TERBARU

Inspirasi : "Selamat Jalan Saudaraku"

Written By Irhash A. Shamad on 29 April 2014 | 13.48

Belum berjarak dua minggu, aku sepertinya harus menulis lagi catatan harian yang lagi-lagi bernada lirih, karena duka atas” kepergian” orang-orang yang sangat dekat denganku. Setelah Ibunda, kepergian seorang saudaraku, yang sejak lebih dari tiga puluh tahun selalu bersama, kembali mengusik ruang kesadaranku. Saudaraku itu adalah Dr. H. Ahmad Shafwan Nawawi, M. Ag dan aku memanggilnya secara akrab dengan sebutan Pak Haji. Ia dipanggil oleh Yang Maha Kuasa menghadapNya pada dini hari Rabu 20 Oktober 2010 (jam 00.10) setelah menjalani operasi tumor ginjal di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta. Pak Haji denganku (sejak 33 tahun yang lalu) sama-sama mengayuh dalam satu biduk untuk mengemban amanah cita-cita, mengawali pendidikan tinggi sejak tahun 1977 di fakultas yang sama (Adab), dan setelah selesai menamatkan studi, di sini pulalah kami sama-sama mengawali karir sejak dari CPNS (Cados) pada tahun 1986 yang lalu. Meski kami memiliki latar pendidikan menengah yang sama, namun di sini kami memilih bidang studi yang berbeda, tapi perbedaan bidang studi itu pulalah yang terkadang membuat kami merasa selalu harus bersama. Bila pak Haji memilih studi Sastra Arab, aku memilih menekuni Sejarah dan Kebudayaan Islam.

Bagai halilintar menggelegar di tengah malam kurasakan saat aku mendengar informasi ‘kepergiannya’ yang aku terima beberapa menit setelah ia dinyatakan berpulang ke rahmatullah di ruang perawatannya nun di Jakarta sana. Saudaraku yang beberapa waktu sebelumnya masih terlihat segar tanpa sedikitpun ada bayangan sakit yang dideritanya, ternyata telah ‘pergi’ menghadap Khaliqnya. Masih segar dalam ingatanku dialog canda kami menjelang Ramadhan 1341 yang lalu sebelum almarhum berangkat ke Australia menunaikan tugas keummatan selama bulan suci itu. Kami “menertawakan” berbagai hal ketimpangan persepsi yang terjadi di lembaga kami yang kemudian menimbulkan dilemma antara tugas keummatan atau keislaman dengan realitas administratif pendidikan oleh Negara, meski lembaga ini sesungguhnya mempunyai misi yang berorientasi keummatan dan keislaman, namun dimensi administrasi sering membuat hakikat misi itu menjadi kaku. Dialog ini terjadi sehubungan dengan proses izin Pak Haji meninggalkan tugas-tugas selama berdakwah ke Australia. Sebagaiatasan administratif ada keharusan aku harus berjalan diatas aturan-aturan kaku yang terkadang bertolak belakang dengan pemikiranku. Pak Haji sangat memahami itu, namun, disinilah aku betul-betul melihat komitmen seorang Shafwan khusus dalam hal sikap keberagamaannya, “Bagiku tidak ada persoalan izin, karena yang akan kujalankan adalah misi lembaga kita juga, meski konsekuensinya saya harus diberhentikan sebagai pegawai negeri” ini dikemukakannya kepadaku setelah berbagai upaya untuk mendapatkan izin dari pihak pimpinan tertinggi lembaga kami, mengalami kebuntuan. Tema inilah yang kemudian memotivasi kami untuk terlibat dalam pembicaraan panjang sebelum Ramadhan itu. Perlu aku kemukakan, bahwa meskipun secara administratif aku adalah atasannya, namun dalam keseharian kami tetaplah sebagai teman. Jujur aku katakan bahwa sejak dulu dia banyak memberikan inspirasi terutama dalam hal sikap keberagamaanku, bahkan dalam hal ini kuakui, dia (sesungguhnya) adalah guru bagiku. Ini pulalah alasannya, kenapa dari dulu aku tidak pernah memanggilnya dengan menyebut nama tapi dengan sebutan Pak Haji, meski kami masih dalam satu generasi dan hanya terpaut beberapa tahun saja.

Meski antara aku dan Pak Haji memiliki kesamaan karir dan tujuan, namun kami pernah menempuh jalan yang berbeda. Kami miniti karir sebagai dosen fakultas Adab bersama-sama dalam bidang yang berbeda. Beberapa tahun kami pernah terpisah sebelum menyelesaikan tingkat sarjana, pak Haji menambah wawasan luar negeri (Sudan) sedangkan aku hanya memilih menuntaskan studi di fakultas Adab, namun kamipun akhirnya bersama kembali dalam menyelesaikan kesarjanaan di fakultas yang sama. Selesai pendidikan tingkat sarjana, pada tahun 1986, kamipun sama-sama membaktikan diri di dua lembaga yang dibentuk di almamater kami ; Aku memimpin Lembaga Kebudayaan Islam, sedangkan pak Haji memimpin Lembaga Bahasa dan Tarjamah pada fakultas yang sama, itupun karena perbedaan bidang yang kami tekuni masing-masing. Begitu juga selama berkarir sebagai dosen di fakultas Adab kamipun pernah memiliki interest aktifitas yang berbeda, pak Haji lebih banyak beraktifitas di bidang keagamaan dan kemasyarakatan serta beberapa waktu di dunia politik, sementara aku lebih banyak menekuni aktifitas internal lembaga saja. Aktifitas sosial keagamaannya itulah yang, menurutku, telah membentuk karakater yang begitu kuat dalam keperibadiannya. Bahkan prestasi pribadi dalam bidang ini boleh di bilang luar biasa, meski pernah (di waktu tertentu) dia hampir betul-betul “terjerumus” di dunia politik dan mengabaikan tujuan ideal pendidikannya sendiri dan bahkan nyaris mengabaikan karirnya di dunia perguruan tinggi. Tapi ini pulalah yang kemudian telah membuat aku begitu salut dari saudaraku ini. Pada saat ia “kembali” ke habitat semula, ia menyatakan padaku : “cukuplah bagi saya pengalaman dunia politik untuk proses pembelajaran, saya ambil apa yang seharusnya berguna bagi cita-cita ideal saya dalam berkomitmen pada umat”. Setelah itu, ternyata komitmen ini dia buktikan, dan secara kebetulan pula “pembelajaran” yang berguna itupun sangat mendukung cita-cita idealnya. Meskipun kemudian, kami kembali bersama dalam membaktikan diri di dunia pendidikan, namun aktifitas sosial yang dijalankannya tidak terlihat menurun, tapi justru malah makin menguat, komitmennya terhadap umat tidak makin pudar justru semakin mendapatkan bentuknya yang kokoh. Ini terbukti dari beberapa aktifitas keummatan yang dijalankannya beberapa tahun terakhir. Tanpa mengenal lelah ia membaktikan dirinya untuk pemberdayaan umat, meski dia harus membagi waktu secara ketat untuk tetap memenuhi tugas-tugas kelembagaan kami yang menjadi tugas utamanya. Ia membaktikan waktu-waktunya yang tersisa untuk berbakti pada umat. Namun sangat disayangkan pengabdiannya yang “keras” ini telah meluputkan perhatiannya pada kesehatan dirinya sendiri. Dari dulu aku mengerti betul tentang betapa kuatnya dia memegang sebuah komitmen, meski untuk itu dia harus mengorbankan kepentingannya sendiri, dia sosok pribadi yang tanpa pamrih bila itu menyangkut umat. Namun, sangat kusesali kenapa akupun luput mengingatkan dia untuk menyeimbangkan kedua interes ini dalam kehidupannya.

Kepergiannya membawa duka yang begitu dalam bagiku, dan tentunya juga, bagi banyak orang. Perasaan kehilangan seorang sosok teman dalam arti yang sesungguhnya. Banyaknya orang yang menunjukkan simpati atas kepergiannya cukup membesarkan hati, betapa temanku ini semasa hidupnya sangat berarti bagi banyak orang, namun itu belum cukup untuk mengurangi rasa duka atas kepergiannya. Sikap hidup yang dia tunjukkan telah memberi pelajaran berharga, setidaknya bagi aku sendiri. Masih banyak “dialog yang aku perlukan dengannya…..tapi ia keburu pergi menemui sang Khaliq. Selamat Jalan Saudaraku……..semoga pengabdianmu dibalasi oleh Allah dengan balasan yang setimpal, amiin !
©Irhash FB  21 Oktober 2010

Inspirasi : "Ibunda……Kuikhlaskan Kepergianmu"


Tidak seperti biasanya, pada hari itu (Selasa 5 Oktober) aku memutuskan untuk membatalkan keikutsertaanku pada suatu kegiatan penting yang akan dilaksanakan di Malang Jawa Timur minggu depan, ( 12 sampai 14 Oktober 2010). Pembatalan ini cukup mengherankan stafku di kantor, karena kali ini tidak ada alasan yang cukup jelas aku kemukakan......”saya tidak bisa berangkat ke Malang, dan saya tidak bisa menjelaskan kenapa…..ada sesuatu yang sulit dikemukakan” ucapku, entah kenapa pernyataan sekenanya seperti itu aku kemukakan, jangankan dia, aku sendiri bahkan heran dengan pernyataan itu. Kamipun menyepakati untuk mengirim beberapa orang utusan untuk kegiatan itu tanpa keikutsertaanku yang seharusnya memimpin utusan itu. Beberapa hari setelah itu aku merasa semakin yakin dengan keputusan itu, meski keyakinan ini juga masih belum memiliki alasan yang cukup konkrit. Hari-hari berikutnya aku seperti “dipaksa” untuk berfokus pada Ibuku di kampung yang sudah sejak beberapa bulan yang lalu mengalami ‘uzur karena umur dan sakit. Aku akan pulang!……begitu bisikan hatiku, meski untuk itu baru akan dapat aku laksanakan pada hari Sabtu 09 Oktober 2010 setelah menimbang kegiatan yang terpaksa harus aku batalkan. Entah karena kebetulan, tapi yang pasti Tuhan telah menggerakkan, aku yang merencanakan ke kampung hari Sabtu sejak dua hari yang lalu itu, ternyata pada pagi Sabtu ini justru kakak dan adikku di Riau telah mendapat telepon dari kampung untuk segera pulang, karena Ibu kami kondisinya kritis, tidak bisa lagi bangkit dari tempat tidur, tidak berbicara, dan tidak bisa menelan makanan. Aku yang sebelumnya sudah bersiap-siap untuk berangkat, lalu menerima telepon dari kakakku itu mengabarkan kondisi Ibu seperti itu. Allahu Akbar…….ucapku, Tuhan memang
menggerakkanku, kenapa sangat bertepatan sekali dengan rencanaku untuk pulang hari ini.

Dengan perasaan pilu, kudapati Ibuku sedang terbaring di tempat tidur tanpa daya, tidak terdapat rona kesakitan yang terpantul di wajahnya, namun ketiadaan makanan yang masuk ke perut beliau telah membuat ia semakin lemah tak berdaya, ingin rasanya aku meraung melihat perubahan drastis kondisi Ibu yang beberapa waktu sebelumnya masih kusaksikan senyum yang selalu menyambut aku pulang. Tanpa pikir panjang kuputuskan untuk mendatangkan dokter ke rumah untuk membantu agar mengusahakan beliau dapat memperoleh asupan makanan. Kondisinya yang lemah membuat aku tidak tega membawanya ke tempat dokter. Aku bersama adikku segara mencari dokter dari beberapa desa tetangga….namun usaha kami sia-sia, karena tidak satupun dokter yang berada dirumahnya, …..semua pada keluar, hingga kamipun pulang dengan tangan kosong. Akhirnya, aku baru teringat pada ‘anakku’ (persisnya anak sepupuku) yang dokter dan lagi bertugas di Batu Sangkar. Kamila, demikian namanya, lalu kutelepon untuk meminta bantuannya, ku berharap, paling tidak, bisa menunjukkan bagaimana cara asupan makanan itu dapat diberikan ke Ibu. Alhamdulillah, pada hari itu dia juga tidak sedang bertugas dan bersedia untuk menemui Ibu. Tanpa pikir panjang aku berangkat menjemputnya ke Batu Sangkar yang berjarak lk. 30 km dari kampungku. Setelah mempersiapkan segalanya dari Batusangkar, kamipun berangkat. Malamnya barulah asupan makanan bisa diberikan melalui slang yang dimasukkan ke hidung beliau, sambil berharap mudah-mudahan ini akan membantu kekuatan beliau untuk bertahan. Hingga Minggu siang, aku sedikit lega, paling tidak, karena Ibuku sudah mendapatkan makanan, meski beliau lebih banyak tidur.

Siang ini…aku seyogianya kembali ke Padang, karena ada beberapa yang harus kupersiapkan sehubungan dengan keberangkatan utusan kantorku ke Malang pada pagi Senin besok (11 Oktober) serta kegiatan pada Senin pagi yang harus kuikuti di KPPN. Namun terasa hatiku mendua, antara Ibu dan tugas yang harus kuselesaikan…..lama aku bisa memutuskan apakah aku akan ke Padang dulu atau tetap menemani Ibuku…….berkali-kali aku bolak balik…ragu atas keputusan apa yang akan kuambil, meski beberapa keluarga berusaha meyakinkanku untuk berangkat ke Padang, tapi kebimbanganku tidak berkurang, hingga akhirnya aku putuskan untuk pamit kepada ibuku yang terbaring pulas. Terasa menganggu tidur beliau, tapi ku tetap memaksakan diri pamitan dengan coba membangunkan beliau pelan-pelan. Kuraih tangannya yang lemas kuusap-usap dan kupandangi wajahnya berharap beliau mengetahui maksudku….tapi beliau tetap pulas….dan kucoba untuk membatin memohon pamit, memohon maaf atas segala kesalahan dan kekhilafanku pada beliau…..komunikasi ini ternyata berlanjut, tampil banyak sekali episode kehidupan bersama pada saat-saat beliau masih sehat ceria, tanpa sadar aku menempelkan dahiku ke tangan beliau yang lemas…… sejuta perasaan pun tertumpah ruah, sejuta asapun berharap kesembuhannya dan mengembalikan masa-masa itu, dan emosikupun tanpa dapat kukontrol dalam pembatinanku itu, hingga dadaku semakin sesak dan meledakkan tangisan yang tertahankan, setelah kusadari, kucoba berucap doa ….“ ya Allah aku memohon kesembuhan atas Ibuku, ku berharap jangan Engkau biarkan dia dalam keadaan lemas tak berdaya seperti ini…….berikanlah jalan yang terbaikMu untuk tidak membuat beliau menderita tak berdaya seperti ini…..ya Allah sayangi Ibuku sebagaimana beliau menyayangiku waktu kecil……berikan petunjukMu atas hambamu yang lemah ini ya Allah. Kabulkan doa ku ya Rabb…amin”. Seperti tidak kupercaya….dadaku yang tadinya sesak terasa agak sedikit nyaman, dan aku seperti diberi keyakinan atas keraguanku atas keputusan itu, aku yakin Allah akan menjaga Ibuku dan Dia akan memberikan jalan terbaik bagi hambaNya…..Saat ku buka mataku yang basah dan kulepaskan dahiku dari tangannya,… kembali kupandangi Ibuku….tetap pulas tidurnya, namun ada secercah garis ketenangan yang kulihat di wajahnya seperti akan menyiratkan senyum waktu-waktu beliau ceria dulu,…… dadaku yang baru saja bergemuruh kembali mereda saat ku rasakan komunikasi batinku itu menyisakan makna yang dalam…..begitu dalam…..dan sangat dalam sekali.

Pagi ini (Senin 11 Oktober)…. Aku coba memastikan bahwa aku akan berangkat ke KPPN, tapi sejenak terpikir lagi bagaimana Ibuku……. Selang beberapa waktu kemudian (06.50) akupun menerima telepon dari kakakku untuk menyuruhku pulang kembali, dadaku berdebar, gerangan apa yang terjadi? Kakakku bilang….kondisi ibuku sangat kritis!.....Tanpa berpikir panjang kubatalkan semua rencana pada hari ini. Dengan perasaan tidak tenang aku persiapkan segalanya termasuk wakil penggantiku untuk kegiatan di KPPN itu…kupersiapkan anak dan istriku untuk segera berangkat ke kampung kembali, ku telepon sopir yang akan membawa mobil, kutitipkan penjagaan rumah kepada salah seorang pegawaiku, kusuruh bersiap-siap beberapa orang ponakanku untuk bersama-sama pulang. Namun, masih menunggu semua betul-betul siap untuk berangkat, beberapa menit kemudian (07.47) telepon genggamku berdering lagi, kakakku memberitahu bahwa Ibu sudah berangkat keharibaanNya!… beberapa menit yll (07.35) inna lillahi wainna ilaihi raji’un. Rasa menggelegar lagi jantungku menerima kenyataan itu ….. aku berusaha untuk tenang dengan coba meyakinkan diriku bahwa Allah telah menentukan yang terbaik bagi Ibuku….Allah telah memberikan jalannya bagi Ibuku untuk terlepas dari beban yang dideritanya, Allah telah memberikan ketenangan pada Ibuku, tapi meski kuyakini itu, selama perjalanan aku tetap gelisah, sedih dan galau…..ku sesali kemaren kenapa kutinggalkan Ibuku, hingga aku tidak ikut melepas kepergiannya pagi ini. Seandainya Engkau memberikan pilihan padaku untuk tidak berangkat ke Malang, yang seharusnya juga hari ini, adalah hikmah dari keharusan aku tidak berada jauh dari Ibuku saat akan menghadapMu, kenapa Engkau hindarkan aku untuk ikut disampingnya pada detik-detik Engkau akan memanggilnya?, Adakah keputusan kemaren sesungguhnya tidak Engkau restui ya Allah?...... hati kecilku bertanya andaipun aku ikut melepas Ibuku menemuiNya….akankah aku sanggup menahan diri untuk tidak membebani beliau saat menjalani sakrat itu?, padahal menyaksikan ketidakberdayaan Ibu di pembaringan saja nyaris meruntuhkan dadaku. Adakah ini hikmahnya ya Allah?……… bertubi-tubi dialog dalam diriku terjadi selama perjalanan ke kampung pagi ini, namun aku tetap berusaha meyakinkan diriku atas pemberlakuan ketentuanNya…..aku juga tidak mau menjadi hamba yang tidak ikhlas atas ketentuanNya itu, meski ini sangat terasa berat kurasakan hari ini.

Perjalanan pulang ke kampung hari ini, kurasakan begitu lama, dan perasaan tidak sabar untuk segera menemui Ibuku yang telah terbujur kaku semakin menyentak dada pada saat kami dihadapkan dengan kemacetan jalan yang menambah kegusaranku …kubayangkan saat ini pastilah sudah banyak saudara, karib dan kerabat yang duduk di sekeliling pembaringan Ibuku, mereka tentu menunggu kadatanganku untuk mengawali penyelanggaraan jenazah Ibuku. Aku tetap berusaha untuk berdamai dengan emosiku sepanjang perjalanan itu, agar saat-saat kehadiranku di rumah, aku dapat menunjukkan keikhlasanku atas ketentuan Allah ini. Aku tepuk dadaku meyakinkan itu, karena aku tidak mau membebani perjalananan ibuku karena ketidak ikhlasanku itu. Tidak saatnya aku meratapi kepergiannya yang memang sudah menjadi ketentuanNya. Aku tekadkan dalam diriku untuk kuat mengantarkan Ibuku, aku tekadkan untuk ikut membaringkan jasad beliau ke liang lahadnya, dan… alhamdulillah, menit-menit menjelang memasuki pekarangan rumah…..aku merasakan betul-betul siap dengan semua itu. Aku melangkah pasti memasuki rumah duka menuju pembaringan Ibuku, kuberjalan tegar diantara orang-orang yang sudah bersiap untuk penyelenggaraan jenazah beliau, ku buka selubung wajah Ibuku yang sudah pucat, kukecup kening beliau yang dingin itu dan kupanjatkan doa untuk kelancaran perjalanan pulang sang Ibu tanpa setitikpun air mata mengalir dari kedua kelopak mataku….sebagai bukti keikhlasanku, dan….. alhamdulillah prosesi penyelenggaraan jenazah Ibuku dapat kuikuti dengan tegar sampai gundukan tanah memeluk jasad Ibuku.

Sepanjang hari ini, terlalu banyak hal yang kurasakan……semenjak pemakaman Ibuku ada kelegaan menyelinap dihati ini…Ibuku sudah tenang di haribaanNya, ….ya Allah, ampuni segala dosa-dosanya, balasilah semua amal ibadah beliau yang telah membesarku dan tempatkanlah ia di tempat yang selayaknya di sisiMu…..aku juga bersyukur kepadaMu, karena telah Engkau beri kekuatan dan keikhlasan padaku untuk menghadapi semua ini. Tak habis rasa syukurku karena banyaknya orang yang ikut menshalatkan jenazah yang diimami oleh kakakku, banyak orang yang menunjukkan simpati atas kepergiannya, banyaknya orang yang mengantar dan hadir disaat pemakaman, dan banyaknya pelayat datang ke rumah duka yang ikut menunjukkan rasa belasungkawa atas kepergiannya, itu semua pastilah merupakan kesan atas kebaikan-kebaikan beliau semasa hidupnya. Tak habis rasa syukurku atas orang-orang disekelilingku yang selama ini telah berbakti-tulus dalam memberikan perawatan terhadap beliau ; adikku Armini, Agus dan Amir, Ibuku Bainidar serta ponakan-ponakanku Dian, Dini, Dita dan Dewi. Mereka dengan ikhlas telah mengambil alih apa yang seharusnya menjadi kewajibanku, mereka telah berbuat pada beliau melebihi apa yang seharusnya aku melakukannya. Aku hanya dapat berdoa kiranya mereka selalu diberikan kesehatan dan kesejahteraan oleh Allah atas kebaikan-kebaikan mereka itu. Demikianpun untuk Fatihah, seorang perempuan muda yang sebenarnya tidak memiliki pertalian genetis dengan keluargaku, ternyata telah dengan sabar dan tulus merawat Ibuku dalam masa-masa akhir kehidupannya. Siang dan malam mendampingi Ibuku dan berbuat seperti layaknya terhadap Ibu kandungnya sendiri. Aku menyaksikan ketulusan dan kasih sayang itu terekspresi dalam perlakuannya terhadap Ibu.

Hari ini,… tiada yang lebih tepat kuucapkan selain rasa syukur yang dalam atas semua itu. Tuhan telah memberikan kepadaku seorang Ibu yang sederhana, polos, penuh kasih sayang dan sangat tulus, seorang Ibu yang setia dan sabar dalam membesarkan anak-anaknya, seorang Ibu yang peduli dan selalu menunjukkan empati kepada siapapun, seorang Ibu yang selalu berusaha untuk menyenangkan siapapun, seorang Ibu yang selalu mampu menyembunyikan rasa marah, gusar dan gelisah di saat ia merasa itu akan melukai dan mencemaskan orang lain.


Kepada pembaca yang budiman, kami mohonkan bacaan 'Al-Fatihah' untuk Beliau
Allahummaghfirlaha, warhamha, wa’aafiha wa’fu’anha, waakrim nuzulaha, waj’alil jannata matswaaha……amien!

©Irhash FB 15 Oktober 2010

Quotes : “Introspeksi”

Written By Irhash A. Shamad on 27 April 2014 | 22.06


Adakah yang anda lakukan hari ini untuk membuat hidup anda lebih baik ???
©Irhash-quotes 010311

Quotes : “Tragedi”


Tragedi terbesar sesungguhnya bukanlah kematian, tetapi adalah hidup tanpa tujuan
©Irhash-quotes 270211

Quotes : “Sombong”


Melakukan  pembenaran diri sendiri  karena gengsi justru memunculkan  fakta kesombongan
©Irhash-quotes 050211

Inspirasi : Fajar Menyapa 3


Kembalinya jiwa yang melayang meninggalkan raga ketika tidur yang lelap, menyiratkan sebuah kesempatan untuk melanjutkan 'perjuangan' hidup yang nyata pada hari ini....Mari awali hari ini dengan niat yang baik, semangat yang antusias, do'a yang tulus, dan penyerahan diri yang ikhlas.....semoga hari ini lebih baik dari kemaren.....aaamiin   
©Irhash FB 21 Juni 2013

Inspirasi : Fajar Menyapa 2

Written By Irhash A. Shamad on 26 April 2014 | 23.40


di ujung malam yang larut menguntai kepenatan ambisi menuntaskan teroka yang masih tak sudi dibengkalaikan malas, akhirnya lenyap terbalut sujud di lembutnya embun subuh, mengusik naluri tuk berharap rahmatNya mengiringi jelujur mentari hari ini.........akankah???  
©Irhash FB 18 Juni 2013

Inspirasi : Fajar Menyapa 1


"pergulatan" menundukkan indahnya buaian semu yg dingin dibalik selimut lelap untuk munajat menyambut anugerah hari-hari.... semoga selalu ada hidayah, berkah dan perlindunganMu ya Allah ........aamiiin    
©Irhash FB 13 Juni 2013

Wisata Sejarah : “Kapal Kayu Nelayan Mendarat di atas Rumah Penduduk"

Written By Irhash A. Shamad on 23 April 2014 | 02.38


Kapal kayu nelayan itu terdampar di atas rumah warga Gampong Lampulo Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh terbawa arus tsunami tahun 2004. Hingga saat ini kapal tersebut tetap dibiarkan bercokol seolah menggantikan atap rumah, karena memberikan kesan tersendiri untuk mengenang peristiwa tsunami tahun 2004. Ruangan di bawahnya sengaja tidak ditinggali, karena, selain tidak aman, banyak pengunjung yang datang ingin menyakasikan pemandangan yang tidak biasa ini. Lebih 100 wisatawan dalam dan luar negeri berkunjung ke kapal di atas rumah tersebut setiap harinya    ©Irhash FB 240312


Wisata Sejarah : Kapal PLTD Apung I, Saksi Bisu Tsunami Aceh 2004

Written By Irhash A. Shamad on 20 April 2014 | 13.16

Sebuah Kapal berukuran besar dan berbobot mati lebih 200 ton dan panjang mencapai 65 meter milik Perusahaan Listrik Negara (PLN) menyasar ke daratan sejauh lebih 4 km terbawa arus gelombang tsunami yang terjadi tahun 2004. Kapal ini akhirnya “parkir” di Kampung Punge Blang Cut, Kecamatan Jaya Baru, Banda Aceh. Kehadiran kapal di tengah pemukiman penduduk kampong Punge Blang Cut ini menjadi monumen Tsunami Aceh dan banyak dikunjungi oleh wisatawan domestik dan manca Negara sekaligus sebagai saksi bisu bagaimana dahsyatnya terjangan tsunami pada tahun 2004 itu  
©Irhash FB 230312


Wisata Sejarah : Masjid Baiturrahim, Uleelheue, Mauraxa, Banda Aceh

Masjid Baiturrahim terletak di ujung jalan Sultan Iskandar Muda menuju ke pelabuhan Uleelheue. Melalui masjid inilah Allah SWT memperlihatkan kekuasaanNya ; masjid yang berada di bibir pantai Aceh ini terbebas dari terjangan Tsunami tahun 2004  
©Irhash FB 200312

Quotes : “Ambisi”

Written By Irhash A. Shamad on 19 April 2014 | 20.55


Penderitaan bukan karena terlalu banyak bekerja, tapi karena terlalu banyak ambisi dari usaha
©Irhash-quotes  050211

Quotes : “Bicara”


Banyak bicara tentang hal-hal yang tidak berguna, dan bercerita tentang hal-hal tidak di tanya, hanya akan membuat kita rendah di mata orang lain.
©Irhash-quotes 030211

UKM Bangi, Selangor : 25 Oktober 2007

Catatan : “Galau Bangsaku”

Ada yang mau ungkap penyelewengan,..... disana ada yang panas dingin ketakutan tapi ngotot membela kredibilitas diri,.....ada yang diam menunggu angin bergerak kemana,.....ada juga yang lantang berteriak mengamankan sang tuan,....ada yang senyum simpul memetik manfaat kekisruhan.....tapi juga ada yang menangisi raibnya hasil jerih payah yg mengirap entah kemana karena permainan ini ….(ya Allah...ada apa dengan bangsaku?)
©Irhash FB 11 Desember 2009

Catatan : "Koin Cinta untuk Prita"

Koin Cinta : simbol kebersamaan dan kekuatan rakyat kecil melawan tirani kesewenangan lembaga peradilan dan aparat hukum ....... seyogianya penggalangan "Koin Cinta" ini dijadikan institusi tetap......untuk membela hak setiap anak bangsa yang ditindas.......Salut untuk yang punya ide….!!!
©Irhash FB 8 Desember 2009

Catatan : Ternyata Hukum Tidak Hitam Putih

Bulan2 terakhir 09 : bulan pembelajaran hukum dan peradilan, semakin diketahui, betapa hukum kita memiliki banyak potensi untuk ditafsirkan sesuai kepentingan yang berkepentingan, dan yang mampu membeli tafsiran hukum itu sendiri....ternyata hukum itu tidak hitam-putih !!! (cf. : kasus bank century, bibit-chandra, anggodo, nenek minah, aguswandi, basyar, prita dan banyak lagi yang lain) 
©Irhash FB 6 Desember 2009

Catatan : Film 2012

Film 2012 sangat mungkin menjadi salah satu rangkaian konspirasi global pengagas "New World Order" untuk paranoidisasi dunia agar siap menerima tatanan dunia baru yang lebih sekular dengan menafikan keberadaan agama-agama samawy…Bukan kiamat!….. tapi sejumlah program global yang telah direncanakan akan diluncurkan pada 2012 dengan memanipulasi ramalan suku maya ….....untuk yang menonton agar hati-hati saja!….
©Irhash FB 30 Nopember 2009

Catatan : “Mantapkan Langkahmu”

Alhamdulillahi Rabb al-‘alamiin.....Engkau kabulkan do'a-do'a kami,.... akhirnya sasaran utama yang ia citakan tercapai juga, setelah melalui lima tahapan seleksi ketat dalam masa lima bulan....... Mantapkan langkahmu anakku!!!, jangan memulai sesuatu dengan ragu, dan selamat menyambut Ramadhan yang penuh barkah
©Irhash FB 15 Desember 2009

Inspirasi : Hijrah di Perpindahan Tahun 1431

Di penghujung tahun ini saatnya kita mulai menghitung! ....seberapa banyak banyak hal-hal benar yang mampu kita lakukan...saatnya juga untuk memperhitungkan :... seberapa jauh jalan yang akan ditempuh dan seberapa kuat kita akan mewujudkan hal-hal benar itu....tapi juga jangan lupa untuk menghitung seberapa banyak gigi kita yang masih utuh dan seberapa banyak pula rambut yang masih terbilang hitam!!!....  
©Irhash FB 15 Desember 2009

Inspirasi : “Kita”

kita akan berkata “kita”….
manakala mereka tidak lagi merasa kita,
manakala “kita” telah diucapkan sebagai “mereka”,
manakala kepedulian mereka tak lagi menyentuh kita.
Kita akan berkata “kita”….
manakala perih kita adalah tawa mereka,
kita akan tetap menjadi “kita”
manakala sakit-senang masih menjadi milik kita
kita akan berkata “kita”, karena” kita”… bukan mereka!
(buat keluargaku…yang akan selalu berkata “kita”)
(NI -  Sarunai Malam, akhir 2009)

Inpirasi : “Ketika”

ketika kebencian dinodai fitnah,
ketika akal sehat dilumuri emosi,
ketika harta dijadikan ukuran,
ketika kesadaran tak lagi melihat salah,
ketika tingkah disertai kepongahan,
ketika itu…..
luruhlah persaudaraan,
nilai kekerabatanpun tak mendapatkan kepedulian….
dan kesabaran pun tak mampu lagi dipertahankan……
(ayah, ibu!…..maafkan anakmu!...... semoga ini tidak mengusik ketenanganmu)
(NI-
Sarunai Malam, medio 2009)

Inspirasi : Anniversary 28th


Hari ini........ dua puluh delapan tahun sudah kita mengayuh di lika-liku jalan yang terkadang tak selalu mulus....bergenggaman erat 'tuk saling menjaga dan berbagi suka dan duka...kau telah hadirkan tiga pendekar untuk melengkapi perjalanan ini,...mereka kelakpun akan mengayuh di etape berikutnya dan  akan membuat jejak-jejak kita menjadi lebih bermakna     
©Irhash FB 04 Desember 2009

Inspirasi : Tafakkur dan Tasyakur 51th

Written By Irhash A. Shamad on 18 April 2014 | 23.18

Selangkah lagi telah ku tapaki episode lima puluh tahun keduaku, tidak banyak yang dapat kucatatkan kini, kecuali tafakkur atas perjalanan sarat makna dari “nol koma nol satuku” setahun yang lalu, …..serta tasyakur atas semua anugerah yang telah Engkau berikan….   ©Irhash FB  30 Juli 2009

Buku : Pesisir Selatan dalam Dasawarsa 1995-2005

Setelah membaca draft buku berjudul Pesisir Selatan dalam Dasawarsa 1995-2005 di bawah Kepemimpinan Bupati Darizal Basir, maka kesan awal yang dapat ditangkap lebih pada semangat pengabdian yang ditunjukkan oleh seorang putra daerah di kampung halamannya, ketimbang sekedar catatan perjalanan seorang kepala daerah dalam masa jabatannya seperti yang lazim kita temukan. Pendeskripsiannya terasa tidak berkesan formal karena dikemas dalam jalinan fakta-fakta yang jauh dari kaku. Kombinasi fakta dan inferensi yang terjalin kuat memberi kesan bahwa penulisannya memang bukan ditujukan semata sebagai progress report suatu episode pemerintahan. Meskipun judul buku ini terasa bernuansa monografi daerah, dan disana sini penulis masih memerlukan tampilnya fakta-fakta numerik dan  pointer-pointer monoton, namun dengan penguraiannya yang tidak sebagai lazimnya laporan itu, menjadikannya enak untuk dibaca dan sarat informasi. Namun tentu akan lebih menarik lagi, bila judul buku ini diredaksikan secara luwes dan tidak formal (bila ini bukan merupakan keharusan), sehingga kesan awal dari judul tidak langsung memilah calon pem-baca. Tetapi, bila judul formal ini sulit dihindari, mungkin diperlukan pemadatan redaksional menjadi : Pesisir Selatan dalam Dasawarsa Kepemimpinan Darizal Basir 1995-2005.
Kandungan informasi yang terdapat pada buku ini cukup lengkap, karena ditunjang oleh penelitian yang sangat memadai dan akurat, sehingga sangat layak dijadikan rujukan untuk memenej daerah ini bagi pemerintahan selan-jutnya, namun urut penyajiannya terasa seperti ada ganjalan kecil yang menjadikan alur narasi terasa melompat. Ketika pada bagian awal deskripsi ten-tang kondisi obyektif daerah dikemukakan dengan baik sebagai landasan analisis untuk melihat potensi-potensi yang dimiliki, --bahkan lengkap dengan potensi kultural historisnya --, namun seketika kita diajak melompat melintasi ruang kronologis yang panjang dan sekonyong jatuh pada priode 1995. Ini seperti mengabaikan beberapa episode pra pemerintahan Darizal Basir, yang (mungkin) di dalamnya terdapat serat-serat potensial yang dapat dijadikan pertimbangan bagi kesinambungan upaya daerah ini untuk bangkit dan bergerak maju di masa Darizal sendiri. Pengemukaan episode yang terasa putus ini, menurut saya, sangat perlu untuk lebih memperlihatkan secara linier gerak pembangunan dalam semua sektor, yang memang terjadi kenaikan di masanya.
Penempatan biografi Darizal, menurut hemat kami, perlu  mendapat tempat tersendiri pada buku ini dan seyogianya ditempatkan sebelum penguraian ten-tang pemerintahan dan pembangunan berbagai sektor di masa pemerintahan-nya. Ini akan lebih memberikan gambaran utuh terhadap ketokohannya, karena kemunculan salah seorang putra daerah seperti Darizal ini, akan meng-gambarkan salah satu aset potensial daerah yang dengan penuh kesadaran, tampil dalam kondisi di mana potensi seperti ini sangat diperlukan di masanya dan diharapkan muncul pula pada generasi-genarasi selanjutnya. Dengan demi-kian bagian yang menuturkan performan Pesisir Selatan  tidak menjadi tersedak hanya karena diselingi dengan riwayat masa kecil Darizal sendiri.
Satu hal yang perlu dicatatkan dari sajian buku ini ialah keberhasilan Darizal Basir mengapungkan nama Pesisir Selatan di mata nasional, bahkan interna-sional. Letak geografis serta lingkungan alam yang selama ini menjadi kendala dalam pembangunan ekonomi seperti luasnya kawasan hutan lindung serta keterbatasan akses ekonomi ke dunia luar, ternyata bagi seorang Darizal tidak menjadi hambatan yang berarti.
Dari segi isi buku, capaian-capaian pertumbuhan ekonomi serta peningkatan kelembagaan di masa pemerintahan Darizal Basir telah dikemukakan dengan sangat teliti, namun  minus pada pengemukaan capaian kultural. Agaknya para-digma strukturalisme yang banyak digunakan di masa Orde Baru masih mewa-rnai penulisan ini. Paradigma ini cendrung mengartikan pembangunan sebagai perubahan kearah terwujudnya masyarakat yang luas dengan struktur yang kompleks. Implikasi pandangan ini sangat terasa, ketika standar ukur keberha-silan pembangunan yang dikemukakan adalah indikator-indikator struktural semata, tanpa diimbangi dengan fakta konkrit tentang ketercapaian tujuan kultural masyarakat. Dalam pengemukaan fakta budaya, di sektor pariwisata misalnya, indikator itu sangat jelas terlihat, di mana nuansa kepentingan untuk capaian peningkatan ekonomi, masih sangat diutamakan.
Terlepas dari apa yang dikemukakan terdahulu, apa yang disajikan pada buku ini memang memiliki signifikansi lebih dari sekadar catatan prestisius. Para penulis cukup arif untuk tidak terjebak pada kesimpulan-kesimpulan tendensius dalam pengemukaan fakta-fakta, sehingga kesan apologis penulisan seperti layaknya memoir seorang pejabat, tidak menonjol pada buku ini.
©Irhash A. Shamad
Painan, 20  Juni 2005

Inspirasi : Memori Setengah Abad ”Nol Koma Nol Satu"ku

Saat ini tepat jam 00.01 tanggal 30 Juli 2008
Dikesibukan malamku yang biasa, sesaat aku disentakkan oleh suara putra bungsuku yang mengingatkan bahwa kini jam 00.01 tanggal 30juli ..yaa ulang tahunku !!!... sejenak aku menghentikan kegiatanku . . aku hening..... dan mengingat ....setengah abad sudah aku menghirup udara ini, sudah panjang jalan yang kulalui, sudah banyak hal yang kualami, beragam pahit manis, susah senang,sedih gembira telah menghiasi hidupku. Di detik ini limapuluh tahun yang lalu suara tangis pertamaku bergema di sisi Bundaku yang bersimbah peluh seakan terngiang lagi dalam khayalku, meski hanya ada dalam memori kecil yang tak kusadari. Tapi itu cukup bagiku untuk memulai sebuah renungan pada jalan-jalan panjang yang telah kutempuh selama aku tapaki kehidupan ini hingga aku menjadi seperti ini. Sesaat tafakurku mendalam untuk sujud keharibaanMu yang telah membuat garis-garis hidup yang harus kulalui. Ku tempuh jalan itu seperti yang Engkau tuntut padaku saat bisikanMu di rahim Ibuku, Engkau membimbingku..., tapi mungkin sering aku kesampingkan  bisikanMu, namun ...Engkau tetap membimbingku, kasih sayangMu selalu Engkau curahkan, namun akulah yang buta untuk melihat kasih sayang itu, karena wujud kasih sayangMu tak selalu dapat kulihat ke sebalik apa yang terlihat pada mata raga ku. Di detik aku harus memulai langkah limapuluh tahun keduaku, sejuta asa dalam renungku berharap ampunan atas kealphaanku, atas salah-salahku, atas ingkarku pada garisMu. Dalam renung ini ku ingin Kau dengar syukurku yang tiada berhingga atas bimbinganMu, kasih dan sayangMu yang senantiasa mengiringi perjalanan hidupku. Kuteriakkan terima kasihku buat kedua orang tuaku, mereka yang gelisah penuh harap disaat detik menjelang kelahiranku, khawatir, cemas, sakit, senang yang berpadu menjadi satu dalam satu titik sampai kuteriakkan tangis pertamaku. Banyak yang telah kulakukan di saat aku telah menyadari lakuku, dan banyak yang mungkin telah membuat ayah-bundaku terluka, sedih dan sakit. Kini....di renungku sejuta maaf dengan malu kusampaikan keharibaan mereka. Kesabaran dan kasih sayang mereka telah membesarkanku, meski aku terkadang tidak dapat melihat ke sebalik yang nampak oleh mata ragaku, dan  aku selalu terlambat untuk dapat menyadari semua itu. Doa-doaku mungkin tidak akan cukup untuk mengimbangi apa yang telah aku terima dari meraka, hingga aku menjadi seperti aku yang kini.
Saat ini tepat jam 00.01 tanggal 30 Juli
Dikesibukan malamku yang kuhentikan atas sentakan suara putra bungsuku, 30 Juli ini lebih dari sekedar transisi 50 tahun keduaku, di rentang waktu ini lebih dari 14 abad yang lalu Rasulullah idolaku melakukan perjalanan panjang dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha dan lalu ke Sidratul Muntaha. Sebuah perjalanan dahsyat menurut ukuran pengetahuan manusia, perjalanan yang tidak mungkin dilakukan dengan upaya manusia, kecuali oleh bimbingan Yang Maha Kuasa...sebuah pergerakan vertikal dan horizontal Rasulullah menuju haribaan Pencipta Semesta untuk menerima peta jalan keselamatan umatnya.. sebuah perjalanan panjang yang singkat dan mengubah dunia. Dalam renungku kini... khayalku menyeruak antara asa yang tak mungkin, dan terlalu kecil untuk memadankan perjalanan 50 tahunku dengan pengalaman sang idola, namun aku kini harus berkaca pada pergerakan horizontal dan vertikal Rasulku.. gerakan itu haruslah menjadi bagian dari perjalanan 50 tahun keduaku, meski itu tidak akan pernah menjadi pengubah dunia, paling tidak akan mengubah hidupku. Aku teriakkan tangis keduaku dalam renungan yang dalam dan larut disaput embun dan dinginnya malam menjelang pagi. Kuisi menit-menit awal 50 tahun keduaku untuk meneriakkan gelisah, galau dan khawatir yang menyatu seperti kegelisahan kedua orang tuaku saat menjelang tangisan pertamaku 50 tahun yang lalu. Ku tulis teriakanku untuk cermin bagi putra-putraku yang akan menapaki relung-relung kehidupan mereka masing-masing dalam doaku... semoga perjalanan panjang mereka kelak lebih memiliki makna dan selalu dalam bimbinganNya. Amin.
© Irhash A. Shamad
 Padang 00.30, 30 juli 2008

Buku : Peristiwa Tiga Daerah

“Sejarah itu benar-benar ilmu pengetahuan, tidak lebih dan tidak kurang”, demikian John B. Bury menegaskan dalam pidato pengukuhannya di  Cambridge tahun 1903 (Garraghan,1957;37). Penegasan ini dikemukakannnya ditengah bermunculan pendapat-pendapat yang “miring” tentang keberadaan sejarah sebagai ilmu. Kebenaran yang dihasilkan oleh sejarah sering tidak memuaskan secara metodologis. Banyak karya sejarah dibuat hanya untuk tujuan tertentu, sehingga mengabaikan objektivitas fakta yang dihasilkannya. Tujuan-tujuan mana sering dikaitkan dengan kepentingan-kepentingan yang menyertai penulisannya, seperti moral, politik agama, ideologi dsb. Demikian juga keabsahan penulisan sejarah sangat ditentukan oleh konsepsi kesejarahan yang dimiliki oleh penulisnya a.l. : apakah arti sejarah sudah ia tempatkan sebagai terminologi yang berkonotasi ilmiah?, apa tujuan yang ingin ia capai dengan penulisan itu? dan bagaimana pula dengan sumber serta prosedur kerja yang ia gunakan dan sebagainya.
Berkaitan dengan apa yang dikemukakan itu, pada tulisan yang sederhana ini akan dikemukakan tinjauan atas sebuah karya sejarah yang ditulis oleh : Anton E. Lucas yang berjudul : ”Peristiwa Tiga Daerah, Revolusi dalam Revolusi”.  Buku ini secara umum memiliki kekuatan tersendiri dalam menyoroti salah satu episode sejarah lokal dalam kerangka Revolusi Indonesia secara keseluruhan.

Latar Belakang

Peristiwa Tiga Daerah adalah peristiwa yang berlatar belakang sosio-ekonomis. Akar-akar sejarahnya sudah ditanamkan sejak lama oleh penguasa-penguasa kolonial. Pengalaman sejarah yang diwarnai dengan tekanan, penindasan, kesengsaraan dan kemelaratan telah membangkitkan rasa benci dan dendam terhadap sistem dan struktur yang telah menyebabkan kesengsaraan itu. Perasaan itu tidak hanya ditujukan terhadap pemerintahan jajahan, akan tetapi juga terhadap penguasa-penguasa tradisional, terutama penguasa-penguasa yang memperlihatkan tanda-tanda kerjasama dengan pemerintahan jajahan itu. Penindasan dan tekanan yang dijalankan oleh kedua elit kekuasaan ini telah menyebabkan terjadinya eksploitasi ganda terhadap rakyat (cf. Onghokham,1985;19), terutama dalam lapangan perekonomian. Keadaan yang demikianlah yang dianggap cukup untuk meledakkan sebuah pergolakan sosial.
Peristiwa ini terjadi dalam sebuah keresidenan yaitu Pekalongan. Tiga daerah yang menjadi objek penelitian Lucas di keresidenan ini adalah Brebes, Tegal dan Pemalang dalam kurun waktu yang sangat pendek, yaitu antara bulan Oktober sampai Desember 1945.
Kondisi perekonomian rakyat di tiga daerah itu sangat buruk di masa kolonial, terutama pada saat dijalankannya Tanam Paksa. Eksploitasi dalam lapangan ekonomi dijalankan tidak saja oleh pemerintahan jajahan akan tetapi juga oleh penguasa-penguasa tradisional dan pedagang-pedagang kaya, sehingga rakyat jelata, petani kecil serta pekerja dan buruh menjadi sangat menderita. Pengalaman ini kemudian berlanjut pula pada masa pendudukan Jepang. Rakyat menemui kenyataan ekonomi yang malah lebih buruk di masa ini ; adanya wajib setor padi, penjatahan beras dan bahan pangan, disamping banyak terdapat korupsi dan penindasan oleh pihak penguasa tradisional dari pemungutan setoran oleh masyarakat.
Berita kekalahan Jepang telah diketahui oleh rakyat di tiga daerah, terutama oleh golongan bawah tanah yang pernah melakukan perlawanan aktif selama pendudukan Jepang, seperti golongan komunis terselubung, Negen Broeder, KRI dan Barisan Pelopor yang berideologi Marxis. Setelah kemerdekaan di proklamirkan disambut dengan sangat antusias oleh rakyat. Namun  tidak demikian halnya dengan kalangan elit birokratis. Berita ini bagi mereka pada umumnya disambut dengan sikap ragu-ragu. Sikap ini diiringi dengan kekhawatiran akan reaksi Jepang terhadap perjuangan rakyat. Bahkan diantara elit birokratis ini ada yang melarang untuk menaikkan bendera merah putih, karena menganggap bahwa meskipun Jepang sudah kalah, maka penguasa lama (Belanda) akan segera datang kembali. Sikap yang ditunjukkan oleh elit birokratis ini telah melebarkan jurang antara mereka dengan rakyat pejuang.
Kenyataan inilah yang telah memancing munculnya gejolak sosial di tiga daerah. Dimulai dengan aksi protes yang dilakukan oleh rakyat terhadap seorang Lurah di wilayah Tegal selatan, kemudian meluas ke daerah-daerah lainnya seperti desa Pekalongan, rakyat menuntut penggantian penguasa. Aksi-aksi daulat serupa berlangsung mendobrak sistem birokrasi serta aksi kekerasan, penganiayaan, bahkan pembunuhan para pejabat desa dan pihak-pihak elit ekonomi lainnya yang dianggap telah ikut menyengsarakan rakyat selama ini. Aksi ini tidak saja meluas akan tetapi juga lebih buas dan liar seperti yang terjadi di Pemalang dan Tegal. Lebih dari itu, peristiwa-peristiwa ini makin meluas menjadi makar politik, ditandai dengan berdirinya Front Rakyat (Nopember 1945) yang berideologi komunis. Kenyataan ini akhirnya mengharuskan pemerintahan pusat untuk turun tangan, sehingga gerakan ini kemudian dapat dipadamkan.
Tinjauan Metodologis
Dalam menyajikan karyanya ini, Anton E. Lucas telah mengkombinasikan antara pendekatan strukturalis dan pendekatan individualis, meskipun yang disebutkan pertama lebih dominan terlihat dalam karya ini. Pendekatan struktural memperhatikan masalah kontinuitas dalam sejarah (cf. : Sartono,1986;108-19). Karena itu Anton E. Lucas menjelaskan revolusi yang terjadi di tiga daerah ini, melihat akar-akar kausalitasnya historisnya pada beberapa fenomena kesejarahan yang terjadi pada waktu-waktu yang jauh ke belakang seperti Tanam Paksa, terutama menyangkut dengan faktor perekonomian. Kondisi-kondisi struktur sosio ekonomis masyarakat dideskripsikan sebagai fenomena yang cukup untuk meledakkan suatu gejolak sosial.
Dalam melihat gejolak sosial, Lucas menggunakan teori Marxis dari Karl Marx. Ia melihat adanya dua kelompok sosial yang saling bertentangan, yaitu pihak elit birokratis serta para tuan tanah dan orang-orang kaya sebagai kelompok atas dengan rakyat kecil sebagai kelompok bawah. Gaya hidup kedua kelompok ini berbeda sangat tajam. Perbedaan ini pada akhirnya membawa ‘dendam’ dan kebencian yang mendalam, terutama dari golongan bawah di wilayah ini. Keadaan ini memudahkan pihak-pihak tertentu (baca: komunis) untuk memobilisasi massa untuk melakukan gerakan protes. Koalisi pihak komunis dengan rakyat tertindas ini membentuk sebuah wadah perjuangan yang disebut dengan Front Rakyat atau Gabungan Badan Perjuangan Rakyat Tiga Daerah (GBP3D).
Dalam mengemukakan pola kelakuan kolektif  dalam situasi revolusi, Lucas menggunakan teori psikologi. Ia menggambarkan gejolak sosial yang penuh kekerasa dan anarkis dengan penjelasan berdasarkan motivasi, sikap dan tindakan kolektif yang dianalisis melalui berbagai faktor prilaku kolektif, seperti kepemimpinan. organisasi, mobilisasi, ideologi dan kondisi sosial.
Dalam studinya ini Lucas menggunakan kombinasi sumber tertulis dan sumber lisan. Khusus untuk sumber lisan, ia telah menempuh prosedur sejarah lisan secara mengagumkan. Jumlah informan yang diwawancarai sangat luar biasa yaitu 324 orang yang berasal dari berbagai kelompok sosial, baik yang terlibat dan mengalami langsung peristiwa yang diteliti, maupun yang mengetahui jalannya peristiwa. Klassifikasi informan terdiri dari bekas elit birokrasi, anggota Front Rakyat, kelompok agama, kaum nasionalis, kelompok pemuda, guru serta TKR. Ia telah menyelami lebih jauh bagaimana individu atau kelompok dari berbagai lapisan  mengalami sendiri kehidupan mereka dengan pendekatan verstehen seperti yang disarankan  oleh Weber (cf. Rex Martin,1977;14-15).
Ulasan (epilog)
Revolusi sosial yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia pasca kemerdekaan pada umumnya dapat diakarkan kepada penderitaan panjang yang dialami oleh rakyat semenjak masa kolonial yang berlanjut hingga masa kemerdekaan. Pada bahagian lain sikap dan prilaku ekonomis dari elit birokrasi dan tuan-tuan tanah tidak kurang pula telah ikut mematangkan situasi bagi munculnya sebuah revolusi.
Peristiwa Tiga Daerah yang terjadi di Keresidenan Pekalongan selama bulan Oktober sampai Desember 1945, benar-benar luar biasa, bila dilihat dari bentuk dan karakteristik aksi yang dilakukan. Apa yang disebut dengan “kegaduhan sibernetik” (cybernetic noise)[1] juga terlihat dari aksi rakyat di tiga daerah ini.
Dibanding dengan revolusi-revolusi sosial yang terjadi di Indonesia dalam waktu yang bersamaan, maka peristiwa tiga daerah ini terdapat perbedaan mendasar. Revolusi sosial yang terjadi di tiga daerah ini lebih bernuansa “kiri” (didalangi komunisme). Hal ini dapat dilihat dari pola kepemimpinan serta ideologi yang dianut serta peranan penting yang dimainkan oleh Front Rakyat (komunis) dalam memobilisasi rakyat dalam revolusi sosial ini
© Irhash A. Shamad

Daftar Bacaan
Garraghan SJ, Gilbert J.  A Guide To Historical Method, (edited by : Jean Delanglez,SJ),(Chicago), Fordham University Press,1957.
Lucas, Anton E., Peristiwa Tiga Daerah, (Jakarta), PT. Temprint, 1989.
Martin, Rex, Historical Explanation Re-Conectiment and Practical Inference, Ithaca, New York), Cornel University Press, 1977.
Onghokham, Elite dan Monopoli dalam Perspectif Sejarah, Prisma No.2/1985, thn.XIV.
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam, Metodologi Sejarah, (Jakarta), Gramedia, 1986.


Wisata Sejarah : Benteng Indra Patra – Ujong Batee, Aceh


Situs benteng ini terletak ± 19 km dari Banda Aceh arah ke Krueng Raya, dekat Pantai Ujong Batee. Konon benteng ini dibangun pada masa Kerajaan Hindu (pra Islam). Namun ada sumber yang menyebutkan bahwa benteng ini dibangun pada masa Kesultanan Aceh Darussalam dalam upaya menahan serangan Portugis. Benteng ini sangat besar fungsinya pada zaman Sultan Iskandar Muda yang angkatan lautnya, pada waktu itu, dipimpin oleh Laksamana Malahayati …. ©Irhash FB 20 Maret 2012


Wisata Sejarah : Makam Laksamana Keumalahayati (Malahayati)


Malahayati adalah salah seorang laksamana wanita pertama dunia yang dimiliki oleh Kerajaan Aceh Darussalam. Ia seorang keturunan bangsawan Aceh, bahkan secara genalogis keturunan pendiri kerajaan Aceh Darussalam , yaitu Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513-1530 M). Setelah wafat dalam pertempuran Teluk Krueng Raya dimakamkan tidak jauh dari bentengInong Balee (Janda), di atas sebuah bukit kecil yang sekarang letaknya sekitar 500 m dari Pelabuhan Malahayati dan kira-kira 30 km dari kota Banda Aceh. Di Benteng Inong Balee Malahayati dan pasukan jandanya mengamati gerak-gerik Belanda di Selat Malaka untuk kemudian melakukan perlawanan terhadap angkatan laut Belanda, bahkan ia dengan perkasa berhasil membunuh Cornelis de Houtman (Juni 1599). Sayangnya benteng Inong Balee yang bersejarah itu sejak peristiwa Tsunami 2004 yll kondisinya sangat tidak terawat.   ©Irhash FB 16 Maret 2012



Maklumat

Maklumat
 
Support : Pandani Web Design
Copyright © 2009-2014. Irhash's Cluster - All Rights Reserved
Template Created by Maskolis
Proudly powered by Blogger