak kedua setelah Sapoetro Brotodihardjo. Ada dua calon yang diusulkan untuk jabatan gubernur Sumatera Barat pada waktu itu, yaitu Sapoetro Brotodihardjo yang didrop oleh Mendagri, dan Drs. Harun Al Rasyid Zain sendiri sebagai calon yang dimunculkan dari daerah. Dalam pemilihan ternyata anggota dewan memberi dukungan lebih banyak kepada calon pertama. Namun karena perobahan politik nasional , maka dua bulan berikutnya (tanggal 5 Mei 1966) Presiden mengeluarkan surat Keputusan (No.93/1966) yang menyatakan bahwa Harun Zain, yang pada waktu itu menjabat sebagai Rektor Universitas Andalas, dipercayakan memimpin daerah ini. Bagi Harun Zain ini adalah awal karirnya dalam bidang politik dan pemerintahan, karena sebelumnya ia lebih banyak aktif sebagai tenaga pengajar di perguruan tinggi.

Sehubungan dengan pengangkatan ini, tidaklah terlalu sulit untuk memahami alasan kenapa presiden waktu itu menjatuhkan pilihan pada Harun Zain. Pertama, sebagai rektor Unand, ia banyak memberi dukungan terhadap aksi mahasiswa dalam pembersihan sisa-sisa PKI dan dalam penegakan Orde Baru di Sumatera Barat . Kedua, sebagai bekas tentara pelajar di Jawa Timur, ia memiliki banyak kerabat dekat di jajaran elit politik pemerintahan pusat. Ketiga, ia adalah putra daerah, meski memiliki basis sosial yang tidak kuat di daerahnya , karena semenjak kecil lebih banyak berada di luar daerahnya sendiri. Akan tetapi ia memiliki massa dari kalangan intelektual. Yang terakhir ini merupakan asumsi yang akan menjadi bagian yang integral pada bahasan selanjutnya terutama dalam melihat apakah basis sosial itu menjadi faktor penentu bagi prilaku politiknya dalam menjalankan pemerintahan di daerah.

Pada awal pemerintahan Harun Zein di Sumatera Barat, banyak kalangan yang meragukan kemampuannya untuk memimpin daerah ini, karena, kenyataan bahwa kondisi sosial di Sumatera Barat yang secara fisik dan psikis sudah begitu parah akibat PRRI, sedangkan kepemimpinan Harun Zein tidak mempunyai akar di tengah-tengah masyarakat . Karena itu, kemampuannya untuk memimpin dan memperbaiki kondisi sosial itu diperkirakan akan menghadapi banyak kendala.

Meskipun demikian, bagi Harun Zein, kritik serta sikap sinisme yang dia alami di awal kepemimpinannya, tidak melunturkan semangatnya, --malah menjadi pemicu-- untuk kemudian membuktikan bahwa dialah pemimpin yang diharapkan di Sumatera Barat . Dalam priode awal kepemimpinannya (1966-1970) ia berhasil menciptakan suasana yang kondusif untuk meletakkan kerangka dasar bagi pembangunan Sumatera Barat. Kerangka itu antara lain pertama : memperbaiki kondisi sosial dengan mengembalikan kepercayaan diri masyarakat Sumatera Barat sebagai landasan untuk pembangunan ekonomi, kedua : mengembalikan citra Sumatera Barat di mata pemerintahan pusat untuk memperoleh dukungan dana pembangunan dan perbaikan sarana fisik daerah yang sangat diperlukan dalam peningkatan perekonomian rakyat .

Kedatangannya pertama kali ke Sumatera Barat sebagai dosen terbang untuk Universitas Andalas pada tahun 1962 memberi pengalaman yang baik baginya untuk memahami kehidupan masyarakat di daerah ini, terutama menyangkut dengan akibat-akibat sosial yang dialami rakyat pasca operasi militer yang dijalankan oleh pemerintah pusat. Kehidupan masyarakat yang suram tidak bergairah hampir terlihat di mana-mana, nagari-nagari yang sunyi karena ditinggalkan oleh tokoh-tokoh mereka yang frustrasi akibat tekanan-tekanan militer, ditambah lagi dengan kondisi ekonomi yang morat marit. Rakyat Sumatera Barat pada waktu ini seakan kehilangan kebanggaan atas daerah mereka yang pada waktu lalu banyak melahirkan tokoh-tokoh nasional, kebanggaan atas jasa-jasa yang mereka berikan pada kemerdekaaan bangsa dan masa revolusi. Kondisi sosial seperti ini dinilai sangat tidak kondusif untuk pembangunan.

Di samping itu, situasi politik di daerah ini dilatari oleh suasana pembersihan bekas aktivis dan anggota partai Komunis beserta ormas-ormasnya di setiap jajaran pemerintahan. Aksi pembersihan ini telah mengakibatkan terganggunya kelancaran kegiatan beberapa lembaga pemerintahan, tak terkecuali juga di jajaran pemerintahan daerah dan DPRD-GR sendiri. Keadaan itu akan sangat mempengaruhi kinerja gubernur yang baru diangkat ini.

Namun demikian, Harun Zain yang dikenal terbuka dan akrab dengan segenap lapisan masyarakat dan dekat dengan kalangan intelektual dan tokoh masyarakat, bahkan dengan kalangan militer, tidak terlalu canggung untuk menghadapi situasi daerah seperti yang digambarkan itu . Dukungan yang diperolehnya dari mereka dapat dimanfaatkannya untuk secara bersama-sama memperbaiki kondisi daerah dan melaksanakan program-program pembangunan selanjutnya.

Simbiosa Pusat dan Daerah
Priode 1966-1970 bagi pemerintah Orde Baru pada dasarnya adalah priode di mana rezim ini memberi prioritas pada penyusunan strategi untuk mendapatkan legitimasi masyarakat atas kekuasaannya . Legitimasi mana, sebenarnya sangat ditentukan oleh dukungan politik yang diberikan oleh rakyat. Cara yang absah untuk mendapatkan dukungan itu adalah dengan melibatkan rakyat dalam proses politik, yaitu melalui Pemilihan Umum. Menjelang akhir tahun 1969 pemerintahan Soeharto membuat keputusan bagi penjadwalan pemilihan umum pada tahun 1971, lebih jauh akan dijadikan agenda politik lima tahunan di negara ini. Karena itu berbagai strategipun disusun untuk keperluan itu, terutama bagaimana kekuatan politik pemerintah (dalam hal ini adalah Golongan Karya) dapat memenangkan pemilihan itu. Untuk itu, suara rakyat di daerah akan sangat diper-lukan, terutama di wilayah pedesaan.

Apa yang dikemukakan itu bila dihubungkan dengan kondisi Sumatera Barat pada waktu yang sama, maka sebenarnya terdapat hubungan simbiosis antara pusat dengan daerah. Pemerintah pusat memerlukan dukungan daerah untuk mengumpulkan suara mayoritas rakyat di daerah ini dalam memenangkan pemilihan umum, sementara daerah memerlukan dukungan dana untuk memperbaiki kondisi daerah, terutama sarana dan prasarana fisik yang sangat diperlukan bagi peningkatan perkenomian rakyat. Keadaan ini sangat menguntungkan bagi kepemimpinan Harun Zain di masa awal pemerintahannya, karena dengan demikian, untuk program meletakkan fondasi pembangunan ekonomi yang ia canangkan, yang diperlukan hanya membangun appeal politik ke pusat kekuasaan.

Salah satu cara yang efektif untuk menarik perhatian pusat pada waktu ini adalah dengan menawarkan jaminan loyalitas rakyat didaerah ini terhadap kepemimpinan Orde Baru. Artinya adalah kemenangan Golongan Karya di daerah ini akan sangat besar artinya untuk membangun kepercayaan pusat atas daerah ini. Ini sekaligus akan sangat menentukan bagi kelancaran pengaliran dana dari pemerintah pusat ter-hadap daerah.

Namun demikian, untuk memastikan kemenangan itu tidaklah mudah. Ini disebabkan pertama : Pada pemilu 1955 sebahagian besar rakyat di daerah ini memberikan suaranya terhadap Partai Islam , kedua : Golongan Karya hingga akhir tahun enam puluhan belum begitu banyak dikenal oleh masyarakat di daerah ini. Bahkan organisasi kekaryaan --yang merupakan manifestasi kekuatan politik Orde Baru-- ini belum terorganisir dengan baik . Tenggang waktu menjelang Pemilu adalah merupakan hari-hari kerja keras bagi tokoh-tokoh Golkar di daerah ini untuk menggalang kekuatan dengan mengumpulkan sebanyak mungkin dukungan dari masyarakat. Berbagai strategi dipasang untuk keperluan itu seperti mengadakan pendekatan dengan unsur tokoh masyarakat seperti ninik mamak, ulama, dan kalangan intelektual sebagai unsur elit yang masih dominan sebagai panutan masyarakat di daerah ini. Selain itu yang lebih penting lagi ialah peran militer dan pemerintah daerah sendiri yang dengan segenap kemampuan berupaya mensosialisasilan cita-cita Orde Baru serta menjadikan pengalaman pahit masa lalu daerah ini sebagai retorika politik yang disampaikan dalam berbagai kesempatan .

Apa yang sesungguhnya perlu kita tangkap dari masa-masa menjelang Pemilu 1971 ialah kondisi kesalingtergantungan antara pusat dan daerah telah menjadi sesuatu yang tak terelakkan. Kondisi ini mendorong pemerintah pusat untuk menawarkan janji kepada rakyat Sumatera Barat melalui para pemimpinnya, bahwa kepentingan etnis dan regional mereka akan dijamin, bila mereka memberikan loyalitas terhadap pemerintah . Bagi pemerintah daerah, terpenuhinya keinginan pemerintah pusat adalah merupakan jalan keluar satu-satunya untuk mengembalikan kondisi sosial ekonomi mereka.

Di samping itu, kondisi sebagai yang disebutkan, justru telah dimanfaatkan sedemikian rupa oleh pemerintah daerah sejak awal kepemimpinan Harun Zain. Ia berhasil menggaet dana dari pusat untuk memperbaiki sarana-sarana perekonomian yang sangat vital seperti jalan, irigasi dan sebagainya . Hal ini sangat diperlukan untuk membangkitkan kembali gairah perekonomian rakyat yang sejak PRRI sangat terkendala oleh rusaknya berbagai sarana itu. Sampai pada awal tahun tujuh puluhan, kondisi perekonomian rakyat sudah mulai membaik dibanding dengan waktu sebelumya.

Terbukanya Katup Wacana Keminangkabauan
Di awal-awal kepemimpinan Harun Zain di Sumatera Barat suasana ketegangan hubungan antara pusat dan daerah masih saja terasa, meski rezim Orde Lama telah berakhir. Masyarakat di daerah ini masih merasa "sungkan" untuk menunjukkan identitas sebagai orang Minangkabau, karena dengan sendirinya akan dicap sebagai "etnis pemberontak". Kondisi ini tak terkecuali juga sangat mempengaruhi kalangan intelektual dan tokoh-tokoh masyarakat. Hal ini terlihat dari tidak banyaknya muncul wacana-wacana keminangkabauan dari tokoh-tokoh masyarakat daerah ini.

Suasana ini mulai agak mencair ketika muncul inisiatif untuk mendirikan Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) sebagai wadah yang diharapkan dapat berfungsi untuk mengangkatkan kembali identitas budaya masyarakat di daerah ini. Gagasan bagi pendirian lembaga ini sebenarnya bukanlah muncul dari kalangan pemuka adat, namun justru dari kalangan militer tepatnya dari Panglima Komando Antar Daerah Letjen TNI Mokoginta dan kemudian direalisasikan oleh Panglima Kodam III/17 Agustus, Kolonel Poniman . Pada Tahun 1966 Panglima menugaskan bawahannya Mayor Ahmad Syahdin, Kepala Sejarah Militer Kodam III bersama Kapten Saafroeddin Bahar untuk mengkondisi-kan para ninik mamak dalam rangka menghimpun potensinya ke dalam satu wadah. Pertama sekali, melalui musyawarah ninik mamak terbentuklah Badan Kontak Perjuangan Ninik Mamak pada bulan Maret tahun 1966. Badan inilah yang kemudian menjelma menjadi LKAAM (Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau) sebagai organisasi ninik mamak dan penghulu se-Sumatera Barat . Organisasi ini pada awalnya ditujukan untuk mewadahi ninik mamak dan penghulu dalam satu wadah yang bersih dari unsur-unsur PKI, namun tidak dapat dipungkiri pula bahwa ini merupakan bahagian dari upaya pemerintah agar ninik mamak di daerah ini tidak lagi terlibat dengan kegiatan politik praktis . Dengan demikian akan lebih mudah diarahkan untuk memberi dukungan terhadap pemerintahan dan pembangunan.

Sebenarnya tidak banyak yang dapat diharapkan dari keberadaan lembaga itu untuk membangkitkan kembali otoritas adat yang selama ini terpinggirkan , namun setidaknya gagasan yang muncul dari atas ini dirasakan sebagai kehormatan bagi identitas Minangkabau, karena adanya perhatian dari pihak militer dan penguasa terhadap budaya daerah yang selama ini sangat terabaikan. Kebanggaan akan keluhuran adat yang selama ini telah terkuburkan seiring adanya rasa ketakutan akan kecurigaan pusat atas etnis ini, mulai sedikit terkuak. Masyarakat dan kalangan tokoh daerah tidak lagi merasa risi untuk membicarakan adat dan budaya mereka.

Dengan pembentukan LKAAM, dirasakan bahwa kesempatan untuk kembali menghidupkan wacana-wacana tentang keminangkabauan dengan segala perangkat strukturalnya, mulai terbuka. Karena itu, para tokoh dan intelektual Sumatera Barat berupaya menyelenggarakan seminar-seminar tentang kebudayaan Minangkabau. Tiga kali seminar dilaksanakan setiap tahunnya sejak 1968 setelah lebih dari sepuluh tahun kegiatan seperti ini terhenti, tepatnya sejak seminar di Bukittinggi pada tahun 1953. Mulai tahun 1968 dan berikutnya tahun 1969 diselenggarakan seminar kebudayaan Minangkabau di Padang dan kemudian pada tahun 1970 seminar yang sama dilaksanakan pula di Batu Sangkar. Seperti halnya pembentukan LKAAM, seminar ini pada dasarnya tidak banyak menghasilkan formula-formula bagi kebangkitan kembali nilai-nilai kultural daerah. Ini terlihat dari pemikiran-pemikiran yang muncul tidak memberi solusi yang aplikatif, seperti pemikiran seputar perlunya kembali kepada konsensus "Adat basandi Syara', Syara' basandi Kitabullah" yang mengemuka dalam diskusi ini, ternyata tidak mengemukakan secara eksplisit tentang implementasi dan aktualisasi falsafah itu sendiri . Demikian juga keberadaan adat dengan segala struktur yang menyertainya yang makin lama makin terpinggirkan oleh kekuatan-kekuatan eksternal tampaknya masih saja jadi pembicaraan pada tingkat bawah dan belum terbuka sebagai topik yang "dapat" diangkatkan pada forum formal seperti seminar itu.

Pengukuhan Kembali Sistem Nagari
Pada tahun 1968 pemerintah daerah mengeluarkan Keputusan tentang Peraturan Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari Dalam Propinsi Sumatera Barat (SK. No. 015/GSB/ 1968 Tanggal 18 Maret 1968). Peraturan yang baru ini menggantikan Peraturan yang pernah dikeluarkan pada tahun 1963 (SK. Gub. No.02/Desa/GSB/Prt./1963) yang dinyatakan tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat nagari. Disamping itu Undang-Undang Desapradja yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat pada bulan September 1965 (U.U. No. 19 Tahun 1965) ditunda pelaksanaannya karena masih perlu ditinjau kembali (berdasarkan Instruksi Mendagri No. 29 Tahun 1966) .

Di sini, pertimbangan internal mungkin lebih dapat diterima sebagai alasan pemerintah daerah untuk mengambil langkah mengukuhkan kembali sistem pemerintahan Nagari. Pertimbangan itu lebih didorong oleh kenyataan yang terdapat di hampir semua nagari di Sumatera Barat pada waktu ini antara lain disamping telah berakhirnya masa jabatan Kepala Nagari sejak bulan Juli tahun sebelumnya, juga terdapat sejumlah jabatan di sebahagian besar nagari di Sumatera Barat mengalami kekosongan seperti Kepala Nagari, Pamong Nagari dan anggota Badan Musyawarah Nagari sebagai akibat terjadinya peristiwa G.30 S. PKI.

Hal yang dapat dinilai positif dengan dikeluarkannya peraturan itu antara lain adalah upaya penyelamatan yang dilakukan oleh pemerintah daerah terhadap sistem internal dari intervensi kekuatan eksternal. Dengan demikian sistem kepemimpinan nagari otonom seperti yang berlaku pada waktu-waktu sebelumnya tetap dapat dipertahankan. Di beberapa bahagian wilayah lain di Indonesia, --sebagai akibat kekosongan peraturan perundangan ini--,telah mendatangkan dampak yang tidak menguntungkan bagi kehidupan desa tradisional demokratis sebagaimana digambarkan oleh Fraksi PDI dalam Pemandangan Umum Fraksi PDI Mengenai Rencana Undang-Undang Pemerintahan Desa :
… Di sementara tempat tidak ada lagi pemilihan kepala desa… Kepala Desa diganti dengan kepala desa yang diang-kat oleh Bupati yang kebanyakan terdiri dari pensiunan yang didatangkan dari luar….Umumnya mereka menunjukkan sikap yang otoriter ….pemerintahan desa yang tadinya ditata menurut sistem demokrasi sekarang telah menjurus kepada absoluut bestuur stelsel….
Meskipun terdapat sejumlah perbedaan dari sistem pemerintahan Nagari dengan sistem pemerintahan Nagari tradisional namun tindakan penyelamatan yang dilakukan oleh pemerintah daerah Sumatera Barat ini setidaknya telah memberikan kembali hak-hak politik rakyat nagari serta hak untuk mengatur dan menyelenggarakan pemerintahan nagari. Pemerintahan Nagari ditegaskan kembali dalam rumusan S.K. itu sebagai berikut :
"Pemerintah Nagari adalah penguasa Nagari jang memim-pin rakjat Nagari dengan membuat dan melaksanakan peraturan dan keputusan-keputusan Nagari, menjelenggarakan segala peraturan perundangan dari Pemerintah tingkat atasan serta usaha-usaha lainnja jang ditudjukan untuk mewudjudkan masjarakat adil dan makmur berdasarkan Pantja Sila.

Pada tahun 1974 Pemerintah Daerah kembali mengeluarkan Keputusan tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari dalam Propinsi Daerah Tk.I Sumatera Barat . SK yang ter-akhir ini tidak banyak perbedaan dengan SK sebelumnya, namun posisi Kerapatan Nagari malah semakin diperkuat. Alat perlengkapan Nagari sebagai pemerintahan nagari yang semula terdiri dari tiga unsur, yaitu : Wali Nagari, Dewan Perwakilan Rakyat Nagari dan Kerapatan Nagari, kini menjadi dua unsur, yaitu : Wali Nagari dan Kerapatan Nagari yang dinyatakan secara tegas bersama-sama merupakan Pemerintahan Nagari . Pengaturan ini semakin memperkuat posisi Kerapatan Nagari sebagai lembaga legislatif yang tidak lagi diketuai oleh Wali Nagari.

Intervensi Pusat : Beberapa Gejala Awal
Persoalan hubungan antara pusat dan daerah sering ditentukan sejauh mana daerah punya keleluasaan untuk mengatur dan menyelenggarakan pemerintahan sendiri dan seberapa jauh pula otoritas kekuasaan pemerintahan pusat ikut mencampuri urusan-urusan internal mereka. Di Sumatera Barat, pengaturan sistem pemerintahan terendah hanya sampai tingkat kecamatan. Sedangkan Nagari sebagai wilayah kesatuan hukum adat, meskipun berada di bawah kecamatan, namun tetap memiliki otonomi untuk mengatur dan menyelenggarakan pemerintahan sesuai dengan ketentuan-ketentuan, sistem, serta nilai-nilai tradisional yang mereka anut.

Pada priode pertama kepemimpinan Harun Zain, hubungan pusat dan daerah terlihat "mesra", meskipun kondisi internal sendiri sebenarnya masih sangat runyam dan belum pulih sepenuhnya dari keadaan sebelumnya. Kemesraan ini pada dasarnya disebabkan oleh adanya kondisi saling membutuhkan, apalagi di masa-masa awal pemerintahannya, rezim Orde Baru belum memiliki legitimasi yang kuat atas kekuasaaan yang dipegangnya. Setidaknya sejak akhir tahun 1960 dan awal tahun 70an, masyarakat di daerah ini telah merasakan "budi baik" pemerintah pusat dengan pa-sokan dana pembangunan yang sangat mereka butuhkan .

Sejak dikeluarkannya Undang-Undang No.6 tahun 1969 otoritas pemerintah pusat atas persoalan internal di daerah mulai dirasakan. Undang-undang ini menyatakan tidak berlakunya pelbagai Undang-Undang yang mengatur tentang pemerintahan di daerah yang dikeluarkan sebelumnya. Sejak saat itu pemerintah pusat sebenarnya mulai menunjukkan keinginan untuk mengatur sistem pemerintahan nasional sampai ke tingkat pedesaan .

Keinginan pemerintah untuk menyeragamkan struktur pemerintahan sampai ke tingkat terendah (desa) di seluruh Indonesia telah terlihat dengan di keluarkannya beberapa kali edaran Mendagri tentang pemekaran/pembentukan desa/daerah yang setingkat pada tahun 1976. Adapun yang menjadi dasar pertimbangan dikeluarkannya edaran Mendagri ini a.l.:
bahwa desa merupakan sumber potensi kekayaan alam dan tenaga kerja sehingga kedudukan, peranan dan fungsi daerah pedesaan, baik sebagai basis pemerintahan nasional maupun sebagai basis pembangunan nasional menjadi semakin nyata dan semakin menentukan terutama di bidang pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan yang diarahkan ke daerah pedesaan
Pemekaran/pembentukan desa/daerah yang setingkat diarahkan untuk pendewasaan desa menjadi desa yang definitif dan pembinaannya dilaksanakan oleh pemerintah daerah sesuai ketentuan-ketentuan dalam edaran pemerintah pusat Pembentukan desa yang definitif ditetapkan dengan Surat Keputusan Mendagri yang dikeluarkan setiap tahunnya. Ini ditujukan untuk persiapan penentuan jumlah anggaran di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, baik untuk Inpres, Bantuan Pembangunan Desa, maupun subsidi-subsidi lainnya .

Sumatera Barat sendiri, selama pelita I, menerima bantuan desa sebanyak jumlah Nagari yang ada, yaitu : 543 nagari, karena pada waktu ini di Sumatera Barat Nagari masih ditetapkan sebagai unit pemerintahan terendah setingkat desa dan berada di bawah kecamatan. Karena di dorong oleh keinginan untuk memperoleh lebih banyak lagi jumlah bantuan desa, maka pada bulan Juli tahun 1977 pemerintah daerah mengambil kebijaksanaan untuk menetapkan Jorong (yang pada waktu ini merupakan bagian dari nagari) menjadi setingkat desa. Beberapa bulan berikutnya pemerintah daerah mengeluarkan penjelasan tentang penetapan itu dan kembali menegaskan bahwa pengertian desa yang sesuai dengan keputusan Mendagri tentang pemerintahan desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang berhak menyeleng-garakan rumah tangganya sendiri, tidak dapat dilaksanakan di Sumatera Barat, karena itu hak otonomi tersebut tetap dimiliki oleh Nagari . Ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah tidak ingin kehilangan status dan fungsi Nagari sebagai lembaga kepemimpinan yang diakui di dalam masyarakat.

Keputusan pemekaran/pembentukan desa atau daerah yang setingkat ini, oleh Pemerintah Daerah, pada awalnya ditujukan untuk semata menampung realisasi bantuan desa yang disediakan oleh pemerintah sebanyak desa yang ditetapkan dan disahkan dengan Keputusan Mendagri itu. Pemerintah daerah masih mengakui keberadaan Nagari sebagai unit pemerintahan terendah dengan penegasan bahwa untuk status, kedudukan, dan fungsinya dalam bidang pemerintahan tetap mempedomani SK. Gubernur No. 155/ GSB/1974. Pemerintah daerah sendiri sesungguhnya sudah menyadari akan dikeluarkan peraturan perundangan tentang pemerintahan Desa , akan tetapi Keputusan tentang pemekaran/ pembentukan desa tersebut tetap dikeluarkan. Pada waktu ini sebenarnya sudah dapat diprediksikan bahwa penetapan yang beriming-iming bantuan desa itu akan menjebak pemerintah daerah untuk "menerima" keputusan pemerintah pusat menjadikan desa (jorong) sebagai unit pemerintahan terendah dan pada gilirannya tentu akan mengkebiri otoritas Nagari sebagai struktur pemerintahan tradisional yang otonom di Sumatera Barat.

@ Irhash A. Shamad


Sumber : Irhash A. Shamad, 2001, Hegemoni Politik Pusat dan Kemandirian Etnik di Daerah, Sumatera Barat di Masa Orde Baru, Padang, IAIN IB Press, Bagian 4

Maklumat

Maklumat
 
Support : Pandani Web Design
Copyright © 2009-2014. Irhash's Cluster - All Rights Reserved
Template Created by Maskolis
Proudly powered by Blogger